• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOGRAFIS MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KARO

2.3 Sistem Perkawinan (Perjabun) Dalam Masyarakat Karo

Perkawinan atau pernikahan yang dalam bahasa Karo disebut perjabun dapat dipandang sebagai suatu upacara. Ini sesuai dengan yang ditulis Poerwadarminta bahwa: “Upacara merupakan suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama;

perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan

peristiwa penting”. Sesuai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan pada masyarakat Karo adalah upacara.

Secara umum definisi perkawinan adalah membangun sebuahjanji antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 1/74). Dalam hukum adat perkawinan tidak hanya akan mengikat kedua belah pihak mempelai melainkan juga mengikat keluarga besar kedua belah pihak mempelai. Menurut Djojodegoeno perkawinan adat merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya sebagai suatu ketunggalan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang berdasarkan patrilineal, maka bila seorang wanita menikah, dia masuk ke dalam kelompok suaminya. Perubahan status seorang wanita, masuk ke dalam kelompok suaminya, adalah ketika berlangsungnya pedalan emas atau pembayaran mahar dari keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin wanita.

2.3.1 Tujuan perkawinan dalam adat Karo

Bagi masyarakat Karo perkawinan membawa seseorang menjadi terlibat secara penuh dalam aktivitas adat Karo. Sebelum kawin walaupun sudah berumur belum dapat terlibat dalam aktifitas adat. Dengan demikian tujuan dari perkawinan secara adat adalah untuk melestarikan adat Karo. Dalam filosofi adat

Karo, bagi setiap keluarga pada masyarakat Karo metenget ersenina (peduli kepada senina), metenget ersenina (peduli kepada senina), mehamat erkalimbubu (hormat kepada kalimbubu), metami eranak beru (sayang terhadap anak beru), dan mekade-kade man jelma si enterem (merasa berfamili terhadap orang lain).

Metenget erseninaatau peduli kepada senina wujudnya boleh diartikan bahwa menganggap semua senina seperti saudara kandung sendiri. Wujud dari mehamat erkalimbubu atau hormat kepada kalimbubu. Bahkan sedemikian hormatnya ada sebutan kalimbubu Dibata ni idah, yang artinya kalimbubu itu seakan-akan Tuhan yang terlihat.Metami eranak beru atau sayang terhadap anak beru wujudnyamenganggap bahwa semua anak beru seperti anak kandung sendiri

Secara individu dalam konsep masyarakat Karo tujuan kawin sekurang-kurangnya ada 8 (delapan). Kedepan tujuan perkawinan tersebut adalah: 1) sangap enjabuken bana (beruntung telah kawin),2) ertuah bayak,tubuh anak dilaki anak diberu (mendapat keturunan yang lengkap melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan), 3) jumpa pencarin (memperoleh pendapatan yang cukup),4) merih manuk niasuh embuah page isuan (beranak pinak ayam dipelihara dan melimpah ruah hasil panen), 5) ngasup endahi kade-kade (mampu mengunjungi sanak famili atau kaum kerabat), 6) juah-juahen(sehat-sehat), 7)seh bagi sura-sura (sampai yang dicita-citakan) dan, 8) cawir metua. (hidup sehingga ujur).

2.3.2 Berdasarkan statusnya

Perkawinan dalam masyarakat Karo dapat dilihat berdasarkan 3 (tiga) hal, yaitu 1) berdasarkan statusnya,2) berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan, 3) berdasarkan besar kecilnya upacara.

Berdasarkan status orang yang kawin maka perkawinan dalam masyarakat Karo dibagi atas:

1) Erdemu bayu adalah perkawinan seorang anak perana dengan seorang gadis.

2) Lakomanadalah perkawinan seorang janda dengan salah seorang pria yang berasal dari saudara kandung suaminya yang telah meninggal dunia.

3) Gancih abu (ganti tikar). Gancih abu artinya kedudukan seorang istri yang telah meninggal dunia, digantikan oleh kakak atau adik wanitanya. Tujuan perkawinan ini adalah untuk mendidik anak kakak atau adiknya tersebut agar tidak terlantar. Karena apabila sang ayah menikah dengan wanita lain dikhawatirkan seorang ibu tiri tidak akan mendidik dan merawat anak –anak seperti darah dagingnya sendiri.

4) Mindo ciken (minta tongkat) atau disebut juga mindo lacina (minta cabai) adalah perkawinan seorang lelaki dengan janda kakeknya. Perkawinan seperti ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak masih dibenarkan menurut adat.

Perkawinan ini terjadi karena si kakek meninggal dunia.

5) Mindo nakan. Seorang pria yang telah dewasa mengawini ibu tirinya, disebabkan ayahnya telah meninggal dunia.

6) Ndehara pejabu dilakina, istri menikahkan suaminya biasanya disebabkan silaki-laki tidak mampu memberikan keturunan.

2.3.3 Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan

Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan, maka jenis perkawinan dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah:

1) Jumpa impal. Perkawinan jumpa impal adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita, anak daripada saudara laki-laki-laki-laki dari ibu. Perkawinan ini yang dianggap paling diidamkan pada masyarakat Karo dan dibenarkan adat istiadat.

Si wanita adalah anak dari pihak kalimbubu, dan si laki-laki adalah berasal dari pihak anak beru. Perkawinan ini dapat dibagi dua yaitu: 1) Berusingumban adalah perkawinan antara laki-laki dengan seorang wanita, anak paman (saudara laki-laki dari ibu). Wanita yang menjadi isteri sama beru-nya dengan beru ibu pria, 2) Beru puhun adalah perkawinan antara laki-laki dengan seorang wanita, dimana wanita itu adalah anak daripada daripada ipar bapak.

Bagaimana pun wanita yang menjadi isteri adalah sama beru-nya dengan beru nenek kandung (ibu kandung bapak) .

2) Berkat sukat senuan, Perkawinan yaitu apabila calon pengantin yang akan menikah, walaupun mempunyai hubungan kekerabatan, tetapi tidak dibenarkan adat untuk saling mengawini. Misalnya seorang pria menikahi seorang wanita - kalau menurut adat wanita sang calon tersebut cocok untuk anak paman sang pria. Atau istilah lain pihak anakberu menikahi anak puang kalimbubu.

3) Petuturken. Perkawinan petuturken juga disebut emas perdemuken yaitu apabila seorang pria atau wanita yang berumah tangga belum mempunyai hubungan kekerabatan sebelumnya. Hubungan kekerabatan terjadi justru karena adanya perkawinan tersebut.

2.3.4 Berdasarkan besar kecilnya upacara

Berdasarkan besar kecilnya upacara perkawinan dalam masyarakat Karo, dibagi menjadi tiga.

1) Kerja sintua (upacara besar). Upacara besar dalam hal ini adalah upacara yang dihadiri oleh sedapat-dapatnya semua kaum kerabat yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang disebut dengan istilah masih erdemu urat ni jaba. Dalam hal ini kedua keluarga pengantin mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Upacara diadakan di gedung pertemuan seperti jambur, losd, hotel yang mampu menampung banyak undangan. Dalam pelaksanaannya disajikan gendang (musik) lengkap dengan perkolong-kolongatau penyanyi tradisi Karo.

2) Kerja sintengah (upacara menengah).Upacara menengah dimaksud adalahpihak keluarga pengantin laki-laki dan pengantin wanita mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Upacara diadakan di gedung pertemuan jambur, losd yang mampu menampung banyak undangan.

Dalam pelaksanaannya ada penyajian gendang (musik) namun tidak ada perkolong-kolong penyanyi tradisi Karo.

3)Kerja singuda (upacara kecil). Upacara kecil dalam hal ini dimaksud bahwa keluarga pengantin laki-laki dan pengantin wanita tidak mengundang semua kaum kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Kaum kerabat yang diundang hanya terdekat saja dari kedua belah pihak. Upacara diadakan di rumah pengantin wanita, tidak diadakan pertinjukan gendang (musik).

2.3.5 Perkawinan antara berbeda suku

Dalam upacara perkawinan Karo, tidak ada konsep mengenai adat perkawinan antara suku yang berbeda. Oleh sebab itu, apabila terjadi perkawinan beda suku maka dalam adat Karo, orang yang bukan suku Karo harus terlebih dahulu menjadi suku Karo. Apabila seorang laki-laki yang bukan suku Karo mengawini perempuan yang bersuku Karo, maka laki-laki tersebut menjadi anak dari bibi atau saudara perempuan dari bapak pengantin perempuan. Dengan demikian maka marga atau klan pengantin laki-laki sama dengan marga atau klan suami bibi pengantin perempuan. Seandainya bapak pengantin perempuan tidak mempunyai saudara perempuan maka dapat dipilih dari saudara yang lebih dekat.

Tetapi apabila seorang perempuan yang bukan suku Karo dikawini laki-laki yang bersuku Karomaka perempuan tersebut menjadi anak dari mama atau paman atau saudara laki-laki dari ibu pengantin laki-laki. Dengan demikian maka beru atau klan pengantin perempuan sama dengan marga atau klan ibu pengantin laki-laki. Seandainya ibu pengantin laki-laki tidak mempunyai saudara laki-laki maka dapat dipilih dari saudara yang lebih dekat.

Pengangkatan merga atau beru dari pengantin yang bukan suku Karo harus berlangsung sebelum ada acara lamaran atau maba belo selembar. Dengan demikian maka dalam kedua kasus di atas dapat dipandang sebagai perkawinan jumpa impal seperti yang telah dijelaskan di atas.

2.3.6 Perceraian pada masyarakat Karo

Perceraian pada masyarakat Karo sangat jarang terjadi, hal ini mungkin karena perceraian itu dianggap sangat memalukan. Dalam kaitan perceraian ada semboyan pada masyarakat Karo yang menyatakan ukuri roleh-olih yang artinya pikirkan berulang-ulang. Namun dengan berbagai pertimbangan religi dan sosial.

Misalnya dari sisi religi adalah sudah kehendak Tuhan tidak dapat menyatu lagi dalam satu biduk rumah tangga. Demikian pula secara sosial, tidak dapat lagi disatukan, dengan faktor-faktor seperti kekerasan dalam rumah tangga, tidak bertanggung jawabnya kepala rumah tangga terhadap kebutuhan hidup dan masa depan, dan lain-lain, maka perceraian “terpaksa” dilakukan. Orang yang membicarakan peceraian adalah anak beru dari kedua belah pihak.