• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNOGRAFIS MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KARO

2.2 Sistim Kekerabatan

Sistim kekerabatan atau kekeluargaan adalah suatu sistem yang mengatur hubungan seseorang atau masyarakat khususnya yang dapat mengatur serta mengelompokkan masyarakat dalam tatanan sosial dan budaya. Seperti halnya sebagian bangsa lain di dunia, masyarakat Karo juga mempertahankan sistem kehidupan kekeluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut dipertahankan dengan cara mencamtumkan nya di belakang nama. Nama keluarga ini disebut merga untuk laki-lakidan beru untuk wanita. Nama keluarga ini diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah). Namun demikian masyarakat Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan ibu yang disebut dengan bere-bere.

Untuk memahami sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo, terlebih dahulu kita harus memahami semboyan hidup masyarakat Karo yaitu merga si lima (marga / klan yang lima), rakut si telu (ikatan yang tiga),tutur si waluh (hubungan kekeluargaan yang delapan), dan pekade-kaden sepuluh dua tambah sada (sapaan kekeluargaan yang dua belas tambah satu).

2.2.1 Marga si lima (Marga atau klen yang lima)

Salah satu identisas masyarakat Karo adalah merga atau marga atau klen.Merga atauberu tersebut dicantumkan dibelakang nama seseorang. Merga dipakai sebagai nama belakang laki-laki dan beru sebagai nama belakang wanita.

Sedemikian pentingnya marga ini pada masyarakat Karo sehingga menjadi nama kedua setelah nama yang sesungguhnya.

Pada masyarakat Karo merga ada lima, yaitu ditulis berdasarkan abjad mulai dari Ginting, Karo-karo, Perangin-angin,Sembiring, dan Tarigan. Masing-masing merga ini mempunyai cabang-cabang. Merga ginting mempunyai cabang 15, Karo-karo mempunyai cabang 18, Perangin-angin mempunyai cabang 17, Sembiring mempunyai cabang 18, dan Tarigan mempunyai cabang 13.

Ada beberapa cabang dari merga tersebut di atas begitu penting dalam penelitian ini, karena cabang merga itu yang disandang oleh orang-orang yang terlibat dalam upacara perkawinan yang dijadikan sebagai korpus. Pada merga Perangin-angin yang penting adalah cabang Bangun, Sukatendel,Sebayang, danSingarimbun. Bangun cabang merga keluarga pengantin laki-laki. Sementara Sukatendel,Sebayang, danSingarimbun adalah puang kalimbubu dari pengantin laki-laki.Puang kalimbubu adalah kalimbubu daripadakalimbubu. Arti kalimbubuadalah keluarga pemberi atau ahli waris daripada ibu dan istri.

Pada merga karo-karo cabang yang penting adalah Bukit, Sinuraya,Surbakti,danPurba. Bukit cabang merga dari bapak pengantin wanita, maka pengantin wanita beru Bukit. Cabang merga Sinuraya danSurbakti adalah sembuyak daripada Bukit. Sembuyak berarti sama merga berbeda cabang merga.

Sedangkan mergaPurba cabang dari merga Karo-karo adalah juga puang kalimbubu daripada pengantin laki-laki.

Pada merga Sembiring cabang yang penting adalah Milala, karena juga kalimbubu daripada keluarga pengantin laki-laki. Sementara pada merga Ginting dan Tarigan tidak ada disebut cabang mergawalaupun merga Tarigan sebagai puang kalimbubu daripada pengantin laki-laki dan merga Ginting adalah juga kalimbubunya.

Oleh karena merga atau beru merupakan gelar kedua pada masyarakat Karo maka dapat menjadi nama panggilan untuk diri atau kelompok keluarga.

Bagi seseorang yang bermarga Karo-karo dapat dipanggil ‘Mama Karo’ atau

‘Karo Mergana.’ Sementara bagi wanita disebut ‘Beru Karo’ atau ‘Nande Karo.’

Kenyataan seperti ini juga berlaku pada cabang merga lain, seperti ‘Mama Bukit’,

‘Bukit Mergana,’ ‘Beru Bukit’ atau ‘Nande Bukit.’ Ada perubahan sebutan pada mergatarigan dan sembiring apabila di panggil terhadap wanita, maka disebut

‘Nande Tigan’ bukan ’Nande Tarigan’ dan ‘Nande Biring’ bukan ‘Nande Sembiring.’ Kalau terhadap laki-laki bukan ‘Mama Tarigan’, tetapi ‘Mama Tigan’

dan bukan ‘Mama Sembiring’ tapi ‘Mama Biring.’

Ada panggilan khusus terhadap merga Perangin-angin, yaitu Tambar Malem. Tambar Malem dapat diartikan obat yang membuat kesejukan. Ini sangat berhubungan dengan pada merga tersebut ada angin yang diasumsikan akan memberikan kesejukan.

2.2.2 Rakut Si Telu (Ikatan yang tiga)

Rakut si telu atau ikatan yang tiga pada masyarakat Karo terdiri dari senina, kalimbubu dan anak beru.Rakut adalah ikatan, si adalah kata penghubung yang,sedangkan telu adalah tiga (Darwin Prinst, 2006). Dalam sebuah keluarga dua orang anak laki-laki atau lebih disebut ersenina (bersaudara). Dalam konteks rakut si telu, mereka ini kelompok atau pihak senina. Semua anak wanita dari keluarga di atas adalah menjadi kelompok anak beru dari anak laki-laki. Semua anak laki-laki pada keluarga di atas menjadi kelompok kalimbubu dari anak wanita.

Setingkat lebih luas dari keluarga di atas, bahwa semua saudara laki-laki dari bapak adalah kelompok senina; semua saudara wanita dari bapak adalah kelompok anak beru; dan semua saudara laki-laki dari ibu adalah kelompok kalimbubu. Ini merupakan emberio daripada rakut si telu yang dikembangkan secara analogis terhadap keluarga-kelurga yang lain yang dianggap masih mempunyai hubungan darah. Hal ini yang menyebabkan pada masyarakat Karo dalam melakukan upacara adat selalu mempunyai undangan yang banyak.

Keberadaan rakut si telu pada masyarakat Karo demikian pentingnya sehingga disebut sangkep enggeluh atau kelengkapan dalam kehidupan.

Pendangan ini boleh dilihat dalam semboyan, madat esenina, mehamat erkalimbubu, metami ranak anak beru, mengake-kade ku jelma si enterem. Ini boleh diartikan peduli kepada senina, hormat kepada kalimbubu, dan sayang kepada anak beru dan merasa berfamili dekat dengan semua suku bangsa.

Sedemikian pedulinya kepada senina sehingga senina selalu dibuat sebagai penggung jawab dalam musyawarah adat. Sedemikian hormatnya kepada kalimbubu maka sering disebut Dibata ni idah atau Tuhan yang terlihat.

Sedemikian sayangnya terhadap anak beru sehingga disebut perkakukakun enggeluh atau penggerak kehidupan dan juga disebut kuda dalan, yang berarti yang mengerjakan semua aspek aktivitas adat. Sedemikian merasa berfamili dekat dengan suku bangsa yang lain sehingga disebut teman meriah atau kawan akrab.

2.2.3 Tutur Si Waluh (Hubungan kekeluargaan yang delapan)

Ertutur berasal dari kata er artinya sisipan kata yang menunjukkan kata kerja, dan tutur artinya hubungan dan tingkat kekerabatan. (Darwin Prinst, 2006).

Ertutur adalah proses untuk perkenalan atau mengenalkan seseorang untuk menentukan hubungan dalam tingkat kekerabatan pada masyarakat Karo, baik dalam upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang dilakukan dengan menanyakan apa merga (garis keturunan berdasarkan ayah) dan bere-bere (garis keturunan berdasarkan ibu).

Proses ertutur dipakai oleh setiap masyarakat Karo tidak hanya dalam satu lingkaran keluarga besar namun juga untuk orang yang tidak masuk dalam lingkaran keluarga tersebut. Oleh sebab itudapat dikatakan semua orang Karo yang memiliki merga dan beru dapat menjadi kade-kade atau saudara. Hubungan akan diketahui dengan melakukanproses ertutur sehingga akan dapat menetapkan posisinya dimana antara yang satu dengan yang lain.

Tutur si waluh (hubungan kekeluargaan yang delapan) merupakan pengembangan dari rakut si telu atau ikatan yang tiga. Dalam situs Karo dicatat hubungan kekerabatan yang delapan adalah, sipemeren, siparibanen, sepengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singukuri, kalimbubu, dan puang kalimbubu.

1) sipemeren berarti bersaudara ibu, 2) siparibanen berarti bersaudara isteri,

3) sepengalon berarti mempunyai anak beru yang sama, 4) anak beru berarti keluarga saudara perempuan, 5) anak beru menteri berarti anak beru dari anak beru, 6) anak beru singukuri berarti anak beru yang mengikuti, 7) kalimbubu berarti keluarga pemberi isteri, dan

8) puang kalimbubu. berarti kalimbubu dari kalimbubu.

Di lain sisi, menurut Malem Ukur Ginting, jauh sebelum ada website Karo tutur siwaluh di buat seperti berikut9:

1) senina berarti bersaudara sama marga sama cabangnya,

2) sembuyak berarti bersaudara sama marga tidak sama cabangnya, 3) siparibanen dan sipermeren, bersaudara isteri dan bersaudara ibu, 4) sepengalondan sedalanen berarti mempunyai anak beru yang sama dan kalimbubu yang sama,

5) anak beru berarti keluarga saudara perempuan, 6) anak beru menteri berarti anak beru,

7) kalimbubu berarti keluarga pemberi isteri, dan 8) puang kalimbubu, berarti kalimbubu dari kalimbubu.

Terdapat perbedaan yang besar dari kedua keterangan tersebut. Pada keterangan pertama, kelompok senina ada ada 3 bagian, kelompok anak beru ada 3 bagian dan kelompok kalimbubu ada 2 bagian. Sedangkan pada keterangan kedua, kelompok senina ada ada 4 bagian, kelompok anak beru ada 2 bagian dan kelompok kalimbubu ada 2 bagian.

2.2.4 Perkade-Kaden Sepuluh Dua Tambah Sada (Sapaan kekeluargaan yang dua belas tambah satu)

Perkade-kaden sepuluh dua tambah sada atau sapaankekeluargaan yang dua belas tambah satu berasal dari kata kade-kade artinya hubungan keluarga.

Sepuluh dua tambah sada artinya dua belas tambah satu. Dengan demikian dalam konteks ini bermakna bahwa sapaan hubungan persaudaraan secara struktur sosial pada masyarakat Karo ada dua belas dan tambah satu diartikan berasal dari orang luar yang masuk kedalam sistem struktur tatanan sosial masyarakat Karo, seperti sapaan om, tante, pakcik, pakde, dan yang lain.

Dalam website Karo ditulis bahwa perkade-kaden sepuluh dua atau sapaan kekeluargaan yang dua belas adalah: nini, bulang, kempu, bapa, nande, anak, bibibengkila, permen, mama, mami, bere-bere.

1) nini (nenek), seperti ibu dari bapak dan ibu dari ibu, 2) bulangkakek),seperti bapak dari bapak dan bapak dari ibu, 3) kempu (cucu), seperti anak dari anak laki-laki dan perempuan,

4) bapa (bapak), 5) nande (ibu), 6) anak,

7) bibi (saudara perempuan bapak),

8) bengkila (suami sauadara perempuan bapak), 9) permen (anak dari saudara laki-laki isteri), 10) mama (saudara laki-laki ibu),

11) mami (isteri dari mama),

12) bere-bere (anak dari saudara perempuan).

2.2.5 Perubahan sebutan tutur si waluh(kekeluargaan yang delapan) Akibat Konteks Gender Dan Status Dalam Upacara

Kalimbubu yang paling dekat dalamkonteks upacara perkawinan adalah saudara ibu kandung pengantin. Dalam kehidupan sehari hari mereka ini disebut kalimbubu si mupus, yang berarti kalimbubu yang melahirkan. Namun demikian dalam konteks perkawinan sebutan kalimbubu ini berubah berdasarkan gender.

Apabila yang melaksanakan upacara perkawinan adalah anak laki-laki maka kalimbubu ini disebut kalimbubu si ngalo ulu emas. Lebih jauh lagi, apabila yang berumah tangga adalah anak perempuan maka sebutannya adalah kalimbubu si bere-bere. Kalimbubu ini juga bernama kalimbubu sinangketken ose atau kalimbubu yang menyematkan pakai adat dalam setiap upacara.

Kurang lebih kenyataan seperti ini juga terjadi pada puang kalimbubu.

Puang kalimbubu yang paling dekat adalah anak laki daripada saudara

laki-laki dari nenek, ibu yang melahirkan ibu. Pada waktu mengawinkan anak laki-laki-laki-laki namanya kalimbubu singalo ciken-ciken. Yang menarik, pada waktu mengawinkan anak perempuan namanya kalimbubu si ngalo perkempun.

Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari keluarga sepengambilan disebut siparibanen. Nama ini tetap berlaku dalam hal mengawinkan anak laki-laki. Namun dalam mengawinkan anak perempuan mereka disebut kalimbubu si ngalo perbibin. Sembuyak merupakan kerabat semarga namun berbeda cabang marga. Apabila salah salah seorang dari mereka sebagai penanggung jawab upacara maka dia disebut senina sikaku ranan atau kerabat yang menetukan pokok pembicaraan.

Pada anak beru, ada namanya anak beru i pupus atau anak beru yang dilahirkan. Mereka ini adalah anak kandung dari saudara perempuan kita. Tetapi kalau salah satu daripada mereka telah ditetapkan dengan suatu acara tertentu dia menjadi juru bicara, maka statusnya menjadi anak beru tua dan panggilannya adalah anak beru singerana.