• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangannya

Dalam dokumen ANDA DAPAT MEMAHAMI ALKITAB: (Halaman 63-68)

METODE KONTEKSTUAL DARI PENAFSIRAN ALKITAB

I. Sejarah dan Perkembangannya

A. Penafsiran Yahudi

Penggunaan yang paling konsisten dari metode pengkajian Alkitab yang dikenal sebagai Metode Historis-gramatikal-leksikal (dalam Bukuteks ini disebut metode Kontekstual / Tekstual) di mulai di Antiokhia, Syria, pada abad ketiga sebagai reaksi terhadap Metode Alegoris, yang telah berkembang beberapa ratus tahun sebelumnya di Aleksandria, Mesir. Metode Aleksandria ini adalah sebuah adaptasi dari metode dari Philo, seorang penafsir Yahudi yang hidup dari tahun 20 SM sampai 55 M. Philo juga tinggal di Aleksandria. Ia, sebagai seorang Yahudi dari kaum Diaspora, tidak terlalu berpengaruh di kalangan para rabi, tetapi memiliki dampak yang besar di kalangan para intelektual Helenistik dari Aleksandria, yang merupakan sebuah pusat pendidikan di zaman itu. Philo setuju dengan para rabi bahwa Perjanjian Lama diberikan oleh Allah. Ia percaya bahwa Tuhan secara unik berbicara melalui Kitab Suci Ibrani dan para filsuf Yunani, terutama Plato. Oleh karena itu, setiap aspek dari naskah memiliki makna— setiap kalimat, anak kalimat, kata, huruf, dan bahkan bubuhan atau keistimewaan yang terkecil dari naskah.

Penafsiran para rabi ditandai dengan sebuah fokus pada "bagaimana", khususnya dalam kaitannya dengan Hukum Musa. Philo, meskipun menggunakan beberapa keistimewaan tata bahasa dan ejaan yang sama, menemukan makna-makna yang tersembunyi dalam naskah sebagaimana terkait dengan Platonisme. Para rabi tertarik untuk menerapkan Hukum Musa bagi kehidupan sehari-hari, sementara Philo ingin menafsirkan kembali sejarah Israel dalam terang pandangan dunia Platonis-nya. Untuk melakukan hal ini ia harus benar-benar menghapuskan Perjanjian Lama dari konteks historisnya.

"Dalam pikirannya banyak dari wawasan-wawasan Yudaisme, jika dipahami dengan baik, tidak berbeda dengan wawasan-wawasan tertinggi dari filsafat Yunani. Allah memang mengungkapkan diriNya kepada bangsa pilihan yaitu Israel, tetapi Ia menyatakan diri-Nya dengan cara yang secara radikal sama sekali tidak berbeda dari cara Ia menyatakan diriNya kepada orang Yunani" (Grant dan Tracy 1984, 53-54).

Pendekatan dasarnya adalah untuk mengalegorisasikan suatu naskah jika:

1. naskah tersebut berbicara tentang apa yang tampaknya tidak layak tentang Allah (kejasmanian Allah)

2. naskah tersebut mengandung apa yang dirasa sebagai inkonsistensi-inkonsistensi 3. naskah tersebut mengandung apa yang dirasa sebagai masalah-masalah kesejarahan

64

4. naskah tersebut bisa diadaptasi (dialegorisasikan) kearah pandangan dunia filosofisnya (Grant dan Tracy 1984, 53)

B. Aliran Aleksandria

Dasar-dasar dari pendekatan penafsiran Philo dilanjutkan di dalam Aliran Penafsiran Kristen, yang dikembangkan di kota yang sama ini. Salah satu pemimpin pertamanya adalah Klemens dari Aleksandria (AD 150-215). Ia percaya bahwa Alkitab berisi berbagai tingkatan makna untuk membuat Alkitab relevan bagi berbagai jenis orang, budaya, dan periode waktu yang berbeda. Tingkat-tingkat ini adalah:

1. Pengertian kesejarahan, harfiah 2. Pengertian kedoktrinan

3. Pengertian profetik atau tipologis 4. Pengertian filosofis

5. Pengertian mistis atau alegoris (Grant dan Tracy 1984, 55-56)

Pendekatan dasar ini dilanjutkan oleh Origenes (185-254 M), yang kemungkinan merupakan pemikir terbesar dari gereja kuno (Silva 1987, 36-37). Ia adalah kritikus kenaskahan, apologis, komentator, dan teolog sistematis yang pertama. Contoh yang baik dari pendekatannya dapat ditemukan dalam penafsirannya tentang Ams 22:20-21. Dia menggabungkannya dengan I Tes 5:23. Dengan cara ini setiap bagian dalam Alkitab memiliki tiga tingkatan penafsiran.

1. Sebuah pengertian secara "badani" atau harfiah 2. Sebuah pengertian secara "jiwani" atau moral

3. Sebuah pengertian secara "rohani atau alegoris/mistis" (Grant dan Tracy 1984, 59) Hermeneutika dari Aleksandria ini menguasai sebagian besar Gereja di bidang penafsiran sampai dengan masa Reformasi Protestan. Ini dapat ditandai dalam bentuk yang dikembangkan oleh Agustinus (354-430 M) dalam empat tingkatan penafsiran. 1. harfiah—mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah

2. alegoris—mengajarkan apa yang harus anda percayai 3. moral—mengajarkan apa yang harus anda lakukan 4. mistis—mengajarkan apa yang harus anda harapkan

Bagi gereja secara keseluruhan, bagian yang non-harfiah tersebut (# 2,3,4) mengandung wawasan-wawasan rohani yang murni. Namun demikian, penyalahgunaan metode non-historis, non-gramatikal telah menyebabkan pembentukan aliran penafsiran yag lain lagi. Aliran Antiokhia Syria yang berfokus pada kenaskahan Historis-Gramatikal (abad ketiga) menuduh kaum alegoris

1. mengimpor makna ke dalam naskah

2. memaksakan suatu arti tersembunyi ke dalam setiap naskah 3. menempatkan penafsiran yang fantastis dan tidak masuk akal

4. tidak mengizinkan kata-kata dan kalimat-kalimat untuk memikul arti normal, jelasnya (Sire 1980, 107)

65

Alegori, apabila dilakukan oleh seorang penafsir yang terlatih baik dan saleh, dapat memiliki nilai yang besar. Jelaslah bahwa baik Yesus (Mat 13:18-23) maupun Paulus (I Kor 9:9-10; 10:1-4; Gal 4:21-31) menjadi suatu preseden alkitabiah bagi pendekatan ini. Namun demikian, ketika digunakan sebagai alat untuk membuktikan doktrin favorit teologis seseorang atau membela tindakan tidak pantas dari seseorang, ini menjadi batu sandungan yang besar. Masalah utamanya adalah tidak adanya sarana untuk mendukung arti dari naskah itu sendiri (Silva 1987, 74). Keberdosaan umat manusia telah merubah metode ini (dan semua metode-metode sampai pada batas tertentu) menjadi sebuah sarana untuk membuktikan hampir apa saja dan kemudian menyebutnya Alkitabiah.

"Selalu ada bahaya eisegesis, yaitu membacakan ke dalam Alkitab ide-ide yang telah kita terima dari tempat lain dan kemudian menerimanya masing-masing dengan kewenangan yang telah kita gunakan mengelilingi buku tersebut" (Simposium Dewan Gereja Dunia pada Otoritas Alkitab untuk Zaman Ini, Oxford, 1949).

" Origenes dan banyak Orang lain yang bersama dengannya, telah mengambil kesempatan untuk menyiksa Alkitab, dalam segala cara apapun yang mungkin, jauh dari pengertian yang sebenarnya. Mereka menyimpulkan bahwa arti harfiahnya terlalu keras dan miskin, dan bahwa, di bawah bagian belakang sebelah luar dari surat tersebut, ada misteri yang lebih dalam yang mengintai, yang tidak dapat diekstraksikan kecuali dengan mengalahkan alegori-alegorinya. Dan untuk hal ini mereka tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya, karena spekulasi yang tampaknya cerdik telah dan akan selalu lebih disukai, oleh dunia daripada doktrin yang solid… dengan persetujuan sistem yang tak bermoral secara bertahap mencapai suatu ketinggian, sehingga mereka yang menggunakan Kitab Suci untuk kesukaannya sendiri tidak hanya dibiarkan lewat tanpa dihukum, tapi bahkan mendapatkan pujian yang tertinggi. Selama berabad-abad tidak seorangpun yang dianggap cerdas, bila tidak memiliki keterampilan dan keberanian yang diperlukan untuk merubah Firman Allah yang Kudus menjadi berbagai bentuk kepenasaranan. Ini tak diragukan lagi merupakan rancangan Iblis untuk melemahkan otoritas Alkitab, dan untuk mengambil keuntungan sejati dari pembacaannya. Tuhan mengunjungi penghujatan ini dengan penghakiman yang adil, yaitu ketika ia membiarkan arti murni dari Kitab Suci terkubur di bawah penafsiran palsu. Kitab Suci, kata mereka, adalah subur, dan ini menghasilkan berbagai makna. Saya mengakui bahwa Alkitab adalah sumber yang paling kaya dan tak habis-habisnya dari segala hikmat, tetapi saya menyangkal bahwa kesuburannya terdiri dalam berbagai arti yang dapat ditetapkan oleh siapa pun, berdasarkan kesenangannya. Marilah kita sekarang mengetahui, bahwa makna sebenarnya dari Alkitab adalah arti wajar dan jelasnya, dan mari kita merangkul dan mematuhinya dengan tegas. Marilah kita tidak hanya sekedar mengabaikan sebagai keraguan, tetapi juga secara tegas menyisihkan sebagai korupsi-korupsi

66

yang mematikan, eksposisi-eksposisi yang pura-pura tersebut, yang menjauhkan kita dari makna alamiahnya" (disertasi John Newport, ND, 16-17).

C. Aliran Antiokhia

Jelaslah bahwa aliran Aleksandria bisa dibenarkan bersifat terbuka pada tuduhan bahwa penafsirannya lebih mengandalkan kecerdikan si penafsir dari pada maksud dari penulis asli yang diilhami. Seseorang bisa, dan dapat, menyatakan sebuah penafsiran dan "membuktikan"nya dari Alkitab dengan menggunakan metode ini. Metode Antiokhia berfokus pada makna polos, jelas dari naskah Kitab Suci (Cole 1964, 87). Fokus dasarnya adalah memahami pesan dari penulis asli. Inilah sebabnya mengapa ini sebut pendekatan hermeneutika Historis-Gramatikal. Antiokhia bersikeras pada baik konteks historis maupun penggunaan normal dari bahasa manusia. Ini tidak menghilangkan kiasan-kiasan, nubuatan, atau symbol-simbol, tapi memaksa mereka untuk dihubungkan dengan maksud tujuan, latar belakang sejarah, dan gaya dari si penulis aslinya, bersama dengan pilihan aliran sastra dari penulis asli.

"Aliran Antiokhia bersikeras pada realitas historis dari pewahyuan Alkitabiah. Mereka tidak mau kehilangan hal itu dalam suatu dunia simbol dan bayangan. Mereka lebih bersifat Aristotelian daripada Platonis "(Grant dan Tracy 1984, 66). Beberapa pemimpin awal aliran penafsiran ini adalah: Lucian, Diodorus dari Tarsus, Theodore dari Mopsuestia, dan Yohanes Krisostomus. Aliran ini menjadi terlibat dalam penekanan yang berlebihan pada kemanusiaan Yesus. Ini telah diberi label Bidat Nestorian (Yesus memiliki dua kodrat, satu Illahi dan yang lain manusiawi)--dan ini merupakan sebuah bidat (lih. I Yoh 4:1-3). Untuk alasan inilah aliran ini kehilangan pengaruh dan banyak dari pengikutnya. Kantor pusatnya dipindahkan dari Syria ke Persia sehingga berada di luar disiplin Gereja Roma.

D. Prinsip-prinspi Dasar Aliran Antiokhia

Meskipun prinsip-prinsip dasar dari aliran Antiokhia ini berlanjut di tempat-tempat yang terpencil, hal ini meledak lagi dan mekar penuh di dalam Martin Luther dan John Calvin, seperti yang pernah mucul sebelumnya sebagai tunas di dalam Nicholas dari Lyra. Ini pada dasarnya adalah pendekatan hermeneutika yang berfokus historis dan tekstual dicoba diperkenalkan oleh Bukuteks ini. Seiring dengan tambahan penekanan pada aplikasinya, yang merupakan salah satu kekuatan dari Origenes, pendekatan Antiokhia dengan jelas membedakan antara eksegesis dan aplikasi (Silva 1987, 101). Karena Bukuteks ini terutama diperuntukkan bagi orang percaya yang tidak-terlatih secara teologis, metodologinya akan berfokus di sekitar naskah Kitab Suci dalam terjemahan daripada bahasa-bahasa aslinya. Bantuan-bantuan belajar akan diperkenalkan dan dianjurkan, tetapi arti yang jelas dari si penulis asli dapat, dalam sebagian besar kasus, dipastikan tanpa banyak bantuan dari luar. Karya dari para sarjana yang saleh, rajin

67

akan membantu kita dalam bidang bahan-bahan latar belakang, bagian-bagian yang sulit, dan melihat gambaran situasinya, tetapi pertama-tama kita harus bergumul dengan arti yang jelas dari Alkitab itu sendiri. Ini adalah hak istimewa kita, tanggung jawab kita, dan perlindungan kita. Alkitab, Roh, dan anda adalah prioritas! Wawasan tentang bagaimana menganalisis bahasa manusia pada tingkat non-teknis, bersama dengan kuasa Roh Kudus yang bersemayam, adalah pilar kembar dari pendekatan kontekstual / tekstual ini. Kemampuan Anda untuk menjadi agak bebas menafsirkan Alkitab untuk diri sendiri adalah tujuan utama dari Bukuteks ini. James W. Sire dalam bukunya Pembelokan

Alkitab membuat dua pandangan yang baik.

"Iluminasi datang ke dalam pikiran umat Allah—bukan hanya kepada kaum elit rohani. Tidak ada kelompok guru dalam Kekristenan yang Alkitabiah, tidak ada orang bijak, tak ada orang yang merupakan penafsir yang sempurna. Dan, demikianlah, ketika Roh Kudus memberikan karunia-karunia khusus hikmat, pengetahuan, dan membedakan roh, Ia tidak menugaskan orang-orang Kristen yang diperlengkapi ini menjadi satu-satunya penafsir yang sah dari Firman Allah. Terserahlah kepada setiap umat-Nya untuk belajar, menimbang, dan memahami sesuai petunjuk Alkitab yang berdiri sebagai otoritas atas bahkan mereka yang kepadanya Allah telah memberikan kemampuan khusus."

"Untuk meringkas, asumsi yang saya buat dikeseluruhan buku ini adalah bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang sejati kepada seluruh umat manusia, sehingga merupakan penguasa teritnggi kita atas segala hal yang dikatakanNya, sehingga hal tersebut bukanlah menjadi suatu misteri total tetapi dapat secara memadai dipahami oleh orang biasa dalam setiap kebudayaan" (hal. 17-18).

Kita jangan berani secara naif mempercayai penafsiran Kitab Suci orang atau denominasi lain, yang mempengaruhi bukan sekedar kehidupan saja, tetapi juga kehidupan yang akan datang. Tujuan sekunder dari Bukuteks ini adalah mendapatkan kemampuan untuk menganalisis penafsiran orang lain. Bukuteks ini menginginkan untuk menyediakan bagi orang percaya sebuah metode untuk mengkaji Alkitab secara pribadi dan sebuah perisai terhadap penafsiran orang lain. Bantuan secara ilmiah akan direkomendasikan, tetapi jangan diterima tanpa analisis dan dokumentasi kenaskahan yang tepat.

68

Dalam dokumen ANDA DAPAT MEMAHAMI ALKITAB: (Halaman 63-68)