KARYA TULIS ILMIAH
PREVALENSI ASMA PADA MAHASISWA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN
AJARAN 2014/2015
Oleh :
IDA KATARINA
110100059
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PERSETUJUAN
KaryaTulisIlmiah denganJudul:
PrevalensiasmapadamahasiswaFakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara
tahunajaran 2014/2015
Yang dipersiapkanoleh:
Ida Katarina
110100059
Proposal penelitianinitelahdiperiksadan disetujui untukd ilanjutkan ke Seminar Hasil Karya Tulis Ilmiah.
Medan,
Disetujui,
DosenPembimbing
(dr. ZuhrialZubir Sp. PD, KAI)
ABSTRAK
Asma adalah penyakit atopic dengan gejala klinis yang bervariasi. Penelitian tentang prevalensi asma masih jarang dilakukan di Indonesia, khususnya wilayah Sumatera Utara.
Adapun tujuan dari penelitian adalah untukmengetahuiprevalensiasmapadamahasiswaFakultasKedokteranUniversitas
Sumatera Utara tahun ajaran 2014/2015.Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectionaldampen gumpulan sampel penelitian dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Penelitian menggunakan kuesioner modifikasi ECRHS. Peneliti mebagikan kuesioner kepada 384 mahasiswa dengan 96 responden tiap tahun angkatan. Hasil pengumpulan data dalambentuk data primer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi mahasiswa yang pernah menderita asma di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun ajaran 2014/2015 sebesar 14,3% (55 orang). Prevalensi mahasiswa yang sedang menderita asma sebesar 6,5%. Prevalensi asma pada perempuan (14,6%) hampir sama pada laki-laki (13,9%). Mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia yang menderita asma sebesar 12,7%, sedangkan mahasiswa berkewarganegaraan Malaysia yang menderita asma sebesar 21,4%. Responden asma yang mempunyai riwayat komorbid atopik lain (rhinitis dan eksema) sebesar 76,4% dan responden asma yang mempunyai riwayat keluarga atopik sebesar 78,2%.
Saran dari penelitian ini bagi mahasiswa yang menderita asma untuk menghindari faktor pencetus asma sebagai upaya pencegahan eksaserbasi asma. Saran kepada pihak universitas untuk mendorong mahasiswa melakukan kegiatan pencegahan asma. Bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian prevalensi ke jangkauan populasi yang lebih luas, identifikasi factor resiko yang bervariasi, dan melakukan pemeriksaan lanjutan sebagai diagnosis penyakit asma.
ABSTRACT
Asthma is an atopic disease with variation of clinical presentation. The researches of asma prevalence are rarely done in Indonesia, specifically on North Sumatera.
The purpose of this research is to uncover the asthma prevalence among medical students in University of North Sumatera in academic year 2014/2015. The research is a descriptive study with cross-sectional approach and used stratified random sampling technique to collect sample. The research used modified ECRHS questionnaire. Researcher collected data on 384 college students with 96 students in every year. Data collected in this research is categorized as primary data.
Results of this research show that lifetime asthma prevalence in Faculty of Medicine in University of North Sumatera 2014/2015 is 14.3% (55 respondents). Current asthma prevalence is 6.5%. Asthma affect girls (14.6%) and boys (13.9%). Percentage of Indonesian students that develop asthma is 12.7%, on the other hand, percentage of Malaysian students developing asthma is 21.4%. The percentage of asthmatics that have develop other atopic comorbid (rinitis and eczema) is 76.4% and asthmatics that have family history of atopic diseases is 78.2%.
With this research done, reseacher suggests the asthmatics to avoid factors that cause asthma in order to prevent the exarcebation of asthma.Researcher suggests the university to increase awareness about the number of asthmatics and encourage students to work on prevention against asthma exacerbation. For the next researcher, author suggests to develop asthma prevalence research on bigger population with variety of risk factor, and do additional work-up on asthma for precise diagnoses.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini disusun sebagai
rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul
“PrevalensiasmapadamahasiswaFakultasKedokteranUniversitas Sumatera
Utara tahunajaran 2014/2015”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah
ini, penulisbanyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. dr. GontarAlamsyahSiregar, Sp. PD-KGEH,
selakudekanFakultasKedokteranUniverstias Sumatera Utara.
2. dr. ZuhrialZubir, Sp. PD,K-AI, selakudosenpembimbingsaya yang
telahbanyakmembantudanmemberikan saran-saran
selamapenyusunankaryatulisilmiah,
sehinggakaryatulisilmiahinidapatdiselesaikandenganbaik.
3. dr. Delyuzar, Sp. PA (K) dan dr. Rina Amelia, MARS selakudosenpenguji
yang
telahmeluangkanwaktudanpemikiranuntukkesempuraankaryatulisilmiahini
.
4. Para dosendanstafpegawai di LingkunganFakultasKedokteranUniversitas
Sumatera Utara.
5. Rasa hormatdanterimakasih yang
tiadaterhinggasayapersembahakankepada orang tercinta,
AyahandaSlametdanIbundaEllyYantiWangsaatasdoa, dukungan,
dannasihat yang telahdiberikankepadasaya.
6. SeluruhmahasiswaFakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk ini penulis mengharapkan masukan berupa kritikan dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ini
dapat berguna bagi kita semua.
Medan, 11 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
ABSTRAK ... iii
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. LatarBelakang ... 1
1.2. RumusanMasalah ... 3
1.3. TujuanPenelitian ... 3
1.4. ManfaatPenelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Definisi ... 5
2.2. Epidemiologi... 5
2.3. TipeAsma ... 7
2.4. PenyebabAsma... 7
2.5. Patofisiologi ... 12
2.5.1. Perubahan yang terjadi ... 12
2.5.2. Penyebab Inflamasi ... 13
2.5.3. Efek Inflamasi Jangka Panjang ... 16
2.6. Gejala ... 17
2.7. Diagnosis ... 18
2.6.1. Anamnesis ... 18
2.6.2. PemeriksaanFisik ... 19
2.6.3. PemeriksaanPenunjang... 19
2.8. Tata LaksanaFarmakologiAsma ... 20
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 22
3.2. DefinisiOperasional ... 23
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24
4.1. JenisPenelitian ... 24
4.2. WaktudanTempatPenelitian... 24
4.2.1.WaktuPenelitian ... 24
4.2.2.TempatPenelitian ... 24
4.3. PopulasidanSampel ... 24
4.3.1.Populasi ... 24
4.3.2.Sampel ... 25
4.4. TeknikPengumpulan Data ... 26
4.4.1.Data Primer ... 26
4.4.2.InstrumenPenelitian ... 26
4.4.3.Uji Validitas ... 26
4.4.4.Uji Reliabilitas ... 27
4.4.5.Teknik Penilaian/Scoring ... 28
4.5. PengolahandanAnalisa Data ... 28
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
5.1.Hasil Penelitian ... 29
5.1.1. DeskripsiLokasiPenelitian ... 29
5.1.2. Karakteristik Sampel ... 29
5.1.3. Distribusi Asma pada Sampel... 30
5.1.4. Distribusi Asma berdasarkan Jenis Kelamin ... 30
5.1.5. Distribusi Asma berdasarkan Kewarganegaraan ... 30
5.1.6. Distribusi Asma berdasarkan Komorbid ... 30
5.1.7. Distribusi Asma berdasarkan Riwayat Atopik Keluarga .. 31
5.2.Pembahasan ... 31
5.2.1. Distribusi Asma pada Sampel ... 31
5.2.2. Distribusi Asma berdasarkan Jenis Kelamin ... 32
5.2.3. Distribusi Asma berdasarkan Kewarganegaraan ... 33
5.2.4. Distribusi Asma berdasarkan Komorbid ... 34
5.2.5. Distribusi Asma berdasarkan Riwayat Atopik Keluarga .. 36
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
6.1 Kesimpulan ... 37
6.2 Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. GejaladanDerajatKeparahanAsma 17
2.2. InterpretasiNilai VEP1 20
4.1. Hasilujivaliditasdanreliabilitaskuesioner 28
5.1. Karakteristik Sampel 29
5.2. DistribusiAsma pada Sampel 30
5.3. Distribusilifetime asthma berdasarkan jenis
kelamin
30
5.4. Distribusilifetime asthma berdasarkan
kewarganegaraan
30
5.5. Distribusilifetime asthma berdasarkan komorbid 31
5.6. Distribusilifetime asthma berdasarkan riwayat
atopik keluarga
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Faktor yang
menyempitkansalurannapaspadaasmaAkutdanpersisten
12
5.1 Gen yang berpengaruh pada penyakit alergi yaitu
asma, rinitis alergi, dan eksema
DAFTAR SINGKATAN
WHO World Health Organization
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
ISAAC The International Study of Asthma and Allergies in Childhood
ECRHS The European Community Respiratory Health Survey
FK USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
GINA Global Initiative for Asthma
Th1 T-Helper 1
Th2 T-Helper 2
GERD GastroEsophangeal Reflux Disease
OR Odd Ratio
HR Hazard Ratio
FEV1/VEP1 Forced Expiratory Volume in 1 second/ Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik
NSAID Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs
IL-6 Interleukin 6
IgE Immunoglobulin E
VCAM-1 Vascular-Cell-Adhesion Molecule 1
ICAM-1 InterCellular Adhesion Molecule 1
TNF-α Tumor Necrosis Factor Alpha
KVP Kapasitas vital paksa
WNI Warga Negara Indonesia
WNA Warga Negara Asing
DAFTAR LAMPIRAN
LampiranI. Logbook Bimbingan Hasil Skripsi
Lampiran II. Daftar Riwayat Hidup
LampiranIII. Surat Ethical Clearance
Lampiran IV. Surat Izin Penelitian
Lampiran V. Kuesioner
LampiranVI. Lembar Penjelasan
LampiranVII. Lembar Persetujuan
Lampiran VIII. Uji Validitas dan Reliabilitas
LampiranIX. Master Data
ABSTRAK
Asma adalah penyakit atopic dengan gejala klinis yang bervariasi. Penelitian tentang prevalensi asma masih jarang dilakukan di Indonesia, khususnya wilayah Sumatera Utara.
Adapun tujuan dari penelitian adalah untukmengetahuiprevalensiasmapadamahasiswaFakultasKedokteranUniversitas
Sumatera Utara tahun ajaran 2014/2015.Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectionaldampen gumpulan sampel penelitian dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Penelitian menggunakan kuesioner modifikasi ECRHS. Peneliti mebagikan kuesioner kepada 384 mahasiswa dengan 96 responden tiap tahun angkatan. Hasil pengumpulan data dalambentuk data primer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi mahasiswa yang pernah menderita asma di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun ajaran 2014/2015 sebesar 14,3% (55 orang). Prevalensi mahasiswa yang sedang menderita asma sebesar 6,5%. Prevalensi asma pada perempuan (14,6%) hampir sama pada laki-laki (13,9%). Mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia yang menderita asma sebesar 12,7%, sedangkan mahasiswa berkewarganegaraan Malaysia yang menderita asma sebesar 21,4%. Responden asma yang mempunyai riwayat komorbid atopik lain (rhinitis dan eksema) sebesar 76,4% dan responden asma yang mempunyai riwayat keluarga atopik sebesar 78,2%.
Saran dari penelitian ini bagi mahasiswa yang menderita asma untuk menghindari faktor pencetus asma sebagai upaya pencegahan eksaserbasi asma. Saran kepada pihak universitas untuk mendorong mahasiswa melakukan kegiatan pencegahan asma. Bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian prevalensi ke jangkauan populasi yang lebih luas, identifikasi factor resiko yang bervariasi, dan melakukan pemeriksaan lanjutan sebagai diagnosis penyakit asma.
ABSTRACT
Asthma is an atopic disease with variation of clinical presentation. The researches of asma prevalence are rarely done in Indonesia, specifically on North Sumatera.
The purpose of this research is to uncover the asthma prevalence among medical students in University of North Sumatera in academic year 2014/2015. The research is a descriptive study with cross-sectional approach and used stratified random sampling technique to collect sample. The research used modified ECRHS questionnaire. Researcher collected data on 384 college students with 96 students in every year. Data collected in this research is categorized as primary data.
Results of this research show that lifetime asthma prevalence in Faculty of Medicine in University of North Sumatera 2014/2015 is 14.3% (55 respondents). Current asthma prevalence is 6.5%. Asthma affect girls (14.6%) and boys (13.9%). Percentage of Indonesian students that develop asthma is 12.7%, on the other hand, percentage of Malaysian students developing asthma is 21.4%. The percentage of asthmatics that have develop other atopic comorbid (rinitis and eczema) is 76.4% and asthmatics that have family history of atopic diseases is 78.2%.
With this research done, reseacher suggests the asthmatics to avoid factors that cause asthma in order to prevent the exarcebation of asthma.Researcher suggests the university to increase awareness about the number of asthmatics and encourage students to work on prevention against asthma exacerbation. For the next researcher, author suggests to develop asthma prevalence research on bigger population with variety of risk factor, and do additional work-up on asthma for precise diagnoses.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asma dikenal sebagai suatu penyakit kronis dengan gejala klinis yang
bervariasi dan rekuren (NHLBI, 2007). Gejala klinis asma yang khas adalah sesak
napas yang berulang dan suara mengi (wheezing). Gejala ini bervariasi pada
tiap-tiap orang berdasarkan tingkat keparahan dan frekuensi (WHO, 2014). Gejala
asma lain yang tidak khas berupa batuk produktif terutama pada malam hari atau
menjelang pagi, dan dada terasa tertekan (RISKESDAS, 2013).Pada saat serangan
asma, permukaan dari saluran bronkus membengkak, sehingga mengakibatkan
saluran udara menjadi sempit dan menurunkan volume udara yang masuk ke paru.
(WHO, 2014)
Penyebab pasti penyakit asma masih belum diketahui secara jelas (WHO,
2014). Tetapi, faktor resiko umum yang mencetuskan asma yaitu udara dingin,
debu, asap rokok, stress, infeksi, kelelahan, alergi obat dan alergi makanan
(RISKESDAS, 2013). Asma tidak bisa disembuhkan, tetapi dengan tatalaksana
yang tepat, asma dapat terkontrol dan kualitas hidup terjaga. (WHO, 2014)
Sampai saat ini, penyakit asma masih sulit didefinisikan secara pasti. Hal
ini dikarenakan kurangnya faktor inklusi dan spesifisitas gejala penyakit itu
sendiri. Studi epidemiologi mengalami kesulitan untuk melakukan screening
akibat masalah tersebut. Beberapa studi epidemiologi menggunakan metode
kuesioner untuk mengestimasi angka kejadian asma, salah satunya adalah ISAAC
. Kuesioner ISAAC (The International Study of Asthma and Allergies in
Childhood) fase I adalah kuesioner pertama yang memberikan keseragaman dalam
pengambilan data, terlepas dari masalah perbedaan kultur dan bahasa (Pizzichini,
2005).Studi ini mempelajari asma dalam rentang umur 6-7 tahun dan 13-14 tahun
penduduk di total 98 negara, termasuk Indonesia (ISAAC, 2013).
Penelitian ISAAC fase III tahun 2001-2002 di Indonesia terdapat pada
prevalensi anak usia 13-14 tahun yang pernah menderita asma masing-masing
sebanyak 8,7%, 12,4% dan 11,1%. Penelitian prevalensi asma pada anak umur 6-7
tahun hanya dilakukan pada kota Bandung, yaitu sebanyak 4,8% (ISAAC,
2013).Menurut Yunus (2001), prevalensi asma pada siswa SLTP usia 13- 14
tahun se-Jakarta Timur adalah sebesar 8,9%. Pada studi anak SLTP dengan
kuesioner ISAAC di kota Semarang oleh Widodo (2004), didapatkan prevalensi
anak yang pernah menderita asma sebesar 5,4%. Sastrawan (2008) juga
melakukan penelitian dengan kuesioner ISAAC di Desa Tenganan dan
mendapatkan prevalensi asma sebesar 7% dengan proporsi perempuan lebih tinggi
dari laki-laki (7:4). Penelitian tahun 2008 pada 12 SLTP di Jakarta Timur
mendapati prevalensi asma sebesar 13,4%.(Rosamarlina, 2010)
Studi epidemiologi lain yang menggunakan kuesioner tervalidasi dan
telah dipakai untuk studi pada beberapa negara adalah ECRHS (The European
Community Respiratory Health Survey). Studi ECHRS memfokuskan penelitian
pada wilayah Eropa, dan tidak mencakup negara berkembang. Studi ini
mempelajari asma dengan lingkup penduduk berusia 20-44 tahun (Beasley, 2003).
Prevalensi asma di Swedia pada tahun 1998 dan 2008 masing-masing adalah 6,3%
dan 7,8% (Bjerg, 2011). Penelitian menggunakan kuesioner ECRHS di luar Eropa
pernah dilakukan oleh Ishizuka (2011) mendapati sebanyak 13,2% dari 584
mahasiswa di Jepang dengan rentang umur 18-24 tahun yang mempunyai gejala
wheezing, dada sesak, napas pendek dan batuk selama setahun terakhir. Mahboub
(2012) mendapati 8,6% laki-laki dan 11,8% perempuan dari 702 responden umur
20-44 tahun di Uni Emirat Arab menderita asma.
Pada tahun 2013, RISKESDAS melaporkan prevalensi asma dengan
metode wawancara. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah
(7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), D.I. Yogyakarta (6,9%), dan
Sulawesi Selatan (6,7%). Sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah terdapat
di Lampung (1,6%), Riau (2,0%) dan Bengkulu (2,0%). Provinsi Sumatera Utara
sendiri mempunyai prevalensi asma sebesar 2,4%.Menurut Oemiati (2010),
Indonesia terletak di provinsi Gorontalo (7,23%) dan terendah di provinsi NAD
sebesar 0,09%. Prevalensi asma di Sumatera Utara didapati sebesar 1,82%.
Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dan merupakan
kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Asma merupakan
penyakit yang mengancam hidup. Penyakit asma menyebabkan disabilitas sebesar
1% penduduk dunia per tahun. 1 dari 250 orang di dunia meninggal karena asma
(Masoli, 2004). Selain itu, apabila asma terjadi pada usia dewasa muda akan
mempengaruhi tingkat produktivitas penderita. Oleh sebab itu, diperlukan
penelitian untuk mengetahui prevalensi asma pada usia dewasa muda di Kota
Medan khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu
dari universitas negeri di Sumatera. Berdasarkan survey awal yang dilakukan
peneliti didapati bahwa 1 dari 20 mahasiswa mempunyai riwayat asma. Ini
membuktikan bahwa tingginya prevalensi asma pada mahasiswa yang merupakan
dewasa muda. Oleh karena itu, peneliti berminat untuk melakukan penelitian
mengenai prevalensi asma pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara T.A.
2014/2015.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat
dikembangkan adalah
Bagaimana prevalensi asma pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian adalah untuk mengetahui prevalensi asma pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun ajaran
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi asma pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014/2015 berdasarkan jenis kelamin
2. Untuk mengetahui distribusi asma pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014/2015 berdasarkan
kewarganegaraan
3. Untuk mengetahui distribusi asma pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014/2015 berdasarkan komorbid
asma
4. Untuk mengetahui distribusi asma pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014/2015 berdasarkan ada tidaknya
riwayat keluarga
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat bermanfaat:
1. Bagi Subjek Penelitian
Untuk melakukan deteksi dini penyakit asma di kalangan mahasiswa dan
mendorong mahasiswa yang terdeteksi asma untuk melakukan kegiatan
pencegahan asma secara massal.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dalam penelitian kesehatan khususnya asma
3. Bagi Universitas
Menambah referensi untuk kepustakaan yang berhubungan dengan asma
4. Bagi Institusi kesehatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Kata “asma” berasal dari bahasa Yunani, yang dapat diartikan sebagai
“napas yang pendek” (Holgate, 2010). Menurut RISKESDAS, asma adalah
penyakit kronis yang disebabkan oleh peradangan saluran napas. Peradangan
saluran napas ini mengakibatkan lapisan dalam saluran membengkak dan sekresi
mukus berlebih. Selain itu, otot sekeliling saluran juga mengalami konstriksi
(Asthma Foundations Australia, 2009).
Dari sisi lain, WHO (2014) menyebutkan bahwa asma adalah suatu
penyakit yang tidak menular, yang mempunyai karakteristik berupa serangan
sesak napas dan wheezing yang berulang. Gejala tersebut bervariasi berdasarkan
keparahan dan frekuensi penyakit. Gejala asma yang berulang menyebabkan
kekurangan tidur, sehingga akan berdampak terhadap aktivitas seseorang.
Dibandingkan dengan penyakit kronis lain, asma mempunyai tingkat fatalitas
yang rendah.
1.2. Epidemiologi
Sekitar 1960-an dan 1980-an, terjadi epidemik asma diakibatkan oleh
pemakaian bronkodilator (Holgate,2010). Prevalensi asma meningkat pesat
selama 30 tahun, sebelum akhirnya menjadi stabil, dengan sekitar 10-12% orang
dewasa dan 15% anak-anak menderita asma (Barnes, 2012). WHO(2014)
memperkirakan sebanyak 235 juta penduduk di dunia menderita asma. GINA
(Global Initiative for Asthma) menggabungkan data dari fase I ISAAC pada tahun
1992-1996 dan data dari ECRHS pada tahun 1988-1994. Hasil menunjukkan
bahwa prevalensi asma terendah sebesar 0,7% di Macau dan tertinggi sebesar
18,4% di Scotland. Hasil ini mengestimasi sekitar 300 juta penduduk di dunia
menderita asma, dan akan bertambah menjadi 400 juta pada tahun 2025, oleh
Berdasarkan hasil ISAAC fase tiga, anak-anak umur 6-7 tahun dan 13-14
tahun yang memiliki current wheezing terbanyak terdapat di negara berbahasa
Inggris (21% dan 22,9%) dan Amerika Latin (17,3%) . Prevalensi terendah
terdapat di India (6,8% dan 7%), Eropa bagian Utara dan Timur (8,7% dan
9,7%),Mediteranea Timur (9,4% dan 9,3%), dan Asia Pasifik (9,8% dan 8,8%).
Sedangkan benua Afrika memiliki tingkat prevalensi asma berat dengan current
wheezing tertinggi (55,2% dan 55,1%), diikuti oleh Mediteranea Timur (44,2%
dan 47,2%) dan India (44,2% dan 48,2%). Prevalensi negara tersebut lebih tinggi
daripada negara berbahasa Inggris yang hanya sebesar 43,6% dan 46%. Ini
menunjukkan bahwa penyakit asma cenderung lebih parah di negara berkembang
dibandingkan negara maju, walaupun negara maju memiliki prevalensi gejala
asma yang tinggi. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini. Pertama,
penatalaksanaan asma masih kurang di negara berkembang, walaupun telah
diterbitkan berbagai guideline managemen asma. Kedua, wheezing tidak
diasumsikan sebagai gejala dari asma. Hal ini didukung dari banyaknya asma
berat yang tidak terdiagnosa pada negara berpendapatan rendah. Anak-anak yang
tidak terdiagnosa ini tidak akan ditangani sesuai dengan penyakitnya. Ketiga,
faktor lingkungan seperti polusi udara dan agen infeksius mempunyai pengaruh
terhadap angka kejadian asma. Sebuah penelitian meneliti prevalensi asma dalam
kurun waktu tertentu. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi asma berkurang pada
negara yang sebelumnya memiliki tingkat prevalensi yang tinggi (negara
berbahasa Inggris) dan prevalensi asma meningkat pada negara yang sebelumnya
memiliki tingkat prevalensi yang rendah (negara berkembang) (Lai, 2009).
Penelitian ISAAC fase III tahun 2001-2002 menunjukkan perbedaan
antara prevalensi asma pada Indonesia dan Malaysia. ISAAC mempunyai 3 pusat
pada masing-masing negara. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi asma pada
anak usia 13-14 tahun di Alor Setar, Klang Valley, dan Kota Bharu
masing-masing adalah 17%, 21,6%, dan 12%. Sedangkan pada anak usia 6-7 tahun,
prevalensi pada masing-masing negara 9,4%, 11,9%, dan 7%. Di Indonesia
masing-masing adalah 8,7%, 12,4%, dan 11,1%. Penelitian prevalensi asma pada
anak umur 6-7 tahun di kota Bandung sebanyak 4,8% (ISAAC, 2013).
1.3. Tipe Asma
Rackemann mengklasifikasikan asma menjadi 2 yaitu asma atopik (asma
ekstrinsik) dan asma non-atopik (asma intrinsik). Asma ekstrinsik dicetuskan oleh
faktor dari luar, sedangkan asma instrinsik tidak (Pillai, 2011).
a) Asma atopik
Atopik adalah kecenderungan seseorang menderita penyakit alergi,
seperti rinitis alergi, asma dan eksema. Tipe asma atopik sering dihubungkan
dengan peningkatan respon imun terhadap alergen (AAAAI, 2014). Pasien asma
umumnya juga menderita penyakit atopik lain, seperti rinitis alergi dan eksema.
Sebanyak 80% pasien asma juga menderita rinitis alergi. Akan tetapi, faktor atopi
harus dibarengi dengan faktor lingkungan. Alergen yang memicu sensitisasi
umumnya tersusun dari protein yang mempunyai aktivitas protease. Contoh
umum alergen ini adalah tungau (Dermatophagoides pteronyssinus), bulu kucing
dan anjing, kecoak, rumput-rumputan, dan serbuk bunga serta tikus (Barnes,
2012).
b) Asma non-atopik
Dari sekian penderita asma, kira-kira terdapat 10% mempunyai tes kulit
yang negatif terhadap alergen umum dan konsentrasi serum IgE yang normal.
Asma tipe ini muncul sewaktu dewasa (adult-onset asthma). Umumnya penyakit
asma ini cenderung persisten. Mekanisme asma intrinsik masih belum begitu
jelas.Penelitian terbaru mengasumsikan bahwa terjadi produksi IgE lokal pada
asma intrinsik. Hasil biopsi dari kedua tipe asma ini tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna. (Barnes, 2012).
1.4. Penyebab asma
a) Sistem imun
Dalam hipotesis kebersihan disebutkan bahwa keseimbangan antara
dominan Th1 dapat mencegah infeksi, sebaliknya pada sistem imun dengan
dominan Th2 menyebabkan seseorang menderita penyakit alergi (NHLBI, 2007).
Hipotesis ini mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat kebersihan anak pada
tahun-tahun awal kehidupannya, semakin tinggipula resiko terjadinya asma pada
anak tersebut. Kebersihan akan mengurangi tingkat paparan anak terhadap agen
infeksius, mikroorganisme simbiotik (flora usus atau probiotik), dan parasit. Hal
ini akan menghambat pematangan sistem imun alami dan menimbulkan defek
pada toleransi imunitas (Barnes, 2012). Anak-anak yang mempunyai saudara lebih
tua, hidup di lingkungan yang rentan terpapar infeksi (lingkungan pertanian,
tempat penitipan anak), terpapar infeksi cacing dan bakteri, dan jarang
menggunakan antibiotik ditemukan mempunyai Th1 yang lebih tinggi dan
insidensi asma cenderung rendah (NHLBI, 2007).
b) Faktor Intrinsik
1) Riwayat keluarga
Adanya anggota keluarga yang menderita asma meningkatkan resiko
terjadinya asma pada seseorang (Subbarao, 2009). Analisis univariat Werff
(2013), mendapati bahwa seseorang dengan adanya riwayat keluarga menderita
penyakit atopik beresiko 2,12 kali lebih besar terkena asma dibanding orang
normal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa gen ORMDL3 berhubungan erat
dengan angka kejadian asma.
2) Gender
Jenis kelamin perempuan diteliti sebagai faktor resiko asma. Lawson
(2014) mendapati bahwa perempuan berusia 16-18 tahun beresiko 2,13 kali lebih
besar menderita asma daripada laki-laki. Laporan Wormald (1977) dalam
penelitian Choi (2011) menyebutkan bahwa insidensi asma dengan tes kulit positif
terhadap alergen tungau debu rumah tiga kali lebih besar pada laki-laki berumur
dibawah 10 tahun dibandingkan dengan insidensi perempuan seusianya.
Tingginya prevalensi asma pada anak laki-laki dikarenakan perkembangan saluran
napas yang lambat dibandingkan dengan volum paru. Anak laki-laki lebih rentan
perempuan cenderung ditangani ketika penyakitnya memberat (Sindrom Yentl).
Keadaan berbalik pada populasi berumur dekade ketiga dan keempat. Didapati
bahwa perempuan berusia dekade tiga dan empat 1,5 dan 1,6 kali lebih beresiko
terkena asma dibanding laki-laki seusianya. Ini dikarenakan setelah pubertas,
diameter saluran napas dan fungsi paru pada laki-laki lebih dari perempuan
seusianya. Diameter saluran napas yang kecil lebih meningkatkan resistensi
saluran napas. Akibatnya, dengan derajat obstruksi yang sama, retensi CO2 dalam
darah lebih awal muncul pada perempuan dibandingkan laki-laki.
3) Etnis
Anak-anak bangsa Afro-Amerika 20% lebih sering terdiagnosa menderita
asma dibandingkan bangsa Amerika Latin dalam setahun (McDaniel, 2006).
Claudio (2006) mendapati bahwa anak-anak Puerto Rican memiliki prevalensi
asma yang lebih tinggi dari anak-anak Amerika Latin (OR=2,28), sedangkan
anak-anak Asia memiliki prevalensi yang lebih rendah dari anak-anak Amerika
Latin (OR=0,604).
4) Usia
Dari hasil penelitian Vega (2008) di Hulvea, Spanyol, prevalensi asma
pada anak-anak usia 11-16 tahun tiga kali lipat dari prevalensi orang dewasa umur
20-44 tahun. Sedangkan dari hasil penelitian Lawson pada tahun 2014
menunjukkan bahwa remaja perempuan usia 16-18 tahun memiliki prevalensi
asma lebih tinggi daripada remaja perempuan usia 12-13 tahun.
5) Faktor Hormonal
Perempuan yang menarche sebelum umur 12 tahun beresiko 2,08 kali
lipat terkena asma setelah pubertas dibandingkan perempuan yang menarche
setelah umur 12 tahun. Resiko terkena asma berkurang sebanyak 7% per tahun
sewaktu periode penggunaan pil kontrasepsi pada wanita dan meningkat 2,29 kali
ketika hormone replacement therapy pada wanita postmenopausal (Choi, 2011).
6) Obesitas
Camargo et al (1999) yang dikutip Choi (2011) melaporkan bahwa resiko
terjadinya asma adalah 2,7 kali lebih besar pada perempuan yang obesitas.
mekanis-volum paru yang kecil dan diameter saluran napas perifer yang sempit,
2) komorbid GERD, 3) inflamasi sistemik yang disebabkan oleh adipokines –
IL-6, TNF-α dan eotaksin, 4)berkurangnya adiponektin-hormon dengan efek anti
inflamasi, 5) hiperesponsif saluran napas disebabkan oleh leptin, yang mempunyai
struktur mirip IL-6, dan 6) peningkatan stress oksidatif.
c) Faktor lingkungan
1) Infeksi
Infeksi virus yang umum menyebabkan asma adalah RSV dan rhinovirus
(NHLBI, 2007). Walaupun infeksi virus adalah pemicu umum terjadinya asma
eksaserbasi, masih belum dipastikan bahwa mereka yang menyebabkan asma.
Terdapat hubungan antara infeksi virus pada respirasi bayi dan perkembangan
asma, tetapi patogenesis hubungan tersebut masih susah dijelaskan. Bakteri
atipikal seperti Mycoplasma dan Chlamydia dianggap mempunyai peran pada
perkembangan asma yang berat (Barnes, 2012).
2) Diet
Peranan gizi terhadap asma masih menjadi kontroversi. Studi observasi
menunjukkan bahwa pola makan yang kurang antioksidan (vitamin C dan vitamin
A), magnesium, selenium dan omega-3) diasosiasikan terhadap peningkatan
resiko asma. Tetapi pada studi intervensional tidak ditemukan hubungan ini
(Barnes, 2012).
3) Polusi udara
Polusi udara, seperti sulfur dioksida, ozon dan hasil pembakaran bahan
bakar dipastikan sebagai pemicu asma. Polusi udara luar rumah yang disebabkan
oleh kendaraan bermotor seperti mobil dan truk yang menghasilkan asap karbon
monoksida (Barnes, 2012). Jerrett (2011) mendapati ada hubungan antara karbon
monoksida dan munculnya asma (HR=1,29). Polusi dalam ruangan bersumber
dari nitrogen oksida yang dihasilkan tungku dan paparan terhadap rokok. Di
lingkungan kerja, bahan-bahan kimia seperti toluene diisosianat dan trimelitik
anhidrid menyebabkan sensitisasi alergen dan mengakibatkan asma (Barnes,
4) Rokok
Broekema (2009) membandingkan 3 kelompok sampel yang menderita
asma, diantaranya 66 orang bukan perokok, 46 sampel yang pernah merokok, dan
35 sampel yang merokok. Hasil pemeriksaan fungsi paru mendapati bahwa
sampel perokok dengan asma memiliki FEV1 yang lebih rendah. Dari
pemeriksaan sputum ditemukan sel goblet yang lebih banyak. Sampel yang pernah
merokok juga memiliki ciri-ciri yang sama dengan sampel yang bukan perokok.
Kedua sampel tersebut memiliki tingkat proliferasi dan ketebalan epitel yang
sama serta jumlah sel goblet dan sel mast yang serupa.
5) Alergen organik
Faktor alergen yang berasal dari hewan peliharaan kurang dapat diteliti
karena pasien asma cenderung untuk tidak memelihara kucing, anjing, atau
burung. Svanes (2006) mendapati bahwa penghindaran dari kucing memiliki
faktor protektif (OR=0,83). Almqvist (2005) memaparkan bahwa Lanphear (2001)
melakukan studi cross-sectional dan mendapati bahwa ada asosiasi hewan
peliharaan berupa anjing dan terjadinya asma (OR=24). Hasil penelitian Bener
(2004) yang dipaparkan Gorman dan Cook (2009) mendapati bahwa terdapat
asosiasi antara asma dan hewan peliharaan berupa burung. Hewan peliharaan ini
1.5. Patofisiologi asma
1.5.1. Perubahan yang Terjadi
Gambar 2.1. Faktor yang menyempitkan saluran napas pada asma akut dan persisten
Sumber: NHLBI, 2007
Penyempitan saluran napas pada asma bersifat rekuren dan disebabkan oleh
perubahan yang bervariasi. Perubahan yang dimaksud tediri dari:
a) Bronkokonstriksi. Pada kasus asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos
bronkial terjadi secara cepat dan menyempitkan saluran napas. Kontraksi ini
merupakan suatu respon terhadap pajanan seperti alergen atau iritan. Alergen
memicu sel mast melalui perantaraan IgE untuk mengeluarkan mediator
inflamasi meliputi histamine, triptase, leukotrien dan prostaglandin. Aspirin
dan obat NSAID juga dapat menyebabkan penyempitan saluran napas pada
sebagian orang, melalui perangsangan sel mast melalui jalur non
IgE-dependen. Olahraga, udara dingin dan stres juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi. Mekanisme terjadinya bronkokonstriksi oleh pemicu
tersebut belum diketahui secara pasti (NHLBI, 2007).
aliran udara. Faktor tersebut meliputi edema, inflamasi, hipersekresi mukosa
dan pembentukan plak mukus yang kental. Pada tingkat lanjut, terjadi
perubahan struktur seperti hipertrofi dan hiperplasia otot polos (NHLBI,
2007).
c) Hiperesponsif saluran napas. Hiperesponsif ini merupakan abnormalitas
fisiologis pada asma. Pada penderita asma terjadi respon bronkokonstriksi
berlebih terhadap pemicu yang biasanya tidak akan berefek pada orang normal
(Barnes, 2012). Mekanisme meliputi inflamasi, neuroregulasi disfungsional,
dan perubahan struktur. Diantara faktor-faktor tersebut, inflamasi adalah
faktor yang berperan penting dalam tingkat keparahan hiperesponsif.
Penatalaksanaan untuk mengurangi inflamasi akan mengurangi hiperesponsif
saluran napas dan meningkatkan kontrol asma (NHLBI, 2007).
d) Remodeling saluran napas. Perubahan struktur ini meliputi penebalan
sub-basement, fibrosis subepitelial, hipertrofi dan hiperplasia otot polos,
angiogenesis dan hiperplasi kelenjar mukus. Perubahan ini menimbulkan
penyempitan yang ireversibel dan mengurangi fungsi paru. Kontrol asma yang
tepat akan mencegah proses remodeling ini (NHLBI, 2007).
1.5.2. Penyebab inflamasi
Inflamasi terjadi pada mukosa saluran mulai dari trakea sampai bronkial
terminalis, dengan predominannya terdapat pada bronki. Pola inflamasi pada asma
mencerminkan karakteristik dari penyakit alergi, dengan sel inflamatori yang
sama dengan yang ditemukan pada alergi rhinitis. Akan tetapi, pola yang sama
ditemukan juga pada asma intrinsik, walaupun produksi IgE asma intrinsik
bersifat lokal, bukan sistemik (Barnes, 2012).
Ada banyak sel dan mediator inflamasi yang berperan dalam mekanisme
terjadinya asma. Sel-sel inflamasi yang memberikan kontribusi terhadap kejadian
asma diantaranya limfosit, sel mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, sel dendritik,
dan sel struktural. Mediator inflamasi yang berperan diantaranya kemokin,
sitokin, NO, dan IgE.
a. Limfosit
Limfosit T memainkan peran penting dalam respon inflamasi asma. Sistem
imun naïve pada orang normal cenderung berkembang menjadi TH1, sedangkan
pada penderita asmatik TH2 menjadi predominan. TH2 akan mengeluarkan
mediator inflamasi berupa IL-5, yang akan memperpanjang usia eosinofil, IL-4
dan IL -13, yang turut berperan meningkatkan formasi IgE (Barnes, 2012).
b. Sel mast
Sel mast dapat dipicu dengan perantaraan IgE ataupun dengan aktivasi
langsung (Bratawidjaja,2010). Pemicu asma seperti olahraga dan udara dingin
dapat mengakibatkan asma eksaserbasi tanpa mengeluarkan IgE (Barnes,2012).
Aktivasi sel mast juga dapat memicu pelepasan mediator bronkokonstriksi seperti
histamine, kemokin, leukotrien dan prostaglandin (Bratawidjaja,2010).
c. Eosinofil
Inhalasi alergen meningkatkan jumlah eosinofil yang aktif di saluran napas
(Barnes,2012). IL-5 yang dihasilkan TH2 akan menuju ke sumsum tulang dan
membantu proses diferensiasi eosinofil. Eosinofil akan bersikulasi ke dalam
darah dan menuju daerah inflamasi (paru). Eosinofil bermigrasi dengan berputar
(rolling) sambil berinteraksi dengan selektin dan kemudian menempel pada
pembuluh darah dengan protein adhesi VCAM-1 (vascular-cell adhesion molecule
1) dan ICAM-1 (intercellular adhesion molecule 1). Percobaan pengobatan asma
dengan anti-IL-5 berhasil menurunkan jumlah eosinofil tanpa ada perbaikan gejala
asma. Jadi, eosinofil bukan sel efektor utama pada asma (NHLBI, 2007).
d. Neutrofil
Peningkatan neutrofil aktif terdapat pada saluran napas dan sputum
penderita asma kronik atau selama akut eksaserbasi (Barnes, 2012). Aktifasi dan
patofisiologi peran neutrofil masih diteliti, dan diduga leukotrien B4 memberikan
kontribusi pada proses ini (NHLBI, 2007).
e. Makrofag
Sel makrofag adalah sel terbanyak pada saluran napas dan diaktifasi
proses inflamasi melalui pelepasan mediator IL-10. Fungsi dari interleukin ini
masih belum jelas (Barnes, 2012).
f. Sel dendritik
Sel dendritik adalah sel yang mirip makrofag pada epitel saluran napas
(Barnes, 2012). Fungsi dari sel dendritik ini adalah sebagai APC
(antigen-presenting cell) yang akan berinteraksi dengan alergen dari udara, mengubah
alergen menjadi peptida, dan bermigrasi ke nodus limfa sekitar untuk
menstimulasi pembentukan sel TH2 (NHLBI, 2007).
g. Sel struktural
Sel struktural pada saluran napas meliputi sel epitel, fibroblas dan sel otot
polos juga merupakan sumber penting mediator inflamasi (sitokin dan mediator
lipid). Oleh karena jumlahnya yang lebih banyak dari sel inflamatori, mereka turut
berperan dalam inflamasi asma kronis. Sel epitel mentranslasikan signal
lingkungan menjadi respon inflamasi (Barnes, 2012). Sel otot polos memproduksi
mediator pro-inflamasi. Akibat dari inflamasi dan produksi faktor pertumbuhan,
sel otot polos berproliferasi dan menjadi hipertrofi. Hal ini akan menyebabkan
disfungsi jalan napas pada asma (NHLBI, 2007).
b) Mediator inflamasi
a. Kemokin
Kemokin adalah mediator inflamasi yang menarik sel inflamatori ke
saluran napas khusunya pada sel epitel (NHLBI, 2007). Eotaksin (CCL11)
menarik eosinofil via CCR3, sedangkan thymus and activation-regulated
chemokine (CCL17) dan macrophage-derived chemokine (CCK22) menarik TH2
via CCR4 (Barnes,2012).
b. Sitokin
Sitokin adalah bronkokonstriktor poten yang diproduksi oleh sel mast.
Mediator sitokin adalah satu-satunya mediator yang secara spesifik berhubungan
dengan fungsi paru dan gejala asma (NHLBI, 2007). Sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13
sitokin seperti IL-10 dan IL-12 berperan sebagai anti-inflamasi, dan menurun pada
penderita asma (Barnes, 2012).
c. Nitrit Oxide (NO)
NO diproduksi oleh NO sintase pada sel epitel dan makrofag. Fungsi NO
adalah sebagai vasodilator poten. Kadar NO pada udara ekspirasi pasien asma
lebih tinggi dari normal dan berhubungan dengan inflamasi eosinofil (Barnes,
2012). Perhitungan FeNO (fractional exhaled NO) dapat digunakan untuk
memonitor asma, walaupun jarang digunakan dalam keseharian (NHLBI, 2007).
d. Imunoglobulin E
IgE adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam pengaktifan reaksi
alergi. Sel mast mempunyai banyak reseptor IgE, yang akan mengikat antigen dan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi (Barnes, 2012).
1.5.3. Efek Inflamasi Jangka Panjang
Reaksi inflamasi kronis akan menimbulkan beberapa efek terhadap sel-sel saluran
napas. Perubahan yang terjadi bersifat khas pada penderita asma., berupa:
a) Epitel saluran napas
Paparan terhadap ozon, virus, zat kimia dan alergen dapat menyebabkan
kerusakan epitel. Kerusakan fungsi pertahanan ini mengakibatkan penetrasi
alergen, pengurangan enzim endopeptidase yang berfungsi mendegradasi
mediator inflamasi, hilangnya faktor relaksan, dan tereksposnya saraf sensoris.
b) Fibrosis
Pada pasien asma, membrane basal menebal akibat penumpukan kolagen
tipe III dan V. Penumpukan kolagen tersebut diakibatkan pelepasan mediator profibrotik seperti faktor pertumbuhan β. Di tingkat parah, fibrosis ini dapat menyebabkan penyempitan ireversibel saluran napas.
c) Otot polos saluran napas
Masih terjadi perdebatan mengenai peran otot polos patologis pada pasien
asma. Otot polos pasien asma cenderung mengalami hipertrofi dan hiperplasia.
Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor pertumbuhan seperti endothelin-1 dan
d) Respon vaskuler
Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah pada pasien asma. Proses
angiogenesis ini adalah sebagai bentuk respon terhadap faktor pertumbuhan,
khususnya vascular-endothelial growth factor. Mikrovaskular vena kapiler dapat
bocor akibat mediator inflamasi, sehingga menyebabkan edema saluran dan
eksudasi plasma ke dalam lumen.
e) Hipersekresi mukus
Peningkatan sekresi mukus biasanya terjadi pada asma yang berat. Sekresi
mukus meningkat disebabkan oleh hiperplasia dari kelenjar submukosa dan sel
goblet. Pelepasan mediator IL-4 dan IL-13 diteliti sebagai penyebab terjadinya
respon tersebut.
f) Efek neural
Mediator inflamasi mengaktifan saraf kolinergik, melalui pelepasan
asetilkolin yang mengikat reseptor muskarinik, dan menimbulkan
bronkokonstriksi saluran napas. Mediator tersebut juga mengikat reseptor pada
epitel dan menyebabkan saraf menjadi hiperalgesik. Salah satu mediator inflamasi
yang dihasilkan oleh jaringan perifer, neurotropin, dapat menyebabkan ploriferasi
dan peningkatan sensitisasi saraf sensori (Barnes, 2012).
1.6. Gejala
Tabel 2.1. Gejala dan Derajat Keparahan Asma Gejala asma yang
Wheezing
• Biasanya muncul tiba-tiba
• Umumnya episodic • Dapat hilang dengan
sendirinya
• Bisa bertambah berat saat malam hari atau dini hari
• Bertambah berat jika bernapas di udara
Pertanyaan yang diajukan pada saat anamnesis menurut NHLBI (2007)
adalah
1. Gejala: batuk, mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan produksi
sputum.
2. Pola gejala: onset, durasi, frekuensi,sepanjang tahun atau musiman,
terus menerus atau episodik, dan variasi diurnal.
3. Faktor pencetus dan faktor yang memperberat gejala: infeksi virus,
alergen lingkungan, karakteristik lingkungan, rokok, olahraga, zat
kimia, perubahan lingkungan, iritan, emosi, stres, obat-obatan,
perubahan cuaca, faktor endokrin, dan kondisi komorbid.
4. riwayat perjalanan penyakit dan terapi: usia awitan, riwayat trauma
jalan napas, perkembangan penyakit, tata laksana dan respon terapi,
5. riwayat keluarga: riwayat keluarga dengan asma, alergi sinusitis,
rinitis, eksem atau polip nasal
6. riwayat sosial: lingkungan sosial, faktor sosial, dukungan sosial,
tingkat pendidikan, dan status pekerjaan.
7. riwayat serangan asma: gejala prondomal, kecepatan onset, durasi,
frekuensi, derajat keparahan, serangan yang mengancam jiwa,
frekuensi, dan derajat keparahan asma tahun sebelumnya.
8. dampak asma terhadap pasien dan keluarga: episode terapi yang tidak
terjadwal, keterbatasan aktivitas, riwayat terbangun malam hari,
pengaruh terhadap tumbuh kembang, pengaruh terhadap rutinitas
keluarga, dan pengaruh ekonomi
9. penilaian terhadap persepsi pasien dan : pengetahuan pasien, persepsi
pasien, kemampuan pasien, tingkat dukungan keluarga, sumber
keuangan, dan kepercayaan sosiokultural.
1.7.2. Pemeriksaan fisik
Saluran pernapasan atas, dada dan kulit adalah fokus utama dalam
pemeriksaan fisik untuk asma. Tampilan fisik meningkatkan kemungkinan
terdiagnosa asma. Tidak adanya ciri-ciri dibawah ini tidak menyingkirkan
diagnosa asma karena tanda-tanda obstruksi sering tidak ditemukan diantara
selang serangan asma (NHLBI, 2007).
a) Hiperekspansi thoraks − terutama pada anak -anak, penggunaan otot
aksesorius, posisi tubuh membungkuk, dan deformitas dada
b) Suara wheezing pada pernapasan normal atau fase ekspirasi memanjang.
Wheezing hanya terdengar saat ekspirasi dipaksa
c) Peningkatan sekresi nasal, pembengkakan mukosa, dan/atau polip nasal
d) Dermatitis atopik/eksema atau manifestasi penyakit alergi lain
1.7.3. Pemeriksaan penunjang
Uji ini bertujuan untuk mengukur volume udara yang masuk dan keluar
dari paru. Hasil kapasitas vital paksa (KVP) dibagi volume ekspirasi paksa dalam
1 detik (VEP1) dapat memperkirakan derajat obstruksi.
Tabel 2.2. Interpretasi Nilai VEP1
VEP1< 40% Obstruksi berat
VEP140-59% Obstruksi sedang
VEP160-79% Obstruksi ringan
VEP1> 80% Normal
Sumber: Clark, 2011
b) Uji pra- dan pasca- bronkodilator
Uji ini dilakukan dengan uji spirometri sebelum dan sesudah diberi
bronkodilator. Jika terjadi peningkatan VEP1 ≥ 10% setelah diberi bronkodilator,
maka digolongkan sebagai obstruksi saluran napas yang reversibel (asma).
c) Uji bronkoprovokasi
Uji ini mirip seperti uji pra- dan pasca- bronkodilator. Uji ini
menggunakan metakolin yang bekerja sebagai bronkokonstriktor. Histamin,
adenosin, bradikinin, udara dingin, dan olahraga juga bisa dilakukan pada uji ini.
Penurunan VEP1 sebanyak 20% dari nilai normal menunjukkan positif asma
(Clark, 2011).
1.8. Tata laksana farmakologi asma
a) Terapi brokodilator
1) β2-agonis
β2-agonis akan mengaktifasi reseptor β2–adrenergik. Efek dari penggunaan β2-agonis adalah untuk relaksasi otot polos saluran napas (bagian proksimal dan distal), inhibisi pelepasan mediator sel mast, inhibisi eksudasi
plasma, inhibisi edema saluran napas, peningkatan pembersihan mukosiliar,
peningkatan sekresi mukus, dan pengurangan batuk.
2) anti kolinergik
Anti kolinergik akan berikatan dengan reseptor muskarinik dan mencegah
Penggunaan anti kolinergik kurang efektif sebagai terapi asma dibandingkan β2 -agonis karena kerja obat anti kolinergik hanya menghambat refleks kolinergik, sedangkan β2-agonis menghambat seluruh mekanisme bronkokonstriksi. Anti kolinergik hanya dipakai sebagai tambahan terapi pada asma tidak terkontrol.
3) Teofilin
Efek teofilin sebagai bronkodilator meningkat dengan penambahan dosis.
Seiring dengan peningkatan dosis, efek samping obat juga semakin meningkat.
Hal ini yang menyebabkan terapi menggunakan teofilin ditinggalkan.
b) Terapi kontroler
1) Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid melalui dua metode, inhalasi dan sistemik. Terapi
inhalasi lebih dipilih karena efek sistemik lebih minimal. Kortikosteroid akan
memperbaiki gejala simptomatis melalui pengurangan jumlah sel radang.
2) Antileukotrien
Sistenil leukotrien adalah bronkokonstriktor poten yang menyebabkan
bocornya eosinofil melalui aktivasi reseptor cys-LT1. Antileukotrien memblok
reseptor tersebut dan memperbaiki klinis asma. Terapi ini kurang efektif untuk mengontrol dibanding β2-agonis.
3) Kromolin
Kromolin menginhibisi sel mast dan aktivasi saraf sensoris. Terapi ini
kurang bermanfaat sebagai terapi jangka panjang disebabkan oleh durasi kerja
obat yang pendek. Kromolin sangat aman untuk anak-anak, tetapi penggunaannya
sudah mulai berkurang sejak munculnya kortikosteroid inhaler.
4) Anti-IgE
Anti Ig-E seperti omalizumab dapat memblok IgE di sirkulasi dan
mengurangi angka eksaserbasi asma berat. Akan tetapi, terapi ini sangat mahal
dan hanya cocok pada pasien asma berat yang sudah tidak bisa dikontrol dengan
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan kajian teoritis yang telah dikemukan di atas, maka dapat disusun
kerangka konsep penelitian seperti gambar dibawah ini :
Prevalensi asma
Distribusiberdasarkan
• Jenis Kelamin
• Kewarganegaraan
• Komorbid Asma
• Riwayat Keluarga
3.2. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur Cara Ukur
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui prevalensi asma pada mahasiswa FK USU tahun ajaran 2014/2015.
Distribusi prevalensi asma berdasarkan jenis kelamin, kewarganegaraan,
komorbid asma, dan riwayat keluarga. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode cross-sectional, yaitu pengamatan terhadap sekumpulan
objek dalam kurun waktu tertentu.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada September hingga Oktober 2014.
4.2.2. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di kampus Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Suatu populasi menunjukkan pada sekelompok subjek yang menjadi
objek atau sasaran penelitian (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
tahun ajaran 2014/2015. Mahasiswa yang dimaksud adalah mahasiswa tahun
4.3.2. Sampel
Sampel menurut Notoatmodjo (2010) adalah bagian dari populasi yang
dianggap mewakili populasi. Sampel yang diambil memiliki kriteria inklusi yaitu
seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara, Medan
tahun angkatan 2011, 2012, 2013, dan 2014. Jumlah sampel yang akan digunakan
akan dikira menggunakan formula (Sastroasmoro, 2013):
n = Zα 2PQ d2 Keterangan
n = besar sampel
Zα = deviat baku normal untuk α
P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari
Q = 1−P
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki
Perhitungan besar sampel mahasiswa FK USU adalah seperti di bawah
ini.
n =1,96²∗0,5(1−0,5) 0,05²
n = 384orang
Dengan tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan tingkat
ketepatan relatif yang diinginkan sebesar5%, maka jumlah sampel Universitas
Sumatera Utara yang diperoleh dengan memakai rumus tersebut adalah sebanyak
384 sampel. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik stratified
random sampling. Sampel tersebut kemudian didistribusikan sama rata pada
mahasiswa FK USU secara umum.
a. Mahasiswa T.A. 2011: 1/4 x 384 = 96 orang.
b. Mahasiswa T.A. 2012: 1/4 x 384 = 96 orang.
c. Mahasiswa T.A. 2013: 1/4 x 384 = 96 orang.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
4.4.1. Data primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
Responden akan diberikan kuesioner untuk diisi dan hasil kuesioner dikutip pada
hari yang sama.
4.4.2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner ECRHS ( The European
Community Respiratory Health Survey) yang dimodifikasi dan telah diuji
validitas dan reliabilitas pada saat semester 7. Kuesioner terdiri dari 8 pertanyaan
dengan tambahan 2 sub pertanyaan. Pertanyaan ke-1 sampai pertanyaan ke-4
memberi gambaran mengenai gejala asma. Pertanyaan ke-5 diajukan untuk
memberikan gambaran serangan asma dalam 12 bulan terakhir. Pertanyaan ke-6
menanyakan tentang pemakaian obat pada responden yang sedang menderita
asma. Pertanyaan ke-7 dan ke-8 menjelaskan tentang ada tidaknya riwayat
komobid asma. Pertanyaan ke-9 menanyakan ada tidaknya riwayat keluarga yang
menderita asma.
Informed consent diberi bersamaan dengan kuesioner tersebut. Pengisian
kuesioner oleh mahasiswa dipandu oleh peneliti untuk memastikan mahasiswa
mengerti maksud dari masing-masing pertanyaan dalam kuesioner.
4.4.3. Uji Validitas
Validasi adalah suatu indeks yang menentukan apakah suatu alat ukur
dapat digunakan untuk mengukur suatu variabel tertentu atau tidak (Notoatmodjo,
2010). Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan membagi kuesioner
awalyang mempunyai 11 pertanyaan kepada 20 responden yang berkarakteristik
hampir sama dengan sampel peneliti. Uji dilakukan pada bulan September 2014.
Menurut Siregar (2014), rumus uji validitas yang dipakai adalah teknik
korelasi product moment, yaitu :
�ℎ����� = �
(���)−(��)(��)
Keterangan:
n = jumlah responden
x = skor variabel (jawaban responden)
y = skor total dari variabel untuk responden ke-n
Setelah semua r hitung dari tiap pertanyaan telah diperoleh, nilai tersebut
dibandingkan dengan r tabel. Nilai r tabel untuk total responden sebanyak 20
orang dan taraf signifikasi 0,05 adalah 0,444. Jika nilai r hitung lebih tinggi dari
nilai r tabel, maka pertanyaan tersebut valid. Hasil validitas dengan program
computer SPSS menunjukkan terdapat 10 pertanyaan yang valid. Rincian hasil
validasi dipaparkan pada bagian lampiran penelitian.
4.4.4. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan apakah suatu alat
ukur konsisten, dapat diandalkan atau tidak. Uji reliabilitas dilakukan setelah
kuesioner valid (Siregar, 2014). 10 pertanyaan yang valid dilakukan uji reliabilitas
pada bulan September 2014.
Menurut Siregar (2014), rumus yang digunakan untuk uji reliabilitas
adalah teknik Alpha Cronbach, yaitu :
�11 =�
r11 = koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir pertanyaan
Σσ�2 = jumlah varian butir σ�2 = varian total
Setelah r11 dihitung, nilai tersebut dibandingkan dengan r tabel. Bila r11
lebih besar dari r tabel, maka alat ukur reliabel. Hasil uji reliabilitas menunjukkan
Tabel 4.1. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner
Variabel Nomor Total
Pearson Correlation
Status Alpha Status
gejala 1 0.651 Valid 0.788 Reliabel
2 0.651 Valid Reliabel
3 0.631 Valid Reliabel
4 0.726 Valid Reliabel
5 0.535 Valid Reliabel
6 0.793 Valid Reliabel
7 0.751 Valid Reliabel
8 0.476 Valid Reliabel
9 0.602 Valid Reliabel
10 0.501 Valid Reliabel
4.4.5. Teknik Penilaian/Scoring
Kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan. Pertanyaan 1 sampai 4 menanyakan
tentang gejala asma. Pertanyaan 5 menanyakantentang serangan asma dalam 12
bulan terakhir. Pertanyaan 6 menanyakan apakah sedang menggunakan obat untuk
asma. Seseorang dikatakan menderita lifetime asthma bila terdapat ≥3“Ya” pada
pertanyaan 1 sampai 4 atau ≥ 1 “Ya” pada pertanyaan 5 dan 6. Seseorang
dikatakan menderita current asthma bila terdapat ≥ 1 “Ya” pada pertanyaan 5 dan
6. Pertanyaan 7, 8 dan 9 menanyakan tentang faktor predisposisi penyakit asma.
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Data yang diperoleh dari kuesioner telah dikumpulkan dan dianalisis
secara deskriptif menggunakan program computer yaitu SPSS (Statistical Product
and Service Solution). Hasil dipaparkan dengan tabel distribusi frekuensi pada bab
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan, yang terletak di jalan dr. Mansyur No.5 Medan, Indonesia.
5.2.2. KarakteristikSampel
Dalam penelitian ini, responden dipilih sebanyak 384 mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dengan 96 mahasiswa tahun ajaran
(angkatan) 2011, 96 mahasiswa angkatan 2012, 96 mahasiswa angkatan 2013,
dan 96 mahasiswa angkatan 2014. Responden dipilih dengan cara randomisasi
dengan menggunakan komputer. Responden yang terpilih berusia 17-24 tahun.
Gambaran karakteristik sampel dalam penelitian ini dapat diamati pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Karakteristik Sampel Karakteristik Sampel Laki-laki (orang) Perempuan
(orang)
Total (orang)
Tahun Angkatan
2011 28 68 96
2012 38 58 96
2013 37 59 96
2014 34 62 96
Umur
17-19 71 115 186
20-22 66 127 193
5.2.3. Distribusi Asma pada Sampel
Data mengenai distribusi asma pada sampel dapat diamati pada tabel 5.2
dibawah ini.
Tabel 5.2. Distribusi Asma pada Sampel
Asma Ya(orang) Tidak(orang) Total(orang)
Lifetime Asthma 55 (14,3%) 329 (85,7%) 384 (100%)
Current Asthma 25 (6,5%) 359 (93,5%) 384 (100%)
Dari tabel 5.2 diatas, terdapat 55 (14,3%) sampel yang pernah menderita
asma sepanjang hidupnya (lifetime asthma) dan 25 sampel (6,5%) yang sedang
menderita asma (current asthma).
5.2.4. Distribusi Asma berdasarkan Jenis Kelamin
Data mengenai mahasiswa yang menderita lifetime asthma berdasarkan riwayat atopik keluarga digambarkan pada tabel 5.3. di bawah ini
Tabel 5.3. Distribusilifetime asthma berdasarkan jenis kelamin Jenis
Dari tabel 5.3, 55 orang yang pernah menderita asma sepanjang hidupnya
terdiri dari 19 orang (13.9%) laki-laki dan 36 orang (85.4%) perempuan.
5.2.5. Distribusi Asma berdasarkan Kewarganegaraan
Data mengenai mahasiswa yang menderita lifetime asthma berdasarkan
kewarganegaraan digambarkan pada tabel 5.4. di bawah ini
Tabel 5.4. Distribusilifetime asthma berdasarkan kewarganegaraan Kewarganegaraan Lifetime Asthma
Dari 314 sampel berkewarganegaraan Indonesia, terdapat 40 sampel
(12,7%) yang pernah menderita asma, sedangkan dari 70 sampel
berkewarganegaraan Malaysia, 15 sampel (21,4%) yang pernah menderita asma
sepanjang hidupnya.
5.2.6. Distribusi Asma berdasarkan Komorbid
Data mengenai mahasiswa yang menderita lifetime asthma berdasarkan
komorbid penyakit atopik digambarkan pada tabel 5.5. di bawah ini
Tabel 5.5. Distribusilifetime asthma berdasarkan komorbid Komorbid Penyakit
Dari tabel 5.5, 55 sampel yang pernah menderita asma terdapat 38,2%
yang mempunyai komorbid rinitis, 20% yang mempunyai komorbid eksema, dan
18,2% yang mempunyai komorbid rinitis serta eksema.
5.2.7. Distribusi Asma berdasarkan Riwayat Atopik Keluarga
Data mengenai mahasiswa yang menderita lifetime asthma berdasarkan
riwayat atopik keluarga digambarkan pada tabel 5.6. di bawah ini
Tabel 5.6. Distribusilifetime asthma berdasarkan riwayat atopik keluarga Riwayat Atopik
Dari tabel 5.6, 43 orang (78.2%) yang pernah menderita asma sepanjang
5.2. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui prevalensi asma di kalangan
mahasiswa tahun ajaran 2011, 2012, 2013, dan 2014 di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.Penelitian dilakukan sejak bulan September
2014.
5.2.1. Distribusi Asma pada Sampel
Hasil pengolahan angket pada tabel 5.2 menunjukkan sebanyak 14,3%
sampel pernah menderita asma dalam hidupnya (lifetime asthma). Tabel 5.2 juga
menunjukkan 6,5% sampel sedang menderita asma (current asthma). Hal ini
sejalan dengan hasil survei nasional New York (2003) dimana terdapat 10,3%
sampel diatas usia 18 tahun yang menderita lifetime asthma dan 7,6% sampel
yang menderita current asthma. Hasil penelitian asma di Texas tahun 2000-2005
menunjukkan lifetime asthma pada sampel usia 18-29 tahun sebesar 13% dan current asthma sebesar 7,1%. Berdasarkan penelitian Rosamarlina di SLTP
Jakarta Timur tahun 2008 mendapati prevalensi asma pada anak 13-15 tahun
sebesar 13,4%. Sedangkan menurut hasil RISKESDAS tahun 2013 mendapati
prevalensi asma sebesar 2,4% di wilayah Sumatera Utara. RISKESDAS
mendapati sebesar 5,6% sampel umur 15-24 tahun yang menderita asma.
Perbedaan presentase ini bisa diakibatkan karena penggunaan instrumen
penelitian yang berbeda. RISKESDAS, survei nasional Texas dan New
Yorkmenegakkan seseorang menderita asma berdasarkan riwayat diagnosa pasien
oleh dokter sebelumnya dan riwayat gejala asma dalam 12 bulan terakhir.
Sedangkan Rosamarlina (2010)menggunakan instrumen kuesioner yang berbeda,
yaitu kuesioner ISAAC. Selain akibat penggunan instrumen yang berbeda,
perbedaan persentase bisa disebabkan oleh target sampel yang berbeda.
Rosamarlina (2010) melakukan penelitian padasiswa SLTP berusia 13-15 tahun,
sedangkan RISKESDAS (2013) melakukan penelitian pada seluruh lapisan umur
diatas 75 tahun. Faktor lain yang mempengaruhi adalah perbedaan diet dan faktor
lingkungan, seperti polusi udara dan alergen.
5.2.2. Distribusi Asma berdasarkan Jenis Kelamin
Dari 55 responden yang pernah menderita asma (Tabel 5.3), didapati
sebesar 14,6% sampel berjenis kelamin perempuan, sedangkan laki-laki yang
menderita lifetime asthma sebesar 13,9%.Survei yang dilakukan RISKESDAS
mendapati perempuan (4,6%) lebih banyak menderita asma dibanding laki-laki
(4,4%). Hasil survei nasional di New York (2003) mendapati sebesar 8,7%
laki-laki dan 11,8% perempuan berusia diatas 18 tahun yang pernah menderita asma.
Sebelum pubertas, prevalensi asma lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan. Perbedaan ini dimulai semenjak masa gestasi. Paru pada fetus
laki-laki lebih lambat matur dan surfaktan diproduksi pada usia gestasi yang lebih
lanjut. Laki-laki pada masa kanak-kanak juga mudah tersensitisasi pada faktor
alergen. Keadaan ini berbalik setelah memasuki masa remaja. Perubahan ini
dikarenakan onset gejala asma pada perempuan lebih lama dibanding laki-laki
(Choi, 2011).
Leynaert (1997) mengungkapkan bahwa terjadi perbedaan diantara dua
kelompok ini disebabkan karena hiperesponsif bronkial pada perempuan.
Kejadian hiperesponsif dihubungkan dengan diameter saluran napas.
Besarresistensi/tahanan yang terdapat di sepanjang saluran napas berbanding
terbalik empat kali terhadap jari-jari saluran. Oleh karena itu, pengecilan saluran
napas akanmenaikkan resistensi aliran udara. Akibatnya, FEV1perempuan akan
turun lebih banyak dibanding laki-laki. Serat-C yang berperan pada refleks batuk
juga diteliti meningkat sensitifitasnya pada perempuan. Serat ini berperan dalam
proses inflamasi dari saluran napas, hipersekresi mukus dan
bronkokonstriksi.Paparan alergen juga mempengaruhi perbedaan antar dua
kelompok tersebut. Kegiatan memasak dan membersihkan rumah meningkatkan
paparan perempuan terhadap paparan alergen dalam ruangan. Selain faktor-faktor
berpengaruh terhadap kejadian asma pada perempuan. Hormon perempuan
memegang peranan dalam ekspresi asma, dengan meningkatkan hiperesponsif
saluran napas.
5.2.3. Distribusi Asma berdasarkan Kewarganegaraan
Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan prevalensi asma
pada mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Responden berkewarganegaraan
Indonesia yang menderita asma sebesar 12,7%, sedangkan responden
berkewarganegaraan Malaysia yang menderita asma sebesar 21,4%.Hal ini sejalan
dengan hasil ISAAC fase tiga. ISAAC melakukan penelitian prevalensi asma di 3
kota di Indonesia, yaitu Bali (9,6%), Bandung (12,1%), dan Semarang (13,3%).
Sedangkan penelitian 3 kota di Malaysia dilakukan di Kota Bharu (12%), Alor
Setar (17%), dan Klang Valley(21,6%).Faktor yang dapat mempengaruhi
perbedaan prevalensi asma pada tiap negara adalah diet, pendapatan perkapita,
imunisasi, dan interaksi antara genetik-lingkungan. Beasley (2003) mengolah data
ISAAC fase tiga dan menyimpulkan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita
suatu negara maka prevalensi asma pada negara tersebut semakin tinggi. Dengan
pendapatan per kapita yang tinggi, penduduk cenderung mengkonsumsi makanan
siap saji. Gaya hidup ini meningkatkan prevalensi asma suatu negara. Faktor
ketiga yang berpengaruh adalah imunisasi. Berdasarkan hasil studi ISAAC,
imunisasi DPT dan campak menurunkan kecenderungan seseorang menderita
asma. Selain faktor-faktor yang telah disebut, faktor yang mempengaruhi adalah
interaksi lingkungan. Menurut Subbarao (2009), interaksi
genetik-lingkungan menjelaskan bahwa kedua faktor saling mendukung terjadinya asma.
Sebagai contoh prevalensi asma pada ras Cina terendah pada anak-anak yang yang
lahir dan tinggal di Cina, sedang pada anak-anak yang lahir di Cina dan tinggal di
Kanada, tertinggi pada anak yang sejak lahir tinggal di Kanada.
Dalam penelitian ini, prevalensi asma pada kedua kewarganegaraan
terlihat jelas. Hal ini bisa dikarenakan oleh gaya hidup dan interaksi antara genetik