• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Paket Peraturan Pemerintah (PP) sebagai Landasan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Dalam dokumen Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2006 RAPBN (Halaman 129-133)

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

S

ejak diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat dalam mewujudkan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih harmonis sesuai dengan kewenangan yang dilaksanakan dengan tetap memperhatikan stabilitas, kesinambungan, dan keseimbangan fiskal. Perimbangan keuangan dimaksud merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi, sehingga sistem pengaturannya mencakup seluruh aspek pengelolaan keuangan daerah, mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan sampai dengan pelaporan dan pertanggungjawaban. Untuk itu, diperlukan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan operasional implementasi UU tersebut.

Saat ini, Pemerintah sedang menyelesaikan penyusunan paket Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 tersebut yang meliputi:

(i) Pengelolaan Keuangan Daerah (yang didalamnya termasuk Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/RKA-SKPD), (ii) Dana Perimbangan, (iii) Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, (iv) Pinjaman Daerah, (v) Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), dan (vi) Hibah Daerah, serta (vii) Dana Darurat.

Penyusunan Paket RPP tersebut diharapkan dapat menciptakan sinergi dan harmonisasi antara kebijakan fiskal nasional yang dituangkan dalam APBN dan kebijakan fiskal daerah yang dituangkan dalam APBD. Struktur APBD terdiri dari Pendapatan, Belanja, Surplus/ Defisit, dan Pembiayaan. Komponen pendapatan tersebut terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Ketentuan mengenai PAD telah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang saat ini juga sedang dalam proses penyempurnaan. Sedangkan pendapatan transfer (dalam hal ini transfer Pemerintah Pusat) merupakan implementasi dari prinsip money follows function, dalam bentuk dana perimbangan, yang akan diatur dalam PP Dana Perimbangan.

PP Dana Perimbangan tersebut akan mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketentuan yang diatur mengenai dana bagi hasil, yang terdiri atas DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA), meliputi komponen dan persentase pembagian penerimaan negara yang dibagihasilkan, mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran, penggunaan tambahan persentase dana bagi hasil dari sektor minyak bumi dan gas alam beserta sanksi penyimpangannya, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan dana bagi hasil. Sedangkan untuk DAU, diatur lebih lanjut ketentuan mengenai imbangan pembagian antara Informasi Keuangan Daerah (SIKD); (vi) Hibah Daerah, dan (vii) Dana

Darurat (Lihat Boks IV.4 : Penyusunan Paket Peraturan Pemerintah sebagai Landasan Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 Bab IV

provinsi dan kabupaten/kota, mekanisme pengalokasian, perhitungan DAU yang bersumber dari selisih penerimaan migas, serta penetapan dan penyaluran DAU. Ketentuan yang diatur mengenai DAK meliputi mekanisme penetapan dan pengalokasian, persyaratan, penggunaan DAK, dana pendamping, penyaluran, pemantauan dan evaluasi teknis, serta penundaan penyaluran apabila terjadi penyimpangan.

Selain PAD dan Pendapatan Transfer, dari sisi Pendapatan terdapat pula komponen Lain-lain Pendapatan yang Sah, yang akan diatur dalam PP Hibah Daerah dan PP Dana Darurat. Pokok-pokok muatan mengenai hibah meliputi pemberian, penerimaan, penggunaan dan pertanggungjawaban hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun Non-Pemerintah. Selanjutnya, pokok-pokok muatan mengenai dana darurat mencakup status dana darurat penanggulangan bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan dana darurat dalam penanggulangan krisis solvabilitas. Ketentuan yang diatur meliputi penetapan keadaan darurat, pengalokasian, penyaluran, dan pertanggungjawaban dana darurat.

Di sisi Belanja, ketentuan belanja dalam APBD mengikuti ketentuan belanja dalam APBN yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dimana belanja dalam APBD harus dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Selanjutnya, apabila terjadi defisit, salah satu sumber pendanaan untuk menutup defisit tersebut adalah pinjaman daerah (termasuk penerbitan obligasi daerah), yang akan dipayungi dengan PP tentang Pinjaman Daerah. Namun demikian, ketentuan mengenai besarnya defisit APBD dan batas jumlah pinjaman daerah tetap mengacu pada PP Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam PP Pinjaman Daerah tersebut akan diatur hal-hal yang terkait dengan jenis pinjaman, yang terdiri dari pinjaman jangka pendek, menengah dan panjang, serta peruntukan dari masing-masing jenis pinjaman. Selain itu, juga akan diatur mengenai sumber pinjaman daerah, yang diantaranya berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank/nonbank, serta masyarakat. Daerah tidak diperbolehkan melakukan pinjaman langsung yang bersumber dari luar negeri. Selanjutnya, akan diatur pula mengenai syarat dan ketentuan penerbitan obligasi daerah, yang merupakan salah satu jenis pinjaman daerah, proses penawaran kepada publik di pasar modal, dan keharusan mengacu pada UU Pasar Modal yang berlaku. Dengan penerapan berbagai syarat dan ketentuan dalam melakukan pinjaman, diharapkan tidak ada daerah yang menolak/tidak mampu membayar kembali kewajibannya.

Sejalan dengan pelaksanaan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara, diperlukan pula peraturan pelaksanaan dalam pengelolaan keuangan daerah. PP Pengelolaan Keuangan Daerah, secara garis besar akan memuat berbagai ketentuan mengenai perencanaan, penyusunan, penetapan, pelaksanaan, perubahan dan pertanggungjawaban APBD. Laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (PP Nomor 24 Tahun 2005).

Dalam rangka penyajian informasi pengelolaan keuangan daerah, akan diatur dalam PP Sistem Informasi Keuangan Daerah. PP ini akan memuat ketentuan mengenai: (i) SIKD secara nasional yang pokok-pokok muatannya meliputi tujuan SIKD, keterbukaan data, jenis informasi, prinsip laporan, format informasi periode dan batas waktu penyampaian, serta

Bab IV Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006

mekanisme penyelenggaraan SIK di daerah dan jenis informasi dalam situs Pemda; serta

(iii) e-government dalam penyelenggaraan SIKD yang pokok-pokok muatannya meliputi

tujuan pengembangan, tahap pengembangan, dan komponen pengembangan

e-government.

Dari sisi transfer dana ke daerah, selain dana desentralisasi yang merupakan komponen dari APBD, terdapat pula transfer dana dari Pemerintah Pusat di luar APBD kepada Daerah dalam bentuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan alokasi anggaran kementerian/lembaga dalam APBN. Ketentuan-ketentuan mengenai hal ini akan diatur dalam PP Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (TP). PP Dana Dekonsentrasi dan TP tersebut akan mengatur mengenai mekanisme pengalokasiannya dalam rangka keselarasan antara program/kegiatan kementerian/lembaga yang didanai APBN dengan program/kegiatan daerah yang dibiayai APBD. Aturan tersebut diharapkan dapat mereduksi duplikasi pendanaan program di daerah. Selanjutnya, dalam hal pengalihan dana dekonsentrasi dan TP secara bertahap ke dana desentalisasi (melalui DAK) terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya aspek politis, operasional penerapan dalam jangka pendek, serta model simulasi dan database yang akan digunakan. Hal ini disebabkan pengalihan Dana Dekonsentrasi ke DAK memiliki dampak yang cukup besar, diantaranya berkurangnya anggaran kementerian/lembaga.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, semua peraturan pelaksanaan tersebut diharapkan sudah dapat ditetapkan selambat-lambatnya satu tahun setelah pengesahan UU. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 akan sesuai dengan tujuan semula, yaitu meningkatkan fungsi pemerintahan daerah sebagai ujung tombak dalam memberikan layanan kepada masyarakat.

Guna mendukung arah kebijakan belanja daerah tersebut di atas, alokasi anggaran belanja daerah dalam tahun anggaran 2006 direncanakan mencapai Rp184,2 triliun (6,1 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, berarti mengalami peningkatan Rp36,4 triliun (24,6 persen) bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja daerah dalam APBN-P tahun 2005 sebesar Rp147,8 triliun (5,6 persen terhadap PDB), atau naik sebesar Rp34,6 triliun (23,1 persen) dari perkiraan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp149,6 triliun (5,7 persen terhadap PDB). Sebagian besar, yaitu sebesar 98,3 persen, dari alokasi belanja daerah tersebut merupakan alokasi dana perimbangan, dan sisanya sebesar 1,7 persen merupakan alokasi dana otonomi khusus dan penyesuaian.

D a na Pe r im ba nga n

Dalam tahun 2006, kebijakan dana perimbangan terutama diarahkan untuk: (i) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah(horizontal fiscal imbalance); (ii) meningkatkan pelayanan publik, serta (iii) meningkatkan efisiensi melalui anggaran kinerja yang sejalan dengan format APBN.

Dalam tahun 2006, alokasi belanja daerah direncanakan Rp184,2 trliun (6,1 persen terhadap PDB).

Kebijakan dana perim-bangan tahun 2006.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006 Bab IV

Berkaitan dengan itu, alokasi dana perimbangan dalam tahun 2006 direncanakan sebesar Rp181,1 triliun (6,0 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti meningkat sebesar Rp40,5 triliun (28,8 persen) bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2005 sebesar Rp140,6 triliun (5,3 persen terhadap PDB), atau naik sebesar Rp38,8 triliun (27,3 persen) dari perkiraan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp142,3 triliun (5,4 persen terhadap PDB). Dari jumlah alokasi dana perimbangan tersebut, sebesar 27,2 persen merupakan alokasi dana bagi hasil (DBH), sebesar 69,7 persen merupakan alokasi dana alokasi umum (DAU), dan sebesar 3,1 persen merupakan alokasi dana alokasi khusus (DAK).

D a na Ba gi H a sil ( D BH )

Dana bagi hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya bagian daerah tersebut ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mengacu kepada UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam (SDA). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas DBH Pajak Bumi Bangunan (PBB), DBH Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta DBH Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh pasal 21, sedangkan DBH yang bersumber dari SDA berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, serta pertambangan gas bumi.

Dalam pelaksanaannya, penyaluran DBH perpajakan dan DBH sumber daya alam (SDA) didasarkan atas realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, dan ditujukan untuk mengoreksi ketimpangan vertikal (vertical imbalance). Dalam rangka peningkatan dan penyempurnaan mekanisme penyaluran DBH tahun 2006, maka akan diupayakan percepatan penetapan alokasi DBH perpajakan dan DBH SDA, antara lain melalui peningkatan koordinasi dan akurasi data. Selain itu, juga akan dibangun sistem serta dilakukan transparansi perhitungan dan penyaluran DBH, yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat melalui media massa setiap triwulan. Selanjutnya, mulai tahun 2006 dilakukan realokasi dana alokasi khusus dana reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH dana reboisasi (DBH-DR). Dalam tahun 2006, alokasi DBH (termasuk DBH-DR) direncanakan Rp49,3 triliun (1,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti meningkat sebesar Rp1,5 triliun (3,1 persen) dari alokasi DBH (termasuk DAK-DR) dalam APBN-P tahun 2005 sebesar Rp47,8 triliun (1,8 persen terhadap PDB), atau turun sebesar Rp0,3 triliun (0,6 persen) dari perkiraan realisasi DBH (termasuk DAK-DR) dalam tahun 2005 sebesar Rp49,6 triliun (1,9 persen terhadap PDB). Alokasi DBH dalam tahun 2006 tersebut terdiri

Dalam tahun 2006, alo-kasi dana perimbangan direncanakan Rp181,1 triliun (6,0 persen terha-dap PDB).

Kebijakan dana bagi hasil mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam tahun 2006, alokasi DBH (termasuk DBH-DR) direncana-kan Rp49,3 triliun (1,6 persen terhadap PDB).

Bab IV Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006

D BH Pe r pa j a k a n

Dana bagi hasil perpajakan meliputi bagi hasil atas penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, PBB, serta BPHTB. Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang merupakan bagian daerah adalah sebesar 20 persen. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut dibagi dengan imbangan sebesar 60 persen untuk kabupaten/ kota, dan 40 persen untuk provinsi. Adapun proses penetapan DBH PPh Pasal 21 dan DBH PPh Pasal 25/29 WPOPDN untuk masing-masing daerah dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan, berdasarkan rencana penerimaan sementara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, serta pembagian definitif PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan pelaksanaan penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan DBH PPh Pasal 25/29 WPOPDN tersebut dilakukan secara triwulanan, yaitu untuk triwulan I, triwulan II, dan triwulan III, masing-masing sebesar 20 persen dari pembagian sementara, sedangkan untuk triwulan IV disalurkan sebesar selisih antara jumlah pembagian definitif dengan dana yang telah dicairkan pada triwulan I sampai dengan triwulan III.

Sementara itu, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar 90 persen dari penerimaan PBB (termasuk biaya pemungutan 9 persen), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat, yang seluruhnya juga dikembalikan lagi kepada daerah. Selanjutnya, bagian daerah atas BPHTB ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaan BPHTB, sedangkan sisanya sebesar 20 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat yang dikembalikan lagi kepada Pemerintah Daerah. Adapun proses penetapan DBH PBB dan DBH BPHTB untuk masing-masing daerah dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB dan penerimaan BPHTB tahun anggaran yang bersangkutan. Adapun pelaksanaan penyaluran DBH PBB dilakukan setiap hari Jum’at berdasarkan realisasinya, sedangkan penyaluran DBH BPHTB dilakukan setiap hari Rabu berdasarkan realisasinya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam tahun 2006, alokasi DBH perpajakan direncanakan Rp27,4 triliun (0,9 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti naik sebesar Rp5,3 triliun (24,0 persen) dari alokasi DBH perpajakan, baik dalam APBN-P maupun dalam perkiraan realisasi tahun 2005 sebesar Rp22,1 triliun (0,8 persen terhadap PDB). Alokasi DBH perpajakan tahun 2006 tersebut meliputi DBH PPh Rp7,4 triliun, DBH PBB Rp14,9 triliun, dan DBH BPHTB Rp5,1 triliun.

Dalam dokumen Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2006 RAPBN (Halaman 129-133)