• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA

2.2 Deskripsi Teori

2.2.4 Teori Pedagogi Reflektif

2.2.4.1 PPR sebagai Pedagogi

Menurut Suparno (2015: 18-20) PPR adalah suatu pedagogi bukan hanya sekedar metode pembelajaran. Suatu pedagogi, berarti merupakan suatu pendekatan, suatu cara dosen mendampingi mahasiswa sehingga mahasiswa berkembang menjadi

Kadar Ketajaman

Argumen Keterangan

Sangat Lemah Argumen mengandung satu elemen yaitu Pernyataan Posisi

Lemah

Argumen dalam paragraf hanya mengandung dua elemen yaitu Pernyataan Posisi dan Data

Cukup Kuat Argumen dalam paragraf mengandung tiga elemen yaitu Pernyataan Posisi, Data, dan Jaminan

Kuat

Argumen dalam paragraf mengandung empat elemen yaitu Pernyataan Posisi, Data, Jaminan, dan Pendukung

Sangat Kuat

Argumen dalam paragraf mengandung lima atau enam elemen yakni Pernyataan Posisi, Data, Jaminan, Pendukung, Modalitas dan (Sanggahan)

pribadi yang utuh. Maka di dalamnya ada visi dan tujuan: mahasiswa akan dibantu menjadi manusia seperti apa. Di dalamnya juga ada pilihan-pilihan metode-metode yang digunakan dalam proses pendampingan tersebut.

Dalam PPR, tujuan seluruh pendidikan adalah agar mahasiswa menjadi manusia yang utuh, yang gembira dalam mengabdi Tuhan lewat melayani sesamanya. Pribadi utuh terjadi bila mahasiswa mau hidup bagi dan bersama sesama (people for

and with others). Mahasiswa yang hanya pandai dan mendapatkan nilai IPK sangat

tinggi tetapi kalau ia egois, tidak rela membantu orang lain dan tidak mau hidup bersama temannya, dianggap belum menjadi manusia penuh dan utuh (Suparno, 2015).

Tujuan manusia utuh dalam pendidikan itu diterjemahkan dalam rumusan 3 C berikut: competence, conscience, dan compassion (Suparno, 2015). Competence berarti menguasai ilmu pengetahuan/keterampilan sesuai bidangnya. Secara sederhana mahasiswa setelah mendalami dan mengolah bahan yang dipelajari menjadi kompeten dalam bidang itu atau bahan itu. Secara lebih mendalam ia juga dapat melakukan sesuatu hal yang terkaitan dengan bidang itu. Jadi bukan hanya segi inteleknya berkembang, tetapi juga afeksi dan psikomotoriknya berkembang.

Conscience berarti mempunyai hati nurani yang dapat membedakan baik dan

tidak baik (Suparno, 2015). Secara sederhana ia dapat menganalisis segi baik dan buruknya bahan yang dipelajari, mengerti alasan-alasan moral dibaliknya, dan hatinya tergerak untuk memilih yang baik. Dengan demikian ia mempunyai kepekaan hati yang cenderung memilih yang baikdari hal-hal yang dipelajari.

Compassion berarti mahasiswa mempunyai kepekaan untuk berbuat baik bagi

orang lain yang membutuhkan, punya kepedulian pada orang lain terutama yang miskin dan kecil (option for the poors). Kompetensi yang diharapkan terjadi selanjutnyua adalah compassion, kepekaan untuk membantu orang lain (Suparno, 2015). Mahasiswa yang sungguh kompeten menurut PPR bukan hanya menjadi pandai tetapi sekaligus akan didorong untuk peka pada kebutuhan orang lain dan juga mau berbuat sesuatu berkaitan dengan bidangnya itu bagi kemajuan orang lain. Dengan cara ini mahasiswa yang sungguh kompeten secara PPR akan menjadi orang yang hidup bagi orang lain, bukan egois hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Dengan cara inilah mahasiswa dibantu menjadi pribadi yang sungguh mengabdi Tuhan lewat pelayanannya pada sesama.

Tiga unsur utama paradigma pedagogi refleksi adalah pengalaman, refleksi, dan aksi. Unsur yang belum disebutkan adalah konteks dan evaluasi. Gambaran pembinaan siswa melalui paradigma pedagogi refleksi sebagai berikut.

Bagan 2.6 siklus pembinaan siswa melalui paradigma pedagogi reflektif a. Konteks

Menurut Suparno (2015), konteks untuk menumbuhkembangkan pendidikan antara lain sebagai berikut. Pertama, wacana tentang nilai-nilai yang ingin dikembangkan, agar semua anggota komunitas, guru, dan siswa menyadari bahwa yang menjadi landasan pengembangan bukan aturan, perintah, atau sanksi-sanksi, melainkan nilai-nilai kemanusiaan. Guru atau dosen (fasilitator) perlu menyemangati mereka agar memiliki nilai seperti: persaudaraan, solidaritas, penghargaan terhadap sesama, tanggung jawab, kerja keras, kasih, kepentingan bersama, cinta lingkungan hidup, dan nilai-nilai lain

yang semacam itu. Diharapkan seluruh anggota komunitas berbicara mengenai nilai-nilai.

Kedua, contoh-contoh penghayatan mengenai nilai-nilai yang

diperjuangkan, lebih-lebih contoh dari pihak guru atau dosen. Kalau itu ada, maka peserta didik akan cenderung melihat, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nilai yang dihayati lingkungannya.

Ketiga, hubungan akrab, saling percaya, agar bisa terjalin dialog yang

saling terbuka antara guru dan siswa. Setiap orang dihargai, ditunjukkan kebaikannya, ditantang untuk melakukan yang benar, baik, dan indah.

b. Pengalaman

Pengalaman untuk menambahkan persaudaraan, solidaritas, dan saling memuji adalah pengalaman bekerja sama dalam kelompok kecil yang “direkayasa” sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif, ramah dan sopan, penuh tenggang rasa, dan akrab (Suparno, 2015).

Sering kali tidak mungkin guru atau dosen (fasilitator) menyediakan pengalaman langsung mengenai nilai-nilai yang lain. Untuk itu peserta didik difasilitasi dengan pengalaman yang tidak langsung. Pengalaman tidak langsung bisa diciptakan, misalnya dengan membaca atau mempelajari suatu kejadian. Selanjutnya guru atau dosen (fasilitator) memberi sugesti agar siswa mempergunakan imajinasi mereka, mendengar cerita dari guru, melihat gambar sambil berimajinasi, bermain peran, atau melihat tayangan film atau video.

Misalnya, ketika guru mengajar tentang energi (IPA) dan sekaligus ingin memberi peserta didik pengalaman tentang ketidakadilan. Peserta didik bisa diajak melihat gambar dan membaca cerita tentang orang-orang yang bekerja di tambang batubara dan tinggal di gubuk-gubuk kumuh. Guru juga bisa mengajak siswa membayangkan keadaan pekerja-pekerja itu bersama dengan keluarga dan anak-anak mereka. Banyak orang diuntungkan dan hidup nyaman dari hasil tambang itu. Namun, para pekerja yang menghasilkan batubara tetap menderita, hidup susah, dan miskin. Dengan cara demikian, peserta didik difasilitasi dengan pengalaman untuk mempelajari ilmu sekaligus “melihat” sendiri ketidakadilan itu. Peserta didik dapat mengalami sendiri (meskipun secara tidak langsung), dan memperoleh pengalaman mengenai ketidakadilan, bukan mendapat informasi tentang ketidakadilan.

c. Refleksi

Guru atau dosen memfasilitasi dengan pertanyaan agar peserta didik terbantu untuk berefleksi (Suparno, 2015). Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan divergen agar peserta didik secara otentik dapat memahami, mendalami, dan meyakini temuannya. Peserta didik dapat diajak untuk diam dan hening untuk meresapi apa yang baru saja dibicarakan. Melalui refleksi, peserta didik meyakini makna nilai yang terkandung dalam pengalamannya. Diharapkan peserta didik membentuk pribadi mereka sesuai dengan nilai yang terkandung dalam pengalamannya itu.

d. Aksi

Guru atau dosen memfasilitasi peserta didik dengan pertanyaan aksi agar peserta didik terbantu untuk membangun niat dan bertindak sesuai dengan hasil refleksinya (Suparno, 2015). Dengan membangun niat dan berperilaku dari kemauannya sendiri peserta didik membentuk pribadinya agar nantinya (lama-kelamaan) menjadi pejuang bagi nilai-nilai yang direfleksikannya.

e. Evaluasi

Setelah pembelajaran, guru atau dosen memberikan evaluasi atas kompetensinya dari sisi akademik. Ini adalah hal wajar dan merupakan keharusan. Sekolah atau pun kampus dibangun untuk mengembangkan ranah akademik dan menyiapkan siswa menjadi kompeten di bidang studi yang dipelajarinya (Suparno, 2015).

Namun guru atau dosen juga perlu mengevaluasi apakah ada perkembangan pada pribadi siswa. Apa tanda-tandanya? Apakah dampak paradigma pedagogi reflektif terhadap suasana kelas, cara mereka berbicara, bersikap, dan bertindak? Apakah mereka menjadi cerdas dalam bersikap dan mengambil keputusan? Apakah dampaknya pada perilaku mereka di rumah? Apakah orang tua puas dengan perilaku anak mereka? Apakah kira-kira siswa akan menjadi pelaku perubahan sosial kelak?

Pedagogi Ignasian bermaksud mewujudkan pembentukan yang mencakup kemajuan akademik, namun, tidak hanya itu. Yang menjadi fokus perhatian kita adalah pertumbuhan peserta didik yang menyeluruh sebagai

pribadi demi sesama. Jadi, evaluasi berkala perkembangan peserta didik dalam sikap, prioritas-prioritas, dan kegiatan-kegiatan selaras dengan sikap menjadi orang demi orang lain (man for others) amat penting (Suparno, 2015).