• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat Keras Di Pasaran (Studi pada BPOM Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat Keras Di Pasaran (Studi pada BPOM Medan)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PEREDARAN OBAT KERAS DI PASARAN

(Studi pada BPOM Medan)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nova Liani Munthe 090200318

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PEREDARAN OBAT KERAS DI PASARAN

(Studi pada BPOM Medan)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nova Liani Munthe 090200318

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I

Muhammad Husni, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing II

Muhammad Siddik, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAKSI

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi bangsa di dunia untuk dapat diwujudkan. Demikian pentingnya masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, maka dikeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen (dikenal dengan UUPK). Terutama Perlindungan Konsumen dalam Bidang Kesehatan yang merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam memperoleh produk obat yang beredar di masyarakat, dimana produk obat yang beredar tersebut telah diawasi oleh suatu instansi yang dapat bertanggung jawab atas pengawas obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan obat, sehingga pelaku usaha yang beritikad baik untuk dapat mengedarkan obat tersebut harus mendaftarkan obat tersebut kepada BPOM.

Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimana fungsi BPOM dalam Perlindungan Hukum Konsumen. Kedua, bagaimana perlindungan konsumen terhadap pemakaian obat keras. Ketiga, upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan Konsumen Akibat dari Kerugian dalam penggunaan Obat Keras.

Penulis memperoleh data-data dan bahan-bahan mengenai permasalahan yang dibahas, penulis melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu memperoleh bahan-bahan melalui sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis sebagai data yang bersifat teoretis ilmiah atau data sekunder. Penulis juga melakukan penelitian yang bersifat empiris yaitu memperoleh data secara langsung dan melakukan studi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Aspek Perlindungan Konsumen terhadap Peredaran Obat Keras di Pasaran”.

Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari berbagai hambatan, namun berkat bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, dengan tulus hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dengan memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis, yaitu kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen

(5)

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I

7. Bapak Muhammad Siddik, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II

8. Para Dosen Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada Penulis selama masa perkuliahan

9. Kedua orang tua penulis, Saulian Munthe dan Afdiani Purba, serta saudara/i penulis atas segala perhatian, kasih sayang, dukungan dan doa-doa yang tidak henti diberikan kepada penulis.

10. Kepada Namboru penulis Alm. Fianna Yustina Siahaan, yang menjadi inspirasi bagi penulis karena almarhum adalah sosok perempuan yang kuat, tegar dan dapat melakukan apa pun dengan sendirinya menjadi contoh pribadi yang mandiri bagi penulis sendiri.

11. Keluarga Simangunsong sebagai keluarga angkat penulis Dewi Sari Indah Simangunsong, David Haryanto Simangunsong dan terkhusus buat kakakku tercinta S. Helen Simangunsong yang selalu senantiasa memberikan dukungan, semangat, nasihat, doa yang tidak henti-hentinya dan selalu membimbing penulis di saat patah semangat untuk melanjutkan kuliah, tidak bisa diucapkan dengan kata-kata, betapa penulis sangat berterima kasih kepada keluarga ini. Karena keluarga inilah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan bisa menjadi sarjana.

(6)

13. Sahabat penulis yang senantiasa membantu dalam proses penyusunan skripsi ini Milda Yuni Ardita, penulis mengucapkan terima kasih karena mau ikut dalam kesusahan penulis.

14. Teman-teman seperjuangan (Giovanni, Natasha, Natalia sinaga, Rahmi Pambpa, Enny, Yenny, Febri, Apul) atas dukungan yang diberikan kepada penulis. 15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah ikut

memberi bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan penulis dalam pengetahuan. Oleh karena itu penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun guna melengkapi skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Metode Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 16

A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 17 B. Latar Belakang Lahirnya Perlindungan Konsumen ... 23

C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 29

D. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 35

BAB III : GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN ... 40

A. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 40

1. Latar Belakang Terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 40

(8)

B. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pengawas

Obat dan Makanan (BPOM) ... 48

C. Peranan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui Kebijakan Obat Nasional ... 53

D. Pengawasan Terhadap Peredaran Obat di Sumatera Utara 63 BAB IV : ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN OBAT KERAS DI PASARAN ... 67

A. Kriteria Obat yang Dapat Didaftarkan pada BPOM ... 67

B. Fungsi BPOM dalam Perlindungan Hukum Konsumen ... 73

C. Perlindungan Konsumen Terhadap Pemakaian Obat Keras 77

D. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Konsumen Akibat dari Kerugian dalam Penggunaan Obat Keras ... 82

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93

(9)

ABSTRAKSI

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi bangsa di dunia untuk dapat diwujudkan. Demikian pentingnya masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, maka dikeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen (dikenal dengan UUPK). Terutama Perlindungan Konsumen dalam Bidang Kesehatan yang merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam memperoleh produk obat yang beredar di masyarakat, dimana produk obat yang beredar tersebut telah diawasi oleh suatu instansi yang dapat bertanggung jawab atas pengawas obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan obat, sehingga pelaku usaha yang beritikad baik untuk dapat mengedarkan obat tersebut harus mendaftarkan obat tersebut kepada BPOM.

Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimana fungsi BPOM dalam Perlindungan Hukum Konsumen. Kedua, bagaimana perlindungan konsumen terhadap pemakaian obat keras. Ketiga, upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan Konsumen Akibat dari Kerugian dalam penggunaan Obat Keras.

Penulis memperoleh data-data dan bahan-bahan mengenai permasalahan yang dibahas, penulis melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu memperoleh bahan-bahan melalui sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis sebagai data yang bersifat teoretis ilmiah atau data sekunder. Penulis juga melakukan penelitian yang bersifat empiris yaitu memperoleh data secara langsung dan melakukan studi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal terpenting yang diperlukan oleh tubuh manusia. Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauanya sangat luas dan kompleks. Selain itu, masyarakat Indonesia mempunyai tujuan untuk membangun manusia seutuhnya, yakni terpenuhinya seluruh kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan jasmani, dan rohani termasuk kesehatan. Untuk mencapai tujuan itu, maka segala kegiatan pembangunan yang dilakukan Negara ini harus trasparan, dan transparansi itu akan memacu setiap orang untuk bersaing secara sehat dan kuat dan akan memberikan begitu banyak tantangan, tantangan bagi konsumen,

produsen/pengusaha ataupun sebagai pemerintah.

(11)

WHO juga mempunyai pengertian tentang kesehatan yaitu sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan danbukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan.

Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, menurut perkembangan hukum internasional hak asasi manusia, pemenuhan kebutuhan hak atas kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah dalam setiap negara. Maka dari itu Pemerintah setiap negara berkewajiban memberikan hak kesehatan kepada rakyatnya seperti yang dijelaskan pada Pasal 14-20 UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Hal ini dikarenakan kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan manusia sehingga menjadi prioritas dalam pembangunan nasional suatu bangsa. Salah satu komponen kesehatan yang sangat penting adalah tersedianya obat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan masyarakat. Hal itu disebabkan karena obat digunakan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan atau memelihara kesehatan.

(12)

Penyediaan obat-obatan dari impor yang tinggi karena pada kenyataannya perlakuan pemerintah terhadap obat hampir sama terhadap barang mewah dengan adanya pajak pertambahan nilai 10%, bea masuk dan tarif 5%. Hal ini membuat obat-obatan sangat mahal ketika masyarakat golongan miskin membutuhkannya. Selain harga, permasalahan lainnya adalah ketersediaan obat relatif terbatas. Memang menjadi sehat dan tetap sehat adalah harapan kita bersama. Namun tidak selamanya harapan itu sesuai dengan kenyataan.

(13)

yang komposisinya bisa berdampak keras dan tidak tidak terdaftar pada BPOM. Masyarakat yang tak tahupun menjadi korbanya. Padahal belum tentu obat yang diedarkan itu benar dan tepat komposisinya. Dengan dipalsukan, biaya pengobatan dapat ditekan karena bahan aktif bisa saja dikurangi atau tidak

semestinya takarannya. Jelas ini sangat berbahaya bagi pasien atau pengguna obat merek tertentu.

Untuk menjamin komposisi obat yang benar dan tepat, maka industri farmasi harus melakukan seluruh aspek rangkaian kegiatan produksinya dengan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Pembuatan Obat tradisional yang Baik (CPOTB). CPOB dan CPOTB merupakan pedoman yang dibuat untuk memastikan agar sifat dan mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah ditentukan tercapai.

Dalam ketentuan umum, ada beberapa landasan yang penting untuk diperhatikan yaitu :

1. Pengawasan menyeluruh pada proses pembuatan obat untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi.

2. Mutu obat tergantung pada bahan awal, proses pembuatan dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan yang digunakan, dan personalia.

(14)

Zaman sekarang ini marak terjadinya peredaran obat illegal yang salah satunya contohnya yaitu peredaran obat yang belum mendapatkan izin edar dan berefek keras. Maraknya peredaran obat illegal di Indonesia membuktikan masih lemahnya pertahanan Indonesia dari serbuan hal-hal yang membahayakan masyarakat. Membiarkan beredarnya obat illegal atau tidak terdaftar pada BPOM sama saja dengan membiarkan masyarakat menghadapi berbagai risiko buruk, membiarkan kejahatan berkembang di masyarakat, dan merendahkan kepercayaan, martabat, serta harga diri bangsa di mata dunia internasional.

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai elemen yang satu dengan yang lainnya, yaitu antara konsumen, pengusaha dan pemerintah karena ketiganya mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kesehatan dalam masyarakat.

(15)

Menurut Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Menurut N.H.T. Siahaan (2005: 11), ada beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus-kasus perlindungan konsumen :

1. Perbuatan pelaku usaha, baik disengaja maupun karena kelalaian dan mengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita konsumen yang bersifat missal (massive effect) karena menimpa apa saja dan siapa saja.

(16)

3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya di dapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya kapan saja.1

Dilihat dari kasus-kasus di atas maka dari itu masyarakat dihimbau harus lebih berhati-hati dalam penggunaan terhadap barang-barang yang berhubungan dengan kesehatan, karena sudah bayak contoh yang dapat dilihat, agar tidak terulang kejadian yang sama masyarakat dan pemerintah harus lebih berhati-hati dan saling memperhatikan satu sama lain karena merupakan pengguna atau disebut sebagai konsumen.

Dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen salah satu larangan bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dari ketentuan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/jasa tersebut.

      

1

Happy Susanto “Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan ”, Jakarta, Transmedia Pustaka, 2008,

(17)

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi barang dan/atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Jangka waktu penggunaan/pemanfaatanya yang paling baik adalah terjemahan dari kata “best before” yang biasanya digunakan dalam label produk makanan.

h. Tak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana dinyatakan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama, dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat. j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. k. Memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa

memberikan informasi yang lengkap.

l. Memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap.2       

2

Abdul R Saliman, dkk, “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan“, Jakarta, Pranada Media Grup,

(18)

Pada dasarnya undang-undang ini dibuat untuk melindungi masyarakat dari segala dampak buruk dalam hal kesehatan terutama dalam memilih dan mengkonsumsi obat, namun sering sekali masyarakat atau konsumen tidak memperhatikan hal tersebut. Sehingga membuat diri mereka sendiri celaka dan dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu ada baiknya masyarakat harus lebih peka dalam memperhatikan dan menggunakan segala hal-hal yang menyangkut tentang kesehatan, agar mereka sendiri dapat menjamin dan memproleh kesehatan itu secara baik.

Oleh sebab itu, demi mewujudkan masyarakat yang sehat dan terhindar dari segala macam kelalain dari dampak-dampak penggunaan obat-obatan yang berkomposisi keras dan tidak terdaftar pada BPOM, maka penulis mencoba untuk meneliti dan memebahas lebih dalam lagi tentang unsur-unsur obat-obatan keras tersebut yang pada kenyataanya banyak beredar di masyarakat dan tidak diperhatikan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal tersebut, termasuk kepedulian pemerintah terhadap masyarakat yang terancam kesehatannya atas penggunaan obat tersebut dan memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam mewaspadai, menyadari juga melawan bahaya dalam penggunaan obat-obat tersebut.

B. Permasalahan

(19)

1. Bagaimana kriteria obat yang dapat didaftarkan pada BPOM? 2. Bagaimana fungsi BPOM dalam perlindungan hukum konsumen? 3. Bagaimana perlindungan konsumen terhadap pemakaian obat keras?

4. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan konsumen akibat dari kerugian dalam penggunaan obat keras tersebut?

C.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejauhmana peran BPOM dalam menentukan kriteria obat yang beredar di masyarakat.

2. Untuk mengetahui sejauhmana peran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Melindungi Masyarakat.

3. Untuk mengetahui akibat dari penggunaan obat keras di masyarakat yang beredar di pasaran khususnya di Sumatera Utara.

4. Untuk mengetahui akibat hukum yang dapat terjadi apabila adanya pelanggaran atas peraturan yang berlaku.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Menambah perkembangan pengetahuan mengenai wawasan hukum di bidang perlindungan konsumen.

(20)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan bagi masyarakat luas yang menjadi korban untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan dari penggunaan obat-obatan keras di pasaran yang tidak jelas asal-muasalnya.

b. Sebagai masukan terhadap pemerintah, para pembuat undang-undang untuk lebih peka dan peduli terhadap kesehatan khususnya terhadap peredaran obat keras yang berkembang saat ini di masyarakat.

E. Keaslian Penulisan

Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Aspek Perlindungan Konsumen terhadap Peredaran Obat Keras di Pasaran sengaja diangkat penulis sebagai judul skripsi ini, karena telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan pada ide, gagasan, pemikiran, refrensi, buku-buku dan pandangan pihak-pihak lain terhadap obat-obat keras tersebut. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Hal ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada kepustakaan keperdataan khususnya perdata BW (Burgerlijk Wetboek), sehingga dikatakan bahwa isi penulisan ini adalah asli.

(21)

1. Freddy Evenggelista/020200088, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Obat-obatan yang beredar di Masyarakat yang Belum Terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

2. Syerli Puspita Indah Sari/070200003, Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Beredarnya Obat Tradisional Impor yang Tidak Mencantumkan Label Berbahasa Indonesia pada Kemasannya.

3. Daulat Sianturi/070200093, Fungsi dan Peranan Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Perlindungan Konsumen terhadap Makanan yang mengandung zat berbahaya.

4. Mey Oncy Hutasoit/070200155, Penerapan Ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Terhadap Pelaku Pengedaran Obat-obatan Palsu sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen (Studi Putusan No. 45 /Pid./2010/Jkt.Ut)

Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penulisan

1. Spesifikasi Penelitian a. Jenis Penelitian

(22)

b. Sifat Penelitian

Penelitian bersifat deskriktif yaitu penelitian dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan informasi untuk mendukung teori yang telah ada.

c. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data skunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.

2. Sumber Data a. Data Skunder

(23)

b. Data Primer

Data primer ini diperoleh melalui hasil penelitian di lapangan dan akan dikumpulkan dengan wawancara langsung dengan Kepala Sertifikasi dan Layanan Konsumen Badan pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan, Ibu Neni serta dengan Ibu Pangabean, yang bekerja sebagai Pegawai Tata Usaha di Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM).

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu penelitian melalui kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan skripsi ini yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang ada. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden yaitu Kepala Sertifikasi dan Layanan Konsumen Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ibu Neni dan Bagian Tata Usaha BPOM yaitu Ibu Panggabean.

4. Analisis Data

(24)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami maknanya dan memperoleh manfaatnya. Adapun materi pembahasan dalam skripsi ini secara keseluruhan dapat diuraikan dalam 5 bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan merupakan pengantar yang berisi uraian mengenai Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan,

Keaslian Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini berisi mengenai uraian tentang hukum di Indonesia yang

mengatur tentang obat dan konsumen yang pembahasannya meliputi : Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen, Latar Belakang Lahirnya Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Perlindungan Konsumen Terhadap Pemakaian Obat Keras.

BAB III : Penerapan menegenai sejarah dan pengawasan terhadap obat dan makanan di Indonesia terkhusus di Sumatera Utara, yang terdiri dari : Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan, Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan, Peranan Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui Kebijakan Obat Nasional, Pengawasan Terhadap Peredaran Obat di Sumatera Utara.

BAB IV : Bab ini membahas tentang kriteria Obat yang dapat didaftarkan pada BPOM, pihak yang berwenang, berperan untuk melindungi konsumen akibat dari penggunaan Obat keras.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti undang-undang hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berkedudukan sebagai konsumen. Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antar hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen.3

Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai aspek hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis : antara lain aspek hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Jadi hukum perlindungan konsumen itu tidak berarti hanya ada dalam wilayah hukum perdata saja. Karena hukum perlindungan konsumen ini berkolerasi erat dengan aspek hukum yang lain. Terhadap hubungan antar tata hukum itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengaturnya dalam Pasal 64 yang berbunyi :

“segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

      

3

(26)

A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Praktis, sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen. Kendatipun demikian, hukum posituf Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.4

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang, dalam pertimbangannya menyebutkan “kesehatan dan keselamatan rakyat, mutu dan susunan (komposisi) barang”. Penjelasan undang-undang ini menyebutkan variasi barang dagangan yang bermutu kurang baik atau tidak baik dapat membahayakan dan merugikan kesehatan rakyat. Maka perlu adanya pengaturan tentang mutu maupun susunan bahan serta pembungkusan barang-barang dagangan.

Ada beberapa pengertian konsumen menurut Undang-Undang yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, secara tegas meneyebutkan dengan istilah “pengguna jasa” (Pasal 1 Angka 10) sebagai konsumen jasa, yang diartikan sebagai setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan orang maupun barang. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan

istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1, Pasal 3, 4, 5 dan Pasal 46. Istilah “masyarakat” juga digunakan dalam undang-undang ini dengan asumsi sebagai konsumen, hal ini termaktub dalam Pasal 9, 10 dan Pasal 21.

      

4

(27)

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen, yaitu : pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung dan penumpang.

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengenal istilah konsumen, dan menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.

Berdasarkan dari beberapa pengertian yang dikemukan di atas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu :

1. Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan. 2. Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali, juga digunakan dengan tujuan mencari keuntungan.

3. Konsumen akhir (ultimate consumer/end user), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali.5

Sesungguhnya peranan hukum dalam konteks ekonomi adalah menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetatif. Terkait dengan hal ini pula, bahwa tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar,       

5

(28)

selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga maupun mutu. Serta tidak ada pelaku usaha dan produsen yang mampu menetapkan harga berlebihan atau menawarkan produk dengan kualitas yang rendah, selama masih ada produsen lain dan konsumen akan pindah kepada produk lain tersebut.6

Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan

internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.7 Perlindungan konsumen tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi juga terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi juga terhadap barang-barang yang membahayakan kehidupan masyarakat.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.8 Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.

Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu:9

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

9

(29)

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepkati.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen dalam memenuhi kebutuhan adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen memiliki sanksi pidana.10 Singkatnya bahwa segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan preventif, akan tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen. Maka pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.11

(30)

Kepastian hukum dalam pengertian perlindungan konsumen dalam undang-undang tersebut di atas berarti konsumen mempunyai hak untuk memperoleh barang atau jasa yang menjadi kebutuhannya serta mempunyai hak untuk menuntut apabila dirugikan pelaku usaha penyediaan kebutuhan tersebut. Kepastian hukum tersebut secara umum bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah bersifat mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.

Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum konsumen berskala lebih luas daripada hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asas-asas perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah dibandingkan produsen.

M.J. Leder menyatakan : “In a sanse there is no such creature as consumer law”.12 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni : …rules of law which recognize the berganing weaknes recognize the begaining weakness of the individual consumer and which ensure the weakness is not unfairly exploited.13

      

12

Celine Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 13. 

13

(31)

Karena, posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Ada juga yang berpendapat lain, seperti Az. Nasution berpendapat “hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga sifat yang melindungi konsumen”.14 Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. A.Z. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Dari pernyataan A.Z. Nasution ada yang belum jelas penjelasannya yaitu berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur, dapat kita lihat jelasnya dalam Pasal 383 KUHP berikut ini.

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli :

      

14

(32)

1. Karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, 2. Mengenai jenis keadaan atau bayaknya barang yang diserahkan dengan

menggunakan tipu muslihat.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP itu juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”.

Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.

B. Latar Belakang Lahirnya Perlindungan Konsumen

Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemajuan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang biasa dikonsumsi.15 Produk barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin canggih dan bayak memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang diinginkannya namun dapat pula menyebabkan posisi konsumen menjadi lemah daripada posisi pelaku usaha.16

      

15

Happy Susanto, Op.Cit., hal. 2. 

16

(33)

Perlindungan terhadap konsumen menjadi terasa penting apalagi mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha.17

Praktik monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen meletakkan posisi konsumen dalam tingkat terendah dalam mengahadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Terlebih di Indonesia petaka yang menimpa konsumen sering sekali terjadi. Selama beberapa dasawarsa sejumlah peristiwa penting yang menyangkut keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, mencuat ke permukaan sebagai keprihatinan nasional yang tidak kunjung mendapat perhatian dari sisi perlindungan konsumen. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan sangat mendesak untuk dicari solusinya.

Timbulnya kesadaran konsumen ini telah melahirkan salah satu cabang baru ilmu hukum, yaitu hukum perlindungan konsumen atau yang kadang kala dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang hukum baru, namun bercorak universal.18 Perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau kita teliti dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu, beberapa produk hukum yang diberlakukan sejak zaman kolonial bahkan juga telah menyinggung sendi-sendi penting perlindungan konsumen.       

17

Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 5. 

18

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

(34)

Maraknya gerakan konsumen dimulai seiring resolusi 2111 UNESCO tahun 1977 tentang perlindungan konsumen. Masalah perlindungan konsumen di Indonesia masih dianggap baru, sehingga terdapat kemungkinan bahwa peraturan perundang-undangan maupun segala aspek yang berkaitan dengan hal tersebut belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Di Indonesia sendiri, gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat yang dimulai dari tahun 1960-an dan baru terdengar pada tahun 1970-an. Tepatnya pada tanggal 20 April 1999 dan baru berlaku pada tanggal 20 April 2000, yang ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tahun 1973 yang mempunyai tujuan agar konsumen tidak dirugikan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.

Sebelum berlakunya UUPK, konsumen dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan hukumnya dengan memanfaatkan instrumen-instrumen pokok (hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana, hukum internasional), meskipun secara empiris itu tidak begitu meningkatkan martabat konsumen, apalagi mengayomi konsumen. Konsumen masih tetap berada pada posisi yang lemah. Tetapi itu tidak berarti konsumen tidak dilindungi sama sekali, betapapun lemahnya instrumen-instrumen hukum pokok.

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat

mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibanya yang dimiliki terhadap pelaku usaha.19 Dimana juga

      

19

(35)

dikatakan di dalam undang-undang bahwa untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Secara universal berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan maupun kemampuan atau daya bersaing. Kedudukan konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi, apalagi individu, tidak seimbang dibandingkan kedudukan pengusaha.

(36)

Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang. Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar baik secara kelompok maupun individu sangat lemah dibandingkan dengan para penyedia barang atau jasa swasta maupun pemerintah (publik). Di negara-negara yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunan melalui tiga tingkat : unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus kepada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari etika buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.

Beranjak dari situasi yang sedemikian komplit maka perlindungan terhadap konsumen juga membutuhkan pemikiran yang luas pula. Hal ini sangat penting, kepentingan konsumen pada dasarnya sudah ada sejak awal sebelum barang atau jasa diproduksi selama dalam proses produksi sampai saat distribusi sehingga sampai di tangan konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata dari ekonomi kerakyatan.20

      

20

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. PT Citra

(37)

Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen, diantaranya penentuan harga barang dan hal-hal yang tidak patut, pemerintah harus secara

konsisten berpihak kepada konsumen yang pada umumnya orang kebanyakan. Dalam hubungan ini, penjabaran perlindungan terhadap konsumen juga dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a, yaitu :

“... Pembagunan perdagangan ditujukan untuk memperlancarkan arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produk dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen....”.21

Komitmen melindungi kepentingan konsumen (konsumen akhir, bukan konsumen pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1993, karena tidak peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang memang ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukanlah karena belum adanya penelitian dan pengkajian norma-norma perlindungan konsumen macam apa yang sesuai dengan situasi dan konsumen Indonesia, bahkan sebagian besar konsumen Indonesia enggan mengadukan kerugian yang dialaminya walaupun konsumen telah dirugikan oleh produsen/pengusaha. Keengganan ini bukanlah karena mereka (konsumen) tidak sadar hukum, bahkan mereka sadar hukum ketimbang sebagian daripada para penegak hukumnya sendiri, keengganan para       

21

(38)

konsumen lebih didasarkan pada : Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen. Praktek peradilan kita yang tidak lagi sederhana, cepat dan biaya

ringan. Sikap menghindar konflik walaupun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha.

Dari segala kondisi yang telah dikemukakan maka jelaslah bahwa posisi konsumen itu lemah sehingga ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat, sekalipun tujuan hukum itu memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.22

C.Hak dan Kewajiban Konsumen

Definisi konsumen yang terlalu umum dan luas menurut ahli bahasa dan

kamus bahasa, membuat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia membatasi defenisi konsumen sebagai pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri pada Pasal 1 angka 2 memberikan pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

      

22

(39)

Adapun unsur-unsur defenisi konsumen tersebut adalah : 1. Setiap orang

Setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah ‘orang’ tidak hanya mencakup orang individual tetapi juga badan

usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. 2. Pemakai

Pada Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlulindungan Konsumen, kata pemakai menekankan bahwa konsumen yang dimaksudkan adalah konsumen akhir dan menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak harus serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya konsumen tidak selalu harus membayar untuk memproleh barang dan / atau jasa itu, dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus bersifat kontraktual.

3. Barang dan/atau jasa

Istilah barang dan/atau jasa digunakan untuk mengganti penggunaan kata produk yang hanya mengacu pada pengertian barang saja. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengertikan barang sebagai benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, namun dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

Unsur yang diletakkan pada defenisi itu mencoba untuk memperluas kepentingan bahwa kepentingan tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain bahkan untuk mahluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen disini dipertegas hanya konsumen akhir, secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen. 23

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapat perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen

sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang

(40)

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu : a. Hak untuk mendapatkan keamanan

b. Hak untuk mendapat informasi c. Hak untuk memilih

d. Hak untuk didengar.25

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya ada beberapa hak lain yang juga diakui secara internasional seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. YLKI hanya menambahkan

satu tambahan hak yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.26 Hak ini dimaksukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengelolaan lingkungan.

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Nomor 8 Tahun 1999 Undang-Undang perlindungan konsumen adalah sebagai berikut :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam memgkonsumsi barang dan/atau jasa

Barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.Terhadap barang dan jasa yang dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko tinggi terhadap keamanan konsumen, pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara cepat.

      

25

Ibid 

26

(41)

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli suatu barang atau tidak, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis barang yang dipilihnya.Selain dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai keinginan, konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan barang sesuai nilai tukar yang dijanjikan.Ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diprolehnya.

3. Hak atau informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

(42)

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

Hak ini dapat berupa pertayaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa tertentu apabila informasi yang diproleh tentang barang dan/atau jasa tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu barang.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokas. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi barang tersebut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

(43)

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status social lainya.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen, termasuk di dalamnya baik kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri konsumen itu sendiri. Biasanya untuk menghindari kewajiban ini pelaku usaha mencantumkan klausal-klausal eksonerasi di dalam hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, namun pencantuman secara sepihak demikian tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati

(44)

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan merupakan hal yang penting untuk mendapat pengaturan. Seringkali pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut, namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak mengahalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.

D. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ditetapkan berapa asas yang mengayomi serta memberi perlindungan baik kepada pelaku usaha maupun konsumen. Pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan perlindungan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat maksudnya adalah untuk mengamanatkan segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.27

      

27

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,

(45)

Menyimak asas di atas dapat dimaknai bahwa pembentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen ternyata sependapat dengan teori Jeremy Bentham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagian terbesar untuk jumlah yang terbanyak, sebagaimana tuujuan hukum yang dikemukannya.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat terwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumendan pelaku usaha untuk memproleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.28

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

Asas keseimbangan tersebut dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi sehingga dapat dikemukan asas yang lebih rinci yaitu :

1) Asas perlindungan konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk barang/jasa dari produsen yang tidak bertanggung jawab misalnya membahayakan kesehatan, mutu di bawah standar, penipuan atau pemaksaan kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat.

2) Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain terutam sekali produsen tertentu kepada konsumen.

      

28

(46)

3) Asas perlindungan terhadap kepentingan publik/umum yaitu masyarakat umum yang awam dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad buruk pelaku usaha umumnya atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada masyarakat.29

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang akan dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.30 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memproleh keadilan dalam penyelanggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. Asas ini disejajarkan dengan asas efisiensi karena hukum yang beribawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.31

      

29

Husni Syawali & Neni Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,

Bandung, 2000, hal. 33. 

30

Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 33. 

31

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada,

(47)

Adapun tujuan konsumen diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan / atau jasa

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

(48)

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, b, dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.32

      

32

(49)

BAB III

GAMBARAN UMUM MENGENAI BADAN PENGAWAS

OBAT DAN MAKANAN

Pelayanan kesehatan tidak bisa terlepas dari perkembangan ilmu dan

teknologi. Penyakit terus berkembang dan teknologi pengobatan pun harus berkembang lebih maju. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga yang dapat

mengawasi dan memperhatikan mengenai obat dan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat dan konsumen. Sedangkan, pengertian Badan Pengawas Obat

dan Makanan (BPOM) itu sendiri adalah merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), yaitu sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 103 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk

untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari Presiden serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

A. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan

1. Latar Belakang Terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetik dan

alat-alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modren, industri tersebut kini mampu memproduksi dengan skala yang sangat besar mencakup berbagai

(50)

internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat

menyebar ke berbagai negara dan dengan sistem jaringan distribusi yang sangat luas akan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat di dunia.33

Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk terus cenderung meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup manusia termasuk pada pola konsumsinya,

sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat

memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di sisi lain pihak produsen menggunakan iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen

untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan sering kali tidak rasional. Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen

tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan aplikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standart atau

terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka resiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat. Untuk itu di Indonesia harus

memiliki sistem pengawasan obat dan makanan (SISPOM) yang efektif dan efesien, mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termasuk

untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Maka telah di bentuk Badan POM yang memiliki

jaringan nasional maupun internasional serta kewenangan penegakan hukum dan kredibilitas profesionalan yang tinggi.

      

33

(51)

2. Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan

Namun sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan dalam pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah dalam melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat. Berikut ini adalah sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan :

a. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan

(52)

Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan izin kerja diatur dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/F tanggal 16 Maret 1933 yang

kemudian diubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8 September 1936 dan No. 11161/F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan

tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijazah MULO bagian B, memiliki surat keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.

b. Periode Setelah Perang Kemerdekaan sampai dengan tahun 1958

(53)

Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termasuk dalam undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1983. c. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967

Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.

(54)

1) Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter

2) Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963

Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain :

1) Tidak lagi dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat 2) Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak

berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964

3) Semua izin apotek darurat di Ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964

Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No. 39521/Kab/1999 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Inspektorat Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.

d. Periode Orde Baru

(55)

baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.

Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga pada tahun 1975 institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan di masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980.34

e. Periode tahun 2000

Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan

tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana

dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan, namun sekarang setelah terjadinya perubahan maka       

34

(56)

Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Presiden.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden No. 103

tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi

dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu : Visi dari Badan POM :

Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara nasional maupun internasional dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. Secara efektif dan pemahaman

tentang konsep dasar sistem pengawasan produk obat dan makanan secara nasional dan internasional.35

Sedangkan Misi Badan POM :

1. Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik,

alat kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan

serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi.

2. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan penggunaan

yang salah satu dari produk obat, narkotik, psikotropik dan zat adiktif serta risiko akibat penggunaan produk dan bahan berbahaya.

      

35

Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Agen dan apotek juga bertanggung jawab dalam terjadinya kerugian yang diaiami oleh konsumen yang diakibatkan obat generik namun tanggung jawab agen hany a sebatas sebagai

Selamat Group berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang1. Perlindungan Konsumen, tanggung jawab PO Selamat Group,

Peran Balai Besar POM Semarang dalam pengawasan terhadap obat daluarsa di apotek dalam upaya perlindungan konsumen... Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen atas obat

Terkait pasal yang dilanggar, pelaku usaha sudah sangat jelas mengetahui bahwa obat-obatan yang dijual tergolong obat yang mengandung bahan berbahaya seperti

Sesuai dengan fungsi hukum untuk meningkatkan kepatuhan, upaya perlindungan konsumen terhadap peredaran kosmetika yang mengandung bahan berbahaya, khususnya yang

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Produk Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Citra Aditya Bakti, Bandung Hakim, Abdul dalam disertasi Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen (studi hubungan hukum

Berikut adalah beberapa contoh konkret tentang pentingnya kepatuhan terhadap ketentuan perizinan obat dan tanggung jawab hukum produsen terhadap konsumen: • Kepatuhan terhadap