• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi Ekonomi Pertanian Padi Organik Melalui Pendekatan Produktivitas Lahan

PERTANIAN BERKELANJUTAN

3 VALUASI EKONOMI PERTANIAN PADI ORGANIK

3.3 Hasil dan Pembahasan

3.3.1 Valuasi Ekonomi Pertanian Padi Organik Melalui Pendekatan Produktivitas Lahan

Berdasarkan data petani padi organik, sebanyak 79.59% petani mengalami penurunan produksi pada saat beralih dari pertanian padi konvensional ke pertanian padi organik, sebanyak 4.08% petani tidak mengalami penurunan produksi, dan sebanyak 16.33% petani menyatakan terjadi peningkatan produksi. Periode penurunan produksi rata-rata sebanyak 3 musim tanam sebagaimana hasil penelitian Suwantoro (2008), dengan periode penurunan produksi paling lama selama 6 musim tanam. Bagi petani yang mengalami penurunan produksi, rata- rata penurunan produksi pada saat pertama kali beralih ke pertanian padi organik sebanyak 0.71 ton pada luasan rata-rata 0.41 ha atau sebesar 1.73 ton/ha. Persentase penurunan produksi terendah yang dialami petani sebesar 11.11% dan tertinggi sebesar 85.71% dengan rata-rata penurunan sebesar 31.13%.

Meskipun sebagian besar petani mengalami penurunan produksi pada saat awal beralih ke pertanian padi organik, namun sebanyak 40.82% petani telah memperoleh produktivitas padi yang lebih tinggi dibandingkan saat melakukan budidaya padi konvensional. Adanya peningkatan produktivitas padi sebagai hasil dari peningkatan kualitas lahan dari pertanian padi organik merupakan manfaat dari kualitas lingkungan pertanian padi organik. Selain itu, dengan menerapkan

pertanian padi organik maka kualitas padi menjadi lebih sehat sehingga harga padi organik lebih tinggi dari harga padi konvensional. Adanya peningkatan harga dari padi organik juga merupakan manfaat dari kualitas lingkungan pertanian padi organik.

Valuasi ekonomi pertanian padi organik berdasarkan nilai pasar (market value) dihitung berdasarkan peningkatan produktivitas dan peningkatan harga padi organik terhadap produktivitas dan harga padi konvensional. Peningkatkan produktivitas padi diperoleh dari perbandingan antara produktivitas padi konvensional dan produktivitas padi organik yang diperoleh petani. Produktivitas rata-rata padi konvensional selama periode tahun 2007 – 2013 sebesar 2.23 ton dengan luasan rata-rata sebesar 0.38 ha atau 5.88 ton/ha, sedangkan produktivitas rata-rata padi organik sebesar 2.67 ton dengan luasan rata-rata sebesar 0.45 ha atau sebesar 5.92 ton/ha. Berdasarkan angka tersebut maka terdapat peningkatan

produktivitas padi sebesar 40 kg/ha. Harga rata-rata padi konvensional sebesar Rp 2 911.45/kg, sedangkan harga rata-rata padi organik sebesar Rp 3 720.25/kg

sehingga terdapat peningkatan harga padi sebesar Rp 808.80/kg. Berdasarkan data di atas maka manfaat kualitas lingkungan pertanian padi organik dari peningkatan penerimaan sebesar =

(5.92 ton/ha x Rp 3 720.25/kg) – (5.88 ton/ha x Rp 2 911.45/kg) = Rp 22 023 880 – Rp 17 119 326

= Rp 4 904 554/ha

Selain memperoleh manfaat dari peningkatan penerimaan, dengan beralih dari pertanian padi konvensional menjadi pertanian padi organik, petani dapat mengurangi biaya sarana produksi dengan penggunaan input organik. Pupuk dan pestisida organik diperoleh petani dari membeli dan membuat sendiri dengan menggunakan bahan-bahan alami di sekitar petani. Sebanyak 37.50% petani memiliki ternak berupa sapi, kambing, ayam, itik dan kelinci; petani yang khusus memiliki ternak sapi dan kambing sebanyak 14.42% yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk kandang dan pestisida organik. Dosis pupuk organik yang digunakan petani rata-rata sebanyak 4.02 ton/ha.

Pengurangan biaya sarana produksi rata-rata dengan beralih ke pertanian padi organik yaitu sebesar Rp 234 500 per musim tanam dengan luasan rata-rata sebesar 0.45 ha atau sebesar Rp 521 111.11/ha. Namun pada pertanian padi organik, petani perlu menambah biaya tenaga kerja karena budidaya padi organik memerlukan perawatan yang intensif terutama untuk kegiatan penyiangan serta pengendalian hama dan penyakit. Tambahan biaya tenaga kerja per musim tanam

sebesar Rp 182 000 pada luasan rata-rata sebesar 0.45 ha atau sebesar Rp 404 444.44/ha. Berdasarkan hal tersebut maka manfaat kualitas lingkungan

pertanian padi organik dari penurunan biaya produksi sebesar = Rp 521 111.11/ha – Rp 404 444.44 /ha = Rp 116 666.67/ha.

Berdasarkan data di atas maka total manfaat kualitas lingkungan pertanian padi organik dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya produksi yaitu sebesar =

Rp 4 904 554/ha + Rp 116 666.67/ha = Rp 5 021 220.67/ha.

Luasan lahan sawah Kabupaten Cianjur adalah sebesar 63 299 ha maka total manfaat kualitas lingkungan pertanian padi organik di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar =

Rp 5 021 220.67/ha x 63 299 ha = Rp 317.84 milyar/musim tanam.

Hasil analisis valuasi ekonomi pertanian padi organik di atas menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi yang merupakan manfaat dari kualitas lingkungan pertanian padi organik. Hasil ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Susanti et al. (2008) yang menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata sebagian petani padi organik di Kabupaten Sragen sebesar 6.77 ton/ha gabah kering panen lebih tinggi dari produktivitas padi secara umum sebesar 6.55 ton/ha. Demikian pula hasil penelitian Murniati et al.(2014) yang menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata padi organik pada musim hujan sebesar 5.586 ton/ha gabah kering panen lebih tinggi dari rata-rata produktivitas padi di Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung sebesar 5.12 ton/ha.

Manfaat kualitas lingkungan pertanian padi organik juga diperoleh dengan adanya penurunan biaya produksi. Hasil ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Susanti et al.(2008) yang menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman petani, biaya produksi pertanian padi organik lebih efisien karena pupuk kandang yang digunakan pada umumnya berasal dari pupuk kandang dari ternak yang dimiliki, kalaupun harus membeli, harga dan biaya pengangkutan relatif murah karena banyak tersedia di sekitar petani. Demikian pula hasil penelitian Abdullah (2007) menunjukkan bahwa biaya produksi padi semi organik lebih rendah dari padi konvensional. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat manfaat kualitas lingkungan dari pertanian padi organik dimana dengan penerapan pertanian padi organik maka dapat memperbaiki kualitas lahan sehingga dapat meningkatkan produktivitas padi dan menurunkan biaya produksi. Nilai manfaat kualitas lingkungan pertanian padi organik berdasarkan pendekatan produktivitas lahan diperoleh sebesar Rp 5 021 220.67/ha/musim tanam. Berdasarkan hasil penelitian Sutrisno (2011) tentang valuasi ekonomi konversi lahan pertanian ke non pertanian di DAS waduk Wonogiri menunjukkan bahwa nilai manfaat lahan pertanian sebagai penghasil poduksi pertanian yang hilang akibat konversi lahan sebesar Rp 22 juta/ha/tahun. Konversi lahan juga menyebabkan hilangnya nilai manfaat lahan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja sebesar Rp 9 juta/ha/tahun, sebagai pencegah erosi dan sedimentasi sebesar Rp 3.34 juta/ha/tahun, dan pengendali tata air sebesar Rp 24.5 juta/ha/tahun. Secara akumulatif nilai manfaat multifungsi lahan pertanian yang telah hilang akibat konversi lahan sebesar Rp 310 milyar/tahun. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lahan pertanian memiliki multifungsi yang tidak hanya menghasilkan produksi padi, namun juga memiliki fungsi-fungsi lain sehingga memiliki nilai manfaat kualitas lingkungan yang sangat besar. Penelitian Sutrisno (2011) tersebut menilai manfaat kualitas lingkungan dari lahan pertanian konvensional, sementara berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi pertanian padi organik serta hasil penelitian Susanti et al.(2008), Murniati et al.(2014) dan Abdullah (2007) menunjukkan bahwa pertanian padi organik memiliki manfaat kualitas lingkungan yang lebih besar dari pertanian padi konvensional. Dengan mengacu pada hasil penelitian Sutrisno (2011) di atas maka manfaat multifungsi

lahan pertanian dari padi organik memiliki nilai yang jauh lebih besar dari lahan pertanian padi konvensional.

Pertanian padi organik bertujuan untuk memelihara kesuburan lahan sehingga dapat meningkatkan produktivitas padi yang merupakan manfaat kualitas lingkungan dari pertanian padi organik. Sejalan dengan pertanian padi organik sebagai salah satu alternatif upaya untuk konservasi lahan, hasil penelitian Tran (2010) di Vietnam Utara menunjukkan bahwa teknologi konservasi tanah dengan tanaman pagar Tephrosia candida dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Untuk produksi jagung, kenaikan 1% pada biaya bahan dan tenaga kerja untuk praktek konservasi tanah akan meningkatkan produksi sebesar 0.04% dan 0.051%, dan untuk produksi singkong hasilnya meningkat sebesar 0,0035% dan 0.0064%. Berdasarkan hasil penelitian Bui (2010) di Vietnam Tengah menunjukkan bahwa diukur dari hilangnya pendapatan tahunan, biaya on sitedari erosi tanah pada tanaman padi dataran tinggi sebesar 1 022 000 VND/ha/tahun atau sebesar Rp 1 676 080/ha/tahun.

.

3.3.2 Willingness to Accept(WTA) Pertanian Padi Organik

Untuk menilai kesadaran petani terhadap kualitas lingkungan dan menilai manfaat kualitas lingkungan dari pertanian padi organik berdasarkan nilai non pasar (non market value) digunakan pendekatan kesediaan petani untuk menerima (willingness to Accept/WTA) pembayaran jasa lingkungan pertanian padi organik.

Besaran nilai WTA pertanian padi organik antara Rp 0 hingga Rp 8 800 000. Petani dengan WTA Rp 0 adalah petani yang sudah menerapkan

pertanian padi organik dan sudah memiliki kesadaran tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Alasan petani menerapkan pertanian padi organik adalah : (1) menyuburkan tanah (33.66%); (2) hasil dan kualitas baik dan sehat (29.70%); (3) ramah lingkungan (16.83%); (4) biaya lebih murah (15.84%); (5) budidaya mudah (2.97%); dan (6) bantuan sarana produksi (0.99%).

Nilai WTA petani padi konvensional antara Rp 262 500 hingga Rp 8 800 000 dengan nilai rata-rata sebesar Rp 2 276 788. Rata-rata luasan lahan

petani padi konvensional yaitu sebesar 0.38 ha sehingga nilai WTA sebesar Rp 5 991 547.37/ha. Luas lahan padi organik di Kabupaten Cianjur adalah sebesar 79.3 ha dan luas lahan padi konvensional sebesar 63 219.7 ha sehingga nilai WTA atau manfaat kualitas lingkungan dari pertanian padi organik sebesar = Rp 5 991 547.37/ha x 63 219.7 ha = Rp 378.78 milyar.

Berdasarkan nilai WTA pertanian padi organik sebesar Rp 378.78 milyar, sementara dari hasil valuasi ekonomi pertanian padi organik menurut nilai pasar menunjukkan bahwa terdapat manfaat kualitas lingkungan dengan menerapkan pertanian padi organik sebesar Rp 317.84 milyar/musim tanam. Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan sehingga memiliki besaran WTA yang tinggi. Alasan petani tidak menerapkan pertanian padi organik dapat dilihat pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa alasan terbesar petani tidak menerapkan pertanian padi organik adalah : (1) belum pernah mengikuti pelatihan sehingga tidak mengetahui cara budidaya padi organik (25.00%); (2) tidak berani menanggung risiko penurunan produksi dan belum yakin akan hasil dari pertanian padi organik (19.44%); (3) keterbatasan pupuk organik karena sebagian besar petani tidak memiliki ternak (13.89%); (4) pertanian padi organik dipandang tidak

praktis karena petani sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia yang siap pakai (9.72%); dan (5) kurangnya tenaga kerja untuk pembuatan pupuk organik dan perawatan pertanian padi organik (9.72%).

Tabel 14 Alasan petani padi konvensional tidak menerapkan pertanian padi organik

No. Alasan Jumlah

(orang)

%

1 Belum pernah pelatihan 18 25.00

2 Belum berani menanggung risiko 14 19.44

3 Keterbatasan pupuk organik 10 13.89

4 Tidak praktis 7 9.72

5 Kurangnya tenaga kerja 7 9.72

6 Bukan lahan sendiri 3 4.17

7 Tidak ada alat membuat pupuk organik 2 2.78

8 Keterbatasan modal 2 2.78

9 Harga padi sama 2 2.78

10 Belum ada yang menampung hasil organik 2 2.78

11 Tidak ada bantuan untuk organik 2 2.78

12. Tidak ada tempat produksi pupuk organik 1 1.39

13. Lingkungan belum memungkinkan 1 1.39

14. Tanah menjadi liat 1 1.39

Total jawaban 72 100.00

Dari hasil analisis diperoleh nilai WTA pertanian padi organik sebesar Rp 5 991 547.37/ha. Berdasarkan hasil penelitian Irawan (2007) tentang valuasi ekonomi lahan pertanian di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa WTA petani lahan sawah atas jasa lingkungan lahan pertanian untuk mengendalikan banjir dan erosi tanah sebesar Rp 1.8 juta/ha bagi petani yang usahataninya menguntungkan dan sebesar Rp 3.1 juta/ha bagi petani yang usahataninya tidak menhuntungkan. Pada petani padi lahan kering, besaran WTA lebih besar dari petani padi lahan sawah terutama apabila mereka diminta untuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada lahan usahataninya. Besaran WTA petani lahan kering dengan luasan lahan sebesar > 1.5 ha sebesar Rp 2.8 juta/ha, sedangkan petani dengan luasan lahan sebesar < 0.5 ha sebesar Rp 5.4 juta/ha. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan masih rendah yang ditunjukkan oleh nilai WTA yang relatif tinggi. Nilai WTA pertanian padi organik lebih tinggi dari WTA lahan untuk kelestarian lingkungan lainnya menunjukkan bahwa pengetahuan petani tentang manfaat kualitas lingkungan dari pertanian padi organik masih kurang yang menyebabkan kurangnya kesadaran petani untuk menerapkan pertanian padi organik serta sikap petani yang takut menanggung risiko untuk beralih ke pertanian padi organik sehingga memiliki nilai WTA yang tinggi. Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan dari Tabel 13 bahwa alasan terbesar petani tidak menerapkan pertanian padi organik yaitu belum pernah mengikuti pelatihan sehingga belum memperoleh pengetahuan tentang manfaat pertanian padi organik (25.00%) serta belum berani menanggung risiko untuk beralih ke pertanian padi organik (19.44%).

Sebagai perbandingan tingkat kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan dengan negara lain, hasil penelitian Colombo et al. (2006) di Andalusia, Spanyol menunjukkan bahwa kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay/WTP) untuk reduksi pengaruh eksternal dari erosi tanah sebesar 11 – 53 £. Dengan mengagregatkan nilai tersebut untuk populasi diperoleh nilai sosial dalam menurunkan pengaruh off-farm dari erosi tanah sebesar 3.1 –

15.5 juta £ yaitu sebesar 95 – 160 £/ha atau sebesar Rp 1 941.016.25 – Rp 3 269.080/ha. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai WTA petani hasil

penelitian Irawan (2007) menunjukkan bahwa kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan di Indonesia sama dengan di negara Spanyol masih relatif rendah.