• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELEBIHAN DAN KURANGAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF VERSUS

A. Pendekatan Positivistik

1. Positivistik dalam Ilmu Sosial

Sebelum membahas lebih jauh tentang paradigma ini, maka ada baiknya jika diberikan pengertian tentang paradigm itu sendiri. Paradigma merupakan alat untuk melihat, memahami, dan mendalami realitas ilmu serta praktik-praktik akuntansi di mana praktik tersebut diterapkan. Juga dapat diartikan berbagai sudut pandang bahwa paradigma merupakan asumsi-asumsi yang dapat melahirkan teori-teori baru, dan teori tersebut melahirkan ilmu baru, dan ilmu baru tersebut dapat berterima umum.

Problematik dalampositivisme terutama pada ilmu-ilmu sosial dan metode yang akan diterapkan sesungguhnya bukan sesederhana sebagaimana dalamhal pengungkapan lalu selesai, karena dari berbagai literatur yang ada masing-masing diantara mereka yang fanatis terhadap salah satu paradigma, maka dengan mudah untuk menjelek-jelekan paradigma lainnya. Ini disebabkan karena menyempitnya pengetahuan sebagai akibat mereka hanya dapat mereduksi salah satu metode dari sekian banyak metode, seandainya itu sebagai sebuah metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan sebuah penelitian.

Menjadi kesulitan bagi peneliti, yang disebabkan adanya peralihan dari keadaan yang lama kekeadaan yang baru, karena sudah terbiasa sebagai akibat rasa malas, sehingga malas untuk mengikuti yang baru, dan tidak mau mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan atau metode pengetahuan yang baru, akbatnya mereka yang lama ini, tidak mau menerima keberadaan ilmu yang baru tersebut, atau dengan kata lain bahwa mereka belum memahami cara berpikir yang atau belum terintegrasi dalam diri mereka, sehingga justru menimbulkan berbagai

pertentangan diantara mereka.Selain itu juga bisa dikatakan bahwa paham positivisme menyangkal obyektivitas etika dari penelitian- penelitian sosial.

Namun hal yang demikian tidak dapat dipungkiri, karena dalam keadaan yang bagaimanapun itu selalu timbul hal yang bertentangan antara pihak kiri dan pihak kanan atau antara timur dan barat, dan seterusnya, itu yang menjadikan ilmu pengetahuan menjadi indah, ini sebetulnya berawal dari cara pandang masing-masing, dan masing- masing pihak tidak mau menerima keberadaan ilmu yang baru dan yang paling aneh gampang/mudah menyalahkan ilmu pengetahuan yang lain kalau penulis cermati kebernaan positivis ini, adalah semua kelihan yang dimiliki sebetulnya itulah yang juga menjadikan suatu kelemahan yang melekat pada positivis, secara kasar penulis mengungkapkan bahwa kalau boleh dibilang diantara ilmu-ilmu yang berseberangan menganutnya saling menfitnah.

Sebagai sebuah contoh Kant, menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam berbagai teknologi telah mencapai zaman keemasannya, dan epistimologi Kant, dalam kritik memperkokoh ilmu- ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin mempelajaritentang kenyataan. Ini sebetulnya juga keliru, ilmu tentang kenyataan itu sebetulnya ilmu-ilmu sosial juga pernah berkata bahwa ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu kemanusiaan itu sebetulnya juga merupakan sebuah kenyataan yang berlaku dan ada dimasyakara tersebut. Hal inijuga dalam fisafat Kant bahwa ilmu-ilmu alam menjadi asumsi normatifimplisit dalam epistimologi. Meskidemikian, Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperrti etika dan estetika. Selain itu juga Kant masih merefleksikan subjek dan ini berarti bahwa epistemologi atau penelitian atas subjek pengetahuan masih tetap dilakukan.Akan tetap trend untuk meletakan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan. Selanjutnya Kant dalam Hardiman (2003:53) menyatakan bahwa dalam kata Positif, bukan hanya termuat prinsip normatif, pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta objektif, iniberarti ilmu pengetahuan positif pun sudah jelas dikatan Kant disini tidak akam melampauhi objektifivitas, berarti atas dasar kalimat ini jelas ilmu pengetahuan positivis, itu dapat dipertanyakan keberadaannya. Dan disinilah lahir

KELEBIHAN DAN KURANGAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF ... I 81 dari krisis epistimologis, ini adalah filsafat ilmu pengetahuan yang memusatkan diri pada penelitian metodologis

Dalam dunia ilmu pengetahuan intelektual, tendensiyang kemudian dianut secara berlebihan dalam obyektivisme. Dan obyektivisme bukan hanya tidak mengakuiperan subyek, yang berartisubyek hanya menyalin fakta obyektif, melainkan juga mengosongkan apa yang ada dalam diri subjek sedemikian rupa sehingga menjadi fungsi obyektif dan mekanis. Dalam psikologi modern berdasarkan observasi empiris, mengenai konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, prilaku, pikiran, telah diformalisasikan dandipermiskin sampai menjadifungsi-fungsidari suatu sitem obyek yang lebih luas. Demikian pula ilmu-ilmu yang menyangkut manusia, dan manusia telah diobservasi pada permukaan obyektifnya lalu apa yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia digeneralisasikan kedalam dimensi subyektif pula.

Positivisme yang menandai krisis ilmu pengetahuan di Barat, dan pada waktu itu sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya adalah Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa segi bersesuaian dengan positivisme. Lebih tepat jika dipandang bahwa positivisme itu merupakan peruncingan trend sejarah pernikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia abad pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Kalau diamati dalam tubuh/diri positivisme itu sama sekali tidak ada yang baru, melaikan yang timbul adalah sorotan khususnya, terhadap metodologiilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan, bahwa pandangan ini sangat menitiberatkan pada metodologi dalam refleksi filsafatnva. Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan dalam positivisme dan kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologidalamilmu-ilmu alampada ruang yang dulunya menjadiwilayahrefleksiepistemologi, yaitu pengetahuanmanusia tentang kenyataan.

Kalau metodologi berarti salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, penggeseran tempat

pengetahuan oleh metodologi dalam posivisme adalah suatu penyimpangan atau reduksi pengetahuan. Sedangkan reduksi, itu masuk dalam kategori istilah positif, yang telah disinggung di atas, yaitu apa yang berdasarkan fakta obyektif. Selanjutnya Kant sendiri melontarkan kritikan terhadap ilmu-ilmu metafisik yang menyatakan bahwa ilmu- ilmu tersebut tidak dapat dibuktikan secara indrawi.

Setelah muncul kritikan tersebut, maka positivisme, tersebut mulai memisahkan ilmu pengetahuan dari metafisika dan filsafat. Dengan memberi pokok-pokok yang faktual pada pengetahuan positivisme mendasari ilmu ilmu pengetahuan tentang fakta obyektif. Jika faktanya adalah gejala kehidupan material, maka ilmu pengetahuannya adalah biologi,jika faktanya berupa benda benda mati, maka ilmunya adalah ilmu fisika. Kelemahan lain yang muncul dalam positivisme adalah setelah Comte melakukan terjemahan atas pernyataan pernyataan yang telah dikemukakan di atas, adalah.

a. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian pengamatan sistimatis yang terjamin secara intersubjektif. b. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian.

Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode. c. Ketepatan pengetahuan harus dijamin oleh bangunan teori-teori yang secara formalkokoh mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

d. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses- proses alam maupun sosial kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan hanya dengan mengakui asas-asas rasionalistik, bukan melalui perluasan buta dari riser empiris, melainkan melaluiperkembangan dan penyatuan teori- teori.

e. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat relatif dan semangat positif’.

Apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Comte yang juga bapak pendiri sosiologi modern sudah merintis penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial yang disebutnya sosiologi. Tujuannya bersifat

KELEBIHAN DAN KURANGAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF ... I 83 praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat, mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. Dalam semboyan positivisme “ravoir pour prevoir” (mengetahui untuk meramalkan) terkandung intensiuntuk menciptakan rekayasa masyarakat (sosial-engineering) dalam sosiologi.

Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif yang mencapai puncaknya dalamsosiologi, ilmu yang menguasaisegenap bidang kehidupan manusia diteruskan sampai pada abad ke-20. Kondisi ini terjadi pada lingkungan Wina, dengan pendiri-pendirinya yang dikenal sebagai “positivisme logis” “neopositivisme”, atau “empirisme logis” yang dapat disingkatkan sebagai berikut:

a. mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alamdan ilmu-ilmu sosial; b. menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasikan secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense.

c. berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal.

d. memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.

Ambisi positivisme untuk memadukan semua ilmu pengetahuan menjadi satu tampilan dalam pernyataan salah seorang anggota kelompok cendekiawan. Victoror Kraft, dalam Hardiman (2003:57) menyatakan bahwa membangun kesatuanpengetahuan merupakan tugas sejarah dari filsafat. Demikian pula lingkungan Wina tidak melupakan tugas itu. Orang tidak diam-diam menyetujui suatu kesejajaran dari sistem-sistem konseptual dari fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu historis, seolah-olah ilmu-ilmu itu tak dapat dibandingkan satu sama lain, dan seolah-olah dalam tiap-tiap ilmu itu diucapkan bahasa yang berlainan satu sama lain, hukum-hukumdan konsep dariilmu khusus seharusnya masuk di dalam satu sistem tunggal, tak dapat begitu saja bersesuaian tanpa kaitan. Keduanya harus membentuk ilmu pengetahuan terpadu dengan sistem konseptual (satu bahasa bagi semua ilmu pengetahuan).’’

-Kalau positivisme menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu ialah pandangan ini beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial mod- ern menganut tiga prinsip, yaitu: (1) bersifat empiris-objektif, (2) deduktif-nomologis, dan (3) instrumental bebas nilai. Ketiga asumsi

positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini oleh Giddens dijelaskan sebagai berikut.

a. Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak, tidak mengganggu objek observasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. b. Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-

hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam.

c. Ilmu-ilmu sosial, harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu- ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas-nilai (value

free).

Positivisme dalam ilmu-ilmu sosial yang telah dijelaskan dalam beberapa alinea di atas bukanlah persoalan yang sederhana dan menyangkut usaha pencarian metodologi yang tepat bagi ilmu-ilmu tentang manusia dan masyarakat.