• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Guru A

Dalam dokumen Contoh Penelitian Kualitatif dalam Pendi (Halaman 151-159)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Problematika Guru A

Hasil studi dokumen terhadap RPP Guru A menunjukkan bahwa

komponen RPP yang disusun tidak sesuai dengan sistematika RPP yang termuat

dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013. Komponen RPP tersebut lebih

sesuai dengan Standar Proses Kurikulum 2006. Hal ini dikarenakan Guru A masih

menggunakan RPP Kurikulum 2006 dengan hanya mengedit KI dan KD sesuai

dengan silabus Kurikulum 2013. Komponen RPP yang lain, seperti materi

belum diedit. Namun demikian, guru mengklaim bahwa semua aspek pendekatan

saintifik telah dimunculkan dalam RPP (Wan/D2/GA/05-06-2015/T5).

Guru A mengungkapkan bahwa tuntutan penyusunan RPP yang detail

dalam Standar Proses Kurikulum 2013 merupakan salah satu hal yang

menyulitkan guru. Menurut Guru A, RPP yang baik tidak harus memuat konten

yang detail. Berdasarkan pengalaman studi banding terhadap pembelajaran fisika

di Singapura, Guru A mengungkapkan bahwa RPP yang dibuat oleh guru di

sekolah tersebut tidak terlalu detail. Hal ini dikarenakan skenario pembelajaran

yang dirancang oleh guru telah mengacu pada buku paket guru dan siswa,

sehingga guru tidak harus menyusun atau mengetik ulang materi, soal, atau LKS

dalam buku. Guru A menjelaskan bahwa dalam Kurikulum 2013 belum terdapat

fungsi yang jelas dari buku paket guru dan siswa yang diberikan oleh pemerintah

pusat. Menurut Guru A, guru seharusnya tidak dituntut membuat pemaparan

materi, soal kuis, soal PR, dan LKS pada RPP karena semua hal tersebut sudah

termuat dalam buku paket guru dan siswa. Seharusnya guru hanya dituntut untuk

memanfaatkan buku tersebut dengan baik (Wan/D1/GA/18-04-2015/T25).

Guru A mengaku tidak terlalu mengalami kendala dalam pelaksanaan

pembelajaran fisika berbasis Standar Proses Kurikulum 2013. Pembelajaran

berbasis pendekatan saintifik dan model pembelajaran penyingkapan telah sering

dilaksanakan oleh Guru A pada Kurikulum 2006, sehingga Guru A mengaku telah

terbiasa. Namun demikian, catatan lapangan peneliti selama tiga kali observasi di

kelas Guru A menunjukkan bahwa aspek menanya dalam pendekatan saintifik

lebih banyak dilakukan oleh guru. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa Guru A

mengakui bahwa sebagian kegiatan menanya dilakukan oleh guru. Menurut Guru

A, penyebab hal ini adalah banyaknya jumlah materi, tujuan pembelajaran yang

lebih mengutamakan kemampuan menghitung, dan alokasi waktu pembelajaran

yang terbatas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut.“Yang paling susah menanya. Susah sekali. Cenderung saya yang banyak bertanya dibanding siswanya. Karena lihat juga kepadatan materi yang dituntut dalam kurikulum kita. Kalau kurikulum luar, siswa hanya diajarkan konsep-konsep dasar yang esensial saja. Kalau kita materinya banyak sekali dan berbasis menghitung, sehingga, kita kita tidak pernah memiliki waktu yang cukup untuk melatih mereka berpikir untuk mengembangkan sesuatu. Misalkan, saya tampilkan fenomena seperti ini. Kemudian saya menugaskan siswa untuk berpikir, masalah apakah yang muncul dari sini, tentu mereka akan bertanya. Tapi, untuk bisa memunculkan itu, nggak cukup waktu 10 menit.”(Wan/D2/GA/05-06-2015/T16).

Guru A ditemukan jarang menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan

alokasi waktu yang direncanakan. Guru A sering meninggalkan kelas sebelum

pembelajaran berakhir. Guru A juga ditemukan tidak melakukan praktikum Melde

untuk materi pokok karakteristik gelombang, di mana praktikum tersebut

seharusnya dilakukan sesuai dengan tuntutan silabus. Praktikum Melde tidak

dilakukan karena alokasi waktu yang tidak mencukupi. Guru A mengaku harus

menyelesaikan target ketercapaian materi sebelum ulangan akhir semester

berlangsung. Temuan tersebut dikuatkan oleh Siswa Guru A bahwa Guru A tidak

pernah melaksanakan praktikum di laboratorium fisika dari semester satu sampai

dengan semester dua. Pada semester dua, praktikum hanya dilakukan di kelas

materi kesetimbangan benda tegar. Siswa Guru A juga mengungkapkan bahwa

pada semester satu, Guru A kekurangan alokasi waktu mengajar, sehingga materi

pokok pada bab terakhir langsung diselesaikan hanya dalam satu kali pertemuan

(Wan/D1/SGA/04-05-2015/T15). Hasil konfirmasi dengan Guru A menunjukkan bahwa hal tersebut dikarenakan kesibukan Guru A dalam mengikuti diklat calon

kepala sekolah. Namun demikian, Guru A selalu memberikan tugas kepada siswa

sebelum meninggalkan pembelajaran.

Guru A menyatakan bahwa problematika terbesar yang dihadapinya dalam

pembelajaran fisika berbasis Standar Proses Kurikulum 2013 adalah evaluasi

pembelajaran. Menurut Guru A, tuntutan evaluasi pembelajaran dalam Kurikulum

2013 sangat banyak dan tidak sesuai dengan alokasi waktu pembelajaran yang

tersedia. Guru A mengaku mengalami kesulitan dalam menyusun rubrik penilaian

dan melaksanakan penilaian di kelas. Menurut Guru A, alokasi waktu

pembelajaran yang tersedia tidak cukup bagi seorang guru untuk melakukan

tuntutan evaluasi pembelajaran yang banyak. Jika guru hanya terfokus pada

penilaian, maka proses pembelajaran akan terganggu. Guru A mengaku tidak

mampu melakukan penilaian lisan dan penilaian unjuk kerja praktikum untuk

semua siswa dalam satu kali pertemuan. Solusi yang diterapkan oleh Guru A

terhadap permasalahan tersebut adalah dengan melakukan penilaian secara

bertahap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut. “Yang paling saya nggak paham, di bagian evaluasi. Bagaimana membangun rubriknya, itu susah. Kan nggak bisa kita bikin gradasi, ini nggak ada, ini kurang satu, nggak bisalah seperti itu. Kita harus tau dulu indikator-indikator untuk setiap aspek penilaian. Harus detail indikator-indikatornya kayak apa. Kemudian pelaksanaanya juga

sulit. Kalau kita fokus ke penilaian, nanti proses pembelajarannya nggak berjalan dengan baik. Itu yang berat bagi guru.”(Wan/D1/GA/18-04-2015/T26).

Guru A belum memahami standar proses pengembangan instrumen

penilaian aspek religius siswa karena terdapat pemahaman yang berbeda antara

Guru A dengan guru yang lain tentang definisi operasional religius. Guru lain

menilai aspek religius dapat dikembangkan dengan mengajak siswa berdoa

sebelum dan sesudah pembelajaran, sedangkan Guru A menilai hal tersebut belum

tentu dapat mengembangkan aspek religius siswa. Guru A menilai siswa yang

rajin sembahyang belum tentu tingkat religiusitasnya tinggi. Akibatnya, penilaian

aspek religius dilakukan berdasarkan persepsi masing-masing guru terhadap

definisi operasional religiusitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut.

“Sangat sulit menilai aspek religius. Pandangan orang beda-beda. Saya melihatnya kayak gitu, orang melihatnya berdoa aja udah religius. Saya setiap hari sembahyang besok ngebom, apakah saya religius? Nyari kajian pustakanya juga sulit. Soalnya orang luar nggak menilai sampai di situ.” (Wan/D1/GA/18-04-2015/T27).

Guru A juga menilai bahwa pengembangan ketekunan siswa dalam

sembahyang tidak relevan dengan karakteristik pembelajaran fisika. Menurut

Guru A, rajin atau tidaknya siswa berdoa dalam pembelajaran lebih menjadi

tanggungjawab guru mata pelajaran agama. Terhadap permasalahan ini, Guru A

mengaku mencari indikator penilaian aspek religius secara mandiri dari internet.

Namun demikian, Guru A mengaku sulit menemukan referensi yang bagus karena

kurikulum pembelajaran di luar negeri belum sampai pada pengembangan aspek

Catatan lapangan peneliti selama observasi di kelas Guru A menunjukkan

bahwa Guru A tidak melakukan penilaian observasi dan penilaian jurnal. Siswa

Guru A menyatakan bahwa penilaian observasi dilakukan oleh Guru A melalui

smart phone. Guru A pernah mengungkapkan bahwa siswa yang nakal dan siswa

yang aktif dalam pembelajaran dicatat dalam smart phone

(Wan/D1/SGA/04-05-2015/T16). Guru A mengungkapkan banyaknya jumlah siswa dan alokasi waktu yang terbatas menjadi kendala guru dalam melakukan penilaian observasi. Akibat

hal tersebut, Guru A mengaku tidak dapat melakukan penilaian observasi dan

penilaian jurnal untuk semua siswa. Penilaian observasi yang dilakukan hanya

terbatas pada siswa dengan perilaku yang unik, sedangkan untuk siswa dengan

perilaku normal akan diberikan nilai yang sama. Guru A menilai bahwa

kelemahan dari penilaian observasi adalah adanya perilaku siswa yang tidak

natural karena siswa menyadari bahwa guru sedang melakukan penilaian sikap.

Guru A menjelaskan bahwa terdapat siswa dengan karakteristik “si tukang berpikir” dan “si tukang berbicara”. Pernyataan atau jawaban yang disampaikan

oleh “si tukang berbicara” sebagian besar merupakan gagasan dari “si tukang berpikir”, sehingga seolah-olah “si tukang berbicara” adalah siswa pintar dan “si tukang berpikir” merupakan siswa bodoh karena cenderung pasif. Upaya mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan controlling, yaitu

berkeliling kelas secara simultan pada saat pembelajaran dan mengambil gambar

perilaku unik siswa dengan menggunakan smartphone. Hal tersebut dilakukan

untuk mengetahui karakteristik alami setiap siswa. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Guru A berikut. “Ada kasus di mana siswanya tahu kita nilai dia, sehingga perilakunya tidak alami. Itu sebabnya saya melakukan controlling

dengan berkeliling kelas. Sehingga saya tahu, ini si tukang bicara, ini si tukang berpikir. Ya, yang si tukang bicara ini yang biasanya perilakunya nggak alami.” (Wan/D2/GA/05-06-2015/T17)

Sebagian besar siswa tidak objektif dalam melakukan penilaian diri dan

penilaian antar siswa. Hal tersebut dikarenakan siswa memiliki kepentingan untuk

memperoleh nilai sikap yang tinggi. Menurut Guru A, penilaian sikap dan

penilaian antar siswa sebaiknya tidak digunakan sebagai bagian dari nilai akhir

aspek sikap. Hasil penilaian tersebut sebaiknya hanya digunakan oleh guru

sebagai bahan evaluasi ketercapaian indikator pembelajaran. Dengan demikian,

siswa akan melakukan penilaian secara objektif dan guru juga dapat memperoleh

gambaran kondisi siswa yang sebenarnya. Guru A mengaku mengalami kendala

dalam melakukan penilaian jurnal. Hal tersebut dikarenakan jumlah siswa yang

banyak dan alokasi waktu yang terbatas, sehingga Guru A tidak dapat membuat

catatan perilaku untuk semua siswa. Solusi yang diberikan oleh instruktur dalam

pelatihan adalah dengan melakukan penilaian jurnal secara bertahap pada setiap

pertemuan. Namun demikian, Guru A menilai metode tersebut tidak akurat karena

guru berpotensi melewatkan perilaku siswa yang unik (Wan/D2/GA/05-06-2015/T18).

Permasalahan yang dihadapi Guru A dalam penilaian aspek pengetahuan

adalah terbatasnya alokasi waktu untuk memeriksa hasil ulangan. Guru A

mengungkapkan bahwa hasil ulangan siswa harus segera dibagikan pada

pertemuan selanjutnya. Guru A juga harus membuat analisis ketercapaian

indikator untuk memetakan letak ketidakketercapaian indikator pembelajaran.

pembelajaran yang tidak tercapai tersebut, sebelum dilaksanakan ujian ulang.

Guru A mengaku kewalahan melakukan semua hal tersebut dalam waktu yang

terbatas (Wan/D2/GA/05-06-2015/T19).

Berdasarkan hasi wawancara dengan Guru A, teknis penyusunan rubrik

penilaian dan teknis melakukan evaluasi pembelajaran tidak dilatihkan dalam

workshop kurikulum pusat yang diikutinya. Dalam workshop tersebut, guru

hanya diberikan buku dan ditugaskan menjawab soal pada buku tersebut.

Pengawas akademik dari dinas pendidikan juga tidak memberikan solusi terhadap

permasalahan ini. Yang dilakukan oleh pengawas akademik hanya memeriksa

kelengkapan administrasi pembelajaran guru. Pengawas akademik tidak pernah

mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Bahkan menurut Guru

A, walaupun konsep fisika yang termuat dalam RPP sengaja dibuat salah,

pengawas akademik tidak akan mengetahuinya. Hal ini dikarenakan pengawas

akademik mata pelajaran fisika merupakan guru mata pelajaran kimia, sehingga

pengawas tidak memahami karakteristik mata pembelajaran fisika. Hasil

wawancara dengan pengawas akademik tersebut menunjukkan bahwa Dinas

Pendidikan Kabupaten Buleleng belum memiliki pengawas akademik khusus

untuk mata pelajaran fisika, sehingga tugas kepengawasan tersebut diberikan

kepada pengawas dengan rumpun ilmu yang sama, yaitu pengawas mata pelajaran

kimia. Pengawas tersebut membenarkan bahwa proses pengawasan yang

dilakukannya hanya terfokus pada administrasi pembelajaran karena pengawas

tersebut yakin bahwa pelaksanaan pembelajaran fisika di SMAN 1 Singaraja telah

Guru A menilai bahwa Kurikulum 2013 bagus untuk diterapkan jika

alokasi waktu pembelajaran yang disediakan banyak. Menurut Guru A, alokasi

waktu pembelajaran yang disediakan saat ini tidak sesuai dengan tuntutan

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Pemerintah pusat tidak

memperhitungkan waktu yang diperlukan guru untuk melakukan perencanaan dan

evaluasi pembelajaran. Alokasi waktu yang terhitung hanya pelaksanaan

pembelajaran tatap muka sebanyak 24 jam pelajaran. Hal ini diperparah karena

alokasi waktu tersebut terpotong oleh kegiatan upacara bendera dan kegiatan hari

Jumat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut. “Kurikulum 2013 itu bagus jika waktu yang tersedia memadai. Pekerjaan guru itu kan banyak, nggak bisa selesai 6 hari kerja, ngajarnya 4 jam, potong hari Jumat, potong upacara bendera. Nyiapin administrasi nggak diperhitungkan. Yang diperhitungkan hanya jam tatap mukanya selama 24 jam. Jadi, perencanaan, meriksa ulangan, itu nggak terhitung. Di sana permasalahannya.”(Wan/D1/GA/18-04-2015/T28).

Dalam dokumen Contoh Penelitian Kualitatif dalam Pendi (Halaman 151-159)