• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Rumah Sakit

2.1.1.Pengertian Rumah Sakit

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Menurut Willan dalam Aditama (2006) istilah rumah sakit sendiri berasal dari kata hospital yang berasal dari bahasa latinhospitium, yang memiliki arti suatu tempat atau ruangan untuk menerima tamu. “Rumah sakit bukan hanya suatu tempat, namun juga sebuah fasilitas, sebuah institusi dan juga sebuah organisasi”. Rumah sakit harus dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya serta harus menyediakan fasilitas yang lapang, tidak berdesak-desakkan dan terjamin sanitasinya bagi kesembuhan pasien.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang yang sehat. Kumpulan banyak orang ini akan dapat memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan penyakit, gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya risiko dan gangguan kesehatan maka diperlukan penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor44 Tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 19 ayat 2 rumahsakitumumadalahrumahsakit yang memberikanpelayanankesehatanpada semua bidang dan jenis penyakit. Pada pasal 10 ayat 1 tentang bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan rumah sakit yang dimaksud pada ayat 1 paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, danpelataran parkir yang mencukupi.

2.1.2.Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

9

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 dalam pasal 4 (empat) tugas dari rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna.

Maksudnya adalah setiap kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.

Untuk menjelaskan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (empat), rumah sakit mempunyai fungsi :

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit

2.2.1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para petugas/ buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat

kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

Menurut Suma’mur (1976) kesehatan kerja adalah spesialisasi ilmu kesehatan/

kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum (Budiono et.al, 2009).

Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi petugas di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan petugas yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan bagi petugas dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan petugas dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya. (Kepmenkes, 2007).

Menurut Budiono (2006) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan.

Upaya K3 di rumah sakit menyangkut tenaga kerja, cara/ metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Di tempat kerja, kesehatan dan kinerja seorang pekerja sangat dipengaruhi oleh :

1. Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.

2. Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik maupun non fisik dalam menyelesaikan pekerjaannya, kondisi tersebut dapat diperberat oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non fisik.

3. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang memengaruhi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya (Budionoet.al, 2009).

2.2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, manajemen K3 di rumah sakit merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan K3 di rumah sakit. K3 perlu dikelola dengan baik agar penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah manajemen K3 di rumah sakit bagi pengelola maupun karyawan rumah sakit yang bertujuan terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan di rumah sakit. Terdapat beberapa penyebab yang sering terjadi dalam pekerjaan, yaitu :

1. Faktor perorangan antara lain kurang pengetahuan, kurang keterampilan, motivasi kurang baik, masalah fisik dan mental.

2. Faktor pekerjaan antara lain standar kerja yang kurang baik, standar perencanaan yang kurang tepat, standar perawatan yang kurang tepat, standar pembelian yang kurang tepat, retak akibat pemakaian setelah lama dipakai, pemakaian abnormal.

Dari penjelasan di atas, timbul beberapa kondisi yang sering dijumpai yaitu pengamanan tidak sempurna, APD yang tidak memenuhi syarat, bahan atau peralatan kerja yang telah rusak, gerak tidak leluasa karena tumpukan benda, sistim tanda bahaya yang tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang mengandung bahaya, seperti iklim kerja panas atau dingin, penerangan tidak memenuhi syarat, ventilasi kurang baik, tingkat kebisingan tinggi, pemaparan terhadap radiasi (Suardi, 2005).

2.2.3. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Dari pasal tersebut jelas bahwa rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung rumah sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan upaya-upaya K3 di rumah sakit.

Potensi bahaya di rumah sakit selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang memengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas mengancam jiwa dan

kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit.

2.2.4. Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit 1. Komitmen dan Kebijakan

Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan rumah sakit. Manajemen rumah sakit mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan saran untuk terlaksananya program K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 di rumah sakit diwujudkan dalam bentuk wadah K3RS dalam struktur organisasi rumah sakit.

Untuk melaksanakana komitmen dan kebijakan K3RS perlu disusun strategi antara lain :

a. Advokasi sosialisasi program K3RS b. Menetapkan tujuan yang jelas c. Organisasi dan penugasan yang jelas

d. Meningkatkan SDM yang profesional di bidang K3RS pada setiap instalasi kerja di lingkungan rumah sakit.

e. Sumber daya yang harus didukung oleh manajemen puncak f. Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif.

g. Membuat program kerja K3RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan

h. Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.

2. Perencanaan

Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistim manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan meliputi :

a. Identifikasi sumber bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko. Rumah sakit harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian faktor risiko.

1) Identifikasi sumber bahaya

Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya dan jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya yang ada di rumah sakit harus di identifikasi dan di nilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK.

Tabel 2.1.Bahaya Potensial Berdasarkan Lokasi dan Pekerjaan di Rumah Sakit

No Bahaya Potensial Lokasi Pekerja yang Paling Beresiko 1. Fisik

Bising IPS-RS, binatu, dapur, CSSD, gedung genset-boiler, IPAL

Karyawan yang bekerja di lokasi tersebut

Perawat, cleaning service, dan lain-lain

Petugas sanitasi, teknisi gigi, petugas IPS dan rekam medis

Tabel 2.1.(Lanjutan)

No Bahaya Potensial Lokasi Pekerja yang Paling Beresiko binatu, petugas sanitasi dan IP-RS kerja, semua area di rumah sakit

Petugas/ dokter gigi, dokter bedah, perawat

Teknisi, petugas

laboratorium, petugas pembersih

Gas-gas anastesi Ruang operasi gigi,

ruaang pemulihan Dokter gigi, dokter bedah, dokter/ perawat anastesi

Ruang Ibu dan anak Bangsal, laboratorium,

Perawat, dokter yang bekerja di bagian Ibu dan anak

Dokter dan perawat, petugas laboratorium,

ruang isolasi fisioterapis Tabel 2.1.(Lanjutan)

No Bahaya Potensial Lokasi Pekerja yang Paling Beresiko 4. Ergonomi

Semua area Semua karyawan

Pekerjaan yang

berulang Semua area Dokter gigi, petugas

pembersih, operator

Semua area Semua karyawan

2) Penilaian faktor risiko

Merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.

3) Pengendalian faktor risiko

Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yaitu menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana/ peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah atau tidak ada (engineering/ rekayasa), administrasi dan alat

pelindung pribadi (APP).

b. Membuat peraturan

Rumah sakit harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus di evaluasi, diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosilisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait.

c. Tujuan dan sasaran

Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya potensial dan risiko K3 yang bisa di ukur, satuan/ indikator pegukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian.

d. Indikator kinerja

Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.

e. Program K3

Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan di catat serta dilaporkan.

3. Pengorganisasian

Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab

manajemen dan petugas, terh,hkadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja sama dalam pelaksanaan K3. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi K3RS secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi pelaksana K3 di semua tempat kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisis penyebab timbulnya masalah bersama instalasi-instalasi kerja, kemudian mencari jalan pemecahannya dan

mengkomunikasikannya kepada instalasi-instalasi kerja, sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program yang dilaksanakan telah berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan maka perlu

diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.

4. Langkah-Langkah Penyelenggaraan

Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di rumah sakit, maka perlu langkah-langkah penerapannya yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi.

a. Tahap persiapan, terdiri dari : 1. Menyatakan komitmen

2. Menetapkan cara penerapan K3 di RS

3. Pembentukan organisasi/ unit pelaksana K3 RS 4. Membentuk kelompok kerja penerapan K3 5. Menetapkan sumber daya yang diperlukan.

b. Tahap pelaksanaan

1. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS

2. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan kelompok di dalam organisasi RS.

3. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku.

c. Tahap pemantauan dan evaluasi

Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di RS adalah salah satu fungsi manajemen K3 RS yang berupa suatu langkah yang di ambil untuk mengetahui dan menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3 RS itu berjalan, dan mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan RS dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pemantauan dan evaluasi meliputi :

1. Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistim pelaporan RS (SPRS) yaitu : pencatatan dan pelaporan K3, pencatatan semua kegiatan K3, pencatatan dan pelaporan KAK, pencatatan dan pelaporan PAK.

2. Inspeksi dan pengujian

Inspeksi k3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara umum dan tidak terlalu mendalam. Inspeksi K3 di RS dilakukan secara berkala, terutama oleh petugas K3 RS sehingga kejaidan PAK dan KAK dapat dicegah sedini mungkin. Kegiatan lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap pekerja berisiko seperti biological monitoring (pemantauan secara biologis).

3. Melaksanakan audit K3

Audit K3 yang meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan karyawan dan program pendidikan, evaluasi dan pengendalian.

Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara berkesinambungan untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3.

2.2.5. Pengendalian Risiko

Dalam tindakan pengendalian perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja yang tinggi. Beberapa pengendalian risiko antara lain:

1) Menghilangkan Bahaya

Contohnya menggunakan mesin untuk pekerjaan manual yang berulang atau menghilangkan asbes dari tempat kerja.

2) Mencegah atau Mengurangi Peluang Terkena Risiko

Jika bahaya tidak dapat dihilangkan, maka kiat menggunakan alat kendali risiko yang lebih rendah tingkatannya. Alat-alat kendali itu antara lain mengganti peralatan (substitusi), melakukan desain ulang dari perangkat kerja (engineering), melakukan isolasi sumber bahaya.

3) Bahaya tidak dapat dikurangi

a. Pengendalian Secara Administrasi.

Dalam tahap ini menggunakan prosedur, SOP atau panduan sebagai langkah untuk mengurangi risiko. Contoh dari pengendalian secara administrasi ini adalah mengurangi rotasi kerja untuk mengurangi efek risiko, membatasi waktu atau frekuensi untuk memasuki area, melakukan supervisi pekerjaan.

SOP berasal dari bahasa Inggris yaitu SOP yang merupakan kepanjangan dari Standart Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah

SOPmerujuk pada pengertian mengenai sebuah prosedur operasi standar yang merupakan serangkaian instruksi yang bersifat membatasi prosedur operasi tanpa kehilangan keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan dengan tepat tahapan pelaksanaan tugas/pekerjaan/kegiatan (Insani, 2010).

Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional prosedur (SOP), antara lain :

a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.

b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab individu pegawai organisasi secara keseluruhan.

d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses sehari-hari.

e. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara konkrit untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah dilakukan.

f. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan tujuan dari SOP antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3) memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4) melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.

Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3) mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin (Karisma, 2014).

b. Alat Pelindung Diri (APD)

Menurut Rijanto (2011) alat pelindung diri (APD) dapat didefenisikan sebagai alat yang mempunyai kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya yang fungsinya mengisolasi pekerja dari bahaya di tempat kerja. Sarana pengaman diri adalah pilihan terakhir yang dapat kita lakukan untuk mencegah bahaya pada pekerja.

Keberhasilan penggunaan APD jika peralatan pelindungnya tepat pemilihannya, digunakan secara benar, sesuai dengan situasi dan kondisi bahaya, senantiasa dipelihara. Persyaratan APD yang digunakan menurut Budiono (2006) yaitu: (1) harus

memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya yang ada, (2) tidak menyebabkan rasa tidak nyaman berlebihan, (3) bentuknya harus cukup menarik dan dapat dipakai secara fleksibel, (4) tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi standar yang sudah ada serta suku cadangnya mudah didapat, (5) tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakaian yang tidak tepat atau karena penggunaan yang salah.

Kebijakan perusahaan tentang APD merupakan pedoman dalam pembuatan peraturan dan prosedur tentang APD. Begitu manajemen memutuskan untuk menggunakan APD maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan : (1) buat kebijakan tertulis tentang APD dan mensosialisasikan kepada pekerja dan tamu, (2) pilih jenis APD yang sesuai, (3) laksanakan suatu program pelatihan agar pekerja mengetahui suatu cara pemakaian dan perawatan yang benar terhadap APD yang digunakannya, (4) terapkan dan kontrol penggunaan APD (Rijanto, 2011).

APD yang digunakan oleh petugas haruslah dapat memellihara kesehatan dan keselamatan dirinya. Beberapa jenis APD dan kegunaannya :

1) Pelindung kepala

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang APD mendefenisikan alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim.

Beberapa jenis alat pelindung kepala tersebut antara lain :

a. Topi pengaman/ helm pengaman berfungsi melindungi kepala dari kejatuhan benda, terpukul atau benturan keras dan tajam

b. Penutup rambut (hair cup) atau pengaman rambut digunakan untuk melindungi kepala dan rambut dari kotoran, serta melindungi rambut dari bahaya terjerat mesin yang berputar. Spesifikasinya terbuat dari bahan yang menyerap keringat dan mudah di cuci.

2) Pelindung telinga

a. Sumbat Telinga (Ear Plug)

Sumbat telinga yang baik adalah yang dapat menahan frekuensi tertentu saja, sedangkan frekuensi untuk bicara biasa (komunikasi) tidak terganggu. Sumbat telinga biasanya terbuat dari bahan karet, plastik keras, plastik lunak, lilin, dan kapas. Kemampuan daya lindung (Atenuasi) sekitar 25-30 dB (decible). Bila ada kebocoran sedikit saja dapat mengurangi daya lindung sampai 15 dB.

Daya lindung yang paling kecil adalah yang terbuat dari kapas, antara 2-12 dB.

Kelemahan dari sumbat telinga ini adalah tidak tepat ukurannya dengan lubang telinga pemakai, kadang-kadang lubang telinga kanan tidak sama dengan yang kiri.

b. Tutup Telinga (Ear Muff)

Pelindung telinga yang penggunaannya ditutupkan pada seluruh daun telinga dan alat ini lebih efektif dari sumbat telinga, karena dapat mengurangi intensitas hingga 20-30 dB.

3) Pelindung muka dan mata

Berfungsi melindungi dari lemparan benda-benda kecil dan benda panas, pengaruh cahaya, dan pengaruh radiasi tertentu. Syarat pelindung muka dan mata yaitu keamanan terhadap api sama dengan topi pengaman, ketahanan terhadap lemparan benda-benda, alat pelindung mata tahan terhadap radiasi, dengan prinsip adalah kaca mata yang hanya tahan terhadap panjang gelombang tertentu.

4) Alat pelindung pernafasan

Berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya di udara tempat kerja, seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), dan pencemaran oleh gas atau uap.

Contoh alat perlindungan pernapasan seperti masker dan respirator.

5) Pelindung tangan

Memiliki fungsi untuk melindungi dari api, panas, dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka, lecet dan infeksi, serta kotoran.Jenis dari pelindung tangan antara lain :

a. Gloves (sarung tangan)

b. Mitten : sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedangkan jari lainnya menjadi satu.

c. Hand Pad : melindungi telapak tangan

d. Sleeve : melindungi pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung dengan sarung tangan.

6) Pelindung kaki

Memiliki fungsi untuk melindungi pekerja dari tertimpa benda-benda berat atau keras, tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau iritatif, dermatitis/ eksim karena bahan-bahan kimia, kemungkinan tersandung, tergelincir, dan tertusuk telapak kakinya, pengaruh air panas, dingin, kotor dan lain-lain.

Sepatu yang digunakan disesuaikan dengan jenis risikonya yaitu:

a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik dan

a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik dan