S
esuai dengan PP Nomor 21 Tahun 2004, proses penyusunan RKA-KL 2006 sebagai berikut:1. Kementerian/lembaga menyusun rencana kerja kementerian/lembaga (Renja KL) dengan mengacu pada (i) prioritas pembangunan nasional, dan (ii) pagu indikatif yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan pada bulan Maret 2005.
2. Berdasarkan Renja KL disusunlah Rencana Kerja Pemeritah (RKP) tahun 2006 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005, dimana memuat program prioritas pembangunan tahun 2006;
3. RKP tahun 2006, serta kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal disampaikan Pemerintah ke DPR dan dibahas bersama pada forum Pembicaraan Pendahuluan RAPBN 2006, yang antara lain menghasilkan besaran pagu sementara 2006; 4. Menteri/Pimpinan Lembaga, setelah menerima Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu sementara pada pertengahan bulan Juni 2005, menyusun RKA-KL yang dirinci menurut unit organisasi, fungsi, subfungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. 5. Kementerian negara/lembaga membahas RKA-KL bersama-sama dengan komisi terkait
di DPR. Hasil pembahasan RKA-KL tersebut, kemudian ditelaah Kementerian Perencanaan guna melihat kesesuaian dengan RKP tahun 2006. Sedangkan Kementerian Keuangan menelaah kesesuaian RKA-KL tersebut dengan pagu sementara 2006 dalam Surat Edaran Menteri Keuangan, serta prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan. 6. Menteri Keuangan menghimpun RKA-KL yang sudah ditelaah, untuk selanjutnya
bersama-sama dengan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2006 disampaikan Pemerintah kepada DPR pada tanggal 16 Agustus 2005, untuk dibahas dan akan
Bab IV Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006
7. RKA-KL yang telah disepakati DPR akan ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rincian APBN 2006, selambat-lambatnya akhir bulan November 2005, yang akan menjadi dasar bagi masing-masing Kementerian Negara/Lembaga untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA).
8. Konsep DIPA disampaikan kepada Menteri Keuangan cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) selambat-lambatnya minggu kedua bulan Desember 2005. Jika konsep dokumen pelaksanaan anggaran tersebut sudah sesuai dengan Perpres tentang Rincian APBN 2006, maka dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2005.
Dalam tahun 2005, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan reformasi penganggaran, beberapa kendala tidak terhindarkan. Keterlambatan penyusunan RKA-KL dan DIPA 2005 telah mengakibatkan keterlambatan dalam pencairan dana anggaran kementerian/lembaga tahun 2005, yang pada gilirannya mengakibatkan terlambatnya pelaksanaan berbagai program dan kegiatan kementerian/lembaga untuk pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan infrastruktur.
Untuk menghindari terulangnya keterlambatan tersebut dalam tahun anggaran 2006, Pemerintah cq. Menteri Keuangan telah menerbitkan beberapa ketentuan, antara lain
Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 54 tahun 2005 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL 2006, penelahaan RKA-KL oleh Bappenas dan DJAPK yang dilaksanakan dalam format “satu atap-satu meja”, serta penelaahan konsep DIPA oleh DJPb berdasarkan Perpres tentang Rincian APBN 2006. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan seluruh rangkaian proses penganggaran sejak penyusunan RKA-KL hingga pengesahan DIPA dapat berlangsung dengan lancar dan efisien.
Selanjutnya, himpunan RKA-KL 2006 yang telah dibahas oleh Bappenas dan Departemen Keuangan mencakup RKA-KL dari 70 kementerian/lembaga, 235 unit eselon I, dan sekitar 14.000 satuan kerja yang tersebar di 34 provinsi dan 10 perwakilan di luar negeri. Untuk mensistematiskan penyajian data dan informasi, himpunan RKA-KL 2006 tersebut disajikan dalam format matriks, yaitu menurut kementerian/lembaga fungsi/subfungsi, program, dan jenis belanja.
Tiga Pendekatan dalam Penyusunan RKA-KL
Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan kemudian dijabarkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2004, RKA-KL disusun dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu (a) unifikasi anggaran (unified budget); (b) penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework/MTEF); dan (c) penerapan penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budgeting). Dalam unified budget tidak dikenal pengelompokan menurut pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Mengikuti klasifikasi jenis belanja (economic classification) menurut GFS Manual 2001, mulai tahun anggaran 2005 anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN diklasifikasikan menjadi (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii)
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 Bab IV
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), menurut PP Nomor 21 Tahun 2004, adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju. Dalam RKA-KL 2006, setiap kementerian/ lembaga diwajibkan mengisi perkiraan belanjanya untuk tahun 2007 dan 2008.
KPJM merupakan suatu proyeksi pengeluaran selama beberapa tahun ke depan. Proyeksi pengeluaran tersebut mencerminkan dampak dari kebijakan atau program/kegiatan yang dilaksanakan pada tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya. Proyeksi ini dapat digunakan sebagai alat bantu dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan keuangan negara, karena KPJM dapat memberikan indikasi tentang perlunya penyesuaian pengeluaran sejak dini dalam rangka memelihara kesinambungan fiskal, dan proyeksi ini sekaligus juga dapat memberikan gambaran tentang derajat keleluasaan pemerintah dalam menyesuaikan besaran dan komposisi pengeluarannya pada tahun-tahun mendatang. Penyesuaian tersebut dilakukan melalui perubahan kebijakan dan bukan melalui pemotongan pengeluaran secara ad-hoc yang seringkali menimbulkan dampak negatif.
Manfaat KPJM bagi pemerintah antara lain adalah untuk (i) memelihara kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) serta meningkatkan disiplin fiskal, (ii) meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran, karena pengusulan anggaran kementerian/lembaga tidak lagi sekedar membuat daftar keinginan (wish list), (iii) mendorong pengalokasian sumber daya agar lebih rasional dan strategis, karena dana harus dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan dampak yang maksimal, (iv) meningkatkan
predictabiliy pembiayaan suatu kegiatan, jika suatu kegiatan telah disetujui untuk
dilaksanakan dalam tahun anggaran maka implikasi biaya pada tahun berikutnya harus menjadi prioritas, dan (v) mendorong peningkatan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah jika dana kementerian/lembaga telah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Penganggaran berbasis kinerja (PBK) didefinisikan sebagai pengalokasian dana untuk mencapai tujuan secara terprogram atau untuk mencapai suatu indikator pengukuran kerja, efisiensi dan atau produktivitas. Pada dasarnya PBK mengaitkan input atau biaya dengan kegiatan, program, dan tujuan. Ini yang membedakan PBK dengan sistem penganggaran sebelumnya (traditional budgeting) yang lebih berfokus pada pengalokasian input (dana anggaran) sehemat mungkin. Sementara itu, PBK lebih menekankan pada pencapaian keluaran (output) dan hasil (outcome) yang maksimal untuk penggunaan sejumlah dana anggaran tertentu.
Pelaksanaan PBK membutuhkan adanya perencanaan strategis (strategic planning), mengingat PBK digunakan untuk membantu suatu organisasi dalam mencapai visi dan tujuannya. Untuk menjalankan perencanaan strategis yang dijabarkan dalam perencanaan jangka panjang, menengah, dan tahunan tersebut tentunya membutuhkan pembiayaan. Dalam hal inilah, PBK menjadi jembatan antara visi (yang memerlukan waktu tahunan untuk mewujudkannya) dengan kegiatan dan anggaran (yang diselenggarakan dalam horison satu tahun).
Tujuan utama PBK adalah akuntabilitas. Kinerja dan data yang terdapat dalam PBK mendorong pejabat publik bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan publik, efisiensi biaya, dan efektivitas program. Dengan PBK ini, pemerintah, anggota DPR, kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program, dan masyarakat secara umum dapat turut berperan dalam menilai kinerja pemerintah.
Bab IV Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006
Indonesia yang akan mempengaruhi besaran subsidi BBM, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang antara lain akan menentukan beban pembayaran bunga utang luar negeri dan besarnya anggaran belanja kementerian/lembaga yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri, serta suku bunga SBI-3 bulan yang mempengaruhi besarnya pembayaran bunga utang dalam negeri.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menurut klasifikasi jenis belanja, organisasi, dan fungsi.
Berdasarkan jenis belanja, dari rencana anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2006 sebesar Rp375,1 triliun, direncanakan akan dialokasikan untuk belanja pegawai sekitar 20,7 persen, belanja barang sekitar 12,2 persen, belanja modal sekitar 12,0 persen, pembayaran bunga utang sekitar 19,6 persen, subsidi sekitar 21,6 persen, bantuan sosial sekitar 7,7 persen, dan belanja lain-lain sekitar 6,2 persen.
Sementara itu, berdasarkan klasifikasi organisasi, dari keseluruhan belanja pemerintah pusat dalam tahun 2006 sebesar Rp375,1 triliun akan dialokasikan kepada kementerian/lembaga sekitar 41,7 persen, sesuai program-program yang akan dilaksanakan oleh masing-masing kementerian/lembaga. Sementara itu, sekitar 58,3 persen dialokasikan melalui bagian anggaran pembiayaan perhitungan, yang antara lain menampung pengeluaran untuk pembayaran bunga utang dan subsidi. Dari keseluruhan anggaran untuk kementerian/lembaga dalam tahun 2006, sekitar 20,1 persen untuk Departemen Pendidikan Nasional; 15,1 persen untuk Departemen Pertahanan; 8,4 persen untuk Departemen Pekerjaan Umum; 8,4 persen untuk Kepolisian Republik Indonesia; dan 7,3 persen untuk Departemen Kesehatan.
Selanjutnya, bila dilihat menurut klasifikasi fungsi, dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah pusat tahun 2006 sebesar Rp375,1 triliun, sebagian besar alokasi anggarannya ditampung pada beberapa fungsi, yaitu fungsi pelayanan umum sekitar 64,6 persen, fungsi pendidikan sekitar 10,1 persen, fungsi ekonomi sekitar 8,1 persen, fungsi pertahanan sekitar 6,3 persen, serta fungsi ketertiban dan keamanan sekitar 5,1 persen. Fungsi-fungsi ini selanjutnya dirinci ke dalam beberapa subfungsi, yang memuat program-program yang akan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga.