• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dengan Hiperbilirubinemia Di RSUP H Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dengan Hiperbilirubinemia Di RSUP H Adam Malik Medan"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN GANGGUAN PENDENGARAN

PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh

R. YUSA HERWANTO

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN GANGGUAN PENDENGARAN

BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN

Proposal Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai

Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher

Oleh :

R.Yusa Herwanto

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan i

Kata Pengantar ii

Abstrak iii

Daftar Isi iv

Lampiran v

Surat Keterangan Ethical Clearance vi

Riwayat Hidup vii

Daftar Tabel viii

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Tujuan Umum 3

1.5. Tujuan Khusus 3

1.6. Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Kepustakaan 4

2.1. Embriologi Telinga Dalam 4

2.2. Anatomi Telinga Dalam 5

2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam 10

2.4. Persarafan Telinga Dalam 10

2.5. Fisiologi Telinga Dalam 11

(4)

2.7. Penyebab Ketulian Pada Neonatus 14

2.8. Pengaruh Hiperbilirubin Terhadap Gangguan Pendengaran 16

2.9. Penilaian Dengan Emisi Otoakustik (OAE) 40

2.10. Kerangka Teori 48

2.11. Kerangka Kerja 49

Bab 3 Metode Penelitian 50

3.1. Jenis Penelitian 50

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian 50

3.3. Populasi Dan Sampel 50

3.4. Variabel Penelitian 50

3.5. Definisi Operasional 51

3.6. Metode Pengumpulan Data 52

Bab 4 Hasil Penelitian 53

4. Gambaran Umum Dan Lokasi 53

4.1. Kelompok Umur Dengan Bilirubin Direk 53

4.2. Kelompok Jenis Kelamin Dengan Bilirubin Total 54

4.3. Oto Akustik Emission Kanan Dan Kiri Dengan Bilirubin Direk 54

4.4. Oto Akustik Emission Kanan Dan Kiri Dengan Bilirubin Total 56

Bab 5 Pembahasan 58

5.1. Berdasarkan Kelompok Umur Dengan Bilirubin Direk Dan Bilirubin Total 58

5.2. Berdasarkan Jenis Kelamin Dengan Bilirubin Direk Dan Bilirubin Total 60

(5)

Bab 6 Simpulan Dan Saran 62

6.1. Simpulan 62

6.2. Saran 63

(6)

THE PROFILE OF HEARING DISORDER OF HYPERBILIRUBINEMIA INFANTS IN

ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

R. Yusa Herwanto,

Adam Malik General Hospital Medan

Abdul Rachman, T. Sofia Hanum

ABSTRACT

Background : Hearing function screening is usually performed on high risk infant of hyperbilirubinemia. According to Joint Committee of Infant Hearing, bilirubin level >17 mg/dl causing neurologic effect, especially on hearing function.

Purpose : To present the description of hearing disorder on infant with hyperbilirubinemia. Method : Descriptive study with case series design.

Result : From 62 samples of hyperbilirubinemia infant on this research, 2 male samples (28,6 %) has bilirubin level >1,8 mg/dl and 5 female samples (71,4%) has bilirubin level >1,8 mg/dl. Based on group of age, samples on group of age ≤ 15 days with direct bilirubin level >1,8 gr/dl is 2 samples (28,6%), meanwhile on group of age >15 days with direct bilirubin level >1,8 mg/dl is 5 samples (71,4%). On group of age ≤ 15 days with total bilirubin level >17 gr/dl is 9 samples (39,1%), and on group of age > 15 days with total bilirubin level >17 gr/dl is 14 samples (60,9%). On right OAE with samples who has bilirubin level >1,8 mg/dl who declared pass is not found and who declared refer is 7 samples (100%). On left OAE with samples who has bilirubin level >1,8 mg/dl who declared pass is not found and who declared refer is 7 samples (100%). On Right OAE with samples who has total bilirubin level > 17 mg /dl who declared pass is 4 samples (17,4%) and who declared refer is 19 samples (82,6%). On left OAE with samples who has total bilirubin level >17 mr/dl who declared pass is 7 samples (30,4%), and who declared refer is 16 samples (69,6%)

Conclusion. This research found 2 catageoris at bilirubin direct and total with left OAE refer have been

values ( Bilirubin total p= 0,01 , Bilirubin direct p= 0,0 4) , it is means hearing disorder at

infant hiperbilirubinemia

(7)

THE PROFILE OF HEARING DISORDER OF HYPERBILIRUBINEMIA INFANTS IN

ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN

R. Yusa Herwanto,

Adam Malik General Hospital Medan

Abdul Rachman, T. Sofia Hanum

ABSTRACT

Background : Hearing function screening is usually performed on high risk infant of hyperbilirubinemia. According to Joint Committee of Infant Hearing, bilirubin level >17 mg/dl causing neurologic effect, especially on hearing function.

Purpose : To present the description of hearing disorder on infant with hyperbilirubinemia. Method : Descriptive study with case series design.

Result : From 62 samples of hyperbilirubinemia infant on this research, 2 male samples (28,6 %) has bilirubin level >1,8 mg/dl and 5 female samples (71,4%) has bilirubin level >1,8 mg/dl. Based on group of age, samples on group of age ≤ 15 days with direct bilirubin level >1,8 gr/dl is 2 samples (28,6%), meanwhile on group of age >15 days with direct bilirubin level >1,8 mg/dl is 5 samples (71,4%). On group of age ≤ 15 days with total bilirubin level >17 gr/dl is 9 samples (39,1%), and on group of age > 15 days with total bilirubin level >17 gr/dl is 14 samples (60,9%). On right OAE with samples who has bilirubin level >1,8 mg/dl who declared pass is not found and who declared refer is 7 samples (100%). On left OAE with samples who has bilirubin level >1,8 mg/dl who declared pass is not found and who declared refer is 7 samples (100%). On Right OAE with samples who has total bilirubin level > 17 mg /dl who declared pass is 4 samples (17,4%) and who declared refer is 19 samples (82,6%). On left OAE with samples who has total bilirubin level >17 mr/dl who declared pass is 7 samples (30,4%), and who declared refer is 16 samples (69,6%)

Conclusion. This research found 2 catageoris at bilirubin direct and total with left OAE refer have been

values ( Bilirubin total p= 0,01 , Bilirubin direct p= 0,0 4) , it is means hearing disorder at

infant hiperbilirubinemia

(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi diperlukan generasi penerus bangsa Indonesia yang sehat dan berkualitas untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain. Proses dari pembentukan manusia berkualitas ini sebaiknya dimulai sejak janin sampai bayi lahir dengan normal. Gangguan pendengaran yang terjadi pada usia prasekolah dapat berpengaruh pada perkembangan tingkah laku dan berbicara, sosial, emosional, dan juga perkembangan prestasi akademik, oleh karena itu perlu diketahui adanya gangguan pendengaran sedini mungkin dengan habilitasi dan pengobatan yang tepat terhadap faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran untuk kelangsungan komunikasi individu (Haddad , 2004).

Hiperbilirubinemia dijumpai dari ± 20-30% kasus di bagian Perinatologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran USU sering disertai gangguan neurologis (Guslihan. et al., 2007). Gangguan perkembangan neurologis (GPN) akan mengganggu perkembangan proses pendengaran dan komunikasi. Jumlah kasus GPN saat ini banyak dijumpai dalam perawatan Perinatologi dan makin canggihnya alat-alat diagnostik dan terapeutik. Penanganan hiperbilirubinemia harus dapat ditangani dengan cepat dan benar.(Susanto 2010)

Survei kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada 7 provinsi di Indonesia pada tahun 1994-1996 mendapatkan prevalensi tuli sejak lahir sebesar 0,1% dari 19.375 sampel yang diperiksa. Dari angka tersebut dapat diperkirakan berapa jumlah penderita ketulian pada penduduk Indonesia saat ini (Hendarmin , 2006). Suleh dan Djelantik pada tahun 1999 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung, melaporkan dari 212 bayi yang dilakukan pemeriksaan emisi otoakustik ditemukan 3 bayi dengan hasil refer pada kedua telinganya.

(9)

Di Liguria, Italia, dari 3.238 bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan emisi

otoakustik, didapatkan sebanyak 3.180 bayi (98,2%) memberikan hasil

pass

dan

sebanyak 58 bayi (1,8%) memberikan hasil

refer

(Calevo M. G., 2007). Menurut data

WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk

Indonesia diperkirakan 4,2% sehingga berdasarkan data tahun 2002 pada jumlah

penduduk Indonesia sebesar 221.900.000 penduduk , maka 9.319.800 penduduk

Indonesia diperkirakan menderita gangguan pendengaran.

Di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2008 dilakukan penelitian skrining

pendengaran pada bayi baru lahir dengan menggunakan emisi otoakustik. Dari hasil

penelitian, ini didapatkan dari 44 bayi baru lahir yang diperiksa terdapat sebanyak

31 bayi (70,45%) dengan hasil bilateral

pass

dan sebanyak 13 bayi (29,95%)

dengan hasil

refer

baik bilateral maupun unilateral (Okti Trihandani, 2008). Bayi

dengan hiperbilirubinemia dengan gangguan pendengaran sampai sekarang belum

ada penelitian dan data dasar selama dirawat di Perinatologi Anak RSUP. H Adam

Malik Medan.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran audiologi pada gangguan pendengaran bayi dengan

hiperbilirubinemia di RSUP H Adam Malik Medan ?

3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran gangguan pendengaran bayi yang lahir dengan

hiperbilirubinemia melalui pemeriksaan pendengaran .

1.3.2 Tujuan khusus:

Mengetahui distribusi menurut umur bayi hiperbilirubinemia terhadap bilirubin direk di RSUP H.Adam Malik Medan.

a) Mengetahui distribusi menurut umur bayi hiperbilirubinemia terhadap

bilirubin total di RSUP H.Adam Malik Medan

b) Mengetahui distribusi menurut jenis kelamin bayi hiperbilirbinemia

terhadap bilirubin direk di RSUP H Adam Malik Medan.

(10)

d) Mengetahui kadar peningkatan bilirubin direk terhadap ganggguan

pendengaran bayi hiperbilirubinemia di RSUP H Adam Malik Medan.

e) Mengetahui kadar peningkatan bilirubin total terhadap gangguan

pendengaran bayi hiperbilirubinemia di RSUP H Adam Malik Medan.

f) Mengetahui kerusakan satu telinga atau keduanya pada bayi

hiperbilirubinemia di RSUP H Adam Malik Medan.

4.

Manfaat Penelitian

a) Mendapatkan informasi data dasar bagi pemeriksaan pendengaran bayi

untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan pendengaran lanjutan.

(11)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Telinga Dalam

Telinga pada manusia terdiri atas tiga daerah yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar pada dasarnya merupakan corong pengumpul suara yang terdiri atas pinna dan saluran pendengaran luar. Telinga tengah adalah bagian yang menyalurkan suara dari telinga luar ke telinga dalam dan telinga dalam yang mengubah suara menjadi rangsangan saraf. (Drake et all, 2004)

Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam perkembangannya telah terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada kehamilan trimester kedua. Perkembangan telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga yaitu perkembangan intrauterin yang ditandai dengan tampaknya plakode ektoderm pada setingkat miensefalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori sepanjang minggu ke-4 yang kemudian menjadi vesikula auditori.

Pada tahap perkembangan selanjutnya vesikula otik (vesikula auditori) bagian ventral membentuk sakulus dan koklearis sedangkan bagian dorsal membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis dan duktus endolimfatikus. Pembentukan saluran-saluran tersebut disebabkan adanya bagian-bagian tertentu dari daerah tersebut yang berdegenerasi. Duktus koklearis yang sedang tumbuh menembus mesenkim di sekitarnya dan berpilin seperti membentuk spiral. Selanjutnya duktus koklearis tetap berhubungan dengan sakulus melalui duktus reunien.

Duktus semisirkularis, duktus utrikulus, duktus sakulus dan duktus koklearis kemudian diisi dengan cairan endolimfe sehingga semua struktur membran dari saluran tersebut dinamakan membran labirin. Dinding sel membran labirin sangat tipis dan terdiri atas sel-sel epitel tunggal yang ditutupi oleh lapisan serabut jaringan ikat yang dibentuk dari mesenkim di sekitarnya. Beberapa dari sel epitel tersebut dimodifikasi menjadi sel-sel rambut (sel neuroepitel dan beberapa sel pendukung).

(12)

diantara membran labirin dan tulang labirin tersebut berisi cairan perilimfe.(Drake et all, 2004)

2.2. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari serangkaian rongga tulang yang disebut labirin tulang serta duktus dan sakulus membran yang disebut labirin membran (Drake R. L., Vogl W. and Mitchell A. W. M., 2004).

Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Rongga tulang ini dibatasi dengan peritoneum dan mengandung cairan jernih disebut cairan perilimfe. Berbatasan dengan perilimfe tetapi tidak mengisi seluruh ruangan labirin tulang terdapat labirin membranosa yang terdiri dari duktus semisirkularis, duktus koklearis, utrikulus dan sakulus. Ruang labirin membranosa ini diisi dengan cairan endolimfe.

Struktur dari telinga dalam membantu penyampaian informasi ke otak tentang keseimbangan dan pendengaran yaitu :

a. duktus koklear sebagai organ pendengaran.

b. duktus semisirkularis, utrikulus dan sakulus sebagai organ keseimbangan.

Gambar 2.2. Membran Labirin

(13)

2.2.1. Vestibulum

Vestibulum yang mengandung jendela oval pada dinding lateralnya adalah bagian pusat dari labirin tulang. Vestibulum berhubungan dengan koklea di bagian anterior dan dengan kanalis semisirkularis di bagian posterosuperior.

Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen oval yang ditutupi foot plate stapes beserta ligamentum anulare. Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu cekungan sferis untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.

Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semisirkularis dan di dinding anterior vestibulum terdapat dua lubang yang berbentuk elips ke skala vestibularis koklea (Drake 2004).

2.2.2. Kanalis Semisikularis

Terdapat tiga buah kanalis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Bentuk kanalis seperti 2/3 lingkaran dengan panjangnya hampir sama yaitu ± 0,8 mm.

(14)

2.2.3. Koklea

Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput yang mengarah ke dasar dari kanalis auditorius interna dan sumbunya yang panjang mengarah keluar dengan membentuk sudut 300

Di dasar koklea, skala vestibuli berakhir pada jendela oval yang ditutupi oleh kaki tulang pendengaran (stapes). Skala timpani berakhir pada jendela oval, sebuah foramen di dinding medial dari telinga dalam yang ditutupi oleh membran timpani yang fleksibel. Skala media, ruang tengah koklea, berlanjut ke labirin membraniosa dan tidak berhubungan dengan kedua skala lainnya (Barret.K.C et all, 2010).

dengan bidang horizontal. Di sepanjang koklea, membran basilar dan membran Reissner membagi koklea menjadi tiga ruang atau skala. Di atas terdapat skala vestibuli dan di bawah skala vestibuli dan di bawah terdapat skala timpani yang mengandung cairan perilimfe dan berhubungan satu sama lain di puncak koklea melalui sebuah lubang terbuka yang disebut helikotrema.

Gambar 2.3. Potongan Melintang Koklea

(15)

2.2.4. Sakulus dan Utrikulus

Utrikulus terletak di bagian belakang lekukan dinding atas vestibulum, sakulus bentuknya jauh lebih kecil tetapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian bawah dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu struktur makula pada dinding medialnya dalam suatu bidang vertikal yang meluas ke dinding anterior. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap macula sakulus, utrikulus dan sakulus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe kecuali pada tempat masuknya saraf di daerah makula (Drake R.L. et all, 2004).

Di dalam setiap labirin membranosa, di lantai utrikulus terdapat organ otolit (makula). Makula yang lain terletak pada dinding sakulus di posisi semivertikal. Makula mengandung sel pendukung dan sel rambut dikelilingi oleh sebuah membran otolit dimana melekat pada kristal kalsium karbonat yang disebut otolit. Otolit yang disebut juga otokonia atau debu telinga berukuran 3-19 µm pada manusia dan lebih padat dari cairan endolimfe. Prosesus dari sel rambut melekat pada membran. Serabut saraf dari sel rambut bergabung dengan krista dari bagian vestibular saraf kranial ke VII.

2.2.5. Duktus Semisirkularis

Bagian ini terbuka ke bagian posterior dari utrikulus melalui lima lubang yang terpisah dan letaknya tegak, ini merupakan tiga daratan pada ruang telinga dalam. Masing-masing duktus pada semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya yang membentuk ampula dan terletak pada saluran tulang yang melebar. Panjang sumbu dari masing-masing ampula kira-kira 2 mm.

2.2.6. Duktus Koklearis

(16)

2.2.7. Organ Corti

Pada membran basilaris terdapat organ corti dimana struktur tersebut mengandung sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran. Organ ini memanjang dari apeks ke dasar koklea dan mempunyai bentuk spiral. Prosesus sel rambut melubangi lamina retikular, membran yang disokong oleh sel pilar atau rods of corti. Sel rambut disusun menjadi empat baris, tiga baris dari sel rambut luar lateral terhadap terowongan dibentuk oleh rods of corti dan satu baris dari sel rambut medial ke terowongan.

Menutupi barisan sel rambut adalah membran tektorial yang tipis, kental, dan elastik dimana sel rambut luar melekat. Badan sel neuron sensoris yang terdapat di sekeliling dari dasar sel rambut terletak di ganglion spiral di dalam modiolus yang merupakan inti tulang dimana koklea terdapat.

2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam

Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari arteri labirin cabang dari arteri serebralis anterior-inferior tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari arteri basilaris. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi arteri vestibularis anterior dan arteri koklearis komunis yang bercabang pula menjadi arteri koklearis dan arteri vestibulokoklearis. Arteri vestibularis anterior memperdarahi vestibularis anterior memperdarahi vestibularis, utrikulus dan sebagian duktus semisirkularis.

Arteri vestibulokoklearis sampai di modiolus di daerah putaran basal koklea terpisah menjadi cabang terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal koklea. Cabang koklear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. Arteri koklearis berjalan mengitari nervus akustikus di kanalis akustikus di kanalis akustikus internus dan di dalam koklea mengitari modiolus.

(17)

2.4. Persarafan Telinga Dalam

Nervus vestibulokoklearis (nervus akustikus) yang dibentuk oleh bagian koklear dan vestibular di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar nervus fasialis dan masuk ke batang otak antara pons dan medulla oblongata. Sel sel sensoris vestibularis dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak di dasar meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi nervus koklearis dengan ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus akustikus internus terletak ganglion vestibulare (Donaldson, 1991).

2.5. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

(18)

Gambar 2.3. Transmisi Suara

Dikutip dari Buku Gray’s Anatomy

2.6. Perkembangan Merespon Suara 2.6.1. Respon pada Bayi di bawah 4 bulan

Pada masa ini bayi mulai menunjukkan perhatian lebih pada suara ibu daripada suara orang lain. Bayi akan terkejut jika ada bunyi keras dan mulai menyadari suara yang lembut. Bayi mulai bermain dengan mainan yang mengeluarkan bunyi dan berhenti menangis untuk mendengar suara. Bayi juga terbangun ketika ada suara keras dan mengedipkan atau melebarkan matanya sebagai reflex terhadap suara (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.2. Respon pada Bayi Usia 5-7 bulan

Bayi mulai mencari sumber bunyi dan dapat menggeser kepalanya ke arah lateral ketika mendengar bunyi. Bayi memberikan tanggapan yang berbeda terhadap bunyi yang berbeda dan menangis jika mendengar suara yang tidak diinginkannya. Bayi mulai menyukai nyanyian dan siulan serta suara dari alat musik (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.3. Respon pada Bayi Usia 6-10 bulan

(19)

Bayi juga sudah dapat mengeluarkan suara dengan nada tinggi dan rendah (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.4. Respon pada Bayi Usia 9-13 bulan

Perkembangan bayi mulai meningkat ditandai dengan bayi sudah dapat mengeluarkan beberapa suku kata seperti “ma-ma”. Bayi dapat mengeluarkan nada-nada nyanyian dan mengingat apa yang didengarnya. Bayi juga dapat menghubungkan bunyi tertentu dengan kejadian tertentu (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.5. Respon pada Bayi Usia 13-15 bulan

Pada masa ini bayi sudah dapat mengikuti perintah sederhana dan dapat mengeluarkan 3-5 kata serta dapat menirukan bunyi-bunyi tertentu (Northen J. and Downs H., 1991).

2.6.6. Respon pada Bayi Usia 18-24 bulan

Bayi dapat mengenal bagian dari tubuh dan dapat mengeluarkan 20-50 kata. Bayi juga dapat mendengar namanya dipanggil dari ruangan lain (Northen J. dan Downs H., 1991).

2.6.7. Respon pada Bayi Usia di atas 24 bulan

Pada tahap ini bayi sudah dapat mengatakan 4-5 kalimat dan dapat dimengerti oleh orang yang mendengarkannya (Northen J. dan Downs H., 1991)..

Faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus

1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian

2. Infeksi intrauterin

3. Abnormalitas pada kraniofasial

4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar

(20)

antibiotik tersebut dengan obat golongan

loop diuretic

6. Meningitis bakteri

7. Apgar skor < 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau

apgar skor < 6 pada menit kelima.

8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.

9. Berat lahir < 1500 gram

10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.

Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi

untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan

pendengaran, akan tetapi dilapangan ditemukan bahwa 50% neonatus dengan

gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu

direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh

neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.

2.7. Faktor penyebab ketulian pada neonatus

Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal dari genetik maupun didapat:

2.7.1 Faktor genetik

Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungin bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh: Hunter’s syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal serind dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).

2.7.2 Faktor didapat (aquired) Dapat disebabkan oleh :

1. Infeksi

(21)

akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan Toksoplasma kongenital 10%-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%. Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera menunjukan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus konegenital mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukan adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses patologis yang terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum dapat dipastikan.

2. Obat ototoksik

Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin (pada pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin, golongan diuretika: furosemide.

Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan produksi bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat). (Huang et all, 2004)

3. Trauma

Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi osikular, trauma suara.

4. Neoplasma

Tumor yang sering terjadi seperti

1. Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromato),

(22)

5. Hiperbilirubinemia

Definisi :

Neonatal hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana kadar bilirubin total > 5mg/dl

(86µmol/L). Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus. Ikterus

neonatorum adalah keadaan klinis ada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus

pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.

Secara klinis ikterus mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7

mg/dl, bila kurang dari itu maka tidak akan tampak secara klinis. Neonatus aterm

rata-rata memiliki konsentrasi bilirubin serum puncak 5-6 mg/dl (86-103 µmol/L)

pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi pada kadar

bilirubin diatas ambang ini (7-17 mg/dl).

Konsentrasi bilirubin serum

≥17 mg/dl pada bayi aterm tidak lagi dianggap fisiologis

dan biasanya dapat kita temukan penyebab ikterus patologis pada bayi-bayi ini.

Penyebab terbanyak ikterus neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin indirek.

Bilirubin indirek inilah yang bersifat neurotoksik bagi bayi.(Marthin CR,Cloherty J,P,

2004)

Etiologi

Hiperbilirubinemia (indirek) dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.

Etiologi terjadinya hiperbilirubinemia:

1. Etiologi yang sering:

a. Hiperbilirubinemia fisiologis

b. Inkompatibilitas galongan darah ABO dan Rhesus

c.

Breast milk jaundice

d. Infeksi

e. Hematom subdural/sefalhematoma, ekimosis,hemangioma

f. Bayi dari ibu diabetes mellitus

g. Polisitemia/hiperviskositas

2. Etiologi yang lebih jarang:

a. Defisiensi G6PD

(23)

e.

Crigler-Najjar disease

f. Hipotiroidisme

g. Hemoglobinopati

Pengaruh hiperbilirubinemia terhadap gangguan pendengaran

Kekhawatiran utama akibat hiperbilirubinemia yang berlebihan adalah potensi efek neurotoksiknya, walaupun dapat juga terjadi jejas pada sel-sel lainnya. Hal ini masih merupakan masalah yang signifikan meskipun telah ada kemajuan-kemajuan dalam perawatan neonatus ikterik (hiperbilirubinemia).

Kepustakaan lain menjelaskan bahwa hiperbilirubinemia berat dan tidak ditangani pada masa neonatal akan menyebabkan kadar bilirubin yang tinggi dan bersifat toksik pada perkembangan bayi. Pada bayi aterm, gejala hiperbilirubinemia adalah anak lemah dan malas minum yang akan berlanjut menjadi choreoathetoid cerebral palsy, retardasi mental, tuli sensorineural dan gaze paresis.

Terdapat bukti-bukti bahwa peningkatan kadar bilirubin yang moderat sekalipun tetap akan membuat bayi lebih memiliki risiko memiliki kelainan-kelainan kognitif, persepsi, motorik dan auditorik. Penelitian-penelitian prospektif terkontrol telah mengungkapkan adanya gangguan neurologis dan kognitif pada anak-anak yang mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada masa bayinya. Penelitian-penelitian statistik yang luas pada bayi-bayi aterm sehat, seperti yang dilaporkan the National Collaborative Perinatal Project, telah mendeteksi adanya hubungan antara hiperbilirubinemia dalam kadar ‘rendah’ yang biasanya tidak diterapi dengan sequele neurologis dan motorik ringan. Penelitan-penelitian klinis dan patologis yang lebih baru lagi telah membuktikan bahwa kadar biliribun yang dahulu dianggap aman ternyata membahayakan. Hiperbilirubinema derajat sedang pada neonatus aterm yang sehat mungkin tidak aman untuk otaknya.

(24)

Bilirubin non-toksik dikatalisis oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, sebuah antioksidan alami pada kadar rendah, namun menjadi neurotoksik pada kadar tinggi. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat nonpolar, tidak larut dalam air dan terikat pada albumin serum, maka hanya ada sedikit bilirubin tidak terkonjugasi dalam bentuk tidak terikat atau bilirubin tidak terkonjugasi ‘bebas’ (Bf), namun justru Bf inilah yang bebas masuk dalam otak, cairan serebrospinal,dan bertanggungjawab pada neurotoksisitasnya. Bf mudah melewati sawar darah otak, namun bilirubin yang terikat pada albumin tidak dapat memasuki otak kecuali bila ada gangguan sawar darah otak, kemudian akan dihasilkan pewarnaan kuning yang luas. Pada kondisi toksik, bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak terikat atau Bƒ-lah (bilirubin indirek) yang ada dalam otak, bukan bilirubin yang terikat pada albumin.

Bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh sel-sel hepar, dikonjugasi dengan glukoronida oleh UDPGT (UDP-glucoronosyltransferase) menjadi bilirubin terkonjugasi yang nontoksik, larut dalam air dan diekskresikan dalam empedu. Meskipun bilirubin terkonjugasi tidak neurotoksik, tetapi terikat pada albumin dan berkompetisi dengan bilirubin tak terkonjugasi untuk lokasi ikatan dengan albumin. Bilirubin terkonjugasi dieliminasi dalam feses namun juga dipecah dalam usus oleh bakteri menjadi bilirubin tak terkonjugasi, yang kemudian diserap kembali dalam aliran darah, inilah yang kita sebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Bilirubin mempengaruhi fungsi mitokondria dengan menghambat kerja enzim-enzim mitokondrial, menggangu sintesis DNA, menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesi protein, memecah fosforilasi oksidatif dan menghambat uptake tyrosine (suatu ‘marker’ untuk transmisi sinaptik). Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid membentuk presipitat yang melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari penelitian-penelitian dengan menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada sistem saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia.

(25)

neuron penting, seperti: pelepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi ion yang diatur oleh kalsium serta dinamika neuroskeletal.

Dalam otak kerentanan terhadap efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel, kematangan otak dan metabolisme otak. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah otak seperti: infeksi/sepsis, asidosis, hipoksia, hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas dapat mempengaruhi masuknya bilirubin kedalam otak.

(26)

Hiperbilirubinemia dalam darah

Bilirubin ekstraseluler

Ikatan antara bilirubin anion dengan fosolipid (dan gangliosida) pada

membran plasma neuron

Bilirubin anion masuk kedalam sel

ikatan antara bilirubin anion

Pembentukan asam bilirubin

Agregasi dan presipitasi

dengan fosfolipid pada membran asam bilirubin mitokondria, reticulum endoplasma

dan nukleus

Kerusakan membran plasma

Pembentukan asam bilirubin

Kematian sel neuron

Gambar 2.4 Jalur bilirubin dalam darah

(Santoso 2010)

Patofisiologi

Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan

umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (Inkompatibilitas golongan

darah dan Rh, defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisitemia,

(27)

Penurunan konjugasi Bilirubin: prematuritas, ASI , defek kongenital yang jarang.

Peningkatan Reabsorpsi Bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang

terlambat, obstruksi saluran cerna.

Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi intrauterin, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik,

atresia biliaris, fibrosis kistik.

Neonatal jaundice fisiologis dapat terjadi dari hasil simultan dari 2 fenomena berikut:

1. Bilirubin produksi meningkat karena kerusakan peningkatan eritrosit janin. Ini adalah

hasil dari jangka hidup singkat dari eritrosit janin dan massa eritrosit lebih tinggi pada

neonatus.

2. Hati kapasitas ekskretoris rendah baik karena konsentrasi rendah dari ligandin protein

mengikat dalam hepatosit dan karena rendahnya aktivitas transferase glucuronyl, enzim

bertanggung jawab untuk bilirubin mengikat asam glukuronat, sehingga membuat air

bilirubin larut (konjugasi).

Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme hem

dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin,

tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi. Pada langkah oksidasi

pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase, tingkat membatasi

langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon monoksida. Sedangkan karbon

monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk

mengukur produksi bilirubin.

Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena ikatan

hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang paling umum nya (bilirubin IXα Z, Z). Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran

fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin peningkatan albumin postnatal dengan usia

dan berkurang pada bayi yang sakit.

Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga

mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak

terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu melintasi

lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang menyebabkan

neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati plasenta, tampaknya

(28)

Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana bisa mengikat

ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin

meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa

minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian

agen farmakologis seperti fenobarbital.

Bilirubin terikat dengan asam glukuronat (terkonjugasi) dalam retikulum endoplasma

hepatosit dalam reaksi dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).

Monoconjugates terbentuk pertama dan mendominasi pada bayi baru lahir. Diconjugates

tampaknya terbentuk pada membran sel dan mungkin memerlukan kehadiran tetramer

UDPGT.

Konjugasi bilirubin secara biologis penting karena mengubah molekul air yang tidak

larut bilirubin menjadi molekul yang larut dalam air. Air kelarutan bilirubin terkonjugasi

memungkinkan untuk dibuang ke dalam empedu. Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi

meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan

tertentu (fenobarbital, deksametason, clofibrate) dapat diberikan untuk meningkatkan

aktivitas UDPGT.

Bayi yang memiliki sindrom Gilbert atau senyawa yang heterozigot untuk promotor

Gilbert dan mutasi struktural daerah pengkode UDPGT1A1 berada pada peningkatan risiko

hiperbilirubinemia signifikan. Interaksi antara genotipe Gilbert dan anemia hemolitik seperti

glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan, sferositosis herediter, atau

penyakit hemolitik ABO juga tampaknya meningkatkan risiko penyakit kuning neonatal

parah.(Hansen TW,Nietsch L,Norman E et all 2009)

Selanjutnya, pengamatan penyakit kuning pada beberapa bayi dengan stenosis

pilorus hipertropi juga mungkin terkait dengan varian Gilbert-jenis. Genetik polimorfisme

untuk protein transporter anion organik OATP-2 berkorelasi dengan risiko 3 kali lipat untuk

mengembangkan ikterus neonatal ditandai. Kombinasi polimorfisme OATP-2 gen dengan

gen UDPGT1A1 varian selanjutnya akan meningkatkan risiko ini menjadi 22 kali lipat. Studi

juga menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen untuk glutathione-S-transferase (ligandin)

dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dari bilirubin total serum.

Genetik. faktor genetik yang terlibat dalam patogenesis hiperbilirubinemia neonatal. Dalam

studi kasus kontrol nested, kami menentukan 1) frekuensi timin-adenin (TA) n polimorfisme

promotor dan mutasi Gly71Arg di uridin diphosphoglucuronate-glucuronosyltransferase 1A1

(UGT1A1) gen pada neonatus> atau = 35-minggu usia kehamilan yang mengalami tingkat

(29)

glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) mutasi gen, dan puncak bilirubin. Terdapat kaitan genetis

antara difosfat uridin-glucuronosyltransferase1A1 (UGT1A1) Gly71Arg, UGT1A1 promotor

TATA-box dan mutasi gen glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dalam pengembangan

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi neonatal.

Dengan demikian, beberapa variasi antarindividu dalam kegiatan dan tingkat

keparahan penyakit kuning neonatal dapat dijelaskan secara genetik. Sebagai dampak dari

varian genetik lebih sepenuhnya dipahami, pengembangan panel tes genetik untuk risiko

penyakit kuning neonatal berat atau berkepanjangan dapat menjadi wajar.

Setelah diekskresikan ke dalam empedu dan ditransfer ke usus, bilirubin ini akhirnya

dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh mikroba dalam usus besar. Namun,

beberapa deconjugation terjadi di usus kecil proksimal melalui aksi B-glucuronidases

terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam

sirkulasi, meningkatkan kolam plasma bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi,

deconjugation, dan reabsorpsi disebut ‘enterohepatik sirkulasi. Proses ini mungkin meluas

pada masa neonatus, sebagian karena asupan gizi terbatas pada hari-hari pertama

kehidupan, memperpanjang waktu transit di usus.(Keren R,et all,. A 2009)

Pada ibu yang sedang mengalami kesulitan dengan pembentukan ASI, cairan dan

asupan gizi yang tidak memadai sering menyebabkan penurunan berat badan yang

signifikan setelah melahirkan pada bayi. Bayi tersebut memiliki peningkatan risiko penyakit

kuning berkembang melalui sirkulasi enterohepatik meningkat, seperti dijelaskan di atas.

Fenomena ini sering disebut sebagai penyakit kuning dan menyusui ini berbeda dengan

penyakit kuning ASI dijelaskan di bawah.

Faktor-faktor tertentu hadir dalam ASI dari beberapa ibu juga dapat menyebabkan

sirkulasi enterohepatik bilirubin meningkat (ASI jaundice). β-glukuronidase mungkin memainkan peran dengan uncoupling bilirubin dari ikatannya dengan asam glukuronat,

sehingga membuatnya tersedia untuk reabsorpsi. Data menunjukkan bahwa risiko penyakit

kuning ASI secara signifikan meningkat pada bayi yang memiliki polimorfisme genetik pada

urutan coding dari UDPGT1A1 atau OATP2 gen. Meskipun mekanisme yang menyebabkan

fenomena ini belum disepakati, bukti menunjukkan bahwa suplementasi dengan pengganti

ASI tertentu dapat mengurangi tingkat penyakit kuning ASI (Maisels M.J et all 2009).

Ikterus neonatal, meskipun fenomena transisi normal di sebagian besar bayi,

kadang-kadang dapat menjadi lebih jelas. Golongan darah yang tidak kompatibel (misalnya, Rh,

ABO) dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui hemolisis meningkat. Secara historis,

(30)

mengakibatkan perkembangan kernikterus. Meskipun kondisi ini telah menjadi relatif jarang

terjadi di negara-negara industri setelah penggunaan profilaksis Rh di Rh-negatif,

isoimunisasi Rh tetap umum di negara berkembang.

Gangguan hemolitik nonimmune (sferositosis, G-6-PD kekurangan) juga dapat

menyebabkan penyakit kuning meningkat, dan peningkatan hemolisis tampaknya telah hadir

di beberapa bayi dilaporkan telah dikembangkan kernikterus di Jepang pada 10-15 tahun

terakhir. Interaksi yang mungkin antara kondisi tersebut dan varian genetik dari Gilbert dan

UDPGT1A1 gen, serta varian genetik dari beberapa protein lain dan enzim yang terlibat

dalam metabolisme bilirubin, penemuan ini juga menyoroti tantangan yang terlibat dalam

penggunaan umum dari penyakit kuning segi fisiologis dan ikterus patologis. Meskipun

penyakit kuning fisiologis merupakan konsep membantu dari perspektif didaktis,

menerapkannya pada sebuah neonatus dengan penyakit kuning yang sebenarnya lebih

sulit.( Yamamoto A 2009)

Perhatikan metafora berikut: Pikirkan bilirubin serum total ikterus neonatal sebagai

gunung tertutup oleh gletser. Jika pengukuran ketinggian gunung tersebut diambil ketika

berdiri di puncak, jumlah batu dan jumlah es yang terdiri dari pengukuran ini tidak jelas. Hal

yang sama berlaku bagi banyak bilirubin total nilai serum yang diperoleh dalam ikterus

neonatal. Sebuah fondasi proses fisiologis dan proses patologis (misalnya, ketidakcocokan

rhesus) dengan jelas dapat berkontribusi untuk pengukuran. Namun, berapa banyak dari

total nilai terukur berasal dari masing-masing komponen tidak jelas. Juga, karena varian

genetik dalam metabolisme bilirubin hanya sangat dikejar dalam diagnostik kerja-up bayi

dengan penyakit kuning, mungkin kontribusi mereka terhadap bilirubin serum total yang

diukur biasanya tidak diketahui.

Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa infeksi saluran kencing (ISK)

ditemukan pada 7,5% asimtomatik, afebris, pada bayi kuning usia kurang 8 minggu. Selain

itu, bayi dengan timbulnya ikterus setelah 8 hari usia atau pasien dengan fraksi bilirubin

terkonjugasi tinggi lebih mungkin untuk memiliki sebuah ISK. Oleh karena itu, disarankan

pengujian untuk ISK dimasukkan sebagai bagian dari evaluasi dalam asimtomatik, bayi

kuning yang datang ke gawat darurat.(Omar C,Hamza s bassem AM, Mariam R 2011)

c. Epidemiologi

Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru lahir

mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 umol / L (1,8 mg / dL)

selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk membandingkan karena

(31)

hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi yang

akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit kuning oleh penyedia layanan

kesehatan, yang sangat bervariasi dan tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada

karakteristik bayi seperti ras dan usia kehamilan. Penelitian epidemiologi memberikan suatu

kerangka acuan untuk kejadian diperkirakan. Pada tahun 1986, Maisels dan Gifford

dilaporkan 6,1% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 220 umol / L (12,9 mg / dL).

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total

serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi direkomendasikan oleh tahun 1994

American Academy of Pediatrics (AAP) pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di

mana tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.

Sebuah studi dari Turki melaporkan penyakit kuning yang signifikan dalam 10,5% bayi

yang panjang dan dalam 25,3% dari jangka dekat bayi. Penyakit kuning yang signifikan

didefinisikan menurut umur kehamilan dan pasca kelahiran dan mendatar pada 14 mg / dL

(240 umol / L) pada 4 hari pada bayi prematur dan 17 mg / dL (290 umol / L) pada bayi

panjang.

Studi ini tampaknya menunjukkan bahwa beberapa variabilitas etnis dalam kejadian

dan tingkat keparahan penyakit kuning neonatal mungkin berhubungan dengan perbedaan

dalam distribusi varian genetik dalam metabolisme bilirubin. (Riskin A, Tamir A,kuglelman A

, 2009)

.

Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat. Kematian dari

neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi. Kematian dari kernikterus dapat

terjadi, terutama di negara-negara kurang berkembang sistem perawatan medis. Dalam

sebuah penelitian kecil dari pedesaan Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki

G-6-PD kekurangan, dan 36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan

kernikterus diduga dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal

skrining hasil tes.

Kemungkinan dampak polimorfisme genetik pada variasi etnis dalam insiden dan keparahan

harus diakui. Dengan demikian, dalam studi bayi Taiwan, Huang dkk melaporkan bahwa

neonatus yang membawa 211 dan 388 varian dalam UGT1A1 dan OATP2 gen dan yang

disusui beresiko sangat tinggi untuk hiperbilirubinemia parah. (Sun LL et all 2012)

Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada bayi

(32)

bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal signifikan berbanding terbalik dengan usia

kehamilan. (Sun G ,wu M, cao J,Du L, 2007)

d. Penyebab

Ikterus fisiologis disebabkan oleh kombinasi produksi bilirubin meningkat sekunder

terhadap kerusakan percepatan eritrosit, penurunan kapasitas ekskretoris sekunder

rendahnya tingkat ligandin dalam hepatosit, dan aktivitas rendah dari uridin enzim bilirubin

konjugasi diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT).

Ikterus neonatus patologis terjadi bila faktor tambahan menemani mekanisme dasar

yang dijelaskan di atas. Contohnya termasuk anemia hemolitik imun atau nonimmune,

polisitemia, dan adanya ekstravasasi memar atau darah.

Penurunan bilirubin mungkin memainkan peran dalam penyakit kuning menyusui,

penyakit kuning ASI, dan dalam beberapa metabolik dan gangguan endokrin.

e. Faktor risiko meliputi:

1. Ras: Insiden lebih tinggi di Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah di Afrika

Amerika.

2. Geografi: Insiden lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Yunani yang

hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada mereka yang tinggal di luar

Yunani.

3. Genetika dan keluarga: Insiden lebih tinggi pada bayi dengan saudara kandung yang

menderita sakit kuning neonatal signifikan dan terutama pada bayi yang lebih tua

saudara dirawat karena penyakit kuning neonatal. Insiden juga lebih tinggi pada bayi

dengan mutasi / polimorfisme pada gen yang kode untuk enzim dan protein yang terlibat

dalam metabolisme bilirubin, dan pada bayi dengan homozigot atau heterozigot

glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan dan anemia hemolitik herediter .

Kombinasi varian genetik seperti tampaknya memperburuk penyakit kuning neonatal

4. Gizi: Insiden lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI atau yang menerima nutrisi yang

tidak memadai. Mekanisme untuk fenomena ini mungkin tidak sepenuhnya dipahami.

Namun, ketika volume makan yang tidak memadai yang terlibat, peningkatan sirkulasi

enterohepatik bilirubin mungkin memberikan kontribusi untuk penyakit kuning yang

berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa payudara sakit kuning susu

berkorelasi dengan kadar faktor pertumbuhan epidermal, baik dalam ASI dan dalam

serum bayi. Menunjukkan bahwa perbedaan antara ASI dan susu formula bayi mungkin

kurang jelas dengan beberapa rumus yang modern . Namun, formula yang mengandung

(33)

5. Faktor ibu: Bayi dari ibu dengan diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi.

Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan kejadian, sedangkan yang lain

menurunkan kejadian.

6. Usia kehamilan dan berat lahir: Insiden lebih tinggi pada bayi prematur dan pada bayi

dengan berat lahir rendah.(Maisels et al,2009)

i . Manifestasi Klinis

 Kulit, mukosa dan konjungtiva kuning.

 Biasanya, presentasi adalah pada hari kedua atau ketiga kehidupan. Penyakit kuning yang terlihat selama 24 jam pertama kehidupan mungkin akan

nonphysiologic; evaluasi lebih lanjut disarankan.

 Bayi dengan penyakit kuning setelah 3-4 hari hidup juga mungkin memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan pemantauan.

 Pada bayi dengan penyakit kuning yang parah atau penyakit kuning yang terus di luar 1-2 minggu pertama kehidupan, hasil dari layar metabolik baru lahir harus diperiksa untuk

hipotiroidisme galaktosemia dan kongenital, riwayat keluarga harus dieksplorasi lebih

lanjut, sejalan dengan berat badan bayi yang dievaluasi, tayangan ibu sejauh kecukupan

ASI harus diperoleh, dan warna tinja harus dinilai.

 Riwayat keluarga

 Sebelumnya saudara kandung dengan penyakit kuning pada periode neonatal, pengobatan terutama jika penyakit kuning diperlukan

 Anggota keluarga dengan penyakit kuning atau sejarah keluarga yang dikenal sindrom Gilbert

 Anemia, splenektomi, atau batu empedu pada anggota keluarga atau faktor keturunan dikenal untuk gangguan hemolitik

 Penyakit hati

 Riwayat kehamilan dan persalinan:

 penyakit sugestif dari infeksi virus atau lainnya

 asupan obat ibu

 tertundanya pengikatan plasenta

(34)

 Riwayat Postnatal

 Kehilangan warna tinja

 Gangguan imaturitas saluran cerna

 Menyusui

 Penurunan berat badan kurang rata-rata

 Gejala atau tanda-tanda hipotiroidisme

 Gejala atau tanda-tanda penyakit metabolik (misalnya, galaktosemia)

 Paparan gizi orangtua (HutahaenB, 2007)

Pemeriksaan Fisik

Ikterus neonatal pertama akan terlihat dalam wajah dan dahi. Identifikasi dibantu oleh

tekanan pada kulit, karena blansing mengungkapkan warna yang mendasarinya.

Penyakit kuning kemudian secara bertahap menjadi terlihat pada badan dan

ekstremitas. Perkembangan kuning secara cephalocaudal harus dengan baik dijelaskan.

Penyakit kuning menghilang ke arah yang berlawanan. Penjelasan untuk fenomena ini tidak

dipahami dengan baik, namun kedua perubahan bilirubin-albumin mengikat berkaitan

dengan pH dan perbedaan suhu kulit dan aliran darah telah diusulkan.

Fenomena ini secara klinis berguna karena, independen dari faktor lainnya, penyakit

kuning terlihat di ekstremitas bawah sangat menunjukkan kebutuhan untuk memeriksa

tingkat bilirubin, baik dalam serum atau noninvasively melalui bilirubinometry transkutan.

Pada sebagian besar bayi, warna kuning ditemukan hanya pada pemeriksaan fisik.

Penyakit kuning lebih intens mungkin berhubungan dengan kantuk. Batang otak

pendengaran ang membangkitkan potensi dilakukan saat ini dapat mengungkapkan

perpanjangan latency, penurunan amplitudo, atau keduanya.(Stevenson DK, Wong

RJ,Vreman HJ, et all, 2004)

Temuan neurologis, seperti perubahan dalam otot, kejang, atau menangis karakteristik

berubah, pada bayi secara signifikan kuning adalah tanda-tanda bahaya dan membutuhkan

perhatian segera untuk mencegah kernikterus. Dengan adanya gejala atau tanda-tanda,

fototerapi yang efektif harus dimulai segera tanpa menunggu hasil uji laboratorium

(Hutahaen B 2007).

Kebutuhan potensial untuk transfusi tukar tidak harus menghalangi inisiasi langsung dari

(35)

Hepatosplenomegali, petechiae, mikrosefali mungkin berhubungan dengan anemia

hemolitik, sepsis, dan infeksi bawaan dan harus memicu evaluasi diagnostik diarahkan

diagnosa ini. Ikterus neonatal dapat diperburuk dalam situasi ini.

 Diagnosis

 Anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infeksi

maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia.

 Pemeriksaan fisik :

1. Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)

2. Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan

(36)

Berdasarkan Kramer dibagi :

Derajat ikterus Daerah ikterus

Perkiraan kadar bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

II

Sampai badan atas (di atas

umbilikus) 9,0 mg%

III

Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga

tungkai atas (di atas lutut) 11,4 mg/dl

IV

Sampai lengan, tungkai

bawah lutut 12,4 mg/dl

V

Sampai telapak tangan dan

kaki 16,0 mg/dl

 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium: kadar bilirubin, golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan

anak, darah rutin, hapusan darah, Coomb tes, kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga

dengan defisiensi enzim G6

Pengukuran Bilirubin termasuk yang berikut:

PD).

1. Bilirubinometry transkutan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat genggam

yang menggabungkan algoritma optik canggih. Penggunaan perangkat tersebut telah

terbukti mengurangi kebutuhan untuk pengambilan sampel darah pada bayi dengan

ikterus. Namun, tidak dapat digunakan untuk memantau kemajuan fototerapi.

2. Bilirubinometry transkutan lebih baik dari penilaian visual. Yang terakhir ini bukanlah

teknik yang dapat diandalkan untuk memperkirakan tingkat bilirubin, tetapi tidak adanya

penyakit kuning sebagaimana dinilai oleh mata dalam kondisi pencahayaan yang baik

memiliki keakuratan yang cukup tinggi sejauh yang memprediksi bayi mana yang

(37)

3. Pada bayi dengan ikterus ringan, bilirubinometri transkutan mungkin diperlukan untuk

memastikan bahwa tingkat bilirubin total dengan aman di bawah yang membutuhkan

intervensi.

4. Pada bayi dengan ikterus moderat, bilirubinometry transkutan mungkin berguna dalam

memilih pasien yang memerlukan proses mengeluarkan darah atau pengambilan sampel

darah kapiler untuk pengukuran bilirubin serum.

5. Pada bayi dengan penyakit kuning yang ekstrim, bilirubinometry transkutan dapat

menjadi alat yang berguna untuk jalur cepat seperti bayi terhadap terapi yang cepat dan

agresif.

6. Biasanya, tes serum total kadar bilirubin adalah satu-satunya diperlukan pada bayi

dengan penyakit kuning moderat yang menyajikan pada hari kedua atau ketiga khas

hidup tanpa sejarah dan temuan fisik sugestif dari proses patologis. Pengukuran fraksi

bilirubin (terkonjugasi vs tak terkonjugasi) dalam serum biasanya tidak diperlukan pada

bayi yang hadir seperti dijelaskan di atas. Namun, pada bayi yang memiliki

hepatosplenomegali, petekia, trombositopenia, atau temuan lainnya sugestif penyakit

hepatobiliari, gangguan metabolisme, atau infeksi bawaan, pengukuran awal fraksi

bilirubin disarankan. Hal yang sama berlaku untuk bayi yang tetap kuning di luar 7-10

hari pertama kehidupan, dan untuk bayi dengan total bilirubin serum

pengobatan.(Slusher TM et all, 2009)

 Pemeriksaan tambahan dapat diindikasikan dalam situasi berikut:

 Bayi dengan penyakit kuning pada hari pertama atau setelah hari ketiga kehidupan

 Bayi yang mengalami anemia saat kelahiran

 Bayi sakit

 Tingkat bilirubin serum yang meningkat cukup untuk memicu pengobatan

 Kuning yang signifikan tetap ada setelah 2 minggu pertama kehidupan

 Riwayat keluarga, ibu, kehamilan, menunjukkan kemungkinan proses patologis

 Pemeriksaan fisik mengungkapkan temuan bukan faktor hiperbilirubinemia fisiologis sederhana

q . Selain jumlah kadar bilirubin serum, pemeriksaan lain yang

dianjurkan bila curiga kuning non patologis:

(38)

 Direct antiglobulin test (DAT) pada bayi (Coombs test)

 Hemoglobin dan hematokrit

 Tingkat albumin serum: menjadi tambahan yang berguna dalam mengevaluasi risiko tingkat toksisitas karena albumin mengikat bilirubin dalam perbandingan 1:1 di lokasi

tinggi afinitas utama mengikat.

 Nomogram for hour-specific bilirubin values: alat yang berguna untuk memprediksi, baik sebelum atau saat keluar rumah sakit, bayi yang berpotensi nilai bilirubin tinggi. Bayi

diidentifikasi dengan cara ini memerlukan pemantauan ketat tindak lanjut dan diulang

bilirubin pengukuran. Kemampuan prediksi telah terbukti baik untuk nilai bilirubin diukur

dalam serum dan untuk nilai-nilai diukur transcutaneously. Nomogram ini juga telah

terbukti bekerja dengan baik untuk DAT-positif bayi dengan ketidakcocokan AB0. Hasil

DAT tes positif tidak menambahkan nilai apapun kepada manajemen klinis bayi ini di

luar yang sudah diperoleh nilai bilirubin jam khusus diplot ke nomogram.

 Pengukuran end-tidal carbon monoxide dalam napas: End-tidal carbon monoxide in breath (ETCO) dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. Pengukuran ETCO

dapat membantu dalam mengidentifikasi individu dengan produksi bilirubin meningkat

dan dengan demikian, pada peningkatan risiko mengembangkan tingkat tinggi bilirubin.

Aparat telah dikembangkan untuk mengukur ETCO simple (CO-Stat End Tidal Breath

Analyzer; Natus Medical Inc).

 Darah tepi untuk morfologi eritrosit

 Jumlah Retikulosit

 Nilai Konjugasi bilirubin : Mengukur fraksi bilirubin dapat diindikasikan dalam keadaan dijelaskan di atas. Perhatikan bahwa pengukuran bilirubin langsung sering tidak akurat,

tunduk pada variasi antar laboratorium dan intralaboratory signifikan, dan umumnya

bukan alat sensitif untuk mendiagnosis kolestasis kecuali pengukuran ulang

mengkonfirmasi adanya bilirubin terkonjugasi tinggi.

 Tes fungsi hati: Aspartate aminotransferase (ASAT atau SGOT) dan alanin aminotransferase (ALAT atau SGPT) tingkat yang meningkat pada penyakit hepatoselular. Fosfatase alkalin dan γ-glutamyltransferase (GGT) tingkat sering meningkat pada penyakit kolestasis. Sebuah rasio γ-GT/ALAT lebih dari 1 adalah sangat sugestif dari obstruksi bilier. Namun, tidak membedakan antara kolestasis intrahepatik

dan ekstrahepatik.

 Tes untuk mencari infeksi virus atau parasit: diindikasikan pada bayi dengan hepatosplenomegali, petechiae, trombositopenia, atau bukti lain dari penyakit

hepatoseluler.

(39)

 Pengukuran gas darah: Risiko toksisitas SSP bilirubin meningkat pada asidosis, asidosis terutama pernapasan.

 Bilirubin-binding test: Meski merupakan alat penelitian yang menarik, tetapi tes ini belum digunakan secara luas dalam praktek klinis. Meskipun peningkatan kadar terikat

(“gratis”) bilirubin berhubungan dengan peningkatan risiko ensefalopati bilirubin, bilirubin

terikat hanyalah salah satu dari beberapa faktor yang menengahi / memodulasi

toksisitas bilirubin.(Fransisco J, Gracia,Alan L nager, 2008)

 Fungsi tiroid (T3, danT4, f T3 dan f T4)

r. Pemeriksaan Klinis :

Radiologis : foto polos abdomen

Ultrasonografi : Ultrasonografi dari saluran-saluran hati dan empedu diperlukan pada bayi dengan laboratorium atau tanda-tanda klinis penyakit kolestasis.

Radionuklida scanning : Scan hati radionuklida untuk penyerapan asam hepatoiminodiacetic (HIDA) diindikasikan jika atresia bilier ekstrahepatik diduga. Di

institusi penulis, pasien pra-perawatan dengan fenobarbital 5 d mg / kg / hari selama 3-4

hari sebelum melakukan scan.

Tes histologis

Organ tubuh, termasuk otak, berwarna kuning dengan penyakit kuning yang signifikan,

namun, warna kuning tidak selalu menunjukkan toksisitas SSP. Perbedaan ini tidak

selalu dipahami dengan jelas dalam deskripsi “low-bilirubin kernicterus.”Saat ini, telah

membuat kebingungan dan ketidakpastian mengenai pedoman terapi dan tingkat

intervensi.

s. Diagnosis Banding

 Biliary Atresia

 Breast Milk Jaundice

 Cholestasis

 Cytomegalovirus Infection

 Dubin-Johnson Syndrome

 Duodenal Atresia

 Galactose-1-Phosphate Uridyltransferase Deficiency (Galactosemia)

 Hemolytic Disease of Newborn

 Hepatitis B

(40)

t. Komplikasi

Ensefalopati hiperbilirubinemia (bisa terjadi kejang, malas minum, letargi dan dapat

berakibat pada gangguan pendengaran, palsi serebralis) karena adanya peningkatan kadar bilirubin indirek serum (BIS). Secara umum seorang bayi dianggap ’bermasalah’ bila kadar BIS ≥10 mg/dL, umumnya dapat ditemukan penyebab ikterus patologis pada bayi baru lahir. Bilirubin merupakan masalah pada bayi karena bersifat neurotoksik (toksisitas bilirubin), selanjutnya dapat berkembang menjadi ensefalopati bilirubin(Alfhors.CE, Parker AE 2008)

Kernicterus

Sebuah penelitian terhadap kasus-kasus kern-icterus klasik di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, serta laporan-laporan terbaru tentang neuropati auditorik akibat hiperbilirubinemia tanpa tanda-tanda kern-icterus klasik yang lain, menggaris bawahi perlunya ‘model-model’ untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana ikterus terjadi pada 60% bayi baru lahir dan menyebabkan kerusakan otak permanen. Hal ini penting karena dengan pemahaman yang lebih baik kita akan dapat mencegah kerusakan tersebut.

Pada dasarnya ensefalopati bilirubin merupakan suatu diagnosis secara patologi anatomi, dimana ditemukan pengendapan bilirubin pada otak dan sering berakibat kerusakan neuron yang permanen. Bayi dengan keadaan ini mempunyai risiko mengalami kematian, atau jika dapat bertahan hidup akan mengalami GPN dikemudian hari BIS telah dibuktikan secara invitro dan invivo dalam konsentrasi yang tinggi secara difusi dapat melewati sawar darah otak (SDO 6,9,12 Vohr dalam penelitiannya mendapatkan bahwa bayi dengan kadar BTS puncak rata-

(41)

menyimpulkan mengalami yang hiperbilirubinemia neonatal mempunyai risiko mengalami gangguan perkembangan neurologis.

Kehilangan pendengaran bawaan menunjukkan bahwa gangguan pendengaran hadir saat lahir. Gangguan pendengaran dapat berupa disebabkan oleh faktor genetik dan mungkin turun-temurun dialam (baik sindromik atau nonsyndromic) atau karena faktor lain hadir baik dalam masa kehamilan atau pada saat kelahiran. Diperkirakan bahwa 80-90% anak dengan gangguan pendengaran permanen signifikan telah memiliki kerusakan sejak periode neonatal.

2.8. Penilaian dengan Emisi Otoakustik (OAE)

Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu spontaneus dan evoked OAE. Spontaneus OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki spontaneus OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE yang terjadi paska pemberian stimulus, dibedakan menjadi ;

(1)

Transient Evoked OAE (TEOAE)

(2)

Distortion Product OAE (DPOAE).

Uji emisi otoacoustik mengukur integritas telinga bagian dalam. Probe ringan dimasukkan ke dalam saluran telinga dan menghasilkan pita lebar "klik". Energi akustik yang dihasilkan oleh getaran sel-sel rambut luar koklea di dalam menanggapi klik tersebut, terdeteksi oleh mikrofon kecil di dalam probe. Hasil yang ditampilkan hasil Pass atau Refer. Dalam beberapa kasus dapat memberikan persentase numerik, dalam praktekya, total waktu rata-rata untuk pengujian. (Suwento 2008). Pada waktu melakukan pengujian dan merekam hasil, mungkin memakan waktu antara 1-20 menit.

Pemeriksaan emisi otoakustik dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga (probe) ke dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara. Mikrofon berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara, untuk mengurangi bising lingkungan (Suwentoet all, 2007).

(42)

2.8.1.Transient Evoked Otoacoustic Emissions

Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh rangsangan bunyi dengan menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone burst. Transient Evoked Otoacoustic Emissions merupakan emisi otoakustik yang pertama kali digunakan dalam klinik. Stimulus yang diberikan sekitar 60-80 dB SPL. Transient Evoked Otoacoustic Emissions menunjukkan kondisi beberapa bagian koklea dan sekaligus menilai status fungsi koklea pada tingkatan mendekati ambang stimulus.

2.8.2. Distortion Product Otoacoustic Emissions

Distortion Product Otoacoustic Emissions merupakan emisi sebagian respon dari dua rangsangan yang berbeda frekuensi. Stimulus terdiri dari dua bunyi murni pada dua frekuensi (f1, f2; f2>f1) dan dua level intensitas (L1, L2). Suatu rasio f1/f2 menghasilkan Distortion Product Otoacoustic Emissions terbesar pada 1,2 untuk frekuensi tinggi dan rendah pada 1,3 untuk frekuensi sedang. Untuk menghasilkan respon optimal, atur intensitasnya sehingga L1 menyamai atau melebihi L2. Penyesuaian 65/66 dB SPL L1-L2 adalah yang sering digunakan. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi dari Transient Evoked Otoacoustic Emissions. Distortion Product Otoacoustic Emissions dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat obat-obat ototoksik dan akibat pajanan suara bising.

2.8.3. Anatomi dan Fisiologi Dasar Emisi Otoakustik

Ketika bunyi dihasilkan sebagai suatu emisi, bunyi tersebut ditransmisikan melalui telinga luar dimana rangsangan suara diubah dari suatu sinyal akustik menjadi sinyal mekanis pada membran timpani dan ditransmisikan melalui tulang pendengaran telinga tengah, kemudian kaki tulang stapes bergerak pada jendela oval menyebabkan gelombang bergerak di dalam koklea berisi cairan. Gelombang yang bergerak di koklea menggerakkan membran basilar, setiap bagian membran basilar sensitif hanya pada jangkauan tertentu saja.

(43)

terhadap stimulus frekuensi rendah. Oleh karena itu, respon pertama yang dikembalikan dan direkam oleh mikrofon adalah bagian koklea frekuensi tertinggi karena jarak tempuhnya lebih pendek. Respon dari bagian frekuensi lebih rendah yang dekat apeks koklea sampai setelahnya.

Ketika membran basilar bergerak, sel-sel rambut ikut bergerak dan sebuah respon elektromekanik dihasilkan ketika sebuah sinyal aferen ditransmisikan dan sebuah sinyal eferen dikeluarkan. Sinyal eferen ditransmisikan kembali melalui jalur pendengaran dan sinyal tersebut diukur di kanal telinga luar (Campbell K. C. M., 2010).

Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAE)

Dikutip dari Buku Ajar THT-KL UI

2.8.4 Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:

a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan gangguan perkembangan

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu

c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran sensorineural

d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma.

(44)

Beberapa syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil emisi

otoakustik yang tepat adalah sebagai berikut :

a. Liang telinga luar tidak obstruksi

b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe c. Posisi yang optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah e. Sel rambut luar masih berfungsi f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang

Emisi otoakustik pada bayi baru lahir

Dikutip dari The Hearing Solution Goup

2.8.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja OAE

2.8.6.1. Nonpatologi

a. Kesalahan dalam memasang probe

b. Serumen yang menghalangi probe

c. Debris atau benda asing dalam telinga

d. Vernix caseosa pada neonatus

(45)

2.8.6.2. Patologi

a. Telinga luar seperti:

- stenosis

- otitis eksterna

- kista

b. Membran timpani seperti : adanya perforasi

c. Telinga tengah seperti :

- Tekanan telinga tengah yang abnormal

- Otosklerosis

- Disartikulasi telinga tengah

- Kista

- Otitis media

d. Koklea

- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising.

2.8.6.7. Hasil OAE

(46)

.

Dikutip dari Suwento 2007 UI

2.9. Penilaian BERA terhadap gangguan pendengaran

Bayi terlalu kecil bukan sebagai halangan untuk melakukan penilaian definitif gangguan pendengaran pada anak terhadap status fungsi telinga tengah dan sensitifitas koklea serta jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya gangguan pendenga

Gambar

Gambar 2.2. Membran Labirin
Gambar 2.3. Potongan Melintang Koklea
Gambar 2.3. Transmisi Suara
Tabel 3. Berdasarkan jenis kelamin dengan Bilirubin direk
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil statistik dengan uji chi square, tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara kelainan jantung dengan kejadian stroke iskemik pada penelitian

Dari hasil pengolahan analisis statistik chi – square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian stroke fase

uji statistik dengan chi square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kadar HbAlc dengan kejadian kandidiasis kutis pada pasien DM tipe 2.. penelitian-yang menyatakan

uji statistik dengan chi square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kadar HbAlc dengan kejadian kandidiasis kutis pada pasien DM tipe 2.. penelitian-yang menyatakan

Ikterus dapat diakibatkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan, imaturitas sistem konjugasi di hati, atau kelainan biliaris pada ekskresi bilirubin terkonjugasi.Semua faktor

Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar. albumin

Adam Malik Medan tahun 2011-2015, menggunakan desain case series dilanjutkan dengan analisa statistik menggunakan uji Chi Square, Fisher Exact, Kolmogorov-Smirnov

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan