pencuri” -Buya Hamka-
SINAR REMBULAN DI DESA PASANGGRAHAN Muhammad Sairi
Pengantar
Pertama kalinya dalam hidup Saya terjun langsung ke lapangan selama sebulan, mengabdi untuk negara, mengabdi untuk bangsa, mengabdi untuk masyarakat, dan mengabdi untuk mengemban tugas kampus sebelum lulus menggelar title sarjana. Semasa SMP dan SMA tidak pernah tahu apa yang disebut “Praktik Kerja Lapangan” (PKL), apalagi “Kuliah Kerja Nyata” (KKN)? tidak tahu seperti apa tugas-tugasnya dan mesti melakukan apa?. Bersyukur sekali bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah, tidak sia-sia Saya kuliah jauh-jauh dari hampir ujung Jawa Timur, tepatnya di Jember. Saya bermodalkan nekat dan keinginan yang bulat untuk terus belajar, belajar dan belajar. Jauh dari orang tua, bukanlah alasan Saya untuk meraih kata sukses. Jauh atau dekat jika berusaha, “man jadda wajada” kesuskesan akan mengiringinya. Perkenalkan Saya Muhammad Sairi kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sudah masuk semester akhir yaitu semester 7, sebelum skripsi mahasiswa diwajibkan ikut KKN (Kuliah Kerja Nyata), yakni pengabdian kepada masyarakat.
Sempat terbersit dalam benak, KKN? “ah tahun depan saja.” Sekarang kan masih percobaan. Bujuk rayu teman sekelas tak bisa Saya tolak, mereka memaksa KKN tahun ini saja. Berselang beberapa hari kemudian ada pemberitahuan dari website UIN (ais.uinjkt.ac.id), bahwa pendaftaran KKN melalui jalur online sekarang sudah dibuka. Saat itu masih buram pengetahuan tentang KKN, apa itu KKN? kemudian Saya berkonsultasi dengan senior-senior yang sudah KKN lebih dulu, ia mengatakan langsung bahwasannya “KKN itu santai, yang penting ada program dan program terlaksana, tidak usah banyak-banyak program sesuaikan dengan dana yang ada, percuma program banyak tapi dana tidak ada?” dalam benakku, mengiyakan saja yang dia ucapkan”. persoalannya senior tersebut tidak lulus-lulus kuliah sampai hari ini. Mungkin sebentar lagi ia akan diDO.
Berbicara angan-angan, kendala dan segala macamnya tentu yang namanya manusia pasti akan menghadapi semua itu. Kendala awal yang terbayang sebelum KKN bagi Saya adalah tempat tinggal. Mungkin di tempat KKN lain mudah mencari tempat tinggal selama kebutuhan KKN berlangsung. Tapi tidak bagi Saya, setelah melakukan survey beberapa kali ke
Sinar Rembulan di Langit Pasanggrahan | 51
lokasi belum juga mendapatkan rumah buat kami (sekelompok) yang akan menjadi tempat tinggal selama sebulan. Selain tempat tinggal, yang paling urgent juga adalah air. Air adalah nomor satu kebutuhan selama kami mengabdi. Ketika Saya dan teman-teman survey yang ketiga kalinya, ada warga yang bersedia menyewakan rumahnya tetapi fasilitasnya kurang memadai, air dan kamar mandinya tidak ada. Apa yang selama ini menjadi kehawatiran Saya ternyata terbukti, bahwa di desa masih minim fasilitas, dan dari situlah semangat Saya untuk mengabdi sedikit memudar. Ada rumah tapi tidak ada air dan kamar mandi, itu rumah apa saung?. “Saya menggerutu dalam hati”. Tidak mungkin juga kita membuat kamar mandi dan WC dengan dana yang sedikit, pastilah membutuhkan dana yang sangat banyak, dan itupun bukan hanya satu rumah yang tidak ada toilet, mayoritas masyarakat di desa tersebut masih menggunakan empang untuk sekedar buang hajat. “kata salah satu ibu-ibu warga yang enggan disebut namanya”. Semangat kami belum sirna sampai di situ. Kami berjalan menyusuri rumah-rumah warga, mencari rumah kosong tapi berisi untuk kami sewa sebulan lamanya. Keajaiban datang ketika Saya dan teman-teman berjemaah shalat magrib di Masjid Al-Ikhlas milik warga Taman Argo Subur. Selepas shalat ada satu warga yang menghampiri kami ke Masjid, “de, jika sudah selesai shalatnya ayo ke rumah Saya sudah ditunggu sama pak RT”, baik pak serempak kami menjawab. Kami dibawa keliling di dua blok S05-S06 dan S07-S08. Rumah sudah di depan mata tinggal dipilih rumah mana yang memenuhi syarat layak huni. Tembok warna kuning pagar hitam mencolok sekali dilihat oleh mata. Tanpa kami tanya, tiba-tiba bapak Topik salah seorang dari warga yang mendampingi kami berbicara “kalau ini jangan, sudah ada yang nempati”, seakan ia sudah tahu dengan isyarat mata Saya sebelum Saya menunjuk rumah itu. Kami pun segera berjalan kembali kira-kira sepuluh meter berjalan ada rumah warna yang tak kalah memesona dari rumah yang sebelumnya. Lalu kami masuk dan memeriksa kedalam, dua ruangan kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang belakang dapur. Tanpa diskusi panjang dengan teman-teman akhirnya kami putuskan untuk menyewa rumah itu.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Tak terbayang bagaimana tinggal satu rumah dengan orang yang baru kita kenal, masih asing, masih malu-malu, belum kelihatan sifat dan kelakuannya seperti apa, satu rumah lagi. Saya hanya pasrah dengan tugas yang diberikan. Inilah pembelajaran bagi setiap individu, bahwa tidak
52 | Desa Pasanggrahan Kecamatan Solear
selamanya kita bisa melakukan sesuatu dengan sendirian, pasti setiap manusia butuh bantuan manusia yang lain. Saya positif thinking kepada teman-teman KKN baik yang laki-laki maupun perempuan. Kami percaya kepada pihak PPM yang telah mengacak dan membagikan kami kelompok secara merata dalam artian semua fakultas ada perwakilan masing-masing, namun satupun tak ada yang Saya kenal ketika kami dipertemukan di ruang utama Auditoriun Harun Nasution. Saat pembekalan berlangsung Saya mendengar sebelumnya dari teman-teman yang sudah mendapatkan pembekalan KKN lebih dulu, bahwa sudah ditentukan tempat duduk masing-masing kelompok di barisan bangku yang berjejer.
Setelah Saya masuk ruangan kursi yang disediakan hampir penuh oleh mahasiswa, melihat pandangan ke sisi kiri tempat bangku disusun rapi. Saya ambil satu dan ikuti barisan yang paling belakang entah dikelompok mana duduk sekenanya saja. Saya kira hanya seorang diri yang terlambat hadir mengikuti pembekalan KKN oleh PPM, ternyata masih banyak mahasiswa lain yang datangnya lebih akhir. Sampai akhir pembekalan tak satu pun mahasiswa yang duduk dengan satu kelompok semuanya asik masing-masing, baru setelah dipanggil berdasarkan nomor kelompok yang sebelumnya sudah ditentukan ketika mengisi form pendaftaran KKN online, 11 orang yang mempunyai angka yang sama dikumpulkan jadi satu.
Suasana ricuh tak terkendali semua mencari kelompok masing-masing. Samping kanan Saya berteriak dengan lantang “yang kelompok 211 kesini” kemudian, “yang kelompok 209 di sini”, menoleh kearah mereka ternyata itu bukan kelompok Saya, di dalam Auditorium Harun Nasution keliling menanyakan satu persatu ditiap kelompok, di depan Saya ada satu kelompok “ini kelompok 210 bukan?”, bukan! Kompak mereka jawab. Lalu Saya tanya lagi kelompok lain jawabnya seragam, bukan!. Kelompok Saya pada diam malu-malu tak menunjukkan taringnya. Saya baru melihat teman kelompok ketika salah satu di antara mereka Apipudin dari FIDKOM menulis di selembar kertas dengan tulisan angka 210, sesekali ia teriak ditengah keriuhan mahasiswa “dua ratus sepuluh kelompoknya di sini” dan mencari sumber suara itu, bukan main, mereka sudah menunggu di pojok depan panggung Auditorium Harun Nasution, dan langsung menghampiri mereka di situlah kami saling berkenalan, Assyifa Handayani dari Adab dan Humaniora, Elia Feby Ariani dari Syari’ah dan Hukum, Amatullah Aliyah dari Ilmu Dakwah dan Komunikasi, M. Rizqo Yanuananda dari Ekonomi dan Bisnis, Sayangnya ada empat orang yang belum ikut kumpul. Ayu Andini dari
Sinar Rembulan di Langit Pasanggrahan | 53
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Hilma Rahmatia dari Fakultas Ushuluddin, Rihadhatul Aisy Azil dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Irfan Zevy dari Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Karena kami sedang mengemban tugas pengabdian kepada masyarakat. Menurut Saya masih lebih berat mengemban tugas masyarakat dari pada persoalan tidur serumah dengan orang yang baru kita kenal. Setelah kenal satu persatu sifat dan karakter teman-teman KKN, kami pun mulai lebih akrab satu sama lain. Rapat yang dilaksanakan sebelum KKN berlangsung mendekatkan pribadi Saya dengan teman-teman di fakultas lain, bagaimana tidak mau kenal, kelompok sudah ditentukan oleh PPM, Desa untuk KKN sudah tinggal survey ke lokasi, secara sistem sudah tersedia. Persoalan kenal sesama mahasiswa-mahasiswi bukan masalah bagi Saya, jangankan di fakultas lain, fakultas sendiri masih banyak yang belum kenal.
Saya senang sekali banyak teman, karena termasuk orang yang tidak pernah milah-milih teman, dengan siapapun berteman, dari anak-anak, sepantaran usia, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Berteman lebih menyenangkan, bermusuhan lebih menyeramkan. Hidup serasa suram meski hanya satu musuh. Sejatinya berteman adalah keharusan bagi manusia bila Saya ditanya, memilih teman apa musuh? dengan lantang memilih teman. Teman adalah sahabat dikala kita senang maupun susah. Sahabatlah yang selalu ada untuk Saya, sekedar mendengarkan curhatan, berbagi pengalaman dan berbagi kehangatan. Tidak ada yang mau mencari musuh, pasti jawabannya mencari teman. Selama sebulan Saya dipertemukan dengan orang-orang hebat yang mempunyai kemampuan dan keuletan masing-masing individu. Saya merasa minder ketika melihat teman sekelompok pada cerdas-cerdas, orang kota semua bahkan ada yang multi talent. Saya hanyalah orang kampung pelosok yang tidak tahu apa-apa harus berbaur dengan orang kota yang serba ada, ekonominya mapan, kehidupannya sudah tertata, masa depan yang lebih cerah dan lebih baik. Saya sebatang kara memperjuangkan hidup dari awal di kota yang sebelumnya tak pernah tahu Jakarta itu di mana? hanya mendengar sepintas dari orang-orang yang acapkali sering ke Jakarta. Bahwa Jakarta itu sumber kehidupan, sumber kerusuhan, kota penindasan. Tidak untuk Saya! Jakarta tak seperti yang terbayang sebelumnya. “surfival of the fitness” yang bisa menyesuaikan dirilah maka ia mampu mempertahankan hidupnya. Ketika Saya tahu Jakarta dan tinggal di kota ini tak semua yang didengar sebelumnya sama dengan kehidupan nyata.
54 | Desa Pasanggrahan Kecamatan Solear
Selama KKN berlangsung kami beradaptasi dengan lingkungan serba baru, teman-teman KKN yang baru kenal, masyarakat desa yang baru Saya kenal. Adanya yang lama pasti dimulai dari yang baru. Adanya perpisahan tentu ada pertemuan terlebih dahulu. Sebulan di desa orang, Saya banyak kenal dengan tokoh masyarakat, orang nomor satu di desa, serta masyarakat sekitar. Terutama teman-teman KKN. Ada pepatah yang sudah tidak asing lagi di dengar, “tak kenal maka tak Sayang, tak Sayang maka tak cinta”.
Sungguh beruntung Saya bisa satu kelompok dengan teman KKN yang berasal dari beragai wilayah, seperti Jakarta, Pamulang, dan Bogor. Terdapat kesan tersendiri ketika punya teman yang beda kota menyatu dalam satu visi misi demi tugas yang sama. Canda tawa yang melekat, meyelinap seperti surga yang menyejukkan jiwa. Tiada satupun hari terlewati dengan senyum manis yang mesra. Saya sudah nyaman dengan mereka, seperti keluarga sendiri. Susah move on, you’re as my family, love you all forever. Hal yang tak terlupakan bagi Saya adalah ketika pagi-pagi kami khususnya laki-laki kompak membangunkan perempuan yang masih pulas dalam tidurnya, menyuruh untuk shalat subuh. Selepas itu mereka memasak untuk breakfast together. Alangkah malang, alangkah Sayang surga tidak merindukanmu. Laki-laki pun demikian, mereka adalah calon ayah yang bertanggung jawab, mengingatkan shalat dan menuntun mereka ketika salah dalam bertindak. Perempuan tidak mau disakiti, perempuan butuh kasih Sayang dan kelembutan.
Saya Dan Keluarga Baru
Sesuai dengan namanya, warga di Desa Pasanggrahan terutama warga Taman Argo Subur, wilayah RT 04/06, masyarakatnya sangat santun, loyalitas yang tinggi, subur dan kompak. Sadar akan pendidikan, semua anak cucunya mereka sekolahkan, meski penduduk yang tinggal di Taman Argo Subur mayoritas pendatang dari berbagai kota. Dari segi keagamaan, sudah mumpuni, banyak majelis dan ulama. Namun sangat diSayangkan di sana adalah fasilitas Masjid. Penduduk banyak tetapi untuk tempat ibadah masih kurang. Satu-satunya Masjid yang berdiri adalah Masjid Al-Ikhlas yang ada di pojok kiri belakang rumah warga. Walau demikian Masjidnya selalu penuh orang yang shalat sampai diserambi Masjid.
Lingkungan yang asri, nyaman, bersih dan tentu masyarakat yang sangat aman, selama Saya tinggal di sana tidak pernah menemukan tindakan kekerasan dari warga. Warga pribumi sudah semakin sedikit, digeser oleh pendatang dari berbagai kota untuk sekedar mencari nafkah dan
Sinar Rembulan di Langit Pasanggrahan | 55
menghidupi keluarganya. Warga yang kompak, budaya gotong royong Saya temukan di Taman Argo Subur baik dalam kegiatan keagamaan, maupun kegiatan kebersamaan lainnya yang meliuti 17 Agustus-an dan lain sebagainya. Terutama ibu-ibu majelis taklim, setiap minggu pagi selalu mengadakan acara rutin pengajian di Masjid Al-Ikhlas. Pengajian mingguan yang digelar di Masjid dibagi dua, paginya diisi oleh ibu-ibu, malamnya dilanjut oleh bapak-bapak. Namun sedikit berbeda dengan majelis ibu-ibu, jatah pengajian mingguan hanya sekali di Masjid dan tiga kalinya di rumah warga. Minggu pertama di Masjid selebihnya berpindah-pindah dari rumah warga ke rumah warga lainnya. Kata ketua DKM Bapak Asep Wahyudi di Masjid Al-Ikhlas.
Sebelum kami pulang kembali ke Ciputat, kami diundang warga untuk mengikuti acara selametan akikahan di rumah warga, sebut saja namanya keluarga Bapak Mahmudin dan Bapak Agus. Hari itu kami diundang di acara yang sama dan tempat yang berbeda. Bapak Agus rumahnya berdekatan dengan rumah Bapak RT Djunaedi. Sehabis kami menghibahkan Al-Qur’an di Masjid Nurul Huda, kemudian dipanggil oleh bapak RT untuk ikut di acara akikahan anaknya Bapak Agus. Warga sangat antusias menghadiri acara yang bersangkutan, semangat gotong royong, dan bahu membahu sangat terjaga rapi. Mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. Tanpa kenal lelah meski demikian malam harinya ba’da Isya dilanjut dalam acara yang sama di kediaman Bapak Mahmudin, rumahnya berdampingan dengan kediaman Ustad Oka (wakil ketua DKM Masjid Al-Ikhlas).
Minggu terakhir sebelum kami pulang, Saya sangat terkesan dengan Ust. Asep Wahyudi (ketua DKM Masjid Al-Ikhlas), Ust. Oka dan Ust. Hengki tokoh masyarakat yang disegani warga. Beliau berpesan kepada kami “jangan pernah tinggalkan shalat sekalipun” pesan kami hanya satu itu, jika akhirat sudah kalian pegang, maka dunia akan mengikutinya. Kami tersanjung akan pesannya. Pesan penuh kesan merupakan oleh-oleh yang sangat mahal dari keluarga kamiyang baru, warga Taman Argo Subur. Itu pelajaran sekaligus kritikan kepada Saya pribadi agar menjaga shalat tepat waktu. Masih beruntung ada yang mau mengingatkan akan perkara wajib yang terkadang disepelekan dan pada dasarnya semua orang tahu tetapi sulit untuk melaksanankannya. Saya pribadi mengucapkan banyak terima kasih kepada tokoh masyarakat serta masyarakat umumnya atas pesan yang disampaikan kepada kami para pelajar yang sedang mengemban tugas
56 | Desa Pasanggrahan Kecamatan Solear
mengabdi dan berbakti untuk masyarakat. Kenyataan di masyarakat bukan orang kaya yang dinomor satukan, akan tetapi siapa yang paham dan mengerti tentang agama maka ialah yang akan dipandang di masyarakat. Percuma banyak harta, tapi buta akan urusan akhirat. Dunia hanya perhiasan akhirat. Hidup di dunia hanya singgah untuk kehidupan yang abadi, manusia akan kembali kepada sang khalik.
Kenangan Bersama
Seandainya Saya penduduk asli Desa Pasanggrahan Kecamatan Solear, Saya ingin sekali mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat desa supaya lebih dikenal di tataran nasional, lebih-lebih tingkat internasional. Tidak sedikit yang bisa menganyam atau punya keahlian di bidang anyaman bambu. Kualitas kerajinannya bagus, layak dipasarkan. Lagi-lagi yang menjadi pokok permasalahan bagi masyarakat Desa Pasanggrahan adalah pemasaran dari bahan setengah jadi ke bahan jadi. Mayoritas masih dimanfaatkan untuk penduduk lokal. Bila ada pesanan mereka baru menggarapnya. Selama tidak ada pemesan, mereka mencari pekerjaan lain.
Sangat diSayangkan kemampuan yang dimiliki tidak dikembangkan dengan baik. Pada akhirnya sedikit demi sedikit pengrajin akan merosot peminat. Problem lainnya adalah orang tua pengrajin tidak menyalurkan bakat dan kemampuannya kepada anak cucunya sehingga bakat yang dimiliki perlahan-lahan musnah dengan sendirinya. Saya diskusi dengan pengrajin bambu sebut saja namanya Samsul, ia ngobrol panjang lebar mengenai perkembangan pengrajin bambu di Desa Pasanggrahan yang mayoritas wilayah perkebunan desa dikelilingi oleh pohon bambu. Ada yang mengembangkan usahanya dengan membuat tirai bambu, ada yang membuat terobosan baru dengan membuat peci dari anyaman bambu dan lain sebagainya.
Namun permasalahannya adalah tenaga dan waktu. Kami tidak bisa tinggal lama di Desa Pasanggrahan, karena kami pun harus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Konsen kami memang bukan di bidang kerajinan, akan tetapi di bidang pertanian. Maka kami membuat program TOGA (Tanaman Obat Keluarga) serta Terarium (tanaman hias dalam botol). Program yang kami laksanakan disambut dengan antusiasme yang tinggi oleh masyarakat Desa Pasanggrahan. Sewaktu penyuluhan tanaman obat keluarga berlangsung antara narasumber dan peserta hidup, ada tanya jawab yang langsung diutarakan oleh peserta, umumnya peserta seminar
Sinar Rembulan di Langit Pasanggrahan | 57
penyuluhan TOGA adalah ibu-ibu PKK dan ibu-ibu warga Desa Pasanggrahan. Partisipasi dari bapak-bapak kurang lebih 40% yang ikut menimba ilmu tentang TOGA. Sebab warga laki-lakinya mayoritas pekerja buruh pabrik, dan petani. Jadi setiap hari kalau tidak bekerja di pabrik pasti lari ke ladang, atau ke sawah. Kebetulan ketika kami sedang KKN masyarakat yang petani sedang musim panen umumnya manen padi.
Target selanjutnya dari program kami adalah anak-anak sekolah seperti SMP, yaitu praktik pembuatan tanaman hias dalam botol atau sering disebut Terarium. Sebelum program ini terlaksana Saya dan teman-teman sebelumnya survey minta izin tempat sekaligus mau praktik pembuatan Terarium di SMPN Satap Pasanggrahan IV yang tak jauh lokasinya dari basecamp kami. Setelah mendapat rekomendasi dari kepala sekolahnya Bapak Acim, S.Pd, kami pun senang atas persetujuannya lalu Saya ditunjuk oleh teman-teman untuk konfirmasi kepada dosen pembimbing supaya memastikan bahwa program Terarium sudah disetujui oleh pihak sekolah. Lima hari kemudian kami langsung ke lokasi menjalankan program Terarium tersebut dengan penuh antusias.
Sebelum akhirnya Saya dan teman-teman kembali ke Ciputat pada tanggal 25 Agustus 2016 meninggalkan Desa Pasanggrahan. Desa tempat kami belajar berhadapan dengan masyarakat, berkontribusi untuk mensukseskan program desa, belajar memahami karakter teman, menyelesaikan persoalan dan menempa ilmu berharga yang selamanya tak bisa terlupakan. Bersama kita pasti bisa! Terima kasih Pasanggrahan, Terima kasih REMBULAN.
58 | Desa Pasanggrahan Kecamatan Solear
2
SEUNTAI CERITA DI DESA PASANGGRAHAN