• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu

BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU

2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu

Mata pencaharian penduduk Desa Padang Bindu mayoritas adalah petani. Hampir semua penduduk memiliki lahan perkebunan sendiri, ada yang lahan kebun kopinya luas namun ada pula yang hanya punya lahan yang sempit karena telah dijual. Walaupun luas kepemilikan lahan berbeda, namun hampir semua penduduk Desa Padang Bindu pernah merasakan menjadi buruh tani. Pada jaman dulu untuk mengerjakan kebun atau ladang milik salah satu warga dikerjakan secara gotong royong. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Cik Mas berikut ini,

“…kalau dulu gotong royong bikin ladang, bikin ladang untuk tanam padi tidak pakai ngupah-ngupah, sakai atau gantian. Hari ini bekerja di kebun orang lain kemudian berikutnya kerja di tempat orang lain lagi berputar jadi sama-sama selesai. Untuk menanam padi atau ndugal kalau dulu bujang gadis dikumpulkan. Malam kumpul besok ndugal. Ada juga yang dari dusun lain…”

Sejak jaman dulu di Desa Padang Bindu sudah ada gotong royong untuk mengerjakan sawah atau kebun, disebut dengan sakai.

Sakai ini hanya berlaku pada ibu-ibu saja. Sistem gantian kerja ini

semua dan kalau kerja sendiri membuat pekerjaan selesai dalam waktu yang relatif lama. Ibu-ibu di Desa Padang Bindu kemudian memiliki ide untuk membuat suatu sistem gantian kerja. Sakai adalah semacam arisan tetapi hanya dalam hal bekerja di kebun. Sebagai contoh kelompok 1 mempunyai anggota 5 orang petani kopi, yang terdiri dari A, B ,C, D dan E. Hari ini dijadwalkan akan mutil kopi di kebun milik A. Ibu B, C, D dan E akan bekerja bersama-sama untuk

mutil kopi di kebun A. Pada hari berikutnya akan mutil kopi lagi di

kebun milik B, maka anggota kelompok yang lain yaitu A ,C, D dan E akan ikut mutil kopi di kebun milik B. Begitu seterusnya sampai semua anggota mendapatkan giliran kerja.

Sistem gantian kerja itu tidak dilakukan tiap hari. Ada jadwal yang telah disepakati oleh semua anggota walaupun tidak secara tertulis. Sistem gantian kerja itu dilakukan dalam waktu seminggu 1-2 kali, dan waktu pelaksanaan gantian kerja biasanya sesuai dengan kesepakatan seluruh anggota. Misalnya sesuai kesepakatan awal, waktu pelaksanaan kerja adalah sekitar 6 jam yaitu jam 08.00 sampai jam 14.00. Namun bila suatu ketika bekerja di kebun atau sawah salah satu anggota dan waktu kerjanya tidak mencukupi 6 jam, maka yang bekerja di kebun itu akan dikenakan sangsi. Bila kebun ibu yang berhalangan ikut bekerja tersebut belum dikerjakan oleh anggota yang lain, maka ibu tersebut tidak akan dikenakan sangsi. Sangsi atau ganti rugi oleh masyarakat Etnis Daya disebut dengan nuġun.

Sangsi itu bisa berupa denda uang ataupun penambahan jam kerja di hari yang lain. Kalau sangsinya berupa pembayaran uang, maka dihitung harian sesuai dengan upah buruh tani yang berlaku di desa. Dari upah harian yang dihitung perjamnya, kemudian kekurangan jamnya itu yang harus dibayar. Ada juga suatu kasus sebagai berikut : bila perjanjian kerja adalah jam 08.00-14.00 WIB dan misalnya pada saat jam 13.00 WIB terjadi hujan dan kerja harus di hentikan, maka semua anggota yang bekerja di kebun harus membayar sisa jam kerja kepada orang yang punya kebun. Jadi aturan

sangsinya berupa denda untuk menggenapi jam kerja yang telah disepakati walapun ada faktor alam atau cuaca yang mengganggu pekerjaan. Sakai tidak harus mengerjakan pekerjaan yang sama. Bila suatu ketika ada salah satu anggota yang minta untuk membersihkan rumput di kebun, maka anggota yang lain bisa meminta bantuan untuk menanam padi. Seperti apa yang sudah di ceritakan Ibu Ritawati berikut ini,

“…kalau sakai nggak dihitung jam, pokoknya kerja sama Aku misalnya sampai jam 2 kalau kerja sama Kamu juga jam 2. Kerjanya juga nggak harus kalau sama. Aku merumput, kamu nggak harus merumput nggak harus gitu. Kalau sama aku merumput nanti kalau aku bisa menanam padi atau

me-mutil kopi. Tapi waktunya sama dan jadwalnya sudah sudah ditentukan,

misal pada saat kerja di kebun aku, ketika istirahat ada yang bilang hari Kamis besok atau hari Minggu besok kerja di tempat aku ya…”

Sakai di Desa Padang Bindu bukan saja merupakan suatu

system gantian kerja di bidang pertanian, akan tetapi merupakan suatu wujud adanya gotong royong dan rasa kebersamaan dari para perempuan. Selain itu juga dapat membina rasa kekeluargaan dan kepercayaan antar penduduk di Desa Padang Bindu dengan adanya aturan-aturan yang tidak dibuat secara tertulis. Walaupun peraturan dalam kelompok sakai itu hanya disepakati dan disampaikan secara lisan, namun semua anggota kelompok tetap mematuhi peraturan yang sudah disepakati. Adanya sistem sakai ini yang membuat sistem kekerabatan dan kekuargaan penduduk Desa Padang Bindu begitu erat. Walaupun sudah ada sistem sakai, namun tenaga untuk mengelola tanah sawah dan perkebunan tetap membutuhkan banyak orang.

Untuk membantu dalam mengelola tanah sawah dan perkebunan, biasanya penduduk Desa Padang Bindu membayar jasa tenaga orang lain. Ngupah adalah istilah masyarakat Suku Daya untuk membayar jasa buruh tani (bedandan) dalam mengerjakan sawah

atau kebun kopi. Jam kerja bedandan dalam satu hari bekerja adalah 7 jam. Berdasarkan cerita dari Bapak Muhtadun berikut ini,

“…tergantung rupiah, dulu dari Rp. 5.000 pun ada, Rp. 10.000 ada. Sekarang kalau ibu-ibu Rp. 30.000 dan bapak-bapak Rp. 40.000 pas ada musim turun dari musim turun juga makan dikasih. Yang jelas laki-laki dikasih rokok, dikasih makan itu kalau perempuan nggak perempuan yang bawa makan sendiri. Nggak tahu dari dulunya sudah gitu…”

Biasanya pekerjaan dimulai jam 7 sampai jam 12, kemudian istirahat 1 jam dan dilanjutkan lagi mulai jam 13.00 dan selesai sampai jam 15.00. Upah buruh untuk mengerjakan sawah atau di kebun kopi antara laki – laki dan wanita berbeda, untuk upah buruh laki – laki seharga Rp. 40.000 perhari dan untuk buruh wanita seharga Rp.30.000 perhari. Upah tersebut tidak termasuk makan, biasanya untuk makannya membawa sendiri dari rumah dan untuk laki-laki ditambah dengan rokok. Walaupun pekerjaan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan sama. Upah untuk buruh hanya berlaku ketika pada musim panen kopi atau pada waktu penanaman padi, Diluar musim panen kopi dan padi atau biasa di sebut dengan musim ceklik maka upah buruh lebih murah. Upah buruh pada saat musim ceklik untuk yang laki – laki seharga Rp. 100.000 pertigahari, sedangkan yang wanita seharga Rp. 25.000 perhari.