• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara umum kawasan pedesaan sering dicirikan sebagai sebuah wilayah yang memiliki tingat kepadatan penduduk rendah, dimana sebagian besar penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian serta dengan hubungan sosial masyarakatnya yang masih kuat. Dalam persfektif regional, kawasan pedesaan juga sering dikontraskan dengan kawasan perkotaan, yakni kawasan yang padat penduduk dengan aktivitas ekonomi didominasi oleh sektor non pertanian sepeti industri atau jasa-jasa. Meski ciri kedua kawasan tersebut sangat kontras, namun komunitas masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki hubungan fungsional yang cukup kuat. Kawasan pedesaan merupakan tempat memproduksi berbagai komoditi pertanian, termasuk komoditi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat perkotaan, serta memasok bahan baku untuk keperluan industri perkotaan. Sebaliknya kawasan perkotaan juga menyediakan berbagai hasil-hasil industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk pedesaan, termasuk kebutuhan untuk mendukung aktivitas produksi pertanian mereka di pedesaan. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya pembangunan pedesaan tidak terlepas dari kemajuan pembangunan sektor pertanian itu sendiri serta kemajuan pembangunan perkotaan yang mampu memberikan spread effect

terhadap pembangunan pedesaan.

Di Indonesia pengertian desa scara formal didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Dalam undang-undang tersebut Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,

termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Selanjutnya dari perspektif sosial dan kegiatan ekonomi msyarakat pedesaan, Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Menurutnya, desa terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan.

Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.

Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah :

a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahan-perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi), perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.

b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih merata.

c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.

d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.

Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4) pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan.

Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek. Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4) yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal (local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil. Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976) mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaan-kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung

terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor non-pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian.

Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan yang dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005).

Saptana et al. (2004) menguraikan hubungan pembangunan pedesaan dengan pembangunan kelembagaan. Dijelaskan bahwa penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara).

Tangermann (2005) menyebutkan bahwa pandangan dari para peneliti maupun dari pembuat kebijakan secara umum adalah sama bahwa dampak liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif impor komoditi-komoditi pertanian. Keuntungan perkotaan berasal dari biaya konsumsi yang lebih rendah, sementara kerugian pedesaan adalah konsekuensi

dari meningkatnya kompetisi produk pertanian dengan barang-barang impor, sehingga menekan baik laba maupun upah di sektor yang merupakan lapangan pekerja utama kebanyakan rumahtangga di negara-negara berkembang. Konsekuensi menarik dari argumen ini adalah bahwa liberalisasi pertanian akan mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang dengan menekan harga dunia untuk barang-barang pertanian.

Beberapa pandangan yang cenderung memperkuat argumen bahwa reformasi perdagangan pertanian berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan pedesaan di negara-negara berkembang. Pertama, dikemukakan oleh Valdes dan McCalla (2004) bahwa banyak rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang menghasilkan produk-produk pangan seperti gandum (grain), akan tetapi negara-negara yang berpenghasilan tinggi memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi bahan pangan tersebut. Dengan menghapus tarif impor produk pangan menyebabkan ekonomi pedesaan di negara berkembang rentan terhadap persaingan dari produsen pangan di negara maju. Kombinasi program pendukung bagi para petani pangan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan reformasi tarif di negara-negara berkembang, menimbulkan kerusakan pada perekonomian pedesaan di negara-negara berkembang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lebih dari dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net importers produk pangan.

Kedua, efek dari reformasi pertanian di negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung diredam karena dalam banyak kasus negara-negara berkembang sudah memiliki akses preferensial (preferential access) ke pasar negara maju untuk ekspor pertanian mereka. Negara-negara berkembang adalah net exporters

produk pertanian tropis, dimana persaingan dengan negara maju umumnya tidak menjadi masalah. Akses prefrensial mencakup sebagian besar ekspor negara berkembang ke Uni Eropa dan Amerika Serikat, mencapai lebih dari 90 persen dari semua ekspor pertanian daerah ini untuk beberapa negara berkembang (Wainio et al. 2005). Berdasarkan argumen ini, negara-negara berkembang tetap mendapatakan keuntungan yang kecil (dalam hal peningkatan akses ke pasar Negara berpenghasilan tinggi) daripada kerugian mereka (dengan mengekspos produsen mereka untuk berkompetisi) dari liberalisasi perdagangan pertanian.

Bahkan, beberapa LDC mungkin kehilangan dari liberalisasi perdagangan sebagai akibat dari erosi preferensi1 (Tangermann 2005).

Beberapa bukti dari model economic-wide menunjukkan bahwa dampak reformasi perdagangan pertanian di negara-negara berkembang (LDC) akan positif, namun, sebagian besar beralasan bahwa efek reformasi tersebut terletak pada sektor non-pertanian. Tangermann (2005) melaporkan temuan dari model GTAP bahwa liberalisasi penuh pertanian oleh negara-negara berpenghasilan tinggi akan meningkatkan term of trade non-pertanian bagi negara berkembang, sehingga memberikan keuntungan pendapatan. Namun, Anderson dan Valenzuela (2007), menggunakan model GTAP, menemukan efek negatif dari negara yang melakukan reformasi perdagangan pertanian terhadap nilai tambah pertanian di semua negara-negara berkembang yang dianalisis.

FAO, (2003) dalam laporannya menjelaskan bahwa liberalisasi perdagangan dan globalisasi berperan penting dalam meningkatkan peran sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan di negara-negara berpenghasilan rendah. Penurunan proteksi dan subsidi pertanian, terutama di negara-negara maju dan peran pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan akses terhadap asset pertanian dan mengoreksi kegagalan pasar dan distorsi ke pasar domestik, akan membantu banyak orang miskin pedesaan untuk mendapatkan harga produk pertanian yang lebih baik serta memperbaiki kehidupan dan mata pencaharian mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pertumbuhan pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan dapat dicapai dengan beberapa faktor kunci : (1) akses atau hak terhadap asset (tanah, air, hewan ternak, teknologi); (2) akses ke pasar yang adil dan kompetitif, baik pasar domestik maupun pasar internasional, untuk produk pertanian; (3) informasi yang diperlukan dan infrastruktur fisik untuk memudahkan mengakses pasar. Dijelaskan pula bahwa setidaknya terdapat tiga prioritas untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dan pembangunan pedeaan di negara-negara berkembang yakni (1) mengembangkan potensi pertanian produktif; (2) diversifikasi kegiatan pertanian dan kegiatan non-pertanian produktif; dan (3) menjaga kesempatan kerja pedesaan yang tidak sehat dan fluktuasi yang berlebihan pada pasar domestic dan pasar internasional.

1 Erosi preferensi mengacu pada kerugian akses prefrensial pasar relatif terhadap keuntungan negara lainnya dari reformasi perdagangan

Menurut Taylor et al (2010) bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak liberalisasi pasar pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan (rural welfare) di negara kurang berkembang (LDC) adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi, rumah tangga pedesaan akan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan tetapi sebagai konsumen menguntungkan. Sebaliknya ketika harga pertanian naik, maka rumah tangga non pertanian akan terbebani, dan rumah tangga pertanian akan diuntungkan. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu dibuktikan. Selain itu, dampak perubahan harga tersebut juga akan berbeda antara kelompok rumah tangga yang berbeda. Pada sisi produksi, penurunan harga misalnya pangan akan merugikan produsen komoditi pangan, sebaliknya akan menguntungkan rumah tangga yang mengusahakan tanaman lain (non pangan), sebagai konsekuensi dari perubahan harga relatif antara pangan dan non pangan.

Selain itu Nicita (2005) menyatakan bahwa dampak liberalisasi perdagangan terhadap kesejahteraan social (social welfare) tidak dapat digeneralisir antarnegara, bahkan antargeografis dalam satu negara, seperti halnya wilayah pedesaan dan perkotaan akan dipengaruhi secara berbeda. Karena, selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena adanya perbedaan transmisi harga antarwilayah. Isolasi pasar lokal dari harga-harga internasional terutama berlaku di daerah pedesaan dimana infrastruktur pemasaran adalah kurang berkembang. Temuan Nicita (2005) menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan multilateral akan memberikan dampak negatif pada rumah tangga Meksiko, walaupun sangat kecil. Namun, ketika pelaksanaan agenda pembangunan Doha dilengkapi dengan kebijakan domestik yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki transmisi harga dalam negeri, efek secara keseluruhan menjadi positif. Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya transmisi harga domestik dalam menentukan varians dari efek di seluruh rumah tangga. Implikasi dari temuan ini mengisyaratkan bahwa dampak liberalisasi terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia bisa jadi tidak berpengaruh besar jika tidak berdampak negatif, mengingat penduduk pedesaan Indonesia saat ini masih tergantung pada produksi tanaman pangan, di mana

komoditi pangan tersebut sebagian besar di impor, selain itu kondisi infrastruktur pedesaan Indonesia yang masih kurang memadai turut memberi pengaruh terhadap minimnya dampak liberalisasi perdagangan terhadap perekonoian pedesan di Indonesia.