• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAKIT BELANTARA KYASANUR (KFD) ICD-9 065.2; ICD-10 A98.2 (KYASANUR FOREST DISEASE)

Dalam dokumen MANUAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR (Halaman 106-113)

1. Identifikasi.

Kedua penyakit yang disebabkan oleh virus ini mempunyai tanda-tanda yang mirip yaitu rasa dingin yang muncul tiba-tiba, rasa tidak enak badan, demam, sakit kepala, sakit hebat di lengan dan punggung bagian bawah dan prostat ditandai juga dengan timbulnya konjungtivitis, diare dan muntah pada hari ketiga atau keempat. Erupsi papulovesikuler pada palatum molle, limfadenopati di leher dan perdarahan sub konjungtiva biasanya

muncul. Bingung dan gejala gejala ensefalopati dapat terjadi pada pasien dengan Penyakit Belantara Kyasanur (KFD); kadang kala ditemukan demam yang naik turun, kelainan susunan syaraf pusat terjadi setelah periode 1 – 2 minggu setelah demam.

Kasus yang berat dikaitkan dengan terjadinya perdarahan, tanpa adanya ruam. Terjadi perdarahan pada gusi, hidung, saluran pencernaan, paru-paru, uterus (namun tidak terjadi pada ginjal) kadang kala berlangsung berhari-hari dan pada kasus yang fatal dan serius, akan berakhir dengan syok dan kematian, syok dapat pula terjadi tanpa adanya perdarahan. Masa demam berlangsung antara 5 hari hingga 2 minggu, sedangkan kenaikan suhu fase kedua terjadi pada minggu ketiga. Temuan lain berupa leukopenia dan trombositopenia. CFR kasus dilaporkan antara 1% - 10%. Masa penyembuhan cenderung lambat dan panjang.

Diagnosa dibuat dengan mengisolasi virus dari darah yang diinokulasi pada bayi tikus atau ditanam dalam kultur sel (virus mungkin baru dapat terlihat di atas 10 hari setelah mulai sakit) diagnosa dapat juga dibuat dengan tes serologis.

2. Penyebab Penyakit.

Penyebab penyakit adalah virus Demam berdarah Omsk (OHF) dan virus KFD yang sangat mirip satu sama lain; keduanya berasal dari “ensefalitis louping ill complex” dari flavivirus yang ditularkan oleh kutu dan secara antigenik sangat mirip dengan virus lain dalam kompleks itu.

3. Distribusi Penyakit

Ditemukan di belantara Kyasanur di distrik Shimoga dan Kanara di India, terutama terjadi pada laki-laki muda dewasa yang terpajan di hutan belantara pada saat musim kering dari bulan November hingga Juni. Pada tahun 1983 terdapat 1155 kasus yang dilaporkan dengan 150 kematian, wabah KFD terbesar yang pernah dilaporkan. OHF terjadi pada daerah stepa disebelah barat Siberia di Omsk, Novosibirsk, Kurgan dan daerah Tjumen. Distrik Novosibirsk melaporkan 2 hingga 41 kasus terjadi setiap tahun dari tahun 1989 hingga tahun 1998, kebanyakan terjadi pada pemburu muskrat, sejenis tikus besar yang hidup di air. Kejadian musiman di tiap daerah terjadi bersamaan dengan meningkatnya densitas dari aktivitas vektor. Infeksi laboratorium sering terjadi menimpa petugas laboratorium oleh kedua virus tersebut.

4. Reservoir : Pada KFD, reservoirnya kemungkinan adalah hewan pengerat, shrews

(sejenis binatang menyerupai tikus dengan hidung lancip) dan monyet; sedangkan pada OHF, hewan pengerat, muskrat dan kutu berperan sebagai reservoir.

5. Cara Penularan.

Penularan melalui gigitan kutu kemungkinan dari jenis Haemaphysalis spinigera untuk penyakit KFD dan Dermacentor reticulates (pictus) dan Dermacentor marginatus pada OHF (kedua virus tersebut ditemukan pada kutu yang terinfeksi, terutama pada stadium nymphe). Penularan langsung dapat terjadi dari muskrat ke manusia, yaitu penularan kepada para pemburu muskrat dan keluarganya.

58

7. Masa Penularan : Tidak langsung menular dari manusia ke manusia. Kutu yang terinfeksi tetap menular seumur hidup kutu tersebut.

8. Kerentanan dan Kekebalan : Semua umur dan jenis kelamin bisa tertular, kekebalan didapat setelah terinfeksi.

9. Cara-cara pemberantasan.

Lihat Lyme Disease dan Viral Encephalitis yang ditularkan melalui kutu, vaksin otak tikus yang diinaktifasi dengan formalin digunakan untuk OHF. Vaksin untuk ensefalitis virus yang ditularkan kutu telah digunakan untuk mencegah OHF, namun tidak terbukti efektif. Satu jenis vaksin yang masih dalam taraf pengembangan saat ini sedang di uji coba di India untuk mencegah terjadinya KLB KFD.

ASCARIASIS ICD-9127.0; ICD-10 B77

(Infeksi cacing gelang; Ascaridiasis)

1. Identifikasi

Infeksi cacing pada usus halus yang biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Cacing yang keluar bersama kotoran atau kadang keluar dari mulut, anus atau hidung adalah sebagai tanda awal adanya infeksi. Beberapa penderita menunjukkan gejala kelainan paru-paru (pneumonitis, sindroma Loffler) yang disebabkan oleh migrasi larva (terutama selama masa reinfeksi), biasanya ditandai dengan bersin, batuk, demam, eusinofilia darah dan adanya infiltrat paru-paru. Infeksi parasit yang berat dapat mengganggu penyerapan zat gizi makanan. Komplikasi serius, kadang fatal seperti ileus obstruktivus yang disebabkan oleh gumpalan cacing, terutama pada anak-anak; atau sumbatan pada organ yang berongga seperti pada saluran empedu, saluran pankreas atau usus buntu dapat terjadi yang disebabkan oleh cacing dewasa. Laporan terjadinya pankreatitis disebabkan oleh ascaris cenderung meningkat.

Diagnosa dibuat dengan menemukan telur pada kotoran atau ditemukannya cacing dewasa yang keluar dari anus, mulut atau hidung. Adanya cacing pada usus dapat juga diketahui dengan teknik pemeriksaan radiologi atau sonografi. Terkenanya paru-paru dapat diketahui dengan menemukan larva cacing ascaris pada sputum atau cucian lambung.

2. Penyebab penyakit.

Ascaris lumbricoides, cacing gelang yang berukuran besar yang ada pada usus manusia,

Ascaris suum, parasit yang serupa yang terdapat pada babi, jarang namun bisa berkembang menjadi dewasa pada usus manusia, namun ia dapat juga menyebabkan “larva migrans”.

3. Distribusi penyakit.

Ascaris tersebar diseluruh dunia, dengan frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab dimana angka prevalensi kadang kala mencapai diatas 50%. Angka prevalensi dan

intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak-anak antara usia 3 dan 8 tahun. Di Amerika Serikat, Ascaris umumnya ditemukan dikalangan imigran yang berasal dari negara berkembang.

4. Reservoir – Reservoir adalah manusia, telur ascaris ditemukan di tanah

5. Cara penularan.

Penularan terjadi karena menelan telur yang fertile dari tanah yang terkontaminasi dengan kotoran manusia atau dari produk mentah yang terkontaminasi dengan tanah yang berisi telur cacing. Penularan tidak terjadi langsung dari orang ke orang lain atau dari tinja segar ke orang. Penularan terjadi paling sering di sekitar rumah, dimana anak-anak, tanpa adanya fasilitas jamban yang saniter, mencemari daerah tersebut; infeksi pada anak kebanyakan karena menelan tanah yang tercemar. Tanah yang terkontaminasi telur cacing dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki masuk ke dalam rumah, penularan melalui debu juga dapat terjadi.

Telur mencapai tanah melalui tinja, dan berkembang (embrionasi); pada suhu musim panas mereka menjadi infektif setelah 2 – 3 minggu dan kemudian tetap infektif selama beberapa bulan atau beberapa tahun di tanah dalam kondisi yang cocok. Telur embrionasi yang tertelan menetas pada lumen usus, larva menembus dinding usus dan mencapai paru-paru melalui sistem sirkulasi. Larva tumbuh dan berkembang pada paru-paru-paru-paru; 9 – 10 hari setelah infeksi mereka masuk ke alveoli, menembus trakhea dan tertelan untuk mencapai usus halus 14 – 20 hari setelah infeksi, didalam usus halus mereka tumbuh menjadi dewasa, kawin dan mulai bertelur 45 – 60 hari setelah menelan telur yang terembrionasi.

6. Masa Inkubasi – siklus hidup membutuhkan 4 hingga 8 minggu untuk menjadi lengkap.

7. Masa Penularan

Cacing betina dewasa yang subur hidup di usus. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama bisa lebih dari 24 bulan, cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup di tanah selama bertahun-tahun.

8. Kerentanan dan Kekebalan– semua orang rentan terhadap infeksi ascaris.

9. Cara Cara Pemberantasan

A. Cara Cara Pencegahan :

1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menggunakan fasilitas jamban yang memenuhi syarat kesehatan.

2) Sediakan fasilitas yang cukup memadai untuk pembuangan kotoran yang layak dan cegah kontaminasi tanah pada daerah yang berdekatan langsung dengan rumah, terutama di tempat anak bermain.

3) Di daerah pedesaan, buatlah jamban umum yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran telur Ascaris melalui aliran air, angin, dan lain-lain. Kompos yang dibuat dari kotoran manusia untuk digunakan sebagai pupuk kemungkinan tidak membunuh semua telur.

60

4) Dorong kebiasaan berperilaku higienis pada anak-anak, misalnya ajarkan mereka untuk mencuci tangan sebelum makan dan menjamah makanan.

5) Di daerah endemis, jaga agar makanan selalu ditutup supaya tidak terkena debu dan kotoran. Makanan yang telah jatuh ke lantai jangan dimakan kecuali telah dicuci atau dipanaskan.

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :

1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat : laporan resmi biasanya tidak dilakukan, Kelas 5 (lihat Petentang pelaporan penyakit menular).

2. Isolasi : tidak perlu.

3. Disinfeksi serentak : pembuangan kotoran pada jamban yang saniter. 4. Karantina : tidak diperlukan.

5. Imunisasi : tidak ada.

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi : cari & temukan penderita lain yang perlu diberpengobatan. Perhatikan lingkungan yang tercemar yang menjadi sumber infeksi terutama disekitar rumah penderita.

7. Pengobatan spesifik : Mebendazole (Vermox®) dan albendazole (Zentel®) (juga efektif terhadap Trichuris trichiura dan cacing tambang, lihat Trichuriasis & cacing tambang). Kedua obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk diberikan selama kehamilan. Penyimpangan migrasi dari cacing ascaris telah dilaporkan setelah pemberian terapi Mebendazole; namun hal ini dapat juga terjadi dengan terapi obat yang lain atau penyimpangan migrasi dapat juga terjadi secara spontan pada infeksi yang berat. Pyrantel pamoate (Antiminth®, Combantrin®) juga efektif diberikan dalam dosis tunggal (obat ini dapat juga dipakai untuk cacing tambang, tapi tidak untuk T. Trichiura).

C. Tindakan Penanggulangan Wabah : lakukan survei prevalensi di daerah endemis tinggi, berikan penyuluhan pada masyarakat tentang sanitasi lingkungan dan higiene perorangan dan sediakan fasilitas pengobatan.

D. Implikasi Bencana : Tidak ada

E. Tindakan internasional : Tidak ada.

ASPERGILLOSIS ICD-9117.3; ICD-10 B44

1. Identifikasi

Penyakit jamur yang muncul dengan berbagai sindroma klinis yang disebabkan oleh spesies Aspergillus. Penderita dengan penyakit paru kronis (terutama asthma, juga penyakit gangguan paru kronis atau “cystic fibrosis”) dan penderita yang alergi terhadap jamur ini dapat menyebabkan kerusakan bronchus dan penyumbatan bronchus intermiten. Keadaan ini disebut sebagai allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Kolonisasi

dapat menimbulkan gumpalan hyphae, dan massa hyphae yang besar mengisi rongga-rongga yang sebelumnya sudah ada (berupa bola jamur atau aspergilloma). Suatu spesies Aspergillus dapat muncul bercampur dengan organisme lain dalam abses bakteriil paru-paru atau pada empiema.

Aspergillosis yang invasif dapat terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi imunosupresif atau sitotoksik; ia dapat menyebar ke otak, ginjal dan organ lain dan seringkali fatal. Invasi kedalam pembuluh darah berupa trombosis dan menyebabkan infark adalah ciri dari infeksi jamur ini pada pasien dengan kekebalan rendah.

Organisme ini dapat menginfeksi tempat dipasangnya katup jantung prostetik. Spesies Aspergillosis adalah penyebab paling umum dari otomikosis; jamur membuat koloni atau menyebabkan infeksi invasif pada sinus paranasal.

Jamur ini tumbuh pada jenis makanan tertentu, isolat dari A. flavus (kadang juga spesies lain) bisa memproduksi aflatoksin atau mikotoksin lain; toksin ini dapat menyebabkan penyakit pada ikan dan hewan dan sangat karsinogenik pada hewan percobaan.

Hubungan antara kadar aflatoksin yang tinggi pada makanan dan timbulnya kanker hepatoseluler ditemukan di Afrika dan Asia Tenggara.

Diagnosis ABPA ditegakkan antara lain adanya reaksi benjolan merah di kulit jika dilakukan skarifikasi atau suntikan intradermal dengan antigen Aspergillus, adanya sumbatan bronchus yang menahun, eosinofilia, terbentuknya antibodi presipitasi serum terhadap Aspergillus, peningkatan kadar IgE dalam serum dan adanya infiltrat paru yang bersifat transien (dengan atau tanpa bronkiektasis sentral). Kolonisasi endobronkial saprofitik didiagnosa dengan kultur atau ditemukannya Aspergillus mycelia pada sputum atau pada dahak ditemukan hyphae. Serum precipitin terhadap antigen spesies Aspergillus

biasanya juga muncul. Bola jamur dari paru biasanya dapat didiagnosa dengan foto toraks dan dari catatan medis. Diagnosa aspergillosis invasif ditegakkan dengan ditemukannya Mycelia Aspergillus dengan mikroskop dari jaringan yang terinfeksi; konfirmasi diagnosa dilakukan dengan kultur untuk membedakan dengan penyakit jamur lain yang gambaran histologinya mirip.

2. Penyebab penyakit

Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus adalah penyebab paling umum dari aspergillosis pada manusia, walau spesies lain dapat juga sebagai penyebab. Aspergillus fumigatus menyebabkan banyak kasus bola jamur; Aspergillus niger penyebab umum otomikosis.

3. Distribusi Penyakit

Tersebar diseluruh dunia, jarang dan bersifat sporadis, tidak ada perbedaan insidens berdasarkan ras atau jenis kelamin.

4. Reservoir.

Spesies Aspergillus secara alamiah ada dimana-mana, terutama pada makanan, sayuran basi, pada sampah daun atau tumpukan kompos. Konidia biasanya terdapat di udara baik di dalam maupun di luar ruangan dan sepanjang tahun.

62

5. Cara Penularan.

Melalui inhalasi konidia yang ada di udara.

6. Masa Inkubasi.

Hitungan hari hingga minggu.

7. Masa Penularan.

Tidak disebarkan dari satu orang ke orang lain.

8. Kerentanan dan Kekebalan.

Spesies Aspergillus ditemukan dimana-mana, dan Aspergillosis biasanya muncul sebagai infeksi sekunder dan hal ini membuktikan bahwa orang yang sehat kebal terhadap penyakit ini. Kerentanan akan meningkat dengan pemberian terapi imunosupresif dan sitotoksik dan serangan invasif terlihat terutama pada pasien dengan netropenia yang berkepanjangan. Penderita HIV/AIDS atau penderita penyakit granulomatous kronik pada masa kanak-kanak juga peka terhadap infeksi jamur ini.

9. Cara Cara Pemberantasan

A. Cara Cara Pencegahan :

Udara ruangan yang disaring dengan High Efficiency Particulate Air (HEPA) dapat menurunkan infeksi aspergillosis invasive pada penderita yang dirawat di RS terutama penderita dengan netropenia.

B. Pengawasan Penderita, Kontak & Lingkungan Sekitarnya :

1) Laporan pada instansi kesehatan setempat : laporan resmi biasanya tidak dilakukan, Kelas 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).

2) Isolasi : tidak perlu.

3) Disinfeksi serentak : menjaga kebersihan, pembersihan terminal. 4) Karantina : tidak dilakukan.

5) Imunisasi : tidak ada.

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak diindikasikan.

7) Pengobatan spesifik : ABPA diobati dengan corticosteroid suppression dan biasanya membutuhkan terapi yang lama. Reseksi bedah, jika memungkinkan, adalah pengobatan paling tepat untuk aspergilloma. Amphotericin B (Fungizone® atau formasi lipid) IV dapat digunakan untuk infeksi jaringan bentuk invasif. Pemberian Itraconazole bermanfaat bagi penderita yang perkembangannya lebih lambat dan untuk penderita yang mempunyai masalah kekebalan. Terapi imunosupresif harus dihentikan atau dikurangi sebisa mungkin. Kolonisasi endobronkial harus diobati sedemikian rupa untuk memperbaiki drainase bronkopulmoner.

C. Tindakan Penanggulangan Wabah : tidak dilakukan upaya penanggulangan wabah; penyakit sifatnya sporadis.

D. Implikasi Bencana: tidak ada.

BABESIOSIS ICD-9 088.8; ICD-10 B60.0

Dalam dokumen MANUAL PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR (Halaman 106-113)