Lima dekade terakhir menunjukkan perubahan besar dalam kebijakan ekonomi di banyak negara di dunia, terutama dalam hal strategi perdagangan. Pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, yang sekarang perannya digantikan oleh World Trade Organisation (WTO), telah menjadi pendorong kuat bagi banyak negara menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Suatu negara sedang menjalankan kebijakan liberalisasi bila kebijakan yang diterapkan tersebut menyebabkan perekonomian semakin berorientasi ke luar (outward-oriented) dan juga lebih terbuka (openness). Maksud dari kebijakan liberalisasi adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih netral, liberal atau terbuka. Secara khusus, perubahan ke arah yang semakin netral diartikan sebagai perubahan yang lebih mendekati suatu sistem perdagangan yang bebas dari intervensi pemerintah.
Karena itu suatu rezim kebijakan dianggap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan bila tingkat intervensi secara keseluruhan pada perdagangan barang dan jasa semakin berkurang (Santos-Paulino, 2005; Shafaeddin, 2005). Senada yang diungkapkan oleh Lee, (2005); Bhasin, et al.
(2007) bahwa liberalisasi perdagangan (trade liberalization) adalah konsep ekonomi yang mengacu pada suatu proses menuju perdagangan yang lebih bebas melalui pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif (pajak dan subsidi) dan non-tarif (kuota, Peraturan lisensi dan penetapan standar yang sewenang-wenang) pada perdagangan barang dan jasa antarnegara.
Banyak ekonom yang berpendapat bahwa perdagangan bebas meningkatkan standar hidup melalui teori keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa perdagangan bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan merusak industri lokal, yang kemudian menciptakan pengangguran dan kemiskinan.
Pandangan ekonom yang pro liberalisasi beranggapan bahwa perdagangan antarnegara sebaiknya dibiarkan berlansung secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan hambatan perdagangan lainnya. Mereka berargumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan Lindert, 1978).
Studi dua ekonom dari Bank Dunia yaitu David Dollar dan Aart Kraay pada tahun 2001, membuktikan bahwa negara-negara yang lebih terbuka
(globaliser) mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sekitar 2,9 persen di tahun 1970 menjadi 3,5 persen di tahun 1980-an dan menjadi 5,0 persen di tahun 1990-an. Sedangkan negara-negara yang menjalankan perekonomian lebih tertutup telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu dari 3,3 persen di tahun 1970-an menjadi 0,8 persen di tahun 1980an dan menjadi 1,4 persen di tahun 1990-an.
Hal serupa juga di tunjukkan oleh ekonom James Gwartney dari Florida State University dan Robert Lawson dari Capital Univesity, yang mengukur indeks keterbukaan perdagangan di 123 negara, menunjukkan bahwa GDP perkapita negara-negara yang memiliki indeks keterbukaan paling rendah hanya US$ 1.883 di tahun 2002. Berbeda halnya dengan negara-negara yang memiliki indekx keterbukaan paling tinggi mencapai US$ 23.938 pada tahun yang sama. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebijakan perdagangan yang lebih liberal tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian yang lebih proteksionis (Gwartney et al., 2004).
Tupy (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga alasan mengapa perdagangan yang lebih bebas memberikan manfaat tidak hanya bagi negara bermitra, tapi juga untuk dunia secara keseluruhan. Pertama, perdagangan tanpa intervensi akan meningkatkan efisiensi global alokasi sumberdaya. Hal ini didasarkan bahwa dalam perdagangan bebas, harga merupakan refleksi yang benar dari permintaan dan penawaran, dan merupakan satu-satunya penentu alokasi sumberdaya ke arah yang lebih efisien. Kedua, para pedagang memungkinkan memperoleh keuntungan dari spesialisasi produksi barang dan jasa terbaik yang mereka hasilkan. Ekonom menyebutnya hukum keunggulan
komparatif, yakni ketika produsen dapat menghasilkan barang secara terampil dengan faktor endowment yang dimilikinya. Ketiga, perdagangan memungkinkan konsumen memperoleh manfaat dari metode-metode produksi yang lebih efisien. Keuntungan skala ekonomi dari perdagangan memungkinkan produsen dapat mengurangi biaya produksi sehingga konsumen dapat mengakses barang yang lebih murah.
Selanjutnya Budiono (2001) menjelaskan lima keuntungan yang dapat diperoleh dari perdagangan bebas yaitu : (1) perdagangan bebas berarti peluang mengakses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi. (2) Perdagangan bebas dapat mendorong iklim usaha ke arah yang lebih kompetitif sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, kondisi iklim usaha kearah yang lebih kompetitif juga memungkinkan untuk mengurangi aktivitas usaha yang bersifat rent seeking.
(3) perdagangan bebas dapat mendorong terjadinya alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. (4) Dalam perdagangan yang lebih bebas, harga dapat menjadi signal yang benar dalam mengalokasikan sumberdaya sehingga dapat meningkatkan efisiensi investasi; (5) Perdagangan bebas dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen. Kesejahteraan konsumen meningkat karena tersedia beragam jenis barang dengan harga yang relatif murah sehingga daya beli meningkat. Sedangkan produsen (perusahaan) memperoleh keuntungan dari kemudahan akses untuk mendapatkan sumber bahan baku, komponen dan jasa yang lebih kompetitif.
Selanjutnya kalangan yang anti liberalisasi, beranggapan bahwa perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang selevel/berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi, maka perdagangan bebas hanya hanya merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif. Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi 2001, mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil dan berimbang. Menurutnya, perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila
produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah, sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh di bawah harga jual produk impor.