• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warisan Para Korban

Dalam dokumen 2003 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 110-113)

Oleh Karlina Supelli

SUATU hari saya mengirim kalimat Tocqueville (1805-1859) kepada seorang kawan, "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut" (Democracy in America). Ia membalas, "Tak satu pun lenyap hanya karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas para saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan".

Sidang Koneksitas Kasus 27 Juli 1996 membuat saya membaca lagi surat-menyurat beberapa bulan terakhir. Kutipan di atas muncul saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengajukan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke DPR, 26 Mei 2003.

Ambruknya panggung hiburan

Mengikuti kerja Tim Penyidik Koneksitas untuk Kasus 27 Juli yang dibentuk tahun 2000, ibarat memasuki panggung hiburan yang dibangun bagi para korban. Sejak awal, keluarga korban dan mereka yang dikorbankan sebagai kambing hitam dalam peristiwa itu menolak peradilan koneksitas. Mungkin karena sebagai panggung hiburan sekalipun, pilar-pilarnya ambruk bahkan sebelum pertunjukan mulai.

Pilar pertama ambruk saat para tersangka yang diajukan hanya pelaku lapangan. Pilar berikutnya runtuh saat mereka hanya dikenai pasal sumir "perusakan". Padahal, Sub-Tim Kasus Tragedi 27 Juli 1996 yang dibentuk Komnas HAM menyimpulkan, peristiwa itu termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (draf Laporan, Mei 2003).

Maka, betapapun dinyatakan sebagai bagian upaya pemerintah memenuhi keadilan pada masa transisi (masa yang ditandai berakhirnya pemerintahan otoriter sehingga terbuka peluang bagi demokratisasi), peradilan koneksitas lebih merupakan langkah beberapa institusi negara untuk menyeret kasus pelanggaran HAM berat ke mekanisme di luar standar HAM.

Pengadilan koneksitas di Aceh (2000) untuk pembantaian Teuku Bantaqiah dan 56 pengikutnya, menunjukkan sedikitnya dua sukses pihak militer. Pertama, sidang mengubur mata rantai antara pemberian perintah dan pelaksanaan operasi militer. Kedua, sidang hanya menghukum pelaku berpangkat rendah. Seperti kasus 27 Juli sejauh ini, petinggi militer yang bertanggung jawab lolos dari dakwaan.

Mungkin saja selama proses berlangsung, kepentingan politik yang terkait dengan pola kejahatan lebih luas dapat terungkap. Tetapi, pengadilan umumnya hanya berpusat pada pelaku individual. Tujuannya, membuktikan keterlibatan dan tanggung jawab pelaku atas peristiwa tertentu. Padahal, gambaran luas kepentingan politik itulah yang diperlukan, agar pertarungan kekuasaan yang menyebabkan pelanggaran HAM bisa dipahami. Peradilan koneksitas juga tidak punya sarana pemulihan korban.

Warisan tanpa wasiat

Penulis Jerman, Walter Benjamin merenung: ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti. Seperti setiap generasi terdahulu, kita dikaruniai daya untuk melindungi tuntutan masa lalu yang selalu cenderung diperlakukan secara murahan.

Saya menamai renungan Benjamin itu "Warisan Tanpa Wasiat" (ungkapan penyair Perancis René Char). Warisan tanpa wasiat berpotensi menimbulkan pertarungan. Filsuf Hannah Arendt (Between Past and Future) memaknai aforisme Char lewat "Dia" (Kafka, Notes from the year 1920). "Dia" terjepit antara masa lalu dan masa depan. Pertarungan mulai saat rantai tindakan manusia berputar, namun kisahnya menunggu penyelesaian. Kisah-kisah itu, yang tak lain buah tindakan manusia, memburu benak para pewaris yang masih bersedia mempertanyakannya. Bertanya bagi sebuah pemahaman akan masa lalu bukanlah semata demi berdamai dengan fakta. Ia upaya mencegah klaim murahan di suatu titik waktu-ruang masa depan, klaim yang dapat melahirkan tragedi kemanusiaan.

Tanpa bermaksud menyetarakan situasi Indonesia, apalagi memprediksi akibatnya bagi masa depan, perang Kosovo (1990-an) tak mungkin diurai dari pertarungan kisah masa lalu dengan rancangan masa depan. Keterbatasan pengetahuan memungkinkan mitos dan klaim kebenaran atas kekalahan Serbia di pertempuran Kosovo (1389;

kliping

ELSAM

melawan Turki-Ottoman) tertenun menjadi propaganda politik kebengisan. Ingatan akan derita korban memberi pembenaran bagi serdadu Serbia untuk melakukan genosida dan memperkosa perempuan-perempuan Muslim Bosnia.

Sebaliknya, kekurangpahaman mendorong masyarakat melaksanakan, sadar atau tidak, persekongkolan diam. Kita bisu terhadap upaya korban mengungkap kebenaran, karena "percaya" bahwa mereka pantas menerima perlakuan tak adil. Misalnya terhadap upaya perempuan Gerwani akhir-akhir ini. Kita tidak memprotes pewartaan militeristik media, ketika warga Aceh sebetulnya sedang mengalami tragedi HAM. Kita biarkan propaganda "pemulihan keamanan" menguasai mental, tanpa merasa perlu mencari tahu alasan Aceh terus bergolak.

Sebagian orang bahkan gentar mendengar "Partai Rakyat Demokratik", karena termakan fiksi rezim Orde Baru tentang Peristiwa 27 Juli. Ketakutan itu bisa dimengerti meski tak lagi relevan; selama tiga dasa warsa, berpihak kepada korban berisiko ikut menjadi korban.

Kejahatan diam

Pelaku berkepentingan dilupakan tindakannya, korban berkehendak didengar kisahnya. Mekanisme kekuasaan yang lebih melindungi kepentingan pelaku selalu bekerja melalui kontrol atas media, penulisan sejarah, bahkan ingatan agar saksi berkurang. Masyarakat sukar membedakan, apakah mereka sedang bergulat dalam dinamika

perkembangan pengetahuan dan pemahaman atas persoalan, atau hanya menerima begitu saja realitas versi rekaan. Aneka argumen penolakan, pembenaran tindakan, termasuk teror dan intimidasi, dijalankan agar sesedikit mungkin yang mendengar kisah korban.

Ketika ketegangan pelaku-korban ditarik ke ruang publik demi kepentingan klaim kebenaran, trauma

pascakekerasan menjadi sebuah proses sosial. Persekongkolan diam pun melahirkan apa yang dinamakan Bertrand Russell the crime of silence. Kita memilih bersikap seakan kekerasan terjadi di pulau "entah". Korban terisolasi dari akses pada keadilan dan pemulihan hak, sedangkan pelaku menikmati kekebalan hukum.

Inilah hakikat penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Telah berlangsung pengingkaran terhadap martabat manusia melalui pembunuhan, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, serta perusakan, dan perampasan harta benda. Ada penolakan dan penyangkalan terhadap korban. Ada pembiaran terhadap pelaku kejahatan. Semuanya dikawal oleh pelenyapan ingatan atas peristiwa yang menyebabkan banyak orang mengalami kehancuran fisik, psikis, intelektual, sosial, ekonomi, dan kultural.

KKR: pengakuan

Kerumitan menangani pelanggaran HAM di negara yang menjalani masa transisi kerap muncul di harian ini (misalnya Kompas 14/7/2003). Dilema antara kewajiban pemerintah menyediakan keadilan bagi korban dan kepentingan stabilitas politik, melahirkan drama moral, politik dan filosofis besar abad ini (lihat Rosenberg dalam Coming to Terms). Ketika pemerintah masih memiliki hubungan politik dengan para petinggi rezim sebelumnya, politik persekongkolan lebih berperan. Politik macam itu membuat DPR menyatakan kasus Trisakti dan Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat.

Pengadilan bukan satu-satunya ruang bagi solusi kasus HAM masa lalu, khususnya ketika kejahatan meluas dan berkepanjangan sehingga jumlah kasus amat besar. Kita menyaksikan gugurnya klaim bahwa Pengadilan

Nuremberg bagi penjahat Perang Dunia II menghasilkan mekanisme peng-gentar-an. Kekejaman tidak berhenti pada pengadilan ataupun konsep hostis humani generis (musuh segala kemanusiaan) yang memungkinkan orang dimintai pertanggungjawaban di luar jurisdiksi, tempat kejahatan dilakukan. Setelah Nuremberg, genosida berlangsung di Kamboja, Kurdistan, Bosnia, Uganda, Rwanda, serta Indonesia.

Dari pengalaman beberapa negara, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan kekhasan dan kekurangannya membantu pemulihan keluarga korban serta trauma sosial. Lewat pengakuan resmi, KKR menampilkan kebenaran naratif korban yang disingkirkan. Bagaimanapun, pembentukan KKR merupakan pengakuan atas ketidakmampuan pemerintahan transisi dalam menyelesaikan masalah masa lalu secara utuh dan adil melalui proses sesuai standar HAM.

Namun, bukan hanya itu yang membuat situasi Indonesia lebih tragis. Kita letih mendengar "pentingnya hukum". Sebagian besar warga bahkan sudah sampai pada sikap agnostik: ada atau tidak ada hukum, tidak relevan. Masalah seperti kesemrawutan lalu lintas, kegagalan serius pengadilan kasus KKN, kehampaan solusi memadai bagi

kliping

ELSAM

pelanggaran HAM, maupun ketidaktegasan pengadilan ad hoc HAM hanya menunjukkan betapa sering hukum gagal menjadi efektif.

Dalam diskusi UU Sisdiknas di Unika Atmajaya (19/6/2003) bocorlah bilik sidang DPR. Seorang pengurus partai besar menyatakan, sekarang ini disepakati, kalaupun UU Sisdiknas mau tidak dipatuhi, juga tak akan ada sanksi. Bisa saja kita mengandaikan, hal itu berlaku bagi UU dan peraturan lain.

Ketika RUU KKR pun berisi persekongkolan untuk tidak memasukkan konsep keadilan bagi korban, saat wakil rakyat terlibat mafia persekongkolan, saat masyarakat agnostik hukum, tinggallah satu pertanyaan: Bagaimana mungkin kita mencipta masa depan sebuah Indonesia di atas persekongkolan yang melenyapkan sejarah anak-anaknya?

kliping

ELSAM

Kompas, Sabtu, 26 Juli 2003

Dalam dokumen 2003 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 110-113)