• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAR GAMBAR

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN

5.4. Penggunaan Input Usahatan

Keragaan usahatani sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik keseluruhan rumahtangga petani. Namun dalam penelitian ini usahatani ditempatkan sebagai fokus kegiatan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu, secara khusus pada bagian ini disajikan gambaran singkat usahatani sebagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sejumlah sumberdaya dan menghasilkan produk usahatani. Pada Tabel 9 disajikan penggunaan

input dan nilai produk total usahatani per hektar. Analisis per hektar sengaja dilakukan agar dapat membandingkan keragaan usahatani menurut strata luas lahan.

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa penggunaan input usahatani per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten menurun pada strata lahan yang lebih luas. Tingginya penggunaan input per hektar pada rumahtangga lahan sempit diikuti dengan tingginya nilai produk total (dalam ribuan rupiah). Nilai produk total per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten pula menurun pada strata lahan yang lebih luas. Fenomena seperti ini menunjukkan adanya produktivitas usahatani yang terbalik pada usahatani yang lebih luas atau sering disebut inverse farm size productivity, disingkat IP.

Tabel 9. Penggunaan Input Usahatani dan Nilai Produk Total Per Hektar Lahan Garapan Menurut Strata Luas Lahan

Lahan Sempit Lahan

Sedang Lahan Luas Total Jenis Input Usahatani dan Nilai

Produk Total Rata- rata Std Dev Rata- rata Std Dev Rata- rata Std Dev Rata- rata Std Dev Pupuk Urea (Kg) 192 185 164 148 129 117 162 155 Pupuk TSP (Kg) 39 109 32 68 38 69 36 84 Input lain (Rp.000) 1127 2277 581 1135 433 976 717 1606 TK Pria Dalam Kelg (HK) 125 163 77 95 42 45 82 118 TK Wanita Dalam Kelg (HK) 72 203 34 61 21 26 42 126 TK Pria Luar Kelg (HK) 175 369 127 188 88 125 130 253 TK Wanita Luar Kelg (HK) 143 329 91 121 73 103 103 214 Nilai Produk Total (Rp.000) 12937 37510 5595 8729 3749 5642 7471 22946

Gejala IP masih menjadi perdebatan para ahli tentang apa penjelasan rasional terhadap kondisi tersebut. Fan dan Kang (2003) dan Toufique (2000) menyimpulkan bahwa IP terjadi karena perbedaan kelimpahan faktor (factors endowments) antara usahatani luas dan usahatani sempit. Usahatani berlahan sempit menggunakan tenaga kerja keluarga, sedangkan usahatani berlahan luas menggunakan tenaga kerja upahan.

Perbedaan penggunaan tenaga kerja menimbulkan perbedaan dalam biaya transaksi. Kesimpulan lain menyebutkan penyebab IP adalah adanya perbedaan kualitas lahan dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja (Lamb, 2001). Namun Heltberg (1996) tetap berkesimpulan bahwa memang ada gejala IP secara kuat walaupun faktor kualitas lahan telah dikoreksi.

Hubungan produktivitas lahan yang negatif dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja juga dibahas oleh Holden, Shiferaw, dan Pender (2001). Mereka menyimpulkan tidak dapat menunjukkan secara nyata adanya gejala IP seperti banyak diperdebatkan para ahli. Temel dan Albersen (2000) juga menyimpulkan bahwa IP tersebut lebih disebabkan oleh pola geografik bukan karena tidak terukurnya variabel kualitas lahan.

Pada penelitian ini gejala IP dapat dipelajari dengan model yang lebih sederhana, yaitu Ln (Y)= á + âln(L ) + å, di mana Y adalah nilai produk usahatani, dan L adalah

lahan. Bentuk persamaan tersebut menunjukkan bahwa â adalah elastisitas produksi

terhadap lahan. Jika memang terdapat hubungan IP maka â<1. Persamaan tersebut juga bisa juga dinyatakan dalam bentuk produksi per hektar (Y/L). Apa bila demikian maka hubungan IP terjadi jika â<0. Hasil pendugaan dengan metode OLS (ordinary least squares) dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil pendugaan model regresi tersebut menunjukkan bahwa koefisien luas lahan garapan untuk produk total lebih kecil dari satu, dan uji statistik terhadap dugaan â diperoleh nilai F sebesar 3395, yang berarti tidak cukup bukti untuk menolak bahwa â<1. Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan luas lahan satu persen, maka akan diikuti kenaikan produk (dinyatakan dalam ribu rupiah) kurang dari satu persen. Hasil yang sama dapat juga dilihat dengan

menggunakan produksi per hektar atau produktivitas lahan. Hasilnya menunjukkan koefisien regresi negatif. Kesimpulannya adalah bahwa pada usahatani tanaman pangan yang dikaji pada penelitian ini ada kecenderungan kuat terdapat hubungan IP.

Kekhawatiran adanya faktor kualitas lahan yang menyebabkan gejala IP, dikoreksi dengan memisahkan antara lahan sawah dan lahan darat, dengan asumsi perbedaan lahan darat dan lahan sawah dalam model agregat di atas menjadi sumber perbedaan kualitas lahan. Lahan sawah umumnya lebih produktif dibandingkan dengan lahan darat setidaknya karena ketersediaan air yang lebih baik pada lahan sawah, sehingga untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama pada lahan darat diperlukan luas lahan yang lebih kecil pada lahan sawah. Karena itu hubungan IP ada yang membantah dengan alasan karena adanya kesalahan spesifikasi model dengan tidak memasukan faktor kualitas lahan. Data kualitas lahan pada penelitian rumahtangga petani memang seringkali sulit diperoleh. Upaya yang dilakukan para peneliti antara lain dengan merekayasa model sehingga variabel kualitas lahan dicari sebagai variabel yang tak terobservasi, tetapi pengaruhnya dapat didetekksi (Lamb, 2001).

Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Usahatani dan Produktivitas Lahan Pada Rumahtangga Petani

Tanaman Pangan. Parameter Dugaan Persamaan á â Total Ln (Y) (R2=0.27) 9.32951 (0.01676) 0.24366 (0.01298) Ln (Y/L) (R2=0.78) 9.32951 (0.01676) -0.75634 (0.01298) Lahan Darat Ln(Yd) (R2=0.27) 9.35991 (0.24065) 0.02884 (0.0192) Ln(Yd/L) (R2=0.79) 9.35991 (0.02884) -0.75935 (0.01920) Lahan Sawah Ln(Ys) (R2=0.20) 9.36300 (0.05793) 0.18902 (0.03798) Ln(Ys/L) (R2=82) 9.36300 (0.05793) -0.81098 (0.03798) Angka dalam tanda ( ) adalah standard error

Pada Tabel 10 di atas ditunjukkan hasil pendugaan yang diperoleh dengan memisahkan lahan darat dari lahan sawah. Hasil pendugaan terhadap koefisien regresi menunjukkan hasil yang sama bahwa produktivitas lahan pada lahan usahatani berlahan luas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dengan usahatani berlahan sempit, baik di lahan sawah maupun di lahan darat.

Konsekuensi dari adanya hubungan IP pada penelitian ini dapat dipelajari pada simulasi model persamaan simultan. Seperti telah dirumuskan di muka, model persamaan simultan pada penelitian ini memperhatikan harga bayangan input, yang merupakan variabel endogen. Besar kecilnya harga bayangan terkait dengan produktivitas input, termasuk di dalamnya produktivitas lahan usahatani. Dengan demikian, simulasi model ekonomi rumahtangga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda pada setiap strata luas lahan.

Tingginya intensitas penggunaan input pada rumahtangga petani lahan sempit pada tingkat tertentu bisa menjadi tidak efisien, yang ditandai dengan rendahnya produktivitas input. Sebagai gambaran kasar pada Tabel 10 disajikan indeks pengembalian input (return to farm input) per unit masing-masing input usahatani. Nilai pengembalian terhadap input usahatani biasanya bisa dibandingkan dengankan dengan harga pasar masing-masing input. Namun metode ini sangat tergantung pada komponen biaya yang dimasukkan pada analisis. Dikhawatirkan ada bias dalam perhitungan biaya usahatani, nilai pengembalian input pada Tabel 11 disajikan dalam bentuk indeks relatif masing-masing input di masing-masing strata rumahtangga terhadap nilai masing-masing pengembalian input seluruh rumahtangga petani.

Tabel 11. Indeks Pengembalian Input Usahatani Setiap Strata Terhadap Nilai Pengembalian Input Total Rumahtangga

Jenis Input Usahatani Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Pupuk Urea 92.63 93.81 113.86 100 Pupuk TSP 57.60 142.42 100.66 100

Nilai Input Lain 70.98 116.39 113.25 100

Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga 39.29 50.95 212.12 100 Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga 20.73 72.24 209.67 100 Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga 61.19 156.91 82.29 100 Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga 66.78 159.14 74.28 100

Lahan Garapan 188.35 68.66 40.85 100

Menggunakan ukuran indeks pengembalian masing-masing input, dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa pada rumahtangga berlahan sempit produktivitas input usahataninya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kecuali untuk input lahan (return to land). Relatif rendahnya nilai pengembalian pupuk urea, pupuk tsp, dan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada rumahtangga lahan sempit diduga karena penggunaan input usahatani tersebut relatif lebih intensif dibandingkan dengan rumahtangga lahan sedang dan lahan luas seperti telah ditunjukkan pada Tabel 9 di atas. Tingginya nilai pengembalian lahan pada rumahtangga lahan sempit memang konsisten dengan gejala IP seperti telah dijelaskan di atas.

Setelah mempelajari penggunaan input usahatani, selanjutnya pada Tabel 12 disajikan alokasi penerimaan usahatani untuk keperluan pengeluaran usahatani dan konsumsi rumahtangga. Alokasi penerimaan ini penting dipelajari untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani memanfaatkan penerimaan usahataninya untuk berbagai keperluan. Pada Tabel 11 diperlihatkan pengeluaran usahatani dalam bentuk biaya tunai untuk keperluan sarana produksi, seperti pupuk, benih, bibit, dan obat-obatan. Pada tabel tersebut terlihat porsi pengeluaran tunai untuk sarana produksi terbesar (20 persen dari

total penerimaan) terdapat pada rumahtangga berlahan sempit. Kondisi sebaliknya untuk pengeluaran tunai tenaga kerja luar keluarga, porsi terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan luas. Kedua jenis pengeluaran ini memerlukan uang tunai, sehingga sering dijadikan ukuran kemampuan usahatani dalam memenuhi kebutuhan uang tunai.

Di samping pengeluaran total usahatani, pada Tabel 12 tercantum juga pengeluaran investasi usahatani. Jika pengeluaran total usahatani merupakan pengeluaran rutin, maka pengeluaran investasi adalah pengeluaran tidak rutin. Di dalamnya terkandung pengeluaran pembelian peralatan usahatani, perbaikan bangunan usahatani, dan perbaikan lahan. Pada tabel terlihat porsi pengeluaran investasi ini relatif kecil dan tidak ada konsistensi besar proporsi dengan strata luas lahan. Bagian yang dialokasikan untuk investasi ini merupakan upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan modal usahatani. Oleh karena itu sering disebut kemampuan usahatani dalam pembentukan modal dari dalam usahatani.

Tabel 12. Alokasi Penerimaan Usahatani Pada Pengeluaran Usahatani dan Konsumsi Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan

Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Uraian Rata-

rata % Rata-rata % Rata-rata % Rata-

rata % Pengeluaran Saprodi Tunai 599.2 20 1038.9 15 2272.0 17 1295.6 17 Tenaga Kerja Luar Keluarga 844.2 28 2155.5 32 4869.2 35 2604.1 33 Total Pengeluaran Usahatani 1443.4 49 3194.4 47 7141.2 52 3899.8 50 Investasi Usahatani 226.6 8 813.6 12 1044.0 8 690.8 9 Produk Usahatani Dikonsumsi 844.2 28 1675.6 25 2562.2 19 1685.9 21 Produk Usahatani Dijual 2118.3 72 5107.8 75 11393.7 83 6163.3 79 Penerimaan Total Usahatani 2962.4 100 6783.4 100 13779.8 100 7849.2 100

Bagian lain dari Tabel 12 adalah produk usahatani yang dikonsumsi dan yang dijual ke pasar. Produk usahatani yang dikonsumsi adalah bagian dari penerimaan usahatani yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Besarnya porsi ini menunjukkan peran usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga,

sehingga sering digunakan sebagai ukuran subsistensi. Semakin besar bagian yang dikonsumsi, semakin bersifat subsisten. Sebaliknya produk usahatani yang dijual merupakan bagian produk usahatani yang dialokasikan untuk memperoleh uang tunai. Semakin besar bagian produk yang dijual, usahatani yang bersangkutan semakin komersial.

Pada Tabel 11 diperlihatkan, bagian produk yang dijual relatif lebih besar dibandingkan dengan bagian produk yang dikonsumsi. Hal yang menarik adalah bahwa fenomena ini terjadi di seluruh strata luas lahan dengan kecenderungan makin besar. Jika ini dijadikan indikator tingkat komersial usahatani, dapat disimpulkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai, usahatani semakin komersial.