• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penduduk di berbagai negara-negara berkembang termasuk Indonesia saat ini masih dominan bermukim di wilayah pedesaan. Di Indonesia, sebagian besar penduduk pedesaan ini memiliki ketergantungan pendapatan dan pekerjaan yang sangat tinggi di sektor pertanian. BPS 2009 melaporkan bahwa lebih 60 persen penduduk pedesaan Indonesia bekerja di sektor pertanian. Karena itu, pertumbuhan sektor pertanian memiliki arti penting bagi perekonomi pedesaan di Indonesia. Memasuki tahun 2010, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan baru dalam persaingan pasar global dengan diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Liberalisasi perdagangan berdasarkan kerangka ACFTA ini tidak hanya mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan kinerja makroekonomi negara-negara ASEAN-China, termasuk Indonesia, tetapi juga akan berpengaruh pada perekonomian pedesaan sebagai basis utama produsen pertanian di Indonesia.

World Development Report, 2008 menyebutkan bahwa penurunan proteksi dan subsidi pertanian terutama di negara-negara maju dan peran pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan akses terhadap asset pertanian, peningkatan produktivitas dan mengoreksi kegagalan pasar dan distorsi ke pasar domestik, akan membantu masyarakat pedesaan untuk mendapatkan harga produk pertanian yang lebih baik. Di sisi lain, banyak ekonom berpandangan bahwa liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Alasannya bahwa dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan, tetapi sebagian besar rumah tangga pedesaan di negara tersebut adalah produsen produk pangan, sehingga dengan menghapus tarif impor produk pangan menyebabkan ekonomi pedesaan di negara berkembang rentan terhadap persaingan dari negara produsen pangan yang memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa liberalisasi pertanian akan menekan harga dan upah sektor pertanian pedesaan sehingga mempengaruhi perekonomian pedesaan di negara berkembang (Tangermann, 2005, Wainio et al.

2005, dan Valdes dan McCalla, 2004). Uraian diatas mengisyaratkan bahwa liberalisasi pertanian hanya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian pedesaan jika komoditi pertanian yang diproduksi oleh rumah tangga pedesaan memiliki dayasaing di pasar global serta tidak adanya faktor distorsi pasar yang dapat menghambat transmisi harga internasional ke pasar domestik.

Menurut Nicita (2005) bahwa dampak liberalisasi perdagangan di masing-masing negara tidak dapat digeneralisir, bahkan akan bervariasi antargeografis dalam satu negara seperti wilayah pedesaan dan perkotaan. Selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Selain itu Taylor et al., (2010) menyebutkan bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak liberalisasi perdagangan pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan (rural welfare) di negara kurang berkembang (LDC) adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi rumah tangga pedesaan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan tetapi sebagai konsumen menguntungkan, sebaliknya terjadi jika harga meningkat. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu dibuktikan.

Negara-negara ASEAN dan China memiliki limpahan sumberdaya yang beragam untuk menghasilkan berbagai komoditi pertanian. China selain dikenal sebuah negara yang memiliki ukuran perekonomian yang besar dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Negara ini juga memiliki limpahan tenaga kerja yang sangat besar dengan upah yang sangat murah. Selain itu, China juga memiliki potensi besar dalam menghasilkan berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelei dan gula. Di pihak lain, kecuali Singapura, negara-negara ASEAN-5 termasuk Indonesia memiliki limpahan sumberdaya alam untuk menghasilkan berbagai komoditi pertanian tropis, khususnya komoditi perkebunan seperti seperti kelapa sawit, kopra, karet, kakao, kopi dan lainnya. Singapura sebagai bagian dari ASEAN-5 memang tidak ditunjang oleh sumberdaya alam dan tenaga kerja yang besar, tetapi negara ini memiliki limpahan sumberaya modal yang kuat. IMF 2010 menempatkan negara ini

sebagai ranking ketiga dunia dalam GDP nominal perkapita yakni sebesar $ 56,522.

Berbagai komoditi pertanian Indonesia yang memiliki dayasaing cukup tinggi dipasar internasional, seperti komoditi sawit, kakao, kopi dan lain sebagainya. Pada tahun 2007, Indonesia dan Malaysia menguasai pangsa ekspor sawit dunia sekitar 90 persen. Indonesia juga sebagai eksportir karet terbesar kedua dunia setelah Thailand. Selain itu, Indonesia adalah produsen dan eksportir kakao terbesar ketiga dunia dan sebagai ekportir kopi terbesar keempat dunia. Namun demikian Indonesia adalah importir utama di ASEAN untuk berbagai komoditi pangan seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula dan lainnya (Deptan, 2007). Posisi Indonesia sebagai net importer berbagai produk pangan, bisa di satu sisi, sementara di sisi lainya, proporsi penduduk pedesaan Indonesia yang masih sebagian besar sebagai produsen pangan, memunculkan pertanyaan akdemik yang patut dikaji “Bagaimana dampak liberalisasi pertanian berdasarkan kerangka kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) terhadap

perekonomian pedesaan di Indonesia?”.

Meski sudah cukup banyak kajian yang melihat dampak dan implikasi pemberlakuan kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, namun belum ada yang mengkaji secara spesifik implikasi liberalisasi pertanian dalam kerangka ACFTA terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Chirathivat 2002; ASEAN Joint Experts Group 2001; Ma dan Wang 2002; Lee et al 2004 dengan menggunakan GTAP mengukur dampak ACFTA terhadap kesejahteraan dan variabel makroekonomi menemukan bahwa China dan ASEAN akan memperoleh manfaat bersih perdagangan dari ACFTA sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Park, et al (2008) ekonom dan peneliti senior ADB, menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif berbasis CGE menemukan bahwa baik kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dan China berprospek memperkuat perekonomian masing-masing negara.

Hasil yang berbeda ditemukan oleh Scollay dan Gilbert (2002) menggunakan metode GTAP menemukan bahwa dengan simulasi secara penuh China tidak memperoleh keuntungan dari liberalisasi perdagangan dengan

ASEAN. Namun jika sektor pertanian tidak diliberalisasi maka GDP riil China akan naik sebesar 0,1 persen. Tongzon (2005) mengunakan pendekatan dayasaing untuk melihat implikasi ACFTA, ditemukan bahwa kesepakatan ACFTA akan memberikan peluang bagi ASEAN untuk meningkatkan ekspor ke pasar China, terutama untuk komoditi pangan, pertanian dan kehutanan di mana dayasaing ASEAN lebih unggul dibandingkan China.

Secara khusus studi mengenai implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dikaji oleh Wibowo (2009), Tambunan (2009) dan Ibrahim, et al.,

(2010) menggunakan GTAP untuk melihat dampak pelaksanaan ACFTA terhadap perdagangan internasional Indonesia, menemukan bahwa pelaksanaan ACFTA akan memberikan dampak positif terhadap perdagangan dan output Indonesia dan negara ASEAN dan China. Octaviani et al (2010) menggunakan model GTAP menemukan bahwa penghapusan tarif perdagangan ASEAN-China akan memberikan dampak seperti peningkatan kesejahteraan, GDP riil, konsumsi (pemerintah dan swasta), investasi dan variabel makro lainnya, namun menyebabkan neraca perdagangan yang negatif. Selain itu ACFTA juga meningkatkan output dan kesempatan kerja komoditi tertentu.

Hartono, et al., (2007) mengkaji integrasi ekonomi regional dengan beberapa area perdagangan bebas termasuk ACFTA dan dampaknya terhadap pertumbuhan, kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia. Dengan menggunakan CGE Global berdasarkan database GTAP 6.0. Secara umum ditemukan bahwa Indonesia memperoleh keuntungan dalam hal GDP riil, output, dan kesejahteraan, kecuali FTA dengan India. Berbagai FTA juga meningkatkan pendapatan kelompok rumahtangga pedesaan (rural group) yang lebih tinggi di bandingkan kelompok rumahtangga perkotaan (urban group). Meski Hartono, et al., (2007) dalam analisisnya mencakup implikasi ACFTA terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan Indonesia, namun dalam model analisisnya hanya melihat implikasi ACFTA secara umum dan tidak spesifik pada liberalisasi pertanian, sehingga tidak dapat menjawab apakah dampak ACFTA terhadap perubahan pendapatan rumah tangga pedesaan disebabkan oleh liberalisasi pertanian atau non-pertanian.

Keseluruhan studi sebelumnya yang menganalisis implikasi ACFTA dengan menggunakan model CGE atau GTAP belum ada yang mempertimbangkan transmisi harga internasional ke pasar domestik. Valenzuela (2007) mengisyaratkan pentingnya mempertimbangkan faktor transmisi harga dalam menganalisis dampak liberalisasi berbasis CGE, mengingat asumsinya mengenai transmisi harga yang sempurna dalam model CGE maupun GTAP standar, sementara ketidaksempurnaan transmisi harga internasional ke pasar domestik selalu muncul dan bervariasi antarnegara dan antarregion dalam satu negara yang disebabkan oleh perbedaan infrastruktur dan kekakuan institusional domestik. Conforti (2004) menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga juga selalu muncul karena faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar (exchange rates) dan faktor lainnya. Bahkan Nicita (2005) menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara dan antar region merupakan salah satu penyebab perbedaan dampak liberalisasi antarnegara dan antarregion.

Karena itu, dengan menggunakan model static CGE Global dan CGE Indonesia yang mempertimbangkan transmisi harga. Studi ini diharapkan berkontribusi untuk mengkaji dampak liberalisasi berdasarkan kerangka kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian masing-masing negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan Indonesia. Selain itu studi ini juga diharakan berkontribusi untuk mengkonvarasi dayasaing pertanian masing-masing negara ASEAN-5 dan China.