BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU
2.6. Agama dan Kepercayaan orang suku Daya
2.6.1. Sedekahan dalam lingkaran hidup Penduduk
Gambar 2.22 Mushola Dusun 2 Desa Padang Bindu. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Upacara adat keagamaan oleh masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu disebut dengan sedekahan. Sedekahan ini oleh beberapa masyarakat masih ada yang menjalankannya dan ada juga yang sudah tidak menjalankannya. Tradisi sedekahan dilakukan sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing penduduk. Tradisi
sedekahan itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia yaitu
semenjak dalam masa kehamilan sampai meninggal dunia.
2.6.1. Sedekahan dalam Lingkaran Hidup Penduduk Desa Padang Bindu
Pada dasarnya semua manusia mengalami proses kehidupan. Proses-proses itu dilalui dengan beberapa tahapan. Begitu pula dengan penduduk yang ada di Desa Padang Bindu, tiap individu manusia akan mengalami fase perubahan itu. Penduduk Desa Padang
yaitu adat sedekahan sebagai upacara yang di lakukan untuk menghadapi fase-fase itu.
Pada fase awal sebelum manusia dilahirkan, manusia hidup dalam kandungan atau pada masa kehamilan. Dalam masa kehamilan, ibu-ibu di Desa Padang Bindu biasanya melakukan sedekahan pada masa usia kehamilan 9 bulan atau sebelum melahirkan. Sedekahan disebut dengan Koġoan Limau. Upacara adat ini bertujuan untuk meminta keselamatan kepada Puhyang agar nantinya saat melahirkan tidak ada halangan baik bayi yang dalam kandungan ataupun ibu yang akan melahirkan. Sedekahan dilakukan dengan menyembelih 1 ekor ayam putih pucat, 1 ekor ayam putih kuning, nasi taboh dan 1 ekor ayam hitam. Ayam putih pucat melambangkan permohonan keselamatan kepada kekunduan atau orang tua bayi yang mengasuh selama dalam kandungan, ayam putih kuning adalah bentuk permohonan keselamatan kepada Puhyang dan ayam hitam melambangkan supaya waktu melahirkan tidak mengalami pendarahan.
Setelah fase sedekahan pada masa kehamilan yang berusia 9 bulan, tidak ada lagi sedekahan yang dilakukan. Setahun kemudian ada sedekahan lagi yang di lakukan untuk bayi itu. Sedekahan tersebut biasanya dikenal oleh masyarakat Desa Padang Bindu dengan istilah
petunggu. Petunggu biasanya dilakukan akibat anak kecil tersebut
tidak sembuh-sembuh dari penyakit yang dideritanya. Penyakit yang diderita anak kecil itu disebut njami. Njami mempunyai dua macam bentuk yaitu sampot atau bisul dan njami tangis. Dalam kepercayaan masyarakat setempat bahwa penyakit njami akan sembuh dengan sendirinya bila dilakukan upacara petunggu. Upacara petunggu dilakukan setiap satu tahun sekali layaknya orang berulang tahun. Bila
petunggu yang pertama dilakukan pada bulan Juni, maka pada tahun
berikutnya petunggu juga di lakukan pada bulan Juni. Upacara
petunggu tersebut tidak akan dilakukan lagi bila anak sudah bisa
petunggu adalah proses pelepasan pengasuhan kekunduan dari tubuh
anak karena anak dianggap sudah memasuki masa remaja. Persembahan untuk upacara petunggu hampir sama dengan upacara
koġoan limau, namun bahan yang digunakan lebih banyak upacara petunggu.
Sedekahan untuk upacara petunggu yaitu : 1). Ayam 2 ekor, 1 ekor ayam yang berwarna putih kuning (berbulu putih, kaki kuning dan paruh kuning) dan 1 ekor ayam yang berwarna putih pucat (berbulu putih, kaki putih dan paruh putih). Ayam yang digunakan bisa ayam betina atau ayam jantan. 2). Sirih, kapur, hampelot dan pinang. Ada perbedaan dalam penempatan sirih. Di dekat ayam putih kuning ditaruh 5 sirih, sedangkan di dekat ayam putih pucat ditaruh 7 sirih. 3). Air putih biasa, diberi cendana dan ditaruh di atas sirih. 4). Kan
Taboh atau nasi putih yang diberi santan.
Masing-masing bahan untuk sedekahan tersebut mempunyai makna. Ayam putih kuning dan ayam putih pucat mempunyai makna yang hampir sama dengan upacara koġoan limau. Ayam putih pucat bermakna sebagai makanan yang diberikan kepada kedua orang tua anak pada waktu dalam kandungan dengan tujuan supaya anak diberi keselamatan. Ayam putih kuning bermakna sebagai pemberian makanan kepada Phuyang dengan maksud supaya anak diberi keselamatan. Sirih, kapur, hampelot dan pinang adalah sebagai persembahan untuk ngasan orang tua yang mengasuh dan roh
Phuyang agar damai. Kan Taboh dan air putih adalah sebagai makanan
dan minuman roh dari Phuyang.
Ada upacara petunggu lain yang juga biasa dilakukan oleh penduduk Desa Padang Bindu. Upacara itu biasa disebut dengan
petunggu bujang tua. Walaupun namanya bujang tua, akan tetapi
upacara itu dilakukan untuk anak kecil yang sering menangis. Ciri-ciri anak kecil yang minta upacara petunggu bujang tua adalah dadanya kelihatan cekung dan menangis terus menerus. Upacara itu dipercaya oleh penduduk Desa Padang Bindu dapat menyembuhkan penyakit
karena ada roh remaja belum menikah pada saat meninggal (masih gadis dan bujang) yang meminta ‘makan’ dan mengganggu anak-anak. Dari kepercayaan tersebut maka dikenal dengan istilah petunggu
bujang tua. Upacara ini hampir sama dengan petunggu satunya yaitu
menyembelih ayam, namun ayam yang disembelih untuk petunggu
Bujang tua adalah ayam besar jantan atau betina dan warnanya tidak
ditentukan. Selain ayam besar, bahan-bahan yang digunakan dan cara penyajian untuk petunggu bujang tua tidak mempunyai aturan yang baku.
Gambar 2.23 Sedekahan Petunggu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sedekahan pada fase terakhir lingkaran manusia yang ada di
Desa Padang Bindu adalah fase kematian. Sedekahan untuk memperingati kematian yang ada di Desa Padang Bindu adalah dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Biasanya dengan membacakan surat Yasin pada hari ke-7 setelah hari kematian dan setelah itu hanya setiap malam Jumat membacakan surat Yasin sampai hari kematian yang ke 40. Setelah itu tidak ada lagi sedekahan untuk memperingati upacara kematian. Upacara kematian dianggap sakral oleh penduduk
Desa Padang Bindu. Kelompok keagamaan yang ada di Desa Padang Bindu yaitu kelompok kematian Rukun Tetangga. Kelompok kematian ini yang nantinya membantu keluarga yang meninggal untuk mengurus jenazah orang yang meninggal. Kebiasaan masyarakat Desa Padang Bindu bila ada orang yang meninggal, maka para tetangga atau kerabat memberikan bantuan orang yang kesusahan dengan membawa paseh yang berisi 3 canting beras senilai dengan ¾ kg, 1 sabun mandi dan 1 sabun cuci.
Hal ini berbeda dengan adat petulong untuk orang yang punya hajat pernikahan, nilai bantuan yang diberikan berbeda. Untuk
petulong hajat pernikahan biasanya yang diberikan berupa uang
sekitar 25 ribu rupiah jika yang punya hajat pernikahan tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Tetapi kalau yang punya hajat pernikahan masih mempunyai hubungan kekerabatan, petulong itu berupa uang 100 ribu rupiah dan ayam hidup satu ekor ditambah dengan beras. Setelah memberikan petulong ke kerabat yang punya hajat pernikahan, maka kerabat tersebut wajib memberikan nilai
petulong yang lebih banyak jika orang tersebut suatu saat
mengadakan hajat pernikahan.
2.6.2. Sedekahan Ruwahan dan Kepercayaan Terhadap Dunia Gaib Tradisi lain di Desa Padang Bindu yaitu sedekahan ruwahan yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban sebelum Ramadhan. Penduduk Desa Padang Bindu melakukan sedekahan ruwahan setiap hari Kamis malam Jumat selama satu bulan penuh. Acara tersebut berupa pembacaan doa kepada ahli waris atau puhyang yang sudah meninggal, pembacaan ayat suci Al-Quran terutama surat Yasin. Setelah itu ada acara makan dan minum bersama. Pada jaman dulu,
sedekahan ruwahan dilakukan tidak dengan membaca ayat suci
Al-Quran. Upacara dilakukan dengan membaca mantra-mantra yang ditujukan kepada nenek moyang, dan ada juga acara membakar kemenyan. Namun setelah mengalami perkembangan acara
membakar kemenyan sudah ditiadakan karena pengaruh banyaknya warga yang sekolah di bidang keagamaan Islam termasuk Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat yang sekarang.
Gambar 2.24 Tradisi ruwahan, biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Masih ada tradisi lain yang masih dilakukan penduduk Desa Padang Bindu yaitu betegi. Betegi adalah tradisi melakukan sedekahan sebelum membangun rumah. Orang satu dusun diajak untuk gotong royong. Orang-orang yang datang membawa beras, ayam, atau telur untuk di sumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Namun pada saat ini sudah jarang orang yang melakukan sedekahan betegi. Tradisi betegi ini sudah jarang dilakukan karena kesibukan dari masing-masing penduduk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri, seperti apa yang di ceritakan oleh Bapak Cik Mas berikut ini :
”…upacara sebelum mendirikan rumah di sebut betegi, kadang-kadang ada yang satu dusun di ajak semua, nah itu gotong royong juga. Itu yang datang bawa beras, ayam kalau ada telur ya bawa telur untuk disumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Itu bukan hajatan
istilahnya, tapi untuk makan orang-orang yang ikut membangun rumah. Tidak jarang juga ada yang memohon untuk sedekahan…”
Setelah rumah jadi tetapi belum ditempati, ada orang yang menunggu rumah itu terlebih dulu, yang disebut dengan istilah
ngedok. Di bagian dalam rumah yang belum ditempati tersebut akan
diberi kertas yang ditulis dengan huruf arab, dikenal dengan nama
radja, dan dipaku di atas pintu. Selain radja, ada pula sebuah botol
yang di dalamnya diisi air atau kertas yang dipaku di dinding bagian dalam rumah. Hal tersebut dilakukan penduduk dengan tujuan untuk mengusir roh halus di rumah yang bisa mengganggu penghuni rumah. Adat tata cara itu masih ada sampai sekarang dan dapat dilihat di rumah penduduk Desa Padang Bindu dimana hampir di setiap pintu rumah ada botol yang tergantung.
Kepercayaan terhadap roh halus masih ada dalam keyakinan penduduk. Ada juga cerita penduduk yang kerasukan mahkluk halus, dimana ada ibu yang tidak bisa jalan tetapi tiba-tiba ada di atas pohon beringin, dan ibu itu tidak sadar bahwa dia memanjat pohon beringin itu. Setelah kejadian itu, ibu tersebut melakukan sedekahan. Dalam melakukan upacara sedekahan, air putih yang telah dipakai untuk upacara dibagi-bagikan kepada seluruh warga. Dengan adanya hal tersebut, menjadi suatu bukti bahwa beberapa warga di Desa Padang Bindu masih ada yang mempercayai sesuatu yang mistis dan roh-roh halus.
Gambar 2.25 Pemasangan tulisan huruf Arab di atas pintu. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
2.6.3. Pesantren, Usaha Mempertahankan Islam di Desa Padang