• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Psikologi Behavioristik

Dalam dokumen PEMBAHASAN KAPITA FIKS DI INDONESIA (Halaman 116-121)

LANDASAN PSIKOLOGI DALAM MENCAPAI PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN BERMAKNA

A. RAGAM LANDASAN PSIKOLOGI DALAM PEMBELAJARAN 1 Landasan Psikolog

1. Pengertian Psikologi Behavioristik

Menurut Thorndike dalam (Uno, 2006: 7) behavioristik atau tingkah laku belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson dalam (Uno, 2006: 7) behavioristik menekankan stimulus respons yang harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati dan tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur.Behavioristik merupakan teori mengenai tingkah laku seseorang yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup berupa pemenuhan kebutuhan.Kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur, dan sebagainya yang diungkapkan Hull dalam (Uno, 2006: 8).

Menurut Dimyati & Mujiono (2006), menyatakan dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi aktivitas belajar apabila adanya proses perubahan perilaku pada diri sebagai hasil dari suatu pengalaman. Selanjutnya Uno (2008) juga menjelaskan bahwa siswa yang belajar harus berperan secara aktif membentuk pengetahuannya.Dari kedua pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa seorang siswa harus menunjukkan perubahan tindakan belajarnya sebagai wujud nyata terhadap tanggungjawabnya, dan ini juga menuntut perubahan paradigma bagi guru.\Kegiatan belajar dapat dilakukan dengan baik, benar, tepat, dan berhasil optimal jika guru memiliki strategi pembelajaran yang dapat

117 membantu siswa mengoptimalkan kegiatan belajarnya. Pandangan ini sejalan dengan (Degeng, 2007), yang menyatakan bahwa strategi belajar yang digunakan oleh siswa sangat menentukan proses dan hasil belajar. Menurut Guthrie dalam (Uno, 2006: 8) mengungkapkan bahwa teori belajar behavioristik merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu.Diperlukan pemberian stimulus yang sering agar respons lebih kuat. Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, menurut Skiner dalam (Dalyono, 2009: 32) behavioristik menganggap “reward” atau penguatan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Hubungan stimulus dan respons menjelaskan perubahan tingkah laku peserta didik dalam pembelajaran. Skinner percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.

Menurut (Efendi 2008) dalam (Dalyono, 2009) penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respons yang muncul berbeda dengan respons yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respons yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang peserta didik perlu dihukum karena melakukan kesalahan.Jika peserta didik tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan peserta didik (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong peserta didik untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.

Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respons.Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.Berdasarkan definisi di atas pandangan tentang behavioristik telah cukup banyak dianut oleh para pendidik.Namun, dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.Hal ini berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor stimulus, respons, dan penguat (reinforcement) yang merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

118 2. Teori Pembelajaran Behavioristik Menurut Tokoh-Tokoh Aliran

Behavioristik

Tokoh-tokoh dari teori behavioristik diantaranya Edwin Guthrie, Clark Hull, Gagne, Edward Lee Thorndike dengan teori belajar connectionism, Ivan Pavlov dengan teori belajar classical conditioning, B.F. Skinner dengan teori belajar operant conditioning, dan Albert Bandura dengan teori belajar sosial atau social learning. Namun demikian, tidak semuanya akan dijabarkan dalam makalah ini, tokoh-tokoh tersebut yaitu, sebagai berikut.

a. Edwin Lynn Thorndike (1874-1949)

1) Eksperimen dan teori belajar koneksionisme (connectionism)

Menurut Thorndike dalam (Irham & Wiyani 2013: 148-149), belajar pada dasarnya merupkan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi akibat adanya stimulus dan respons. Stimulus merupakan bentuk perubahan lingkungan sebagai tanda bagi organism untuk bertindak, sedangkan respons merupakan tingkah laku yang dimunculkan organism setelah menerima stimulus. Thorndike melakukan eksperimen dengan seekor kucing dan sebuah sangkar. Kucing dimasukkan ke dalam sangkar (puzzle box). Thorndike merupakan psikolog kebangsaan Amerika pertama yang menggunakan kucing dalam eksperimen melalui prosedur yang sistematis, sekaligus sebagai teori paling awal yang muncul dari rumpun teori belajar behavioristik.

Adapun proses pelaksanaan eksperimen Thorndike menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007: 64-65) dalam (Irham & Wahyuni, 2013: 149-150) sebagai berikut.

a) Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng yang dilengkapi alat pembuka bila sentuh.

b) Daging ditaruh di luar kotak. Kucing kemudian bergerak kesana- kemari mencari jalan keluar. Kucing terus berusaha dari segala arah, namun gagal dan dilakukan terus-menerus.

119 c) Pada susatu ketika kucing tanpa senagaja menekan sebuah tombol sehingga pintu terbuka dan kucing dapat memakan daging yang ada di depannya.

d) Percobaan dilakukan berulang-ulang, dan semakin lama kucing memiliki kemajuan tingkah laku sehingga ketika dimasukkan ke dalam kotak dapat langsung menyentuh tombol pembuka sehingga pintu langsung terbuka hanya pada sekali usaha.

Melalui eksperimen dan hasil yang diperolehnya, Thorndike menyimpulkan bahwa agar tercapai kesesuaian hubungan stimulus-respons artinya respons yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan maka perlu adanya kemampuan organism memilih respons yang tepat. Respons yang tepat dihasilkan setelah individu melalui proses dan usaha-usaha atau percobaan dan kegagalan terlebih dahulu. Atas dasar percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan kondisi dan situasi yang memuaskan, tindakan tersebut akan cenderung terulang kembali. Namun sebaliknya, jika tidak menguntungkan, akan dikurangi atau bahkan tidak dilakukan lagi. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan Thorndike disebut dengan teori belajar koneksionisme.

2) Hukum kesiapan (law Of Readines)

Hukum ini menyatakan bahwa semakin siap individu untuk memperoleh dan melakukan perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut menimbulkan kepuasan pada individu tersebut dan akan cenderung diperkuat. Implementasinya menurut Sugityono dan Hariyanto (2011: 61) dalam (Irham & Wiyani, 2013: 151), belajar pada siswa akan lebih berhasil bila siswa telah memiliki kesiapan untuk melakukannya. Misalnya, siswa yang siap untuk mengikuti proses pembelajaran, ia sudah menyiapkan sumber-sumber buku atau bahan lainnya terkait dengan materi yang akan dibahas, dan dia sudah mempelajarinya terlebih dahulu. Dengan demikian ketika mengikuti proses pembelajaran ia semakin mudah memahami dan justru semakin banyak tahu.

120 Hukum ini menyatakan bahwa semakin sering sebuha tingkah laku diulang, dilatih, atau digunakan maka asosiasi yang terbentuk semakin kuat. Dampaknya, belajar pada siswa akan lebih berhasil apabila banyak latihan atau pengulangan-pengulangan (Sugiyono dan Hariyanto, 2011: 61) dalam (Irham & Wiyani, 2013: 151).

4) Hukum akibat (Law Of Effect)

Hukum ini menyatakan bahwa hubungan stimulus respons akan diperkuat apabila akibatnya menyenangkan dan akan ditingalkan bila hasilnya tidak menyenangkan atau tidak memuaskan. Oleh sebab itu, proses belajar bagi siswa akan menjadikan siswa lebih semangat apabila siswa mengetahui dan mendapatkan manfaat serta hasil yang baik atas usahanya (Sugiyono dan Hariyanto, 2011: 61) dalam (Irham & Wiyani, 2013: 151).

5) Hukum reaksi bervariasi (multiple respons)

Hukum ini menyatakan bahwa untuk memperoleh respons yang tepat dalam memecahkan masalah, didahului proses trial dan error sebagai bentuk macam-macam respons.

b. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

1) Eksperimen dan teori classical Conditioning

Pavlov melakukan eksperimen dengan menggunakan anjing, daging, dan bel. Ia melakukan kombinasi daging sebagai oerangsang asli dengan bell sebagai perangsang netral yang menjadi stimulus bersyarat, yaitu kombinasi daging dan bel, bersamaan secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan, yaitu munculnya air liur anjing, meskipun hanymendengar bunyi bell. Hasil dari eksperimen Pavlov tersebut memunculkan teori yang disebut denga teori Classical Conditioning (pengkondisian klasik). Artinya, stimulus yang dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus-stimulus alami untuk menghasilkan respons-respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian, dalam proses belajar dengan tingkah laku sebagai ukuran keberhasilannya dapat dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (Conditioning process. Oleh sebab itu, belajar pada dasarnya

121 merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku- perilaku tertentu terhadap sebuah kondisi atau sesuatu (Sugiyono dan Hariyanto, 2011: 62) dalam (Irham & Wiyani, 2013: 154).

2) Aplikasi teori Classical Conditioning dalam pembelajaran

Menurut Woolfolk dalam (Irham & Wiyani, 2013: 154), aplikasi teori belajar classical conditioning dari Pavlov dalam pelaksanaan proses pembelajaran dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, sebagai berikut.

a) Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan menarik.

b) Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan cara memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai cara memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi tertentu.

c) Membuat tahap-tahap rencana pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik.

d) Apabila ada siswa yang merasa takut berbicara di depan kelas, dapat dibantu melalui aktivitas sederhana mulai dari membaca laporan didalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian sambil berdiri, serta kemudian berpindah ke kelompok yang lebih besar sampai berani membacakan laporan di depan kelas.

Dalam dokumen PEMBAHASAN KAPITA FIKS DI INDONESIA (Halaman 116-121)