• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi balita stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi yang tertinggi secara nasional dengan angka mencapai 42,6 persen

PROGRAM PENANGANAN STUNTING DI DAERAH

7.1 STUNTING DAN KOMITMEN PEMERINTAH

Menurut Kementerian Kesehatan, stunting (kerdil atau pendek) adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) sebagai akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seusianya.

Permasalahan stunting pada usia dini, akan menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam jangka pendek stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Sedangkan dalam jangka panjang stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual sebagai akibat dari gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia. (Shekar, 2017) Menurut laporan Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Sementara itu, di lingkup nasional, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi balita stunting nasional adalah sebesar 30,8 persen. Dari jumlah tersebut prevalensi balita stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi yang tertinggi secara nasional dengan angka mencapai 42,6 persen. Dengan estimasi jumlah balita di NTT mencapai 633.000 jiwa maka sebanyak 260 ribu balita di NTT tumbuh tidak seperti balita di usianya. Secara ekonomi, potensi kerugian ekonomi akibat strunting diperkirakan mencapai 2-3 persen dari PDB (bappenas). Dengan demikian, jika PDRB NTT tahun 2019 mencapai Rp 106 triliun, maka potensi kerugian ekonomi akibat stunting di NTT bisa mencapai Rp 3,18 triliun per tahun.

Melihat dampak kerugian yang luar biasa ini, pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan percepatan pencegahan stunting. Beberapa wujud komitmen pemerintah telah diwujudkan dalam beberapa dasar hukum terkait upaya pencegahan stunting, diantaranya (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan meliputi di

Pasar Inpres Kota Kupang, Melihat Kekayaan di Desa-desa Pulau Timor dan Sekitarnya

Pasar Inpres Kota Kupang, Melihat Kekayaan di Desa-desa Pulau Timor dan Sekitarnya

KAJIAN FISKAL REGIONAL TAHUN 2019

NUSA TENGGAR TIMUR

93

antaranya arah dan tujuan perbaikan gizi masyarakat; (2) Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa status gizi masyarakat merupakan salah satu pertimbangan dalam pembangunan pangan dan mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RAPG) setiap lima tahun; (3) Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas PPG); (4) Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dimana salah satu tujuannya adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan.

Sebagai pendalaman, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pencegahan stunting melalui penetapan indikator dan target pencegahan stunting sebagai sasaran pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di tatanan pemerintah daerah, percepatan pencegahan stunting ini telah menjadi salah satu prioritas dan misi pembangunan NTT yang tertuang dalam RPJMD Provinsi NTT tahun 2018-2023 yaitu meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.

Lebih lanjut, dalam rangka menjamin pembiayaannya dalam APBN, melalui Peraturan Kementerian Keuangan Nomor PMK 142/PMK.02/2018 telah mengangkat Upaya Konvergensi Penanganan Stunting sebagai salah satu Tematik APBN 2019. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya nanti diharapkan dapat termonitor dengan baik khususnya pada aspek kuantitatif (output per alokasi) maupun aspek kualitatif (intergrasi lintas sektor penanganan stunting).

7.2 KONVERGENSI PERCEPATAN PENCEGAHAN STUNTING

Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menujukkan bahwa prevalensi stunting (kerdil/pendek) di NTT tertinggi di Indonesia yakni sebesar 42,6 persen. Angka tersebut lebih tinggi, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 30,8 persen. Selain itu prevalensi kurus (wasting) di beberapa kabupaten/kota di NTT juga sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 15 persen.

Sebagaimana dalam gambar 7.1, jumlah balita stunting tertinggi berada pada Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan jumlah 15.961 jiwa. Sementara itu, jumlah balita stunting terendah berada di Kabupaten Sumba Barat dengan jumlah 1.518

KAJIAN FISKAL REGIONAL TAHUN 2019

NUSA TENGGAR TIMUR

94

jawa. Menurut Bappenas dan Kemenkes, penyebab masalah stunting di Indonesia terdiri dari penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.

Gambar 7.1 Sebaran Prevalensi Stunting Menurut Kabupaten/Kota, 2019

Sumber : Bappelitbangda, Provinsi NTT

Penyebab Langsung merupakan yaitu penyebab dari masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi, lingkungan sosial yang terkait dengan pengasuhan bayi dan anak, akses terhadap pelayanan kesehatan, serta kesehatan lingkungan yang meliputi ketersediaan sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan).

Gambar 7.2 Kerangka Penyebab Masalah Stunting di Indonesia

KAJIAN FISKAL REGIONAL TAHUN 2019

NUSA TENGGAR TIMUR

95

Saat ini, upaya penurunan stunting dilakukan melalui (1) intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung masalah gizi (asupan makan dan penyakit infeksi) dan berada dalam lingkup kebijakan kesehatan. (2) intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung yang mendasari terjadinya masalah gizi (ketahanan pangan, akses pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, serta pola asuh) dan terkait dengan kebijakan yang lebih luas tidak terbatas bidang kesehatan saja tetapi juga pertanian, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi, perlindungan sosial, dan pemberdayaan perempuan. (3) Lingkungan (prasyarat) pendukung yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan. Konsepsi ini telah diformulasikan ke dalam kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi yang diturunkan dari lima pilar pencegahan stunting secara nasional sebagaimana dalam gambar 7.3 berikut ini

Gambar 7.3 Kerangka Konseptual Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi

Sumber: Bappenas

Melihat faktor penyebab stunting yang bersifat multi dimensi/sektor maka untuk percepatan pencegahan stunting yang lebih efektif perlu adanya sinergitas penanganan yang dilakukan secara konvergen. Konvergensi merupakan pendekatan intervensi secara terkoordinir dan terpadu serta bersama-sama pada target prioritas yang telah ditetapkan. Intervensi secara konvergen ini dilakukan dengan

KAJIAN FISKAL REGIONAL TAHUN 2019

NUSA TENGGAR TIMUR

96

menggabungkan atau mengintegrasikan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan pencegahan stunting.

Upaya ini diyakini dapat tercapai jika (1) Program nasional, daerah, dan desa sebagai penyedia layanan intervensi gizi spesifik dan sensitif dilaksanakan terpadu dan terintegrasi sesuai kewenangan; (2) Layanan setiap intervensi gizi tersedia dan dapat diakses bagi masyarakat yang membutuhkan terutama pada kelompok 1.000 HPK. (3) Kelompok target prioritas menggunakan dan mendapatkan manfaat dari layanan tersebut.

Untuk itu, dalam bahasan selanjutnya, diperlukan adanya monitoring pengukuran ketercapaian tujuan kegiatan melalui analisis kualitas dan kuantitas program penanganan stunting baik yang bersumber dari belanja APBN maupun APBD.