• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Konsep Dayasaing dan Perdagangan Antarnegara

3.1.1. Determinan Perdagangan Antarnegara

Teori ekonomi klasik menjelaskan bahwa pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu negara (daerah) ke negara lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Bekerjanya mekanisme pasar didorong oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran pada setiap wilayah (Sobri, 2001). Perbedaan kuantitas permintaan disebabkan oleh sejumlah faktor determinan seperti jumlah penduduk, pendapatan, kesukaan dan sebagainya. Perbedaan penawaran disebabkan oleh ketidaksamaan faktor-faktor produksi, kondisi geografis, dan budaya masyarakat. Perbedaan tingkat permintaan dan penawaran suatu komoditas yang menyebabkan terjadinyan perdagangan antarnegara berkisar pada tiga faktor utama yaitu : (1) perbedaan tingkat kelangkaan barang (scarcity),

(2) perbedaan faktor produksi: perbedaan faktor-faktor produksi yang menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas di tiap daerah dan (3) perbedaan harga komparatif barang (Sobri, 2001).

Perbedaan ketiga faktor tersebut pada setiap wilayah, sekaligus mencerminkan adanya perbedaan keunggulan komparatif (comparative adventages) pada masing-masing wilayah dalam menghasilkan barang tertentu. Keunggulan komparatif ditentukan oleh adanya perbedaan limpahan faktor-faktor seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi sehingga setiap daerah masing-masing dapat menghasilkan barang tertentu secara lebih produktif dibandingankan daerah lainnya. Perbedaan kelangkaan faktor-faktor tersebut sekaligus mempengaruhi perbedaan harga faktor dan harga barang pada masing-masing daerah yang mendorong terjadinya perdagangan antar daerah secara menguntungkan (Meier, 1995).

Menurut Kasliwal, (1995) bahwa teori perdagangan yang didasarkan pada doktrin keunggulan komparatif, memiliki implikasi bahwa selama terjadi perbedaan karakteristik permintaan dan penawaran yang tercermin dari perbedaan

harga sebelum autarchy sebelum perdagangan maka arus perdagangangan akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan harga untuk semua daerah (equilibrum) dari masing-masing daerah memperoleh keuntungan dari kegiatan perdagangan tersebut (gains from trade). Faktor determinan dari kegiatan perdagangan antardaerah ini diilustrasikan oleh Kasliwal, Kasliwal (1995) dengan menggunakan analisis keseimbangan partial (partial equilibrium), seperti pada Gambar 3 berikut.

(a) (b)

Dalam konteks perdagangan suatu barang antarnegara, Gambar 3. menjelaskan bahwa perdagangan suatu barang antarnegara didorong oleh adanya perbedaan harga relatif dari barang tersebut antara dua daerah (A dan B). Barang akan mengalir dari daerah surplus (A) yang memiliki harga lebih rendah (PA) sebelum perdagangan autarchy ke daerah defisit (B) yang memiliki harga

autarchy yang lebih tinggi (PB). Arus perdagangan ini akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan harga pada tingkat Pw. Posisi keseimbangan pada masing-masing daerah berubah dari keseimbangan autarchy di posisi Z ke posisi perdagangan di T, yang menghasilkan kesejahteraan sosial (social welfare) yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam triangulasi (ZTW), yaitu surplus produsen dan surplus konsumen meningkat dibandingkan dengan posisi original pada masing-masing harga autarchy PA dan PB.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dilihat dari sudut pandang teori ini, terjadinya perdagangan barang antara Indonesia dan China serta negara-negara

W W B PA A Z P PW P D Impor Ekspor Q T Z S PB

Gambar 3. Fenomena Perdagangan Antar Daerah : Analisis partial T

lainnya di ASEAN secara umum ditentukan oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran barang yang tercermin dari adanya perbedaan harga di pasar barang di masing-masing daerah. Perbedaan permintaan barang antara daerah tujuan dan daerah pengirim ditentukan oleh banyak faktor diantaranya besaran ekonomi, ukuran penduduk, nilai tukar, dan sebagainya. Selanjutnya, bila dilihat dari sudut penawaran ditentukan oleh dukungan penggunaan faktor produksi terutama lahan dan tenaga kerja, modal dan teknologi, ketersediaan infrastruktur perdagangan, dan kelembagaan pemasaran. Selain itu kebijakan pemerintah seperti bea ekspor dan impor, pajak dan kebijakan lainnya turut mempengaruhi perdagangan barang antarnegara.

Dengan demikian kegiatan perdagangan antarnegara yang didasarkan pada keunggulan komparatif wilayah, akan meningkatkan kesejahteraan (social welfare) pada masing-masing daerah. Setiap daerah dapat mengkonsumsi barang lebih besar dari kemampuan originalnya dalam memproduksi barang tersebut, serta masing-masing daerah dapat mencapai skala produksi yang efisien sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya (Kasliwal, 1995; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Dengan menggunakan analisis keseimbangan umum (general equilibrium), Kasliwal, (1995) menunjukkan keuntungan perdagangan (gains from trade) seperti pada Gambar 4 berikut.

Barang X Barang Y D Impor Ekspor IC1 TOT1 TOT2 C B A IC2

Dalam konteks perdagangan barang antara Indonesia dengan China dan anggota ASEAN lainnya, dengan asumsi bahwa Indonesia dengan segala keragamannya dikaruniai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah sehingga dapat menghasilkan barang X yang relatif lebih murah dibandingkan menghasilkan barang Y (padat modal). Sebelum kegiatan perdagangan (autarchy), maka harga relatif dalam menghasilkan kedua barang di Indonesia, ditunjukkan oleh term of trade (TOT 1), sehingga kombinasi optimal untuk kedua barang terjadi di titik A pada Kurva Kemungkinan Produksi (KKP). Tetapi dengan terbukanya pintu pedagangan barang antarnegara, maka harga barang yang lebih tinggi di anggota ACFTA ditransmisikan ke wilayah Indonesia sehingga term of trade berubah seperti (TOT2) yang berdampak meningkatnya skala usaha (economic of scale) untuk menghasilkan barang X di titik B dan keseimbangan konsumsi meningkat di titik C dengan social welfare yang lebih tinggi (IC2) dibanding keseimbangan autarchy di IC1. Dengan asumsi bahwa pasar bekerja secara sempurna, maka keseimbangan produksi dan konsumsi setelah perdagangan mengisyaratkan bahwa Indonesia akan mengekspor barang sebesar BD dan mengimpor barang Y sebesar CD.

Berdasarkan analisis keseimbangan umum, maka manfaat perdagangan tersebut hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua asumsi utama yakni : (1) Kegiatan perdagangan didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah dan (2) pasar berkerja secara sempurna, sehingga harga dapat ditransmisikan secara sempurna pula. Kedua asumsi tersebut, sekaligus menjadi syarat suatu komoditas memiliki dayasaing (competitiveness) dalam kondisi pasar yang bersaing.

3.1.2. Konsep Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif merupakan teori yang dikembangkan untuk menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan. Prinsip teori ini menyatakan bahwa apabila sumberdaya dapat berpindah antarnegara, maka penduduk pada suatu wilayah akan mengkhususkan diri pada komoditas-komoditas yang dapat mereka olah secara relatif lebih efisien. Efisiensi relatif ditentukan oleh opportunity cost, yaitu hilangnya sejumlah unit komoditas atau jasa karena berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Setiap negara

tidak mungkin memiliki opportunity cost yang sama. Bila sebuah negara menghasilkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kemudian memperdagangkannya dengan komoditas lain dari negara luar, maka spesialisasi dan perdagangan tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak (Blair, 1991).

Teori perdagangan yang didasarkan doktrin keunggulan komparatif ini berimplikasi bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan bahkan ketika sebuah negara dapat memproduksi semua komoditas secara lebih murah dibandingkan semua negara lain (Kasliwal, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa pada dasarnya teori perdagangan yang menjelaskan keunggulan komparatif suatu negara telah berkembang dalam tiga versi, yakni : (1) Teori perdagangan Ricardian; (2) Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin (1930-an); dan (3) Teori perdagangan modern yang dikembangkan oleh Krugman.

3.1.2.1. Teori Perdagangan Ricardian (Paradigma Ekonomi Klasik)

Teori Perdagangan Ricardian didasarkan pada teori nilai tenaga kerja

(labor theory of value), David Ricardo mengasumsikan bahwa perbedaan limpahan sumberdaya alam sebagai sumber perbedaan keunggulan komparatif antarwilayah dan hanya tenaga kerja yang merupakan faktor utama dalam proses produksi. Produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam (endowment)

menentukan kombinasi maksimum dari barang yang dapat diproduksi suatu daerah (Kasliwal, 1995). David Ricardo berpendapat bahwa di dunia ini pada satu pihak terdapat negara yang faktor-faktor produksinya, seperti tenaga kerja dan alam lebih menguntungkan, dan di lain pihak ada negara yang faktor-faktor produksinya kurang menguntungkan dibandingkan negara pertama sehingga dalam menghasilkan beberapa barang negara pertama lebih unggul dan lebih produktif dibandingkan negara kedua, bahkan negara kedua itu tertinggal dalam menghasilkan beberapa barang tertentu. Dengan demikian menurut konsep perbedaan biaya mutlak (Adam Smith), kedua negara itu tidak dapat mengadakan pertukaran atau perdagangan. Akan tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia dapat juga ikut serta dalam perdagangan internasional asalkan setiap negara yang berdagang itu dapat mengkhususkan dirinya dalam memproduksi sejenis barang yang paling

menguntungkan (Sobri, 2001). Berdasarkan pandangan teori ini, maka dalam konteks perdagangan antarnegara, alasan kegiatan perdagangan antarnegara tidak hanya adanya tingkat keuntungan mutlak, melainkan dengan adanya perbedaan biaya komparatif (yang menimbulkan keuntungan komparatif), akan memberikan keuntungan pada masing-masing negara yang melakukan kegiatan perdagangan.

Teori ini dikeritik dari asumsinya bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam comparative advantage itu karena adanya perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama dengan nilai produksinya sehingga tidak akan terjadi perdagangan internasional. Oleh karena, itu syarat timbulnya perdagangan antarnegara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi dan tenaga kerja tidak digunakan dalam pangsa yang tetap dan sama untuk semua jenis barang (Nopirin, 1997). Walaupun demikian David Ricardo dikenal sebagai penemu teori perdagangan internasional modern (Helawani, 1993).

3.1.2.2. Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin

Teori Perdagangan Neoklasik yan dikembangkan oleh Heckscher dan Ohlin pada tahun 1930an, juga dikenal sebagai teori proporsi faktor yang menyoroti perbedaan kelangkaan (scarcity) relatif dari produtivitas faktor K (capital) dan L (labor) yang mempengaruhi perbedaan harga faktor PK/PL yang berlaku dan mempengaruhi biaya produksi, serta berpengaruh pada harga produk (Kasliwal, 1995). Heckscher dan Ohlin beranggapan bahwa perdagangan antardaerah itu sesungguhnya adalah masalah harga. Harga suatu barang itu terjadi karena ada permintaan dan penawaran. Perbedaan harga inilah yang menjadi dasar terjadinya perdagangan antardaerah yang disebabkan perbedaan komposisi dan proporsi faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ini (Sobri, 2001).

Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa setiap negara hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang sesuai dengan kelimpahan

karunia sumberdaya yang dimiliki. Negara yang memiliki kelimpahan faktor tenaga kerja hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat karya (labor intensive), sedangkan negara-negara yang memiliki kelimpahan faktor modal hendaknya memproduksi dan mengekspor barang-barang yang produksinya bersifat padat modal (capital intensive). Teori Heckscher-Ohlin juga memperkenalkan factor price equalization theorem, yang menyatakan bahwa perdagangan yang bebas antara dua negara cenderung akan menyamakan bukan hanya harga barang-barang yang diperdagangkan saja, melainkan juga harga faktor produksi yang homogen pada kedua negara tersebut.

3.1.2.3. Dinamic Comparatif Adventage oleh Paul R. Krugman

Teori Perdagangan Modern (Dynamic Comparative Adventage) dikembangkan oleh Krugman pada tahun 1980an. Teori ini menyoroti arti penting teknologi di samping faktor produksi lainnya (modal dan tenaga kerja) dalam proses produksi sebagai sumber keunggulan komparatif. Negara memiliki keunggulan komparatif dalam industri sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang pasti atas pengaruh teknologi (Meier, 1995; Kasliwal, 1995). Akan tetapi menurutnya, teknologi mengalami perubahan dan penyebaran yang cepat sehingga inovasi baru (produk) yang didasarkan pada teknologi baru yang pada awalnya mampu memiliki posisi monopoli dan kemudahan mengakses pasar luar, namun lambat laun gap teknologi akan semakin tipis antarperusahaan (daerah) sehingga produk cepat mencapai tahap kejenuhan (mature stage) dalam tahap siklus produk (product life cycle).

Implikasi dari teori ini mengungkapkan bahwa keunggulan komparatif tidak statis, tetapi bersifat dinamis dan dapat diciptakan atau dikembangkan. Secara umum, perubahan keunggulan komparatif terjadi ketika faktor endowment

yang dimiliki suatu daerah berubah. Jenjang perubahan keunggulan komparatif suatu daerah, diawali dari mengekspor komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktor-faktor dasar (basic factors), seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja yang kurang atau tidak terampil (unskilled or semiskilled labor)

menggunakan faktor-faktor spesial dan maju, seperti infrastruktur komunikasi data digital modern, tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi, dan aktivitas riset dan pengembangan (R&D) (Meier, 1995). Lebih lanjut diuraikan bahwa keunggulan komparatif menurut tipe-Ricardian dan tipe-Ohlin merupakan jenjang dasar dari keunggulan komparatif yang didominasi oleh faktor-faktor dasar (basic factors) karena barang-barang yang dihasilkan berdasarkan pada “natural”

comparative adventage. Adapun pada jenjang puncak, faktor-faktor yang lebih maju (advanced factors) mendominasi adalah faktor-faktor yang harus selalu di kembangkan atau diciptakan melalui investasi sumberdaya manusia dan modal fisik (investment in humand and physical capital) dalam rangka untuk keunggulan komparatif yang diciptakan (“created” comparative adventage)

Dengan demikian konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya menekankan pada produksi komoditas perdagangan tertentu yang didasarkan pada limpahan faktor-faktor endowment (Sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi) yang dimiliki wilayah sehingga wilayah dapat lebih produktif atau lebih efisien dalam menggunakan sumberdayanya dibandingkan wilayah lain. Dengan kata lain keunggulan komparatif komoditas tertentu pada suatu wilayah memungkinkan komoditas tersebut dapat diproduksi relatif lebih murah dibandingkan jika diproduksi di wilayah lain, yang berarti pula komoditas tersebut memiliki prospek untuk dapat diperdagangan ke wilayah lain yang memiliki harga relatif lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki oleh wilayah, maka semakin tinggi pula dayasaing (competitiveness) komoditas yang dihasilkannya dalam perdagangan antarnegara.

3.1.3. Konsep Keunggulan Kompetitif

Dayasaing atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) adalah bertujuan menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau di pasar global. Keunggulan kompetitif tidak lagi membandingkan potensi komoditas yang sama pada suatu daerah dengan daerah lainnya (seperti pada keunggulan komparatif), tetapi membandingkan potensi komoditas dari suatu daerah mengakses pasar global dibandingkan potensi komoditas yang sama dari semua daerah pesaingnya dalam pasar global.

Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku karena harga tersebut selalu berfluktuasi, sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walau demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan pertanda awal bahwa komoditas itu punya prospek juga memiliki keunggulan kompetitif (Tarigan, 2004).

Michael Porter, 1985 dalam Saragih (2001) mengungkapkan bahwa konsep keunggulan dayasaing adalah kemampuan suatu daerah/perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Bahkan Cook at.all (1991) memberikan pengertian yang lebih operasional dari keunggulan dayasaing yakni kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari pada yang dipasarkan pesaing dengan memperoleh keuntungan paling tidak sebesar biaya oportunitas,

(opportunity cost) sumberdaya yang digunakan.