• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dayasaing sektor pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN China dan dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dayasaing sektor pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN China dan dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia"

Copied!
330
0
0

Teks penuh

(1)

i

KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN

PEDESAAN DI INDONESIA

MAHYUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

v

MAHYUDDIN. Competitiveness of the Agricultural Sector Faced with Free Trade Agreement ASEAN-CHINA and Its Impact on Rural Economy in Indonesia. Under direction of HERMANTO SIREGAR, DEDI BUDIMAN HAKIM and D.S PRIYARSONO.

This study aimed to: (1) measure the competitiveness of the agricultural sector in supply side, and measure the contribution of various resources to the agricultural output in each of the ASEAN-5 countries and China, such as capital, labor, natural resources and technology; (2) measure export competitiveness of agricultural commodities ASEAN-5 and China in global market (3) measure the transmission of international prices of agricultural commodities to the domestic market in each countries, (4) analyze the impact of trade liberalization under ACFTA agreement framework to the macroeconomic of each country of ASEAN-5 and China as well as its impact on the rural economy in Indonesia and (ASEAN-5) analyze the impact of improved agricultural technologies, and transmission of international prices on the economy national and rural economy in Indonesia. Competitiveness of the supply side is analyzed based on the total factor productivity (TFP), while in the global market competitiveness based on revealed comparative adventage (RCA), index of market share, trade specialization index (ISP) and trade complementary index (IKP). Price transmission were analyzed by Revallion model, while the impact of ACFTA to each country's economy and the implications for rural economy in Indonesia were analyzed by static CGE models based on GTAP 8. The results showed that in all countries, except Singapore have the most of growth in agricultural output during 1961-2010 are from TFP, while Singapore comes from the capital. Agricultural TFP growth in China (1.97 percent) higher than the TFP ASEAN-5 (1.93 percent), but less than TFP Malaysia (3.40 percent) and Thailand (2.37 percent). Indonesia with agricultural TFP growth of 1.83 percent, indicating that Indonesia is less productive and less efficient in producing agricultural products than China, Malaysia and Thailand. China agricultural products also have larger market share in global market than ASEAN-5. Furthermore, the coefficient of transmission of international prices to domestic markets of each ASEAN-5 countries and China is small, but there are indications of short-term integration in most commodity crops in China and the long-term integration of plantation commodities in ASEAN-5. ACFTA generally have a positive impact on increasing the GDP in each ASEAN-5 countries, but Indonesia will get the smallest increase in GDP. ACFTA also increase people's consumption and sectoral output, but potentially lower government consumption and investment in each country. Liberalization, it also causes the trade deficit for most agricultural commodities Indonesia. Furthermore, it was found that the liberalization that accompanied an increase in agricultural TFP and price transmission in Indonesia will provide a greater positive impact of increased exports, private consumption and GDP, but the decline in government consumption and investment spending will also increase. Even this scenario is likely to reduce employment in the agricultural sector primary. Such scenarios also increase the income of all households in Indonesia, but farm households and rural households under the class get the smallest increase in revenue

(6)
(7)

vii

MAHYUDDIN. Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, DEDI BUDIMAN HAKIM dan D.S PRIYARSONO.

Memasuki tahun 2010, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru dalam persaingan pasar global dengan diberlakukannya liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Banyak ekonom berpandangan bahwa liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Alasannya bahwa dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan, tetapi sebagian besar rumah tangga pedesaan di negara tersebut adalah produsen produk pangan. Akan tetapi ekonom lainnya berpandangan bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masing-masing negara tidak dapat digeneralisir, bahkan akan bervariasi menurut wilayah dalam satu negara seperti wilayah pedesaan dan perkotaan. Selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena transmisi harga di masing-masing wilayah berbeda-beda.

Keragaman karakteristik dan potensi pertanian serta limpahan faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara ASEAN-5 dan China menyebabkan poduktivitas faktor masing-masing negara juga berbeda-beda dalam menghasilkan produk pertanian. Adanya keragaman faktor produksi dan potensi pertanian masing-masing negara, memunculkan pertanyaan akademik “Apakah liberalisasi berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) akan menguntungkan atau merugikan perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia?.

Meski sudah cukup banyak kajian yang melihat dampak dan implikasi pemberlakuan kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Namun belum ada yang mengkaji secara spesifik implikasi liberalisasi dalam kerangka ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga. Karena itu studi ini diharapkan berkontribusi untuk mengkaji dayasaing pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN China serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga komoditi pertanian.

(8)

ASEAN-viii

Menganalisis dampak peningkatan teknologi pertanian, dan peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia.

Studi ini menggunakan data sekunder. Data utama yang digunakan adalah database General Trade Analysis Project (GTAP) versi 8 yang diperoleh dari Purdue University, Amerika Serikat. Database GTAP 8 mencakup data input-output, nilai tambah sektor produksi, nilai input primer dan input antara, perdagangan bilateral, transportasi, tingkat proteksi, pajak dan subsidi dari 129 negara dan 57 sektor. Data sekunder lainnya yang diperoleh dari berbagai instansi seperti FAO, World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF), Badan Pusat Statistik (BPS), Sekretariat ASEAN dan berbagai instasi lainnya, digunakan sebagai pelengkap dalam melakukan analisis deskriptif.

Komparasi dayasaing sektor pertanian dari sisi supply serta konribusi limpahan berbagai sumberdaya di masing-masing negara ASEAN-5 dan China dianalisis berdasarkan indikator total factor productivity (TFP), dayasaing komoditi pertanian di pasar global danpasar domestik China diukur berdasarkan indikator revealed comparative adventage (RCA), indeks pangsa pasar, indeks spesialisasi perdagangan (ISP) dan indeks komplementer perdagangan (IKP). Selanjutnya analisis transmisi harga internasional ke harga pasar domestik pada tingkat produsen untuk berbagai komoditi pertanian di ASEAN-5 dan China dianalisis dengan model Revallion. Sedangkan dampak ACFTA terhadap perkonomian negara negara ASEAN-5 dianalisis berdasarkan model CGE Global, semenara dampak ACFTA terhadap perekonomian pedesaan Indonesia dianalisis berdasarkan model CGE Indonesia yang dibangun dari SAM Indonesia versi GTAP 8.

Hasil penelitian menemukan bahwa, selama empat dekade terakhir (1961-2010), sektor pertanian di negara-negara ASEAN-5 dan China telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sektor pertanian China tumbuh sekitar 3,82 persen per tahun dan ASEAN-5 secara rata-rata tumbuh sekitar 3,44 persen per tahun. Pertumbuhan output pertanian China dan negara-negara di ASEAN-5, paling besar bersumber dari kemajuan teknis (TFP) dan pertumbuhan tenaga kerja, kecuali Singapore yang pertumbuhan output pertaniannya paling besar berasal dari pertumbuhan modal. Pertumbuhan TFP pertanian China selama periode 1961-2010 sebesar 1,97 persen, melampaui pertumbuhan TFP pertanian negara-negara ASEAN-5 secara rata-rata, yang hanya tumbuh sekitar 1,93 persen, akan tetapi masih kalah dari pertumbuhan TFP Malaysia (3,40 persen) dan Thailand (2,37 persen). Indonesia dengan pertumbuhan TFP pertanian sebesar 1,83 persen, mengisyaratkan bahwa Indonesia kurang produktif dan kurang efisien dalam menghasilkan produk-produk pertanian dibandingkan China, Malaysia dan Thailand.

(9)

ix olahan.

Selanjutnya dari hasil pendugaan transmisi harga ditemukan bahwa nilai koefisien transmisi harga internasional ke pasar produsen domestik masing-masing negara umumnya kecil. Hal ini berarti bahwa hanya sebagian kecil perubahan harga komoditi pertanian ditingkat internasional yang dapat ditransmisikan ke tingkat produsen di masing-masing negara. Meskipun demikian ada indikasi integrasi jangka pendek untuk sebagian besar komoditi tanaman pangan di China dan integrasi jangka panjang untuk sebagian besar komoditi perkebunan di ASEAN-5.

Penghapuan tarif impor secara timbal balik antar negara-negara ASEAN-5 dan China memberikan dampak positif pada peningkatan GDP di masing masing negara ASEAN-5, tetapi menurunkan GDP China. Peningkatan GDP tertinggi ditempati oleh Singapore dan Malaysia, sementara Indonesia memperoleh peningkatan GDP paling kecil. Selain itu, skenario ini juga meningkatkan konsumsi masyarakat dan output sektoral, termasuk output pertanian, tetapi berpotensi menurunkan konsumsi pemerintah dan investasi di masing-masing negara. Liberalisasi ini juga menyebabkan neraca perdagangan sebagian besar komoditi pertanian Indonesia mengalami defisit, termasuk komiditi pertanian yang melibatkan banyak penduduk seperti padi.

(10)
(11)

xi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

xiii

KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN

PEDESAAN DI INDONESIA

MAHYUDDIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

xiv

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS

(15)

xv

Judul Disertasi: Dayasaing Sektor Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pedesaan di Indonesia

Nama : Mahyuddin NRP : H162070031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Ketua

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

xvii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah dayasaing sektor pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-CHINA dan dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, dan Dr.Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih yang tak terkira pula, penulis haturkan kepada Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, Prof.Dr.Ir. Radi A. Gany dan Dr.Ir. Arief Daryanto, M.Ec. yang telah banyak memberi wawasan kepada penulis dan sebagai penguji luar komisi sehingga tulisan ini dapat lebih disempurnakan.

Penulis juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh Dosen dan staf administasi Program studi PWD, serta teman-teman seperjuangan di program pascasarjana IPB angkatan 2007 PWD, terima kasih atas kebersamaannya serta dukungan morilnya selama ini.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan pula kepada ibunda Marellang dan ayahanda almarhum Riwu T. yang semasa hidupnya senangtiasa berdoa dan memberikan dukungan tak terkira kepada penulis. Demikian pula kepada ibu mertua A.Cahaya Hakim dan bapak mertua almarhum Drs. Abd. Hakim, serta seluruh sanak keluarga lainnya, terima kasih atas doa, dorongan dan dukungan yang diberikan selama ini. Secara khusus ucapan terima kasih kepada istriku tercinta A.Anugrahwaty, SP dan kepada buah hatiku Muh.Agung dan Nurul Izzah, yang senangtiasa berdoa dan memberi dukungan dengan penuh kesabaran dan ketulusan selama ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan nasional dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin

Bogor, Agustus 2012

(18)
(19)

xix

Penulis dilahirkan di Belawa, sebuah daerah disebelah barat Danau Tempe, Propinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 2 Juli 1968. Penulis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan suami istri Riwu T dan Marellang. Penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Sosial Ekonomi pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan jenjang Master (S2) ditempuh di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB, dan lulus tahun 2006. Setahun berikutnya (2007), dengan beasiswa BPPS dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB.

(20)
(21)

xxi

DAFTAR TABEL ... xxv

DAFTAR GAMBAR ... xxix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

1.5. Kebaruan Penelitian (Novelty) ………..……… 10

1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Liberalisasi Perdagangan dan Dampaknya Terhadap Perekonomian 15 2.2. Sistem Perdagangan Bebas Multilateral Vs Regional ... 18

2.3. Perdagangan Bebas ASEAN-CHINA... 25

2.3.1. Sejarah ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) ... 25

2.3.2. Framework Agreement ACFTA ... 26

2.4. Liberalisasi Pertanian dan Perekonomian Pedesaan ………... 31

III. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS ... 39

3.1. Teori Dayasaing dan Perdagangan Antar Negara ... 39

3.1.1. Determinan Perdagangan Antar Negara ... 39

3.1.2. Konsep Keunggulan Komparatif (Comparative Adventage) 42 3.1.2.1. Teori Perdagangan Klasik Oleh David Ricardo ... 43

3.1.2.2. Perdagangan Neoklasik Oleh Heckscler-Ohlin ... 44

3.1.2.3. Teori Perdagangan Modern Oleh Paul R.Krugman... 45

3.1.3. Konsep Keunggulan Kompetitif (Competitive Adventage) ... 46

3.1.4. Teknis Pengukuran Dayasaing ... 47

3.2. Distorsi Perdagangan Antar Negara dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan ... 49

3.3. Model Dasar Komputasi Keseimbangan Umum... 55

3.4. Tinjauan Studi Terdahulu ………... 64

3.5. Hipotesis Penelitian ... 69

IV. METODE PENELITIAN ... 71

4.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 71

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 73

4.3. Metode Analisis ... 73

4.3.1. Metode Analisa Dayasaing Pertanian ……... 74

(22)

xxii

4.3.3.1. Spesifikasi Umum CGE Global untuk ACFTA ... 80 4.3.3.2. Deskripsi Model Statis CGE Global Untuk

ACFTA... 81 4.3.3.2.1. Sektor Produksi ………... 81 4.3.3.2.2. Pendapatan dan Tabungan Institusi .... 86 4.3.3.2.3. Permintaan Domestik …... 92 4.3.3.2.4. Penawaran Produsen dan Perdagangan

Internasional …... 93 4.3.3.2.5. Harga-Harga …...……….... 98 4.3.3.2.6. Kondisi Keseimbangan Umum …...… 102 4.3.3.2.7. Produk Domestik Bruto (GDP) ... 104 4.3.3.3. Database dan Agregasi ……… 105 4.3.3.4. Simulasi Kebijakan ……… 106 V. HUBUNGAN PERDAGANGAN CHINA DAN ASEAN-5, KINERJA

PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN

NEGARA-NEGARA ASEAN-5 DAN CHINA ... 109 5.1. Gambaran Umum Prekonomian dan Hubungan Perdagagan China

Dengan ASEAN-5 ………... 109 5.1.1. Indikator Makroekonomi China dan ASEAN-5 ……….… 109 5.1.2. Kinerja dan Hubungan Perdagangan China Dengan

ASEAN-5... 120 5.1.2.1. Kinerja Perdagangan Internasional ASEAN-5 dan

China ………..……… 120

5.1.2.2. Hubungan Perdagangan Antara ASEAN-5 Dengan

China ………...…… 127

5.2. Pembangunaan Pedesaan dan Kinerja Pertanian Negara-Negara

ASEAN-5 dan China ………. 137

5.2.1. Pembangunan Pedesaan Negara-Negara ASEAN-5 dan

China... 137 5.2.2. Kinerja Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China ……….… 141

5.2.2.1. Nilai Produksi, Pertumbuhan dan Share Pertanian ASEAN-5 dan China Terhadap Nilai Produksi

Pertanian Dunia ……….. 141 5.2.2.2. Komooditi Utama Tanaman Pertanian (crops)

ASEAN-5 dan China ………..… 143 5.2.2.3. Kinerja Produksi dan Produktivitas Komooditi

Utama Tanaman Pertanian ASEAN-5 dan China... 152 VI. DAYASAING DAN TRANSMISI HARGA BERBAGAI KOMODITI

UTAMA TANAMAN PERTANIAN SERTA DAMPAK

LIBERALISASI TERHADAP PEREKONOMIAN ASEAN-5 DAN

CHINA ... 157 6.1. Komparasi Dayasaing Sektor Pertanian antar Negara-negara

(23)

xxiii

Dayasaing Komoditi Pertanian dari Sisi Supply

Negara-negara ASEAN-5 dan China ………...…… 157 6.1.2. Dayasaing Komoditi Pertanian ASEAN-5 dan China di

Pasar Global ... 181 6.2. Transmisi Harga Internasional Komoditi Utama Tanaman

Pertanian ASEAN-5 China ke Pasar Domestik Masing-Masing

Negara ……... 188 6.2.1. Gambaran Umum Harga Internasional dan Harga

Produsen Domestik Komoditi Utama Tanaman Pertanian

ASEAN-5 China ... 189 6.2.2. Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke

Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman Pangan

dan Hortikultura ASEAN-5 China ... 195 6.2.3. Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Internasional ke

Harga Produsen Domestik Komoditi Tanaman

Perkebunan ASEAN-5 China ... 197 6.3. Dampak Liberalisasi serta Skenario Peningkatan Total Factor

Productivity (TFP) Pertanian dan Transmisi Harga Terhadap Kinerja Makro Ekonomi dan Perekonomian Pedesaan di

Indonesia... 199 6.3.1. Kondisi Awal Aliran Perdagangan dan Proteksi

Perdagangan di ASEAN-5 dan China ... 199 6.3.2. Dampak ACFTA Terhadap Kinerja Makro Ekonomi

ASEAN-5 dan China... 206 6.3.3. Dampak ACFTA Terhadap Kinrja Sektor Ekonomi

Indonesia ... 212 6.3.4. Dampak Simulasi Peningkatan TFP Pertanian dan

Peningkatan Transmisi Harga terhadap Makro Ekonomi

dan Kinerja Sektoral di Indonesia ... 216 6.3.5. Dampak Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Peningkatan Transmisi Harga Terhadap perekonomian

pedesaan di Indonesia ... 228 6.4. Implikasi Kebijakan... 233 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 241

(24)
(25)

xxv

1. Indikator Kemudahan Perdagangan Lintas Negara di Masing-Masing

Negara ASEAN-China ... 7 2. Cakupan Produk yang Masuk Early Harvest Program (EHP)

ACFTA …... 27 3. Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Program

(EHP) Untuk China dan ASEAN-6 dalam ACFTA ……… 28 4. Skema Penurunan Tarif Normal Track I Untuk China dan ASEAN-6

dalam ACFTA ………..……… 29

5. Persamaan model CGE dalam ekonomi terbuka ………….….……… 63 6. Klasifikasi Region dan Agregasi Region dalam Database GTAP

untuk ACFTA ………...………… 105

7. Klasifikasi Sektor dan Agregasi sektor dalam Database GTAP untuk

ACFTA ……….……… 106

8. Struktur SAM Indonesia Versi GTAP 8 untuk Model CGE

Indonesia... 107 9. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan GDP Negara ASEAN-5 dan

China Tahun 2010 ……… 110

10. Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5

dan China Tahun 1990-2010 ……… 111

11. Perkembangan GDP Nominal dan GDP Perkapita Negara ASEAN-5

dan China Tahun 1990-2010 ……… 116

12. Nilai Ekspor dan Impor Serta Neraca Perdagangan Internasional

Negara ASEAN dan China Tahun 2010 ……… 123 13. Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasioanl ASEAN-5 dan

China Dirinci Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 ………… 125 14. Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Internasioanl Negara-Negara

ASEAN-5 Menurut Sektor Utama Tahun 2000-2010 ……… 126 15. Tujuh Negara Partner Terbesar Perdagangan ASEAN-5 Tahun

1990-2010 ……… 129

16. Tujuh Negara Partner Terbesar Perdagangan China Tahun

(26)

xxvi

Serta Proporsinya Terhadap Total Nilai Perdagangan Internasional

Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 1990-2010 … 132 18. Nilai Perdagangan Yang Dirinci Menurut Sektor Utama Negara

Angota ASEAN-5 Dengan China, Tahun 2010 ……… 136 19. Populasi, Penggunaan Lahan dan Pembangunan Pedesaan

Negara-Negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2010 ………. 139 20. Nilai Produksi Pertanian ASEAN-5 dan China Menurut Harga

Konstan, Pertumbuhan dan Kontribusinya terhadap Dunia Tahun

2010 ………...…. 142 21. Urutan Komoditi Utama China berdasarkan Nilai Produksi Menurut

Harga Berlaku Internasional, Serta Pertumbuhan Produksi dan Share

terhadap Produksi Dunia Tahun 2010 ………...……… 144 22. Urutan Komoditi Tanaman Pertanian ASEAN berdasarkan Nilai

Produksi Menurut Harga Berlaku Internasional, Serta Pertumbuhan

Produksi dan Share terhadap Produksi Dunia Tahun 2010 …..……… 146 23. Share Produksi Masing-Masing Negara Terhadap Produksi Komoditi

Utama ASEAN-5, dan Komparasi Pertumbuhannya dengan Produksi

China dan Dunia Periode 1991-2010 ………... 150 24. Kinerja Pertumbuhan Produksi Komoditi Tanaman Pertanian Utama

ASEAN-5 dan China Periode 1991-2010 ……… 154 25. Produktivitas Komoditi Utama Tanaman Pertanian di

Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 ……… 155 26. Rata-rata Nilai Produksi dan Pertumbuhan Nilai Produksi Tanaman

Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ………… 160 27. Rata-rata Nilai dan Pertumbuhan Input Primer Tanaman Pertanian

(Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ……… 163 28. Intensitas Penggunaan Input Tanaman Pertanian (Crops) di

ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ……… 166 29. Produktivitas Input Primer Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5

dan China Tahun 1961-2010 ……...……… 170 30. Proporsi Biaya (cost share) dan Produksi Marginal Input Primer

Tanaman Pertanian (Crops) ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010.. 173 31. Pertumbuhan TFP dan Kontribusi Pertumbuhan Input Primer

Terhadap Pertumbuhan Output Tanaman Pertanian di ASEAN-5 dan

(27)

xxvii

Negara-negara ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun

2007... 182 33. Pangsa Pasar Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Negara-negara

ASEAN-5 dan China di Pasar Global Tahun 2007 ... 183 34. Indeks Spesialisasi Perdagangan ASEAN-5 dan China di Pasar

Global Tahun 2007... 184 35. Struktur Impor China dan Struktur Ekspor Indonesia serta Indeks

Komplementer Perdagangan Indonesia dengan China, Tahun 2007. .. 186 36. Nilai Rata-rata, Pertumbuhan dan Standar Deviasi Pertumbuhan

Harga Internasional dan Harga Produsen di Masing-Masing Negara

di ASEAN-5 dan China Periode 1991-2009 ……… 190 37. Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen

Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Pada

Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan ………… 196 38. Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen

Domestik di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Pada

Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan ……… 198 39. Kondisi Awal Aliran Perdagangan Antar Negara-Negara ASEAN-5

dan China, Tahun 2007 ($ US Milliar) ... 200 40. Tingkat Tarif Impor Antar Negara ASEAN-5 dan China serta dengan

Mitra Dagang Lainnya, Tahun 2007 (Persen) ... 203 41. Tingkat Tarif Impor dan Pajak Ekspor Berbagai Komoditi di

Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China, Tahun 2007 dalam persentase

(%)... 204 42. Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Ekspor Negara-Negara

ASEAN-5 dan China ... 208 43. Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Impor Negara-Negara

ASEAN-5 dan China ... 209 44. Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Harga Harga di

Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China... 210 45. Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Variabel Makro Ekonomi di

Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China ... 212 46. Dampak Liberalisasi ACFTA Terhadap Kinerja Sektor Ekonomi

(28)

xxviii

Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Makro Ekonomi dan Kinerja

Sektor Ekonomi Indonesia ... 219 48. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Ekspor Sektoral Indonesia ... 221 49. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Impor Sektor Indonesia ... 222 50. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Output dan Kesempatan Kerja

Sektor Indonesia ... 223 51. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga di Indonsia terhadap Indikator Dayasaing Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Indonesia di Pasar Global dan Pasar

Domestik China. ... ... 225 52. Indeks Spesialisasi Perdagangan Indonesia di Pasar Global Sebelum

dan Setelah FTA. ... ... 226 53. Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian Indonesia

dengan China Sebelum dan Setelah FTA. ... 227 54. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga di Indonsia Terhadap Pendapatan Rumah Tangga

Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ... 229 55. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga Terhadap Pendapatan Modal dan Tenaga Kerja

Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ... 231 56. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga Terhadap Total Konsumsi Rumah Tangga Pedesaan

dan Perkotaan di Indonesia ... 232 57. Dampak Simulasi Liberalisasi, Peningkatan TFP Pertanian dan

Transmisi Harga Terhadap Konsumsi RT Pedesaan dan RT

(29)

xxix

1. Biaya tenaga kerja dan Tingkat Suku Bunga Acuan di Masing-Masing Negara ASEAN-China ... 6 2. Perkembangan Jumlah Regional Trade Agreements 1949-2009 …… 23 3. Fenomena Perdagangan Antar Daerah : Analisis partial equilibriu .... 40 4. Gains from trade (general equilibrium) ……….……… 41 5. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ... 52 6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum Untuk Kasus

Negara Kecil ... 54 7. Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis Dayasaing Komoditi

Pertanian Menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Pedesaan

di Indonesia ... 72 8. Struktur Produksi dalam CGE Global untuk ACFTA ………..… 82 9. Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi

(1990-2010) ASEAN-5 dan China ……… 112

10. Tingkat GDP (PPP) Per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi

(1990-2010) ASEAN-5 dan China ……… 113

11. Kontribusi Sektor Pertanian, Industri dan Sektor Jasa Terhadap GDP

masing-masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 ………… 115 12. Perkembangan Nilai Investasi Asing di Masing-Masing Negara

ASEAN-5 dan China Periode 1990-2010 ……… 118 13. Tingkat Suku Bunga Pinjaman, Suku Bunga Deposito dan Selsihnya

di Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China Tahun 2010 ……… 120 14. Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional China

Periode 1990-2010 ……… 121

15. Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Internasional

Negara-Negara ASEAN-5 Periode 1990-2010 ……… 122 16. Perkembangan Nilai Perdagangan ASEAN-5 Dengan China Periode

1990-2010 ……… 127

17. Perkembangan Neraca Perdagangan Negara-Negara ASEAN-5

(30)

xxx

Tahun 2007 ... 187 19. Nilai Indeks Komplementer Perdagangan Komoditi Pertanian

ASEAN-5 dengan China Tahun 2007. ... 188 20. Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai

Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-Buahan di ASEAN-5 dan

China Periode 1991-2009 ... 192 21. Perkembangan Harga Internasional dan Harga Produsen Berbagai

(31)

xxxi

1. Nilai Produksi Tanaman Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan

China Tahun 1961-2010... 253 2. Luas Lahan Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China Tahun

1961-2010 ………... 254 3. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Negara-negara ASEAN-5 dan China

Tahun 1961-2010 ... 256 4. Persediaan Modal Bersih Tanaman Pertanian Negara-negara

ASEAN-5 dan China Tahun 1961-2010 ... 257 5. Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen

Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada

Kelompok Komoditi Tanaman Pangan dan Buah-buahan ... 258 6. Hasil Estimasi Transmisi Harga Internasional ke Harga Produsen

Domestik di Masing-masing Negara ASEAN-5 dan China pada

Kelompok Komoditi Tanaman Perkebunan. ... 273 7. Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia Versi GTAP8 Tahun

(32)
(33)

1.1. Latar Belakang

Penduduk di berbagai negara-negara berkembang termasuk Indonesia saat ini masih dominan bermukim di wilayah pedesaan. Di Indonesia, sebagian besar penduduk pedesaan ini memiliki ketergantungan pendapatan dan pekerjaan yang sangat tinggi di sektor pertanian. BPS 2009 melaporkan bahwa lebih 60 persen penduduk pedesaan Indonesia bekerja di sektor pertanian. Karena itu, pertumbuhan sektor pertanian memiliki arti penting bagi perekonomi pedesaan di Indonesia. Memasuki tahun 2010, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru dalam persaingan pasar global dengan diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Liberalisasi perdagangan berdasarkan kerangka ACFTA ini tidak hanya mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan kinerja makroekonomi negara-negara ASEAN-China, termasuk Indonesia, tetapi juga akan berpengaruh pada perekonomian pedesaan sebagai basis utama produsen pertanian di Indonesia.

(34)

2005, dan Valdes dan McCalla, 2004). Uraian diatas mengisyaratkan bahwa liberalisasi pertanian hanya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian pedesaan jika komoditi pertanian yang diproduksi oleh rumah tangga pedesaan memiliki dayasaing di pasar global serta tidak adanya faktor distorsi pasar yang dapat menghambat transmisi harga internasional ke pasar domestik.

Menurut Nicita (2005) bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masing-masing negara tidak dapat digeneralisir, bahkan akan bervariasi antargeografis dalam satu negara seperti wilayah pedesaan dan perkotaan. Selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Selain itu Taylor et al., (2010) menyebutkan bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak liberalisasi perdagangan pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan (rural welfare) di negara kurang berkembang (LDC) adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi rumah tangga pedesaan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan tetapi sebagai konsumen menguntungkan, sebaliknya terjadi jika harga meningkat. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu dibuktikan.

(35)

sebagai ranking ketiga dunia dalam GDP nominal perkapita yakni sebesar $ 56,522.

Berbagai komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing cukup tinggi dipasar internasional, seperti komoditi sawit, kakao, kopi dan lain sebagainya. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai pangsa ekspor sawit dunia sekitar 90 persen. Indonesia juga sebagai eksportir karet terbesar kedua dunia setelah Thailand. Selain itu, Indonesia adalah produsen dan eksportir kakao terbesar ketiga dunia dan sebagai ekportir kopi terbesar keempat dunia. Namun demikian Indonesia adalah importir utama di ASEAN untuk berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula dan lainnya (Deptan, 2007). Posisi Indonesia sebagai net importer berbagai produk pangan, bisa di satu sisi, sementara di sisi lainya, proporsi penduduk pedesaan Indonesia yang masih sebagian besar sebagai produsen pangan, memunculkan pertanyaan akdemik yang patut dikaji “Bagaimana dampak liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia?”.

Meski sudah cukup banyak kajian yang melihat dampak dan implikasi pemberlakuan kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, namun belum ada yang mengkaji secara spesifik implikasi liberalisasi pertanian dalam kerangka ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Chirathivat 2002; ASEAN Joint Experts Group 2001; Ma dan Wang 2002; Lee et al 2004 dengan menggunakan GTAP mengukur dampak ACFTA terhadap kesejahteraan dan variabel makroekonomi menemukan bahwa China dan ASEAN akan memperoleh manfaat bersih perdagangan dari ACFTA sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Park, et al (2008) ekonom dan peneliti senior ADB, menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif berbasis CGE menemukan bahwa baik kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dan China berprospek memperkuat perekonomian masing-masing negara.

(36)

ASEAN. Namun jika sektor pertanian tidak diliberalisasi maka GDP riil China akan naik sebesar 0,1 persen. Tongzon (2005) mengunakan pendekatan dayasaing untuk melihat implikasi ACFTA, ditemukan bahwa kesepakatan ACFTA akan memberikan peluang bagi ASEAN untuk meningkatkan ekspor ke pasar China, terutama untuk komoditi pangan, pertanian dan kehutanan di mana dayasaing ASEAN lebih unggul dibandingkan China.

Secara khusus studi mengenai implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dikaji oleh Wibowo (2009), Tambunan (2009) dan Ibrahim, et al., (2010) menggunakan GTAP untuk melihat dampak pelaksanaan ACFTA terhadap perdagangan internasional Indonesia, menemukan bahwa pelaksanaan ACFTA akan memberikan dampak positif terhadap perdagangan dan output Indonesia dan negara ASEAN dan China. Octaviani et al (2010) menggunakan model GTAP menemukan bahwa penghapusan tarif perdagangan ASEAN-China akan memberikan dampak seperti peningkatan kesejahteraan, GDP riil, konsumsi (pemerintah dan swasta), investasi dan variabel makro lainnya, namun menyebabkan neraca perdagangan yang negatif. Selain itu ACFTA juga meningkatkan output dan kesempatan kerja komoditi tertentu.

(37)

Keseluruhan studi sebelumnya yang menganalisis implikasi ACFTA dengan menggunakan model CGE atau GTAP belum ada yang mempertimbangkan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Valenzuela (2007) mengisyaratkan pentingnya mempertimbangkan faktor transmisi harga dalam menganalisis dampak liberalisasi berbasis CGE, mengingat asumsinya mengenai transmisi harga yang sempurna dalam model CGE maupun GTAP standar, sementara ketidaksempurnaan transmisi harga internasional ke pasar domestik selalu muncul dan bervariasi antarnegara dan antarregion dalam satu negara yang disebabkan oleh perbedaan infrastruktur dan kekakuan institusional domestik. Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga juga selalu muncul karena faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar (exchange rates) dan faktor lainnya. Bahkan Nicita (2005) menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara dan antar region merupakan salah satu penyebab perbedaan dampak liberalisasi antarnegara dan antarregion.

Karena itu, dengan menggunakan model static CGE Global dan CGE Indonesia yang mempertimbangkan transmisi harga. Studi ini diharapkan berkontribusi untuk mengkaji dampak liberalisasi berdasarkan kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian masing-masing negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan Indonesia. Selain itu studi ini juga diharakan berkontribusi untuk mengkonvarasi dayasaing pertanian masing-masing negara ASEAN-5 dan China.

1.2.Perumusan Masalah

(38)

besar. Penghapusan tarif perdagangan komoditi pertanian berdasarkan kerangka ACFTA, tidak hanya meningkatkan intensitas perdagangan pertanian antarnegara ASEAN-China, tapi juga akan mempengaruhi perekonomian masing-masing negara, termasuk akan mempengaruhi perekonomian pedesaan di Indonesia. Pengaruh ACFTA terhadap perekonomian masing-masing negara sangat tergantung pada dayasaing komoditi pertaniannya serta tingkat transmisi harga komoditi pertanian dari pasar internasional ke pasar domestik.

Dayasaing komoditi pertanian, tidak hanya ditentukan oleh limpahan berbagai faktor produksi seperti tenaga kerja, lahan dan modal, tetapi juga terkait teknologi sebagai ukuran kemajuan tehnis dalam memproduksi komoditi pertanian. China memiliki limpahan tenaga kerja yang sangat besar, penduduknya mencapai 1.3 Milliar, dengan tingkat upah yang sangat murah. Singapura memang memiliki kelangkaan tenaga kerja, namun memiliki modal yang kuat. Selain itu posisi Singapura juga strategis karena merupakan pelabuhan transit dalam perdagangan internasional. Berdasarkan tingkat suku bunga acuan Bank Sentral, Indonesia memiliki kelangkaan modal paling besar. Gambaran mengenai tingkat upah tenaga kerja serta tingkat suku bunga acuan Bank Sentral pada masing-masing negara ASEAN-5 dan China ditunjukkan pada gambar 1 berikut.

(a) Sumber : Tonzon 2005

(b)

Sumber : Bloomber, IMF 2011 Keterangan : (a) Biaya tenaga kerja per $ US 1 Output

(b) Suku Bunga Acuan Masing-Masing Negara ASEAN-5 dan China

Gambar 1 Biaya tenaga kerja dan Tingkat Suku Bunga Acuan di Masing-Masing Negara ASEAN-China

(39)

terbesar dunia, diikuti Malaysia, menguasai pangsa ekspor sawit dunia sekitar 90 persen. Thailand adalah produsen dan eksportir karet terbesar dunia dan menguasai pangsa pasar dunia sekitar 66 persen dan Indonesia sekitar 21 persen. Indonesia juga sebagai produsen dan eksportir kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Sementara Vietnam adalah produsen kopi terbesar kedua setelah Brasil dan Indonesia terbesar ke empat. Akan tetapi sebagian besar ASEAN-5 termasuk Indonesia adalah net importers untuk berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula dan lainnya (Statistik dan Informasi Pertanian, 2007). Sementara China, meski sebagai net importers untuk berbagai komoditi perkebunan, namun negara ini memiliki potensi produksi pangan yang besar. China adalah produsen beras terbesar dunia dan sebagai produsen terbesar ke empat untuk komoditi kedelai dan gula.

Selanjutnya, transmisi harga internasional ke pasar domestik tidak hanya terkait dengan infrastruktur, kekakuan institusional, struktur pasar, nilai tukar, tetapi juga mengenai biaya transaksi dan sejumlah hambata-hambatan perdagangan antarnegara. World Bank (2011), melaporkan ranking kemudahan perdagangan lintas negara (trading across borders) antarnegara di mana Indonesia berada pada ranking 47 dan China ranking 50 dunia. Akan tetapi diantara ASEAN-5 dan China, Indonesia memiliki biaya ekspor paling besar, dan biaya impor juga lebih tinggi dari biaya impor China, Malaysia dan Singapura.

Tabel 1 Indikator Kemudahan Perdagangan Lintas Negara di Masing-Masing Negara ASEAN-China

Indikator Kemudahan

perdagangan China Indonesia Malaysia Philipina Thailand Singapura Dokumen ekspor

(jumlah) 7 5 7 8 4 4

Lama ekspor (hari) 21 20 18 15 14 5

Biaya ekspor ($US

per container 500 700 450 675 625 456

Dokumen impor

(jumlah) 5 6 7 8 3 4

Lama impor (hari) 24 27 14 14 13 4

Biaya impor ($US per

container 545 660 450 730 795 439

Ranking 50 47 37 61 12 1

Sumber : Doing Business 2011, World Bank

(40)

potensi pertaniannya, maka secara umum permasalahan penelitian yang dirumuskan adalah bagaimana dayasaing komoditi pertanian masing-masing negara menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian pedeaan di Indonesia. secara spesifik rumusan masalah yang akan dikaji dalam studi ini adalah sebagai berikut: 1. Limpahan sumberdaya apa yang menjadi penentu dayasaing komoditi

pertanian di masing-masing negara dan bagaimana peta dayasaing komoditi pertanian masing masing negara ASEAN-5 dan China baik di pasar global maupun di pasar domestik China

2. Seberapa besar perubahan harga berbagai komoditi pertanian di pasar internasional dapat ditransmisikan ke pasar domestik dimasing-masing negara ASEAN-China dan bagaimana implikasinya terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia.

3. Bagaimana dampak kebijakan liberalisasi perdagangan ASEAN-China terhadap ekspor, impor, GDP dan berbagai variabel makroekonomi lainnya di masing-masing negara ASEAN-China serta bagaimana dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia.

4. Apakah peningkatan dayasaing dan peningkatan tansmisi harga internasional di Indonesia dapat meningkatkan manfaat liberalisasi bagi perekonomian Indonesia

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis dayasaing komoditi pertanian di masing-masing negara menghadapi kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China dan implikasinya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Secara khusus penelitian ini diarahkan untuk menjawab beberapa tujuan sebagai berikut :

(41)

2. Mengukur dayasing ekspor komoditi pertanian negara-negara ASEAN-5 dan China di pasar global maupun dipasar domestik China.

3. Mengukur transmisi harga internasional berbagai komoditi pertanian ke pasar domestik di masing-masing negara ASEAN-China.

4. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian dalam kerangka kesepakatan ACFTA terhadap ekspor, impor, GDP, investasi dan variabel makroekonomi lainnya di masing-masing negara ASEAN-China serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia.

5. Menganalisis dampak peningkatan teknologi pertanian, serta peningkatan transmisi harga internasional ke pasar domestik terhadap perekonomian nasional dan perekonomian pedesaan di Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari tiga point utama yakni sebagai berikut :

(1) Dari segi pengembangan ilmu : studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian mengenai liberalisasi perdagangan secara umum dan dampaknya terhadap variabel makroekonomi nasional serta dampaknya terhadap perekonomian pedesaan. Selain itu, studi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya.

(2) Dari segi informasi: dapat dijadikan bahan informasi yang dapat menjelaskan manfaat potensil dari kesepakatan ACFTA dan posisi dayasaing berbagai komoditi pertanian menghadapi kesepakatan perdagangan bebas antara ASEAN-China, serta dapat menjelaskan berbagai konsekuensi ekonomi dari leberalisasi pertanian terhadap perekonmian pedesaan.

(42)

1.5. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Studi ini, yang secara umum ditujukan untuk menganalisis dayasaing sektor pertanian menghadapi kesepakatan ACFTA dan implikasinya terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia, di mana berdasarkan objek dan pendekatannya memiliki tiga aspek yang merupakan ciri pembeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Ketiga aspek tersebut sekaligus merupakan aspek kebaruan (novelty) dalam studi ini yang secara terperinci diuraikan sebagai berikut

1. Dari segi objek penelitian, analisis dampak liberalisasi pertanian dalam kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia dengan mempertimbangkan produktivitas faktor dan transmisi harga internasional ke pasar domestik dipandang sebagai aspek kebaruan dari studi ini. Studi sebelumnya umumnya menganalisis implikasi ACFTA secara umum dan dampaknya terhadap variabel makroekonomi di masing-masing negara. Beberapa diantaranya secara spesifik menganalisis implikasi liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Wibowo, 2009 dan Tambunan, 2009, namun variebel ekonomi yang diukur hanya pada variable makroekonomi saja seperti dampak perdagangan, GD riil dan sebagainya. Disisi lain, Hartono, et al., (2007) dalam analisisnya mencakup implikasi ACFTA terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan Indonesia, namun studi ini hanya melihat implikasi ACFTA secara umum dan tidak spesifik pada liberalisasi pertanian, studi ini juga tidak dapat mnjawab implikasi dari peningkatan teknologi pertanian serta perbaikan transmisi harga terhadap perubahan pendapatan rumah tangga pedesaan di Indonesia

(43)

indikator pansa pasar (market shar), indeks spesialisasi perdagngan (ISP) dan indeks komplemener perdagangan (IKP). Selain itu studi ini juga melihat dampak peningkatan TFP pertanian terhadap dayasaing komoditi pertanian tersebut di pasar global. Dampak peningkatan TFP terhadap indikator dayasaing di pasar global juga dipandang sebagai salah satu kebaruan daristudi ini. Berbagai studi komparasi dayasaing antarnegara ASEAN dan China sebelumnya seperti Tongzon (2005), Hadi dan Mardianto (2004), Tambunan (2009) dan Ibrahim (2010), kesemuanya hanya menggunakan pendekatan indikator dayasaing dari sisi demand, yakni indikator seperti the world market shares index (XCI), Constant Market Share (CMS), revealed competitive advantage index (RCA), Index of Export Overlap (IEO).

3. Dari segi metodologi, studi ini juga yang pertama mempertimbangkan produktivitas faktor pertanian dan transmisi harga internasional ke pasar domestik ke dalam persamaan CGE dalam menganalisis implikasi kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian negara-negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Menurut Valenzuela (2007) bahwa model CGE seperti halnya GTAP standar mengasumsikan adanya transmisi harga yang sempurna antara pasar global dengan pasar domestik, sementara Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga selalu muncul yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar (exchange rates) dan faktor lainnya. Bahkan Nicita (2005) menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara, maupun antarregion dalam satu negara merupakan salah satu sebab perbedaan dampak liberalisasi antarregion. Karena itu, menganalisis ketidaksempurnaan transmisi harga internasional ke pasar domestik, dan mempertimbangkannya ke dalam model CGE di pandang sebagai salah satu aspek kebaruan dalam studi ini.

1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

(44)

negara anggota ASEAN (ASEAN-5) yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura, sedangkan negara anggota ASEAN lainnya diagregasi kedalam rest of the ASEAN, dan negara-negara di luar ASEAN dan China digabungkan ke dalam Rest of the World. Alasan yang mendasari terhadap cakupan wilayah kajian yang fokus pada enam negara, karena dalam implementasi kerangka kesepakatan ACFTA, yang mulai diberlakukan pada tahun 2010 dibatasi hanya pada negara China dan enam anggota lama ASEAN yakni ASEAN-5 plus Brunei Darulsalam. Negara Brunei Darulsalam tidak dijadikan fokus kajian, selain karena berada di luar keanggotaan ASEAN-5, juga karena ciri perekonomiannya tidak berbasis pertanian. Selanjutnya dalam studi ini, sektor yang dikaji akan diagregasi menjadi duabelas sektor, sembilan diantranya merupakan kelompok pertanian primer ditambah sektor pertanian olahan dan sektor non pertanian. Selanjutnya, aspek yang dikaji difokuskan pada tiga poin yakni mengkomparasi dayasaing komoditi pertanian di masing-masing negara yang dikaji, menganalisis transmisi harga komoditi serta menganalisis dampak liberalisasi terhadap berbagai variabel makroekonomi dan mikroekonomi di Indonesia. Dampak makroekonomi yang dimaksud meliputi variabel GDP, ekspor, impor, dan neraca perdagangan. Sedangkan variabel mikro mencakup pendapatan rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini terutama bersumber dari hal-hal seperti model analisis yang digunakan, jenis dan sumber data yang digunakan, variabel yang digunakan serta sistem pengklasifikasian data (agregasi dan disagregasi data). Sumber-sumber keterbatasan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

(45)

mengintegrasikan ke dalam model CGE, sehingga transmisi harga yang dianalisis hanya pada tingkat produsen di pasar domestik. Model CGE sendiri memiliki keterbatasan terutama mengenai asumsi Armington dan asumsi persaingan sempurna (perfect competition). Asumsi Armington yang mengatakan bahwa semua negara memiliki kekuatan pasar sehingga dapat mengatur arus perdagannya. Asumsi ini kurang realistis terutama bagi negara kecil, seperti beberapa negara ASEAN (Wibowo, 2009). Selanjutnya, asumsi CGE yang mengatakan bahwa semua pasar akan beroperasi secara sempurna, juga kurang realistis. Untuk sektor pertanian, beberapa negara masih memberlakukan subsidi bagi produsen, sehingga harga pasar tidak mencerminkan permintaan dan penawaran secara tepat. Selain itu, dalam pasar domestik, beberapa komoditi juga memiliki struktur pasar yang tidak kompetitif, seperti halnya adanya intervensi pemerintah dalam mengatur distribusi beras di pasar domestik di Indonesia, sehingga dapat mengganggu transmisi harga beras dari pasar dunia ke harga produsen beras di pedesaan Indonesia.

2. Jenis dan Sumber Data : Keseluruhan jenis data yang di gunakan dalam penelitian adalah jenis data skunder, seperti database GTP 8, Social Accounting Matriks (SAM), dan beberapa publikasi resmi dari BPS, Sekertariat ASEAN, World Bank, IMF, FAO, dan institusi lainnya yang relavan. Kelemahan utama dari jenis data sekunder tersebut, karena banyaknya data yang bersifat agregasi, sehingga beberapa komoditi atau variabel tidak dapat dianalisis secara sepesifk.

(46)
(47)

2.1. Liberalisasi Perdagangan dan Dampaknya Terhadap Perekonomian

Lima dekade terakhir menunjukkan perubahan besar dalam kebijakan ekonomi di banyak negara di dunia, terutama dalam hal strategi perdagangan. Pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, yang sekarang perannya digantikan oleh World Trade Organisation (WTO), telah menjadi pendorong kuat bagi banyak negara menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Suatu negara sedang menjalankan kebijakan liberalisasi bila kebijakan yang diterapkan tersebut menyebabkan perekonomian semakin berorientasi ke luar (outward-oriented) dan juga lebih terbuka (openness). Maksud dari kebijakan liberalisasi adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus, perubahan ke arah yang semakin netral diartikan sebagai perubahan yang lebih mendekati suatu sistem perdagangan yang bebas dari intervensi pemerintah.

Karena itu suatu rezim kebijakan dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan bila tingkat intervensi secara keseluruhan pada perdagangan barang dan jasa semakin berkurang (Santos-Paulino, 2005; Shafaeddin, 2005). Senada yang diungkapkan oleh Lee, (2005); Bhasin, et al. (2007) bahwa liberalisasi perdagangan (trade liberalization) adalah konsep ekonomi yang mengacu pada suatu proses menuju perdagangan yang lebih bebas melalui pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif (pajak dan subsidi) dan non-tarif (kuota, Peraturan lisensi dan penetapan standar yang sewenang-wenang) pada perdagangan barang dan jasa antarnegara.

(48)

Pandangan ekonom yang pro liberalisasi beranggapan bahwa perdagangan antarnegara sebaiknya dibiarkan berlansung secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Mereka berargumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan Lindert, 1978).

Studi dua ekonom dari Bank Dunia yaitu David Dollar dan Aart Kraay pada tahun 2001, membuktikan bahwa negara-negara yang lebih terbuka (globaliser) mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar 2,9 persen di tahun 1970 menjadi 3,5 persen di tahun 1980-an dan menjadi 5,0 persen di tahun 1990-an. Sedangkan negara-negara yang menjalankan perekonomian lebih tertutup telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu dari 3,3 persen di tahun 1970-an menjadi 0,8 persen di tahun 1980an dan menjadi 1,4 persen di tahun 1990-an.

Hal serupa juga di tunjukkan oleh ekonom James Gwartney dari Florida State University dan Robert Lawson dari Capital Univesity, yang mengukur indeks keterbukaan perdagangan di 123 negara, menunjukkan bahwa GDP perkapita negara-negara yang memiliki indeks keterbukaan paling rendah hanya US$ 1.883 di tahun 2002. Berbeda halnya dengan negara-negara yang memiliki indekx keterbukaan paling tinggi mencapai US$ 23.938 pada tahun yang sama. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang lebih liberal tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian yang lebih proteksionis (Gwartney et al., 2004).

(49)

komparatif, yakni ketika produsen dapat menghasilkan barang secara terampil dengan faktor endowment yang dimilikinya. Ketiga, perdagangan memungkinkan konsumen memperoleh manfaat dari metode-metode produksi yang lebih efisien. Keuntungan skala ekonomi dari perdagangan memungkinkan produsen dapat mengurangi biaya produksi sehingga konsumen dapat mengakses barang yang lebih murah.

Selanjutnya Budiono (2001) menjelaskan lima keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas yaitu : (1) perdagangan bebas berarti peluang mengakses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi. (2) Perdagangan bebas dapat mendorong iklim usaha ke arah yang lebih kompetitif sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, kondisi iklim usaha kearah yang lebih kompetitif juga memungkinkan untuk mengurangi aktivitas usaha yang bersifat rent seeking. (3) perdagangan bebas dapat mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. (4) Dalam perdagangan yang lebih bebas, harga dapat menjadi signal yang benar dalam mengalokasikan sumberdaya sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; (5) Perdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen. Kesejahteraan konsumen meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga yang relatif murah sehingga daya beli meningkat. Sedangkan produsen (perusahaan) memperoleh keuntungan dari kemudahan akses untuk mendapatkan sumber bahan baku, komponen dan jasa yang lebih kompetitif.

(50)

produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh di bawah harga jual produk impor. 2.2.Sistem Perdagangan Bebas Multilateral Vs Regional

Konsep perdagangan bebas pada awalnya digulirkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika terutama setelah berakhirnya perang dunia ke II. Tepatnya pada tahun 1948, sebuah sistem perdagangan bebas dibentuk melalui perjanjian mengenai tarif dan perdagangan, atau yang lebih dikenal dengan istilah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Menurut Krugman dan Obstfeld (2000), selama tiga dekade sejak pembentukannya GATT (1950-1980), sistem perdagangan multilateral telah mendominasi kebijakan perdagangan internasional. Akan tetapi, diakhir tahun 1980-an, kebijakan perdagangan multilateral mulai bergeser ke sistem perdagangan regional melalui pembentukan Regional Trade Agreement (RTAs), baik dalam bentuk kesepakatan pemberian konsensi tarif (Preferential Tariff Arrangements) perdagangan bebas regional (Regional Free Trade) maupun penyatuan sistem pabean (Custom Union).

(51)

Sebaliknya kalangan ekonom yang menentang perdagangan bebas regional (Bhagwati and Krueger, 1995; Panagariya, 1999) berpandangan bahwa RTAs akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral, sebab di satu sisi memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota, tetapi di lain pihak memproteksi pasar bagi negara-negara di luar anggota RTAs. Bhagwati (1995) menjelaskan lebih lanjut bahwa pembentukan Preferential Trade Area (PTA) akan menimbulkan efek “spaghetti bowl”, yakni sebuah efek yang akan merancukan atau menyulitkan dalam menentukan asal usul barang (rules of origin) yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan PTA. Selanjutnyan Bhagwati dan Panagariya (1996) berpendapat bahwa pembentukan Preferential Tariff Area antara sebuah ekonomi besar dengan ekonomi negara-negara berkembang (hegemonic-centered) seperti NAFTA (North America Free Trade Area) bertentangan dengan sistem perdagangan bebas multilateral sebab perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang (unfair Trade). PTA akan lebih sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang (non-hegemonic-centered) yang memiliki tingkat pembangunan ekonomi relatif seimbang dan sebelumnya telah memiliki hubungan perdagangan secara tradisional, seperti MERCUSOR, yaitu sebuah blok perdagangan regional yang dibentuk diantara negara-negara Amerika Selatan.

2.2.1. Sistem Perdagang Bebas Multilateral

Sebelum adanya WTO, perdagangan diatur dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT dibentuk pada tahun 1947 di Bretton Woods, yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). GATT dibentuk untuk mendorong penurunan secara progresif hambatan perdagangan melalui negosiasi yang berlangsung reguler atau yang sering disebut sebagai “putaran” perundingan. Sejak berdirinya GATT melaksakan delapan kali putaran perundingan yang dilakukan antara tahun 1947 sampai 1994.

(52)

negosiasi tersebut terlihat dari menurunya tarif untuk anggota GATT dari 35 persen pada tahun 1946 menjadi 6,4 persen pada tahun 1986. Dalam periode yang sama volume perdagangan antaranggota GATT meningkat dengan 25 kali lipat. Namun karena GATT hanyalah seperangkat perjanjian kesepakatan dan bukan merupakan suatu institusi, GATT memiliki kelemahan-kelemahan terutama dalam menangani konflik perdagangan diantara anggotanya, sehingga tidak memiliki suatu landasan hukum yang kuat dalam memecahkan perselisihan diantara anggotanya dan akibatnya mekanisme penyelesaian sengketa GATT tidak dapat berjalan efektif.

Atas dasar berbagai kelemahan pada GATT, maka dalam putaran terakhir GATT pada tahun 1994, yang berlangsung di Punta del Este, Uruguay, atau yang dikenal dengan Putaran Uruguay, para peserta menyepakati pendirian WTO (World Trade Organization) dengan memasukkan berbagai persetujuan yang mampu mencakup berbagai persoalan yang dihadapi anggota. Selain pembentukan WTO, putaran Uruguay juga menyepakati beberapa keputusan penting diantaranya disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa (the General Agreement on Trade in Services/GATS), perjanjian mengenai hak properti intelektual terkait dengan perdagangan (Trade-related Intelectual Property Rights/TRIPS), perjanjian di sektor investasi (Trade-related Investement Measures /TRIMSs). WTO juga merangkum badan dunia lainnya dan memiliki tingkat legalitas yang kuat sehingga memiliki kekuatan hukum dalam melaksanakan keputusannya. Ratusan negara yang terdiri negara maju dan negara berkembang ikut meratifikasi pendirian organisasi perdagangan dunia ini, termasuk Indonesia (World Trade Organization, 2006).

(53)

perundingan baru yang akan membahas : perdagangan produk pertanian, investasi, jasa isu lingkungan dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan-peraturan WTO lainnya.

DDA juga dinilai menghasilkan langkah maju karena berhasil mengamatkan kepada WTO untuk memberi bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang, sehingga mereka dapat mengintegrasikan ekonominya ke dalam sistem perdagangan multilateral. Salah satu isu penting yang dihasilkan dalam DDA adalah disetujuinya negosiasi yang komprehensif dalam bidang pertanian dengan tiga pilar utama yakni (1) perluasan akses pasar melalui penurunan tarif, (2) penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga tercipta persaingan ekspor yang komprehensif, dan (3) penghapusan/penurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan distorsi pasar.

WTO sebagai satu-satunya lembaga internasional yang secara khusus mengatur perdagangan antarnegara, memiliki tiga prinsip utama adalah : (1) Prinsip Most Favored Nation (MFN): Artinya bahwa setiap perlakuan yang diberikan kepada satu anggota WTO harus sama dengan perlakuan ke negara anggota lainnya, dengan kata lain setiap negara tidak bisa mengistimewakan salah satu negara mitra dagangnya, kecuali jika negara tersebut bukan anggota WTO. Prinsip MFN dapat dikatakan sebagai penerapan standar dari kebijakan perdagangan global. (2) Prinsip National Treatment (NT) : Prinsip ini menekankan bahwa perlakuan terhadap produk-produk yang berasal dari negara anggota WTO tidak boleh berbeda dengan perlakuan terhadap produk hasil domestik. (3) Prinsip Transparancy : Prinsip ini menekankan bahwa setiap negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. (World Trade Organization, 2005).

(54)

juga harus ditawarkan ke semua negara anggota lainnya. Dalam pengambilan keputusan, WTO juga menerapkan sistem konsensus yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan semua anggota, Haryadi (2008),.

Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan WTO pada tanggal 2 Nopember dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia juga telah mengadopsi prinsip-prinsi regim perdagangan bebas ini dan telah mengambil sejumlah langkah dalam mengurangi proteksi perdagangan, sesuai dengan skedul komitmen Indonesia dalam perjanjian dengan WTO.

2.2.2. Sistem Perdagang Bebas Regional

Perjanjian Perdagangan Regional atau Regional Trade Agreements (RTAs) telah menjadi kecenderungan yang sangat menonjol. Gelombang pembentukan RTAs terus berlanjut sejak terbentuknya WTO tahun 1995. Menurut sekretariat WTO, bahwa pada tahun 1998 terdapat 102 RTAs yang didaftarkan di GATT/WTO, dimana 78 RTAs merupakan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTAs), 11 RTAs merupakan perjanjian perdagangan dalam bidang jasa. Terdapat sebanyak 13 perdagangan bebas yang tidak aktif. Selanjutnya pada awal tahun 2010, WTO memperkirakan Jumlah RTAs sudah mencapai 462 RTAs yang didaftarkan ke GATT/WTO, di mana diantaranya terdapat sebanyak 345 RTAs merupakan perjanjian perdagangan bebas (FTAs), sisanya merupakan kesepakatan tarif (Preferential Tariff Arrangements) dan penyatuan sistem pabean (Custom Union) dan perjanjian di sektor jasa (Srvice Agreements). Perjanjian didirikannya organisasi perdagangan dunia WTO pada tahun 1995. Dari total RTAs yang terdapat di GATT/WTO pada periode yang sama hanya 271 RTAs yang masih aktif.

(55)

dalam blok peragangan regional, juga membentuk perdagangan bebas bilateral. Singgapore misalnya, selain aktif menjadi AFTA, ACFTA, juga membuat perjanjian bebas bilateral dengan negara lain seperti : Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Korea Selatan. Berdasarkan situs resmi WTO, perkembangan RTAs sejak terbntuknya GATT/WTO hingga awal tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Sumber : WTO, 2010

Gambar 2 Perkembangan Jumlah Regional Trade Agreements 1949-2009.

Gambar

Gambar 2 berikut.
Tabel 3 Jadwal Penurunan dan Penghapusan Tarif Early Harvest Program
Gambar 5 Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara.
Gambar 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar, tes kemampuan penalaran dan non tes (lembar penilaian teman sejawat) keterampilan

Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa kelas jalan merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi aksesibilitas, dimana semakin tinggi kelas jalan, maka akan

METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari 4 tahap yang meliputi pengujian pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung senyawa uji, pengujian ketahanan terhadap pH rendah dan

Internet adalah teknologi yang mengantarkan manusia untuk sampai pada kehidupan virtual yang merupakan kehidupan ke duanya ( second life ). Pada masyarakat Indonesia,

Berikut ini beberapa dimensi sikap yang berkaitan dengan penentuan sikap peserta didik terhadap mata pelajaran Kimia adalah: (1) dimensi kognitif, yaitu: (a) persepsi

Jika alkalinitas total melebihi kesadahan total maka sebagian dari anion penyusun alkalinitas (bikarbonat dan karbonat) berasosiasi dengan kation valensi satu

Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada kunjungan bulan pertama saat pasien terdiagnosa mengalami penyakit TB secara kualitas hidup kondisi pasien buruk yang ditandai

Berdasarkan tabel 1, gambaran yang diperoleh dari sepuluh perusahaan BUMN pemberi kerja yang dijadikan rujukan penelitian: (A). Kompetensi sekretaris yang dibutuhkan oleh