HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Problematika Guru A
Hasil studi dokumen terhadap RPP Guru A menunjukkan bahwa
komponen RPP yang disusun tidak sesuai dengan sistematika RPP yang termuat
dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013. Komponen RPP tersebut lebih
sesuai dengan Standar Proses Kurikulum 2006. Hal ini dikarenakan Guru A masih
menggunakan RPP Kurikulum 2006 dengan hanya mengedit KI dan KD sesuai
dengan silabus Kurikulum 2013. Komponen RPP yang lain, seperti materi
belum diedit. Namun demikian, guru mengklaim bahwa semua aspek pendekatan
saintifik telah dimunculkan dalam RPP (Wan/D2/GA/05-06-2015/T5).
Guru A mengungkapkan bahwa tuntutan penyusunan RPP yang detail
dalam Standar Proses Kurikulum 2013 merupakan salah satu hal yang
menyulitkan guru. Menurut Guru A, RPP yang baik tidak harus memuat konten
yang detail. Berdasarkan pengalaman studi banding terhadap pembelajaran fisika
di Singapura, Guru A mengungkapkan bahwa RPP yang dibuat oleh guru di
sekolah tersebut tidak terlalu detail. Hal ini dikarenakan skenario pembelajaran
yang dirancang oleh guru telah mengacu pada buku paket guru dan siswa,
sehingga guru tidak harus menyusun atau mengetik ulang materi, soal, atau LKS
dalam buku. Guru A menjelaskan bahwa dalam Kurikulum 2013 belum terdapat
fungsi yang jelas dari buku paket guru dan siswa yang diberikan oleh pemerintah
pusat. Menurut Guru A, guru seharusnya tidak dituntut membuat pemaparan
materi, soal kuis, soal PR, dan LKS pada RPP karena semua hal tersebut sudah
termuat dalam buku paket guru dan siswa. Seharusnya guru hanya dituntut untuk
memanfaatkan buku tersebut dengan baik (Wan/D1/GA/18-04-2015/T25).
Guru A mengaku tidak terlalu mengalami kendala dalam pelaksanaan
pembelajaran fisika berbasis Standar Proses Kurikulum 2013. Pembelajaran
berbasis pendekatan saintifik dan model pembelajaran penyingkapan telah sering
dilaksanakan oleh Guru A pada Kurikulum 2006, sehingga Guru A mengaku telah
terbiasa. Namun demikian, catatan lapangan peneliti selama tiga kali observasi di
kelas Guru A menunjukkan bahwa aspek menanya dalam pendekatan saintifik
lebih banyak dilakukan oleh guru. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa Guru A
mengakui bahwa sebagian kegiatan menanya dilakukan oleh guru. Menurut Guru
A, penyebab hal ini adalah banyaknya jumlah materi, tujuan pembelajaran yang
lebih mengutamakan kemampuan menghitung, dan alokasi waktu pembelajaran
yang terbatas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut.“Yang paling susah menanya. Susah sekali. Cenderung saya yang banyak bertanya dibanding siswanya. Karena lihat juga kepadatan materi yang dituntut dalam kurikulum kita. Kalau kurikulum luar, siswa hanya diajarkan konsep-konsep dasar yang esensial saja. Kalau kita materinya banyak sekali dan berbasis menghitung, sehingga, kita kita tidak pernah memiliki waktu yang cukup untuk melatih mereka berpikir untuk mengembangkan sesuatu. Misalkan, saya tampilkan fenomena seperti ini. Kemudian saya menugaskan siswa untuk berpikir, masalah apakah yang muncul dari sini, tentu mereka akan bertanya. Tapi, untuk bisa memunculkan itu, nggak cukup waktu 10 menit.”(Wan/D2/GA/05-06-2015/T16).
Guru A ditemukan jarang menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan
alokasi waktu yang direncanakan. Guru A sering meninggalkan kelas sebelum
pembelajaran berakhir. Guru A juga ditemukan tidak melakukan praktikum Melde
untuk materi pokok karakteristik gelombang, di mana praktikum tersebut
seharusnya dilakukan sesuai dengan tuntutan silabus. Praktikum Melde tidak
dilakukan karena alokasi waktu yang tidak mencukupi. Guru A mengaku harus
menyelesaikan target ketercapaian materi sebelum ulangan akhir semester
berlangsung. Temuan tersebut dikuatkan oleh Siswa Guru A bahwa Guru A tidak
pernah melaksanakan praktikum di laboratorium fisika dari semester satu sampai
dengan semester dua. Pada semester dua, praktikum hanya dilakukan di kelas
materi kesetimbangan benda tegar. Siswa Guru A juga mengungkapkan bahwa
pada semester satu, Guru A kekurangan alokasi waktu mengajar, sehingga materi
pokok pada bab terakhir langsung diselesaikan hanya dalam satu kali pertemuan
(Wan/D1/SGA/04-05-2015/T15). Hasil konfirmasi dengan Guru A menunjukkan bahwa hal tersebut dikarenakan kesibukan Guru A dalam mengikuti diklat calon
kepala sekolah. Namun demikian, Guru A selalu memberikan tugas kepada siswa
sebelum meninggalkan pembelajaran.
Guru A menyatakan bahwa problematika terbesar yang dihadapinya dalam
pembelajaran fisika berbasis Standar Proses Kurikulum 2013 adalah evaluasi
pembelajaran. Menurut Guru A, tuntutan evaluasi pembelajaran dalam Kurikulum
2013 sangat banyak dan tidak sesuai dengan alokasi waktu pembelajaran yang
tersedia. Guru A mengaku mengalami kesulitan dalam menyusun rubrik penilaian
dan melaksanakan penilaian di kelas. Menurut Guru A, alokasi waktu
pembelajaran yang tersedia tidak cukup bagi seorang guru untuk melakukan
tuntutan evaluasi pembelajaran yang banyak. Jika guru hanya terfokus pada
penilaian, maka proses pembelajaran akan terganggu. Guru A mengaku tidak
mampu melakukan penilaian lisan dan penilaian unjuk kerja praktikum untuk
semua siswa dalam satu kali pertemuan. Solusi yang diterapkan oleh Guru A
terhadap permasalahan tersebut adalah dengan melakukan penilaian secara
bertahap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut. “Yang paling saya nggak paham, di bagian evaluasi. Bagaimana membangun rubriknya, itu susah. Kan nggak bisa kita bikin gradasi, ini nggak ada, ini kurang satu, nggak bisalah seperti itu. Kita harus tau dulu indikator-indikator untuk setiap aspek penilaian. Harus detail indikator-indikatornya kayak apa. Kemudian pelaksanaanya juga
sulit. Kalau kita fokus ke penilaian, nanti proses pembelajarannya nggak berjalan dengan baik. Itu yang berat bagi guru.”(Wan/D1/GA/18-04-2015/T26).
Guru A belum memahami standar proses pengembangan instrumen
penilaian aspek religius siswa karena terdapat pemahaman yang berbeda antara
Guru A dengan guru yang lain tentang definisi operasional religius. Guru lain
menilai aspek religius dapat dikembangkan dengan mengajak siswa berdoa
sebelum dan sesudah pembelajaran, sedangkan Guru A menilai hal tersebut belum
tentu dapat mengembangkan aspek religius siswa. Guru A menilai siswa yang
rajin sembahyang belum tentu tingkat religiusitasnya tinggi. Akibatnya, penilaian
aspek religius dilakukan berdasarkan persepsi masing-masing guru terhadap
definisi operasional religiusitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut.
“Sangat sulit menilai aspek religius. Pandangan orang beda-beda. Saya melihatnya kayak gitu, orang melihatnya berdoa aja udah religius. Saya setiap hari sembahyang besok ngebom, apakah saya religius? Nyari kajian pustakanya juga sulit. Soalnya orang luar nggak menilai sampai di situ.” (Wan/D1/GA/18-04-2015/T27).
Guru A juga menilai bahwa pengembangan ketekunan siswa dalam
sembahyang tidak relevan dengan karakteristik pembelajaran fisika. Menurut
Guru A, rajin atau tidaknya siswa berdoa dalam pembelajaran lebih menjadi
tanggungjawab guru mata pelajaran agama. Terhadap permasalahan ini, Guru A
mengaku mencari indikator penilaian aspek religius secara mandiri dari internet.
Namun demikian, Guru A mengaku sulit menemukan referensi yang bagus karena
kurikulum pembelajaran di luar negeri belum sampai pada pengembangan aspek
Catatan lapangan peneliti selama observasi di kelas Guru A menunjukkan
bahwa Guru A tidak melakukan penilaian observasi dan penilaian jurnal. Siswa
Guru A menyatakan bahwa penilaian observasi dilakukan oleh Guru A melalui
smart phone. Guru A pernah mengungkapkan bahwa siswa yang nakal dan siswa
yang aktif dalam pembelajaran dicatat dalam smart phone
(Wan/D1/SGA/04-05-2015/T16). Guru A mengungkapkan banyaknya jumlah siswa dan alokasi waktu yang terbatas menjadi kendala guru dalam melakukan penilaian observasi. Akibat
hal tersebut, Guru A mengaku tidak dapat melakukan penilaian observasi dan
penilaian jurnal untuk semua siswa. Penilaian observasi yang dilakukan hanya
terbatas pada siswa dengan perilaku yang unik, sedangkan untuk siswa dengan
perilaku normal akan diberikan nilai yang sama. Guru A menilai bahwa
kelemahan dari penilaian observasi adalah adanya perilaku siswa yang tidak
natural karena siswa menyadari bahwa guru sedang melakukan penilaian sikap.
Guru A menjelaskan bahwa terdapat siswa dengan karakteristik “si tukang berpikir” dan “si tukang berbicara”. Pernyataan atau jawaban yang disampaikan
oleh “si tukang berbicara” sebagian besar merupakan gagasan dari “si tukang berpikir”, sehingga seolah-olah “si tukang berbicara” adalah siswa pintar dan “si tukang berpikir” merupakan siswa bodoh karena cenderung pasif. Upaya mengatasi permasalahan ini adalah dengan melakukan controlling, yaitu
berkeliling kelas secara simultan pada saat pembelajaran dan mengambil gambar
perilaku unik siswa dengan menggunakan smartphone. Hal tersebut dilakukan
untuk mengetahui karakteristik alami setiap siswa. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Guru A berikut. “Ada kasus di mana siswanya tahu kita nilai dia, sehingga perilakunya tidak alami. Itu sebabnya saya melakukan controlling
dengan berkeliling kelas. Sehingga saya tahu, ini si tukang bicara, ini si tukang berpikir. Ya, yang si tukang bicara ini yang biasanya perilakunya nggak alami.” (Wan/D2/GA/05-06-2015/T17)
Sebagian besar siswa tidak objektif dalam melakukan penilaian diri dan
penilaian antar siswa. Hal tersebut dikarenakan siswa memiliki kepentingan untuk
memperoleh nilai sikap yang tinggi. Menurut Guru A, penilaian sikap dan
penilaian antar siswa sebaiknya tidak digunakan sebagai bagian dari nilai akhir
aspek sikap. Hasil penilaian tersebut sebaiknya hanya digunakan oleh guru
sebagai bahan evaluasi ketercapaian indikator pembelajaran. Dengan demikian,
siswa akan melakukan penilaian secara objektif dan guru juga dapat memperoleh
gambaran kondisi siswa yang sebenarnya. Guru A mengaku mengalami kendala
dalam melakukan penilaian jurnal. Hal tersebut dikarenakan jumlah siswa yang
banyak dan alokasi waktu yang terbatas, sehingga Guru A tidak dapat membuat
catatan perilaku untuk semua siswa. Solusi yang diberikan oleh instruktur dalam
pelatihan adalah dengan melakukan penilaian jurnal secara bertahap pada setiap
pertemuan. Namun demikian, Guru A menilai metode tersebut tidak akurat karena
guru berpotensi melewatkan perilaku siswa yang unik (Wan/D2/GA/05-06-2015/T18).
Permasalahan yang dihadapi Guru A dalam penilaian aspek pengetahuan
adalah terbatasnya alokasi waktu untuk memeriksa hasil ulangan. Guru A
mengungkapkan bahwa hasil ulangan siswa harus segera dibagikan pada
pertemuan selanjutnya. Guru A juga harus membuat analisis ketercapaian
indikator untuk memetakan letak ketidakketercapaian indikator pembelajaran.
pembelajaran yang tidak tercapai tersebut, sebelum dilaksanakan ujian ulang.
Guru A mengaku kewalahan melakukan semua hal tersebut dalam waktu yang
terbatas (Wan/D2/GA/05-06-2015/T19).
Berdasarkan hasi wawancara dengan Guru A, teknis penyusunan rubrik
penilaian dan teknis melakukan evaluasi pembelajaran tidak dilatihkan dalam
workshop kurikulum pusat yang diikutinya. Dalam workshop tersebut, guru
hanya diberikan buku dan ditugaskan menjawab soal pada buku tersebut.
Pengawas akademik dari dinas pendidikan juga tidak memberikan solusi terhadap
permasalahan ini. Yang dilakukan oleh pengawas akademik hanya memeriksa
kelengkapan administrasi pembelajaran guru. Pengawas akademik tidak pernah
mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Bahkan menurut Guru
A, walaupun konsep fisika yang termuat dalam RPP sengaja dibuat salah,
pengawas akademik tidak akan mengetahuinya. Hal ini dikarenakan pengawas
akademik mata pelajaran fisika merupakan guru mata pelajaran kimia, sehingga
pengawas tidak memahami karakteristik mata pembelajaran fisika. Hasil
wawancara dengan pengawas akademik tersebut menunjukkan bahwa Dinas
Pendidikan Kabupaten Buleleng belum memiliki pengawas akademik khusus
untuk mata pelajaran fisika, sehingga tugas kepengawasan tersebut diberikan
kepada pengawas dengan rumpun ilmu yang sama, yaitu pengawas mata pelajaran
kimia. Pengawas tersebut membenarkan bahwa proses pengawasan yang
dilakukannya hanya terfokus pada administrasi pembelajaran karena pengawas
tersebut yakin bahwa pelaksanaan pembelajaran fisika di SMAN 1 Singaraja telah
Guru A menilai bahwa Kurikulum 2013 bagus untuk diterapkan jika
alokasi waktu pembelajaran yang disediakan banyak. Menurut Guru A, alokasi
waktu pembelajaran yang disediakan saat ini tidak sesuai dengan tuntutan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Pemerintah pusat tidak
memperhitungkan waktu yang diperlukan guru untuk melakukan perencanaan dan
evaluasi pembelajaran. Alokasi waktu yang terhitung hanya pelaksanaan
pembelajaran tatap muka sebanyak 24 jam pelajaran. Hal ini diperparah karena
alokasi waktu tersebut terpotong oleh kegiatan upacara bendera dan kegiatan hari
Jumat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guru A berikut. “Kurikulum 2013 itu bagus jika waktu yang tersedia memadai. Pekerjaan guru itu kan banyak, nggak bisa selesai 6 hari kerja, ngajarnya 4 jam, potong hari Jumat, potong upacara bendera. Nyiapin administrasi nggak diperhitungkan. Yang diperhitungkan hanya jam tatap mukanya selama 24 jam. Jadi, perencanaan, meriksa ulangan, itu nggak terhitung. Di sana permasalahannya.”(Wan/D1/GA/18-04-2015/T28).