KAJIAN PANJANG JALAN
DI KABUPATEN MANDAILING NATAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN WILAYAH
TUGAS AKHIR
040404077
INDRA HUSEIN LUBIS
DOSEN PEMBIMBING
NIP.
Ir. Jeluddin Daud, M.Eng
BIDANG STUDI TRANSPORTASI
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010
2010
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.
Tugas Akhir yang disusun untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian
sarjana pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara ini
berjudul “Kajian Panjang Jalan di Kabupaten Mandailing Natal dan
Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Wilayah”.
Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari berbagai
kesulitan, untuk itu dengan segala rasa hormat dan kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng, selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan
dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik
Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Ir. Teruna Jaya, Msc, selaku Sekertari Departemen Teknik Sipil,
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat
selama penulis berkuliah di Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara.
5. Kedua Orang Tua yang telah membesarkan dan mendidik tanpa lelah serta
penuh tulus ikhlas dalam memberikan semangat dan doa kepada penulis
sehingga penulis dapat melewati semua kesulitan dalam penyelesaian
6. Teman-teman seperjuangan, sahabat-sahabat, serta adik-adik
seperkuliahan yang telah banyak memberikan dorongan serta bantuan.
Saya menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini jauh dari sempurna karena
keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan referensi yang saya miliki.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan pada masa
mendatang.
Akhir kata, semoga Allah memberikan manfaat dan melimpahkan berkah
atas Tugas Akhir ini sehingga dapat berarti bagi ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya pada bidang Teknik Sipil.
Medan, Agustus 2010
Indra Husein Lubis
ABSTRAK
Dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan Kabupaten Mandailing Natal maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Ibukota Panyabungan) dengan jumlah daerah Administrasi 8 Kecamatan dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Padangsidimpuan) dengan jumlah daerah administrasi 16 Kecamatan. Perkembangan pembangunan kabupaten Mandailing Natal selama ± 11 tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan sampai kondisi sekarang mulai dapat dilihat kemajuan dari kecamatan-kecamatan yang berada di kabupaten tersebut. Penelitian ini membahas pengaruh panjang jalan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Mandailing Natal. Dalam penelitian ini, parameter pengembangan wilayah yang dipakai adalah berdasarkan tipologi desa dengan melihat peningkatan status desa terhadap panjang jalan dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi.
Tipologi desa adalah merupakan salah satu indikator perkembangan wilayah di suatu kabupaten. Dengan adanya tipologi desa pada tiap kecamatan, kita bisa mendeskripsikan seberapa jauh keberhasilan suatu kabupaten dalam mengelola desa-desa pada tiap kecamatannya.
Berdasarkan analisis Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah bekerja sama dengan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan dan Center for Urban and Regional Development Curds Medan (April 2009), Di Indonesia, sistem klasifikasi dan tipologi desa didasarkan atas pendekatan ekosistem.
Pendekatan ini, dapat diidentifikasikan adanya sepuluh faktor yang menentukan tingkat perkembangan sebuah desa, yaitu sebagai berikut.
a. Faktor penduduk (D–Density).
b. Faktor alam (N–Nature).
c. Faktor orbitrasi desa (U–Urban centre).
d. Faktor mata pencarian (E–Earning).
e. Faktor pendapatan desa (Y–Yield/Output).
f. Faktor adat istiadat (C–Custom).
g. Faktor kelembagaan (L).
h. Faktor pendidikan (E–Education).
i. Fakor gotong royong (Gr).
j. Faktor prasarana desa (P)
untuk tiap variabel (tanpa pembobotan) terhadap tipologi desa diperoleh koefisien regresi sebesar 0.473 yang menunjukkan bahwa hubungan antar kedua variabel sedang. Rasio tipe permukaan jalan hanya berpengaruh sebesar 22.4% terhadap tipologi desa.
DAFTAR ISI
I.8 Sistematika Penulisan ………. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Umum dan Latar Belakang ……… 9
II.2 Sistem Transportasi ……….……….. 10
II.2.1 Perencanaan Sistem Transportasi ……… 16
II.3 Jaringan Transportasi ………. 17
II.3.1 Jaringan Jalan ……….. 19
II.3.1.1 Sejarah ………. 19
II.3.1.2 Klasifikasi Jaringan Jalan ……… 20
II.4 Fungsi Jalan Berkaitan dengan Pembangunan ………..
II.4.1 Arah Pengembangan Jaringan Transportasi ………
25
II.5 Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan ………
27
II.6 Pengertian, Karakteristik, dan Tipologi Desa ………
28
II.6.1 Pengertian dan Karakteristik Desa ……… 28
II.6.1.1 Unsur-unsur Desa ……… 29
II.6.1.2 Pengertian Masyarakat Desa dan Karakte-ristiknya……… 30
II.6.1.3 Kehidupan Sosial Masyakat Pedesaan ……… 31
II.6.1.4 Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaaan 31
II.6.1.5 Kehidupan Budaya Masyarakat Pedesaan …… 32
II.6.2 Tipologi desa ………... 33
II.7 Pengantar Statistika………. 37
II.7.1 Pengertian Istilah Statistik ……….. 37
II.7.2 Peranan Statistik …… ……… 38
II.7.3 Data ………. ……… 39
II.7.4 Pengujian Hipotesis ………. 41
II.8 Kerangka Pemikiran ……….. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Pemilihan Metode Penelitian ………... 45
III.2 Prosedur Pengumpulan Data ………..…... 45
III.3 Proses Pengolahan dan Analisis Data ………... 47
III.3.1 Analisis Regresi ……….. 48
III.3.2 Analisis Korelasi ……… 48
III.4 Definisi Operasional ………. 52
IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………. 53
IV.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Mandailing Natal ………… 53
IV.1.2 Kondisi Geografi dan Topografi ………. 55
IV.1.3 Keadaan Iklim dan Curah Hujan ……… 58
IV.1.4 Keadaan Hidrologi ……….... 59
IV.1.5 Gambaran Umum Demografi ……… ……….... 60
IV.1.6 Kondisi Jalan dan Sarana Transportasi ………... 61
IV.2 Hubungan Rasio Panjang Jalan dan Rasio Tipe Permukaan Jalan terhadap Tipologi Desa ………. 63
IV.2.1 Pengaruh Rasio Panjang Jalan dan Rasio Tipe Permukaan Jalan terhadap Tipologi Desa Tahun 2003... 64
IV.2.1.1 Pengaruh Rasio Panjang Jalan terhadap Tipologi Desa Tahun 2003………. 66
IV.2.1.2 Pengaruh Rasio Tipe Permukaan Jalan terhadap Tipologi Desa Tahun 2003 ……… 72
IV.2.1.3 Pengaruh Rasio Tipe Permukaan Jalan terhadap Tipologi Desa Tahun 2003 untuk Tiap Variabel………..… 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ……… 87
V.2 Saran ……… 90
DAFTAR PUSTAKA ……… 91
DAFTAR TABEL
Tabel III.1 Data Panjang Jalan dan Tipologi Desa Kabupaten Mandailing
Natal Tahun 2003 ……….. 46
Tabel III.2 Data Panjang Jalan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2003
Berdasarkan Tipe Permukaan Jalan ……… 47
Tabel III.3 Interpretasi dari Nilai r ……….... 49
Tabel IV.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan ………. 57
Tabel IV.2 Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan dan Kondisi Jalan 38
Tabel IV.3 Data Panjang Jalan dan Kategori Desa Kabupaten Mandailing
Natal Tahun 2003 ……… 64
Tabel IV.4 Pembobotan Tipologi Desa Kabupaten Mandailing Natal Tahun
2003 ……… 65
Tabel IV.5 Pengaruh Rasio Panjang Jalan Terhadap Tipologi Desa Tahun
2003 ……… 66
Tabel IV.6 Rasio Panjang Jalan dan Tipologi Desa Kabupaten Mandailing
Natal Tahun 2003 ………... 67
Tabel IV. 7 Model Summary Rasio Panjang Jalan dengan Tipologi Desa .. 68
Tabel IV.8 Koefisien Korelasi Rasio Panjang Jalan dengan Tipologi Desa..68
Tabel IV.9 Anova Rasio Panjang Jalan dengan Tipologi Desa ………….. 69
Tabel IV.10 Pengaruh Rasio Tipe Permukaan Jalan Terhadap Tipologi Desa
Tahun 2003 ……….. 72
Tabel IV.11 Pembobotan Tipe Permukaan Jalan Kabupaten Mandailing Natal
Tahun 2003 ………. 74
Tabel IV.12 Rasio Tipe Permukaan Jalan Kabupaten Mandailing Natal Tahun
2003 ………. 75
Tabel IV.13 Rasio Tipe Permukaan Jalan dan Tipologi Desa Kabupaten
Mandailing Natal Tahun 2003 ……… 76
Tabel IV.14 Model Summary Rasio Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi
Desa ……… 77
Tabel IV.15 Koefisien Korelasi Rasio Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi
Tabel IV.16 Anova Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi Desa ……… 78
Tabel IV. 17 Rasio Tipe Permukaan Jalan Kabupaten Mandailing Natal Tahun
2003 untuk Tiap Variabel Bebas ……….. 81
Tabel IV.18 Model Summary Rasio Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi
Desa untuk Tiap Variabel Bebas ……….. 82
Tabel IV.19 Koefisien Korelasi Rasio Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi
Desa untuk Tiap Variabel Bebas ………. 83
Tabel IV. 20 Anova Rasio Tipe Permukaan Jalan dengan Tipologi Desa untuk
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Kerangka Pemikiran ……….. 44
ABSTRAK
Dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 23 Nopember 1998 tentang pembentukan Kabupaten Mandailing Natal maka Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Ibukota Panyabungan) dengan jumlah daerah Administrasi 8 Kecamatan dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Padangsidimpuan) dengan jumlah daerah administrasi 16 Kecamatan. Perkembangan pembangunan kabupaten Mandailing Natal selama ± 11 tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan sampai kondisi sekarang mulai dapat dilihat kemajuan dari kecamatan-kecamatan yang berada di kabupaten tersebut. Penelitian ini membahas pengaruh panjang jalan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Mandailing Natal. Dalam penelitian ini, parameter pengembangan wilayah yang dipakai adalah berdasarkan tipologi desa dengan melihat peningkatan status desa terhadap panjang jalan dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi.
Tipologi desa adalah merupakan salah satu indikator perkembangan wilayah di suatu kabupaten. Dengan adanya tipologi desa pada tiap kecamatan, kita bisa mendeskripsikan seberapa jauh keberhasilan suatu kabupaten dalam mengelola desa-desa pada tiap kecamatannya.
Berdasarkan analisis Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah bekerja sama dengan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan dan Center for Urban and Regional Development Curds Medan (April 2009), Di Indonesia, sistem klasifikasi dan tipologi desa didasarkan atas pendekatan ekosistem.
Pendekatan ini, dapat diidentifikasikan adanya sepuluh faktor yang menentukan tingkat perkembangan sebuah desa, yaitu sebagai berikut.
a. Faktor penduduk (D–Density).
b. Faktor alam (N–Nature).
c. Faktor orbitrasi desa (U–Urban centre).
d. Faktor mata pencarian (E–Earning).
e. Faktor pendapatan desa (Y–Yield/Output).
f. Faktor adat istiadat (C–Custom).
g. Faktor kelembagaan (L).
h. Faktor pendidikan (E–Education).
i. Fakor gotong royong (Gr).
j. Faktor prasarana desa (P)
untuk tiap variabel (tanpa pembobotan) terhadap tipologi desa diperoleh koefisien regresi sebesar 0.473 yang menunjukkan bahwa hubungan antar kedua variabel sedang. Rasio tipe permukaan jalan hanya berpengaruh sebesar 22.4% terhadap tipologi desa.
BAB I
PENDAHULUAN I.1 Umum
Transportasi adalah suatu jaringan yang secara fisik menghubungkan suatu
ruang dengan ruang kegiatan lainnya, sebagai suatu kegiatan memindahkan atau
mengangkut barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat lainnya. Lebih
lanjut didefinisikan bahwa transportasi adalah suatu perpindahan barang atau
penumpang dari satu lokasi ke lokasi lainnya, yang membuat barang atau
penumpang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dilokasi yang baru. Dari
definisi ini terdapat tiga komponen transportasi, yaitu :
1. Prasarana transportasi, seperti jalan raya, jalan kereta api, terminal bus,
bandar udara, pelabuhan, dan lain sebagainya.
2. Kendaraan yang mengunakan prasarana tersebut, dan
3. Sistem organisasi yang menjamin kendaraan dan prasarana tersebut
digunakan secara baik dan benar.
Jalan raya sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai
peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial dan budaya serta
lingkungan. Jalan dikembangkan dengan pendekatan pengembangan wilayah agar
tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk
dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan
keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan
Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat
pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan
sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Sebagai prasarana perhubungan pada
hakekatnya jalan merupakan unsur penting dalam mewujudkan sasaran
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan tercapainya stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang
prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam
mewujudkan perkembangan kehidupan bangsa. Maka jalan darat ini sangat
dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Pembangunan merupakan usaha sadar dan berencana untuk meningkatkan
mutu hidup yang dalam pelaksanaanya akan selalu menggunakan dan mengelola
sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya buatan (Sugeng
Martopo, 1997). Salah satu tujuan pokok dari pembangunan itu adalah
pembangunan wilayah-wilayah yang ada didalamnya terutama dalam keserasian
perkembangan atau laju pertumbuhan antar wilayah dalam daerah tersebut. Faktor
pendorong perkembangan suatu wilayah sangat terkait dengan ketersediaan sarana
dan prasarana wilayah khususnya sarana dan fasilitas sosial ekonomi. Sarana dan
fasilitas ekonomi seringkali merupakan faktor dominan yang berperan dalam
memajukan wilayah.
Pengembangan wilayah mengandung arti luas, tetapi pada prinsipnya
merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat
Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan.
Di sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan
kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat
produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik. Di sisi lain,
secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga
keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap
lingkungan.
Telah banyak didefenisi tentang pengembangan wilayah, seperti salah satu
yang didefenisikan oleh Prod’homme (1985), bahwa pengembangan wilayah
merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan
memperhitungkan sumberdaya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan
suatu wilayah.
Dari defenisi di atas dapat dilihat bahwa dalam pengembangan wilayah
dibutuhkan suatu program yang menyeluruh dan terpadu. Hal ini dapat berupa
berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat
setempat. Dalam mengembangkan wilayah terdapat dua pendekatan yang
dilakukan, yakni pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui
departemen atau instansi sektoral), misalnya pembangunan jalan oleh Dinas
Pekerjaan Umum, pembangunan gedung sekolah oleh Dinas Pendidikan, rumah
sakit oleh Dinas Kesehatan.
I.2 Latar Belakang Masalah
Kabupaten Mandailing Natal (Ibukota Panyabungan) dengan jumlah daerah Administrasi 8 Kecamatan dan Kabupaten Tapanuli Selatan (Ibukotanya Padangsidimpuan) dengan jumlah daerah administrasi 16 Kecamatan.
Perkembangan pembangunan kabupaten Mandailing Natal selama ± 11
tahun setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan sampai kondisi
sekarang mulai dapat dilihat kemajuan dari kecamatan-kecamatan yang berada di
kabupaten tersebut. Kemajuan tersebut erat kaitannya dengan pembangunan
sarana dan prasarana transportasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Mandailing Natal.
Salah satu prasarana yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Mandailing
Natal adalah prasarana transportasi, termasuk didalamnya adalah jalan. Dengan
adanya infrastruktur jalan tersebut diharapkan akan berpengaruh terhadap
perekonomian wilayah dan kesejahteraan masyarakat pengguna (masyarakat
sekitar) baik dampak secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitan
dengan pembangunan perdesaan, pemerintah daerah pada umumnya cenderung
masih belum memberikan perhatian yang besar. Sebaliknya, mereka lebih
mengutamakan dan memfokuskan kepada pembangunan fisik di perkotaan.
I.3 Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah
Karena luasnya permasalahan dalam penelitian ini maka ruang lingkup dan
pembatasan masalah dibatasi oleh hal-hal berikut:
1. Penelitian ini membahas pengaruh panjang jalan terhadap pengembangan
wilayah di Kabupaten Mandailing Natal. Dalam penelitian ini, parameter
pengembangan wilayah yang dipakai adalah berdasarkan tipologi desa
2. Data yang digunakan dalam studi adalah data panjang jalan, dan data klas
desa yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Pertambangan dan
Energi dan Badan Pusat Statistika Kabupaten Mandailing Natal.
I.4 Maksud dan Tujuan
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui apakah panjang jalan
berpengaruh terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Mandailing Natal.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hubungan dan pengaruh (regresi dan korelasi) antara rasio
panjang jalan dengan tipologi desa di Kabupaten Mandailing Natal Tahun
2003.
2. Mengetahui hubungan dan pengaruh (regresi dan korelasi) antara rasio tipe
permukaan jalan dengan tipologi desa di Kabupaten Mandailing Natal Tahun
2003.
I.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari Penelitian ini :
1. Mengetahui seberapa besar dampak pembangunan prasarana transportasi
terhadap perkembangan wilayah di Kabupaten Mandailing Natal yang
berdampak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
investasi, perkembagan kehidupan sosial – budaya maupun lingkungan.
Disisi lain, jalan juga membentuk struktur ruang wilayah maupun
perkotaan sehingga keberadaannya sangat menentukan arah
berkembangnya wilayah maupun perkotaan mendatang. Dengan demikian
pemerintah dapat lebih intensif merumuskan kebijakan-kebijakan yang
2. Menambah wawasan mengenai kegiatan Pembangunan Prasarana
Transportasi berdasarkan dari parameter-parameter yang ada.
I.6 Metodologi Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, sebagai pencapaian tujuan dalam tugas
akhir. Dalam penelitiannya penulis menggunakan metode:
a. Studi Literatur
Studi literatur dimaksudkan untuk mendapatkan teori-teori yang
berhubungan dengan studi ini. Dari teori-teori ini nantinya dikembangkan
kerangka-kerangka teoritis dan konsepsional yang berhubungan dengan studi
ini. Dan dari studi literatur ini pula dilakukan teknik dan cara melakukan studi
penelitian.
b. Pemilihan Metode Penelitian
Pada penelitian tugas akhir ini, peneliti memilih penelitian metode
deskriptif. Metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat
gambaran mengenai situasi atau kejadian (Nazir, 1985). Pada umumnya
metode deskriptif hanya mengandalkan data yang ditemukan di lapangan,
namun demikian peneliti dapat juga melakukan analisa terhadap
hubungan-hubungan variabel (Bachtiar, 1997)
c. Prosedur Pengumpulan Data
Data yang digunakan seluruhnya merupakan data sekunder berupa
status desa dan panjang jalan pada tiap kecamatan di Kabupaten
Mandailing Natal pada tahun 2003 beserta tipe permukaannya diperoleh
melalui dokumen dari Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Bina Marga
d. Proses Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode
ilmiah. Dengan adanya analisis, data menjadi berarti dan berguna dalam
memecahkan masalah penelitian, sekaligus menjawab hipotesis dan
mencapai tujuan penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis regresi dan korelasi yang berguna untuk mencari hubungan
dan pengaruh antara dua variabel yang diteliti. Data sekunder yang telah
diolah selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi
13.0
I.7 Hipotesa
Dari proposal tugas akhir ini dapat dibuat hipotesa sebagai berikut:
1. Rasio panjang jalan berpengaruh terhadap perkembangan wilayah di
Kabupaten Mandailing Natal.
2. Rasio panjang jalan tidak berpengaruh terhadap perkembangan wilayah
di Kabupaten Mandailing Natal.
3. Rasio tipe permukaan jalan berpengaruh terhadap perkembangan
wilayah di Kabupaten Mandailing Natal.
4. Rasio tipe permukaan jalan berpengaruh terhadap perkembangan
wilayah di Kabupaten Mandailing Natal.
I.8 Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yang
dianggap perlu. Metode dan prosedur pelaksanaanya secara garis besar adalah
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang : Umum, Latar Belakang Masalah, Ruang
Lingkup dan Pembatasan Masalah, Maksud dan Tujuan, Keaslian Penelitian,
Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Hipotesa dan Sistematika Penulisan.
BAB II. STUDI PUSTAKA
Bab ini meliputi pengambilan teori-teori serta rumus-rumus dari beberapa
sumber bacaan yang mendukung analisis permasalahan yang berkaitan dengan
tugas akhir ini.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan membahas tentang langkah-langkah kerja yang akan
dilakukan dengan cara memperoleh data yang relevan dengan penelitian ini.
BAB IV. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Langkah-langkah kerjanya adalah sebagai berikut:
1. Tabulasi data
2. Kompilasi data
3. Analisa data
4. Menentukan hubungan variable.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan logis berdasarkan analisis data, temuan dan
bukti yang disajikan sebelumnya, yang menjadi dasar untuk menyusun suatu saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Umum dan Latar Belakang
Tingkat perkembangan suatu daerah dipengaruhi oleh letak daerah tersebut
terhadap pusat-pusat fasilitas dan hasil karya manusia (ekonomi, sosial budaya,
dan prasarana). Faktor yang mempengaruhi tingkat dan arah perkembangan suatu
daerah ialah :
1. Faktor lokasi/letak daerah terhadap pusat-pusat fasilitas dan jalan
perhubungan (lancar atau tidak lancar).
2. Hasil karya manusia (ekonomi, sosial budaya dan prasarana).
Defenisi arah perkembangan suatu daerah adalah adanya hubungan antara faktor
lokasi suatu daerah terhadap suatu pusat. Sedangkan defenisi tingkat
perkembangan ialah suatu respon dari daerah tersebut terhadap pusat yang lain.
Misalnya pola perkembangan dari daerah agraris menjadi daerah industri/agraris
dan seterusnya. Faktor –faktor diatas akan menentukan perubahan bentuk
(modifikasi) suatu daerah, dengan demikian akan didapat suatu tipe daerah yang
sebenarnya disebut tipe pokok. Dalam tipe pokok tersebut telah mengandung
pengertian faktor dasar (endogen) dan faktor perkembangan (development
potential) yang merupakan potensi khusus daerah (eksogen) seperti: pusat-pusat
kota, jalan perhubungan, pelabuhan utama dan pusat-pusat industri.
Infrastruktur fisik, terutama jaringan transportasi, memiliki keterkaitan
yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah maupun terhadap
inftastruktur sebagai modal sosial masyarakat merupakan tempat bertumpu
perkembangan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
mungkin dicapai tanpa ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan sebagai jaringan transportasi yang paling
dominan digunakan oleh penduduk untuk beraktivitas memegang peranan pening
dalam pembangunan wilayah. Oleh karena itu, pembangunan jalan harus
kompatibel dengan potensi sumberdaya dimana penentuan jaringan jalan dan
prioritas pengembangan akan menjadi penentu efektivitas pembangunan prasarana
jalan dari segi dampak terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.
II.2. Sistem Transportasi
Sistem transportasi memiliki satu kesatuan definisi yang terdiri atas: sistem,
yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variable dengan variable lain
dalam tatanan yang terstruktur, serta transportasi, yakni kegiatan pemindahan
penumpan dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Dari dua pengertian di atas,
pengertian sistem transportasi dapat diartikan sebagai bentuk keterkaitan dan
keterikatan yang integral antara berbagai variable dalam suatu kegiatan
pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Maksud
adanya sistem transportasi adalah untuk mengatur dan mengkoordinasikan
pergerakan penumpang dan barang yang bertujuan untuk memberikan
Dalam sistem transportasi terdapat 2 (dua) aspek yang sangat penting,
yakni:
1. Aspek sarana, berhubungan dengan jenis atau piranti yang
digunakan dalam hal pergerakan manusia dan barang, seperti mobil,
kapal, kereta api (KA) dan pesawat terbang. Aspek ini juga sering
disebut dengan moda atau jenis angkutan.
2. Aspek prasarana, berhubungan dengan wadah atau alat lain yang
digunakan untuk mendukung sarana, seperti jalan raya, jalan rel,
dermaga, terminal, bandara, dan stasiun kereta api.
Transportasi merupakan bagian integral dari suatu fungsi masyarakat yang sangat
erat kaitannya dengan gaya hidup, keterjangkauan dari lokasi kegiatan produktif,
dan selingan serta barang-barang dan pelayanan yang tersedia untuk dikonsumsi
(Morlok, 2005). Sistem transportasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan
cabang-cabang ilmu lain. Beberapa hubungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Ekonomi; sistem transportasi berhubungan dengan proses dan analisis
perhitungan manfaat dan biaya (cost and benefit) yang timbul akibat
adanya sistem pengangkutan.
b) Planologi; transportasi memungkinkan penduduk berubah dari makhluk
yang hidup secara nomad menjadi penghuni pemukiman permanen dan
akan menciptakan suatu peradaban. Sistem transportasi berhubungan erat
dengan pertumbuhan suatu daerah, fasilitas umum, pusat-pusat kegiatan,
daerah industri dan pariwisata. Dalam perencanaan dan pengembangan
c) Sosial-Politik; dari segi sosial sistem transportasi berkaitan dengan
konektivitas antar daerah (misalnya daerah terisolir), serta pemerataan
pembangunan. Dari segi politik, sistem transportasi berkaitan erat dengan
wawasan nusantara dan sistem Hankamnas (pertahanan dan keamanan
nasional).
d) Lingkungan; sistem transportasi selalu identik dan bersinggungan dengan
aspek lingkungan, seperti polusi udara dan suara. Polusi udara sebagian
besar disebabkan oleh kendaraan yang merupakan bagian dari sistem
transportasi.
e) Hukum; sistem transportasi berkaitan erat dengan hukum dan
perundang-undangan sebagai aspek legal dalam hal pengaturan teknis seluruh sistem
transportasi. Misalnya UU No.22/2009 tentang Lalulintas dan Angkutan
Jalan.
f) Budaya; sistem transportasi dapat mempermudah pengembangan budaya,
serta dapat memberikan andil dalam hal aglomerasi pluralism budaya yang
berdampak positif dalam hal kesatuan berbangsa dan bernegara.
g) Geografi; dalam hal kependudukan, sistem transportasi berkaitan erat
dengan kebutuhan sarana transportasi pada lingkup area dengan tingkat
kependudukan yang tinggi. Dalam hal topografi, sistem transportasi
berhubungan dengan kondisi daerah (pegunungan, dataran). Dalam hal
iklim, dapat berkaitan dengan curah hujan, banjir, dan struktur konstruksi
jalan. Jenis dermaga dan kapal yang digunakan juga berhubungan erat
Transportasi juga sangat membantu dalam menyediakan berbagai kemudahan
seperti :
1. Pelayanan untuk perorangan maupun kelompok
2. Pertukaran untuk penyampaian informasi
3. Perjalanan untuk bersantai
4. Perluasan jangkauan perjalanan sosial
5. Pemendekan jarak antara rumah dan tempat kerja
6. Bantuan dalam memperluas kota atau memencarkan penduduk menjadi
kelompok yang lebih kecil (Warpani, 1990).
Transportasi bukan suatu tujuan akhir (ends), melainkan timbul akibat
adanya permintaan (derived demand), yaitu permintaan akan pergerakan orang
atau barang dari satu lokasi ke lokasi lain, pusat kegiatan ke pusat kegiatan lain.
Permintaan pergerakan tersebut ditunjang dan dipengaruhi oleh fasilitas dan
layanan transportasi. Secara keseluruhan transportasi sebagai suatu sistem terdiri
dari sistem/sub sistem kegiatan, jaringan, dan pergerakan (Kusbianto, 2005).
Sistem transportasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Sistem Kegiatan
Sistem kegiatan adalah penduduk dengan kegiatannya (demand system).
Makin tinggi kuantitas dari kualitas penduduk dengan kegiatannya, makin
tinggi pula kegiatan yang dihasilkannya, baik dari segi jumlah (Volume).
Frekuensi, jarak, moda, maupun tingkat pemusatan temporal dan atau
b. Sistem Jaringan
Sistem jaringan adalah jaringan infrastruktur dan pelayanan transportsi
yang menunjang pergerakan penduduk dengan kegiatannya (supply
system). Makin tinggi kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur serta
pelayanan transportasi, makin tinggi pula kuantitas dan kualitas
pergerakan yang dihasilkan (Kusbiantoro, 2005).
c. Sistem Pergerakan
Sistem pergerakan adalah pergerakan orang atau barang berdasarkan
besaran (volume), tujuan, lokasi asal tujuan, waktu perjalanan, jarak/lama
perjalanan, kecepatan, frekuensi, mlda, dan sebagainya. Semakin tinggi
kuantitas dan kualitas sistem pergerakan, makin tinggi pula dampak yang
ditimbulkan terhadap terhadap sistem kegiatan dan sistem jaringan
(Kusbiantoro, 2005). Sistem pergerakan ini timbul akibat adanya interaksi
antara sistem kegiatan dan sistem jaringan, sehingga menghasilkan
pergerakan orang dan barang dalam bentuk pergerakan orang dan
pergerakan kendaraan.
d. Sistem Kelembagaan
Sistem kelembagaan terdiri atas: (1) aspek legal, yakni
kesiapan/kesesuaian UU, PP, Kebijakan, RTRW, insentif disinsensitif,
dan lain sebagainuya, (2) aspek organisasi, yakni kesiapan organisasi
pemerintahan/dunia usaha/masyarakat, kejelasan pembagian tugas,
koordinasi antar organisasi, dan sebagainya, (3) aspek SDM, yakni
kesiapan SDM (operator, user, non-user, regulator, dan sebagainya)
pergerakan yang aman, nyaman, murah, handal, dan sesuai dengan
lingkungan (Tamin, 2000).
Sistem transportasi dapat berperan secara pasif yaitu melayani dinamika
permintaan sistem kegiatan dan berperan secara aktif yaitu mengarahkan secara
positif atau negative perkembangan sistem kegiatan (Kusbiantoro, 2005).
Objek dasar kajian perencanaan transportasi adalah pergerakan manusia atau
barang yang pasti melibatkan banyak moda transportasi. Pemilihan moda
transportasi oleh pengguna adalah waktu perjalanan, biaya, kenyamanan,
keselamatan, tingkat kepopuleran suatu moda, maksud perjalanan dan kelaziman
menggunakan suatu moda. Perilaku pelaku perjalanan dalam memilih moda
angkutan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: karakteristik pelaku
perjalanan (the characteristic of trip maker), karakteristik perjalanan (the
characteristic of trip) dan karakteristik sistem transportasi (the characteristic of
transportation system).
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemilihan moda angkutan dapat dibagi
tiga faktor yaitu:
1. Karakteristik pelaku perjalanan, meliputi: pemilihan kendaraan,
pendapatan dan tingkat sosial.
2. Karakteristik perjalanan, meliputi: tujuan, waktu dan jarak.
3. Karakteristik fasilitas transportasi, yaitu:
- secara kuantitatif, meliputi waktu tunggu, waktu yang diperlukan
untuk mengakses pada moda transportasi lainnya, tarif dan
ketersediaan tempat parkir.
II.2.1 Perencanaan Sistem Transportasi
Langkah-langkah dasar dalam proses sistem perencanaan biasanya adalah
sebagai berikut:
1. Definisi masalah
2. Kebutuhan untuk penyelesaian masalah
3. Penentuan Alternatif-alternatif
4. Evaluasi alternatif-alternatif
5. Pemilihan alternatif
Proses perencanaan sistem transportasi harus melalui langkah-langkah yang
harus diulang kembali untuk mendapatkan hasil akhir yang memuaskan.
Tiga karakteristik utama maslah teknik dan perencanaan sistem transportasi
yang membuat sistem tersebut cukup sukar direncanakan yaitu:
a) Daerah yang direncanakan yang menyangkut ribuan ataupun jutaan
perjalanan penduduk dalam jumlah angkutan yang berbeda-beda.
b) Dengan tersedianya baragam cara dalam teknologi transportasi dan
beragam cara operasi ataupun harga, terdapat banyak cara untuk
mengubah sistem transportasi di daerah tersebut.
c) Tujuan yang hendak dicapai dengan peningkatan sistem trasnportasi
seringkali sukar didefinisikan dengan angka, dan dengan sendirinya tidak
hanya menyangkut soal waktu perjalanan seseorang (Lang dan Wohl,
II.3. Jaringan Transportasi
Menurut Morlok (2005) jaringan ialah suatu konsep matematis yang dapat
digunakan untuk menerangkan secara kuantitatif sistem transportasi dan sistem
lain yang mempunyai karakteristik ruang.
Jaringan transportasi secara teknis terdiri atas :
1. Simpul (node), yang berupa terminal, stasiun KA, Bandara, Pelabuhan
2. Ruas (link), yang berupa jalan raya, jalan rel, rute angkutan udara, alur
kepulauan Indonesia (ALKI).
Jaringan transportasi yang dominan berupa jaringan transportasi jalan. Jalan
sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan.
Jalan dikembangkan melalui pendekatan pembangunan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan
memperkukuh kesatuan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional (UU No.38 tahun 2004 tentang
jalan). Agar transportasi jalan dapat berjalan secara aman dan efisien maka perlu
dipersiapkan suatu jaringan transportasi jalan yang handal yang terdiri dari ruas
dan simpul.
Menurut Stapleton dan Richards (1982) dalam Liklikwatil (2004), kaitan
antara transportasi, mobilitas, dan pemenuhan kebutuhan dasar adalah :
• Kebutuhan dasar dapat diperoleh melalui pengembangan mobilitas dan
transportasi, sebagai akses yang baik menuju tempat pelayanan dan
perekonomian dalam masyarakat, yang secara umum memperbaiki posisi
komunitas tersebut terhadap dunia luarnya.
• Penanganan jaringan jalan memerlukan proses penentuan prioritas
penenganan, karena besarnya biaya penanganan yang ada.
• Kebutuhan transport tidak selalu dapat teridentifikasi.
• Diperlukan upaya penyelarasan penanganan jaringan jalan dan kebutuhan
transportasi.
Jadi prioritas penanganan jaringan jalan sangat berkaitan dengan kebutuhan
transportasi karena memerlukan biaya penanganan yang besar.
Penentuan prioritas penanganan jalan didasarkan pada perbandingan antara
kebutuhan dan ketersediaan jaringan jalannya. Penentuan prioritas jaringan
didasarkan pada jumlah total produk yang dipasarkan dan prioritas ruas
didasarkan pada indeks volume pergerakan lalu lintas untuk pemasaran
perkapasitas jalan dengan mempertimbangkan jalur jalan, rasio lebar jalan
eksisting dengan lebar jalan rencana, dan status fungsi jalannya
Kebutuhan transportasi dapat diperkirakan dari permintaan atas jasa
transportasi. Menurut Morlok (2005) permintaan atas jasa transportasi merupakan
cerminan kebutuhan akan transport dari pemakai sistem tersebut, baik untuk
angkutan manusia maupun angkutan barang.
Permintaan atas jasa transportasi diturunkan dari :
(1) kebutuhan seseorang untuk berjalan dari satu lokasi ke lokasi lainnya
untuk melakukan kegiatan, dan
(2) permintaan akan angkutan barang tertentu agar tersedia ditempat yang
II.3.1. Jaringan Jalan
II.3.1.1 Sejarah
Jalan raya dipercayai telah ada sejak peradaban manusia ada, karena awal
pergerakan manusia melalui berjalan berjalan kaki menyusuri jalan setapak ,
kemudian dengan bantuan hewan sebagai alat transportasi seperti kuda, kereta
kuda, hingga era mesin. Pada awal digunakannya hewan maka jalan dibuat
rata. Jalan yang diperkeras pertama kali dibuat pada tahun 3500 SM di
Mesopotamia. Pada jaman Romawi, struktur perkerasan jalan mulai
berkembang pesat dengan adanya konstruksi perkerasan yang terdiri dari
beberapa lapis perkerasan. Era berikutnya adalah era struktur perkerasan
macadam, yang diperkenalkan oleh John Louden Mac Adam (1756-1836) dari
Scotlandia, yakni perkerasa yang terdiri dari batu pecah atau batu kali,
sedangkan pori-pori di atasnya ditutup dengan batu yang lebih halus
ukurannya. Lapisan atas macadam ini juga telah diberi lapisan aus kedap air
dengan menggunakan aspal sebagai pengikat, serta ditaburi pasir kasar. Pada
tahun 1716-1796 seorang Prancis bernama Pierre Marie Jerome Tresaquet
mengembangkan sistem lapisan batu pecah yang dilengkapi sistem drainase,
dengan kemiringan melintang dan telah menggunakan pondasi batu. John
Telford (1757-1834) dari Skotlandia mengembangkan perkerasan yang terdiri
dari batu pecah berukuran 15/20 hingga 25/30 yang disusun tegak, yang
ditutup dengan batu-batu kecil untuk menutup pori-pori dan meratakan
permukaannya. Struktur ini dikenal dengan nama sistem Telford.
Sejarah struktur jalan raya di Indonesia sangat erat hubungannya dengan
terkenal adalah pembangunan jalan pos oleh Daendels yang dibangun dari
Anyer (Banten) hingga Banyuwangi (Jawa Timur) pada akhir abad 18 dengan
sistem kerja paksa. Cabang-cabang jalan pos ini dikenal dengan masa ‘tanam
paksa’ untuk memperlancar pengangkutan hasil tanaman. Di era setelah
kemerdekaan, Indonesia mulai membangun jalan dengan klasifikasi yang lebih
baik pada awal tahun 1970. Jalan tol pertama adalah Jalan Tol Jagorawi yang
menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi sepanjang 35 km dan diresmikan pada
9 Maret 1978.
II.3.1.2 Klasifikasi Jaringan Jalan
Menurut Undang-undang RI No.38 Tahun 2004 tenteng jalan pada pasal 7
disebutkan bahwa sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer
dan sistem jaringan jalan sekunder.
Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem
jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2004 pasal 8,
jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam:
a. Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi malayani angkutan
utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
b. Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan
rata-rata rendah.
Menurut pasal 9 Undang-Undang RI No.38 tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan
jalan umum menurut statusnya dikelompokkan menjadi:
a. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkkan antar ibokota provinsi, jalan
strategis nasional, serta jalan tol. Wewenang pembinaannya oleh
Pemerintah Pusat.
b. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis
provinsi.
c. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer
yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang
mengubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar
pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota, merupakan jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder
yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan
pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta
menghubungkan antarpusat pemukiman yang berada di dalam kota.
e. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan
dan/atau antarpemukiman yang berada di dalam kota.
Berdasarkan MTS (Muatan Sumbu Terberat), sistem jaringan jalan
diklasifikasikan atas:
a. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan lebar ≤ 2.50 m dan panjang ≤ 18 m dan MST > 10 ton.
b. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan lebar ≤ 2.50 m dan panjang ≤ 18 m dan MST ≤ 10 ton.
c. Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan lebar ≤ 2.50 m dan panjang
≤ 18 m dan MST ≤ 8 ton.
d. Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
e. Jalan kelas III C, yaitu jalan local yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan lebar ≤ 2.10 m dan panjang ≤ 9 m dan MST ≤ 8 ton.
f. Untuk jalan desa ialah jalan yang melayani angkutan pedesaan dan
wewenang pembinaannya oleh masyarakat serta mempunyai MST kurang
dari 6 ton belum dimasukkan dalam UU No. 13 Tahun 1980 maupun PP
No.43 Tahun 1993.
Sistem prasarana wilayah adalah jaringan yang menghubungkan satu pusat
kegiatan dengan pusat kegiatan lainnya (Tarigan, 2004). Sarana transportasi
adalah salah satu dari sekian macam alat penghubung yang dimaksudkan untuk
melawan jarak. Melawan jarak ditempuh dengan menyediakan sistem sarana dan
prasarana transportasi, yaitu alat untuk bergerak, menyediakan ruang untuk alat
angkut tersebut, dan tempat berhentinya, mengatur kegiatan transportasi,
menentukan tempat perhentian, lokasi untuk berproduksi dan mengkonsumsi,
serta merencanakan untuk perkembangan selanjutnya (Tamin, 2000). Selain itu
masih ada unsur cepat dan nyaman.
Analisa jarak dan kesempatan terdekat berkaitan dengan peran jalan dan
transportasi dalam proses pembangunan. Jalan sebagai prasarana transportasi
perlu mendapat perhatian khusus, terutama untuk meningkatkan aksesibilitas
penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya, atau dari wilayah pedesaan,
pedalaman (hinterland). Analisis ini perlu karena transportasi amat menentukan
kegiatan ekonomi, secara langsung dapat mempengaruhi biaya produksi, yang
selanjutnya akan berpengaruh terhadap harga pasar (Riyadi dan Bratakusumah,
Dalam kehidupan ekonomi, yang penting adalah produksi barang dan jasa,
penyaluran dan pertukaran barang tersebut, dan konsumsinya. Dalam
meningkatkan perkembangan kegiatan social dan ekonomi, prasarana
(infrastruktur) merupakan hal yang penting. Pembangunan tidak dapat berjalan
dengan baik jika prasarana tidak baik. Jadi prasarana dapat dianggap sebagai
faktor potensial dalam menentukan masa depan dari perkembangan suatu wilayah
perkotaan dan pedesaan (Jyadinata, 1999).
Memindahkan barang dari (dari daerah surplus) ke pasar (atau ke daerah
minus) sehingga menjadi barang berguna dan memenuhi suatu kebutuhan
merupakan bagian penting kehidupan sosio ekonomi suatu daerah. Kelancaran
mbilitas barang sangat penting artinya sebagai kelanjutan dari suatu lini
pembuatan yang membentuk mata rantai terakhir seluruh proses produksi
(Warponi, 2002).
II.4. Fungsi Jalan Berkaitan dengan Pembangunan
Pembangunan merupakan usaha sadar dan berencana untuk meningkatkan
mutu hidup yang dalam pelaksanaanya akan selalu menggunakan dan mengelola
sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya buatan (Sugeng
Martopo, 1997). Salah satu tujuan pokok dari pembangunan itu adalah
pembangunan wilayah-wilayah yang ada didalamnya terutama dalam keserasian
perkembangan atau laju pertumbuhan antar wilayah dalam daerah tersebut. Faktor
dan prasarana wilayah khususnya sarana dan fasilitas sosial ekonomi. Sarana dan
fasilitas ekonomi seringkali merupakan faktor dominan yang berperan dalam
memajukan wilayah.
Menurut Cornwall (1983) dalam Liklikwatil (2004) secara garis besar
terdapat empat faktor penting yang harus didapatkan dari fungsi sebuah jalan agar
dapat mempengaruhi pembangunan, yaitu :
a. Jalan harus dapat memberikan akses menuju kawasan potensial
produksi.
b. Jalan harus dapat memberikan akses menuju pasar dimana produk dari
kawasan tersebut dapat dipasarkan.
c. Jalan harus dapat memberikan keuntungan terhadap harga produksi
dan harga transport.
d. Ukuran pasar harus mampu menyerap suplai barang baru tanpa
menyebabkan harga turun.
Pemasaran diartikan semacam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa
atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen (Murbyanto, 1994).
Menurut sudiyanto (2004), secara umum pemasaran dianggap sebagai proses
aliran barang yang terjadi dalam pasar. Dalam pemasaran ini barang mengalir dari
produsen sampai ke konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk
melalui proses penyimpanan. Peterson (dalm Sudiyono, 2004) mendefinisikan
pemasaran secara tradisional (Traditional Marketing) dan Modern (Modern
Marketing). Pemasaran secara tradisional merupakan aktifitas usaha yang
menunjukkan secara langsung aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
penetapan harga, dan distribusi barang atau jasa yang menimbulkan pertukaran
sehingga dapat memenuhi kebutuhan individu atau organisasi.
II.4.1 Arah Pengembangan Jaringan Transportasi
Arah pengembangan jaringan transportasi adalah pelayanan transportasi
antar moda yang mampu memberikan pelayanan yang berkesinambungan
(seamless services), tepat waktu (just in time services), dan dapat memberikan
pelayanan dari pintu ke pintu (door to door services) di dalam operasionalisasinya
perlu adanya kesesuaian (compability) antar sarana dan fasilitas yang ada pada
prasarana moda-moda transportasi yang terlibat, kesetaraan tingkat pelayanan
(level of service) sesuai dengan standar yang dibakukan, sinkronisasi dan
keterpaduan jadwal pelayanan, efektivitas dan efisiensi aktivitas alih moda yang
didukung dengan sistem tiketing dan dokumen angkutan serta teknologi informasi
yang memadai.
Perwujudan pelayanan jaringan transportasi antar moda juga harus di
integrasikan antar trayek atau rute-rute angkutan jalan, kereta api, sungai dan
danau, penyeberangan, laut dan udara, dengan memperhatikan keunggulan moda
berdasarkan kesesuaian teknologi dan karakteristik wilayah pelayanan.
Prinsip dasar penataan dan pembangunan jaringan transportasi adalah
sebagai berikut ini:
1. Fungsional, yakni jaringan yang dikelompokkan dalam berbagai
2. Struktural, yakni pada masing-masing tatanan dirumuskan susunan
yang saling terkait, namun dapat diklasifikasikan berdasarkan
intensitasnya.
3. Keunggulan karakteristik moda dan keterpaduan, yakni dalam
menentukan peran masing-masing moda pada setiap tataran dilakukan
dengan memanfaatkan secara maksimal keunggulan masing-masing
moda, sedangkan kelemahannya dapat diantisipasi dengan cara
pemaduan antar moda.
4. Optimalisasi, yakni pilihan terhadap suatu tatanan dikaitkan dengan
faktor pembatas sumber daya dalam upaya pemanfaatan maksimal
dengan pengorbanan minimal, serta memberikan kontribusi maksimal
dalam upaya pelestarian lingkungan.
Indikator output pangembangan jaringan transportasi adalah meliputi:
keselamatan, aksesibilitas yang tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur,
lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib,
aman, rendah polusi dan efisien.
II.5 Teori Lokasi dan Pusat Pertumbuhan
Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (1933)
dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan
bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan
perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah
sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan)
: (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan
aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah.
Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada
tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai
“pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Menurut
Rondinelli (1985) dan Unwin (1989) dalam Mercado (2002) bahwa teori pusat
pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di Negara
berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke
bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan
ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado
(2002), konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik.
Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu
memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat
memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect)
pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim
dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya
pada sector industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan
pasar akan menjamin ekuilibrium (keseimbangan) dalam distribusi spasial
ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan
terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang
hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan
perusahaan-perusahaan besar.
Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down
effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak
terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan
dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di
pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi
kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002).
II.6. Pengertian, Karakteristik, dan Tipologi Desa
II.6.1. Pengertian dan Karakteristik Desa
Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal I, yang
dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Menurut UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintah Daerah, desa adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintah terendah, langsung
dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Sutardjo Kartohadikusumo, desa adalah suatu kesatuan hukum
Menurut C.S. Kansil, desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
II.6.1.1 Unsur-unsur Desa
Dalam pembentukan sebuah desa terdapat tiga unsur pokok, yaitu:
a. Daerah/wilayah yang merupakan tempat tinggal dan tempat beraktivitas
berupa tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan
lingkungan geografis.
b. Penduduk, adalah terkait dengan kualitas dan kuantitasnya, misalnya
jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata
pencaharian penduduk.
c. Tata kehidupan atau aturan-aturan yang berhubungan langsung dengan
keadaan masyarakat, pola tata pergaulan dan adat istiadat setempat.
II.6.1.2 Pengertian Masyarakat Desa dan Karakteristiknya
Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama
hidup dan bekerjasama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya
Sedangkan yang dimaksud dengan desa menurut Bintaro, desa merupakan
perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan cultural yang
terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal
balik dengan daerah lain. Pendapat lainnya yaitu menurut Paul H. Landis, desa
adalah masyarakat yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan
karakteristiknya sebagai berikut:
a. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan
jiwa
b. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan
c. Cara berusaha (perekonomian) umumnya adalah agraris yang sangat
dipengaruhi alam seperti; iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan
pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan
d. Diantara masyarakatnya mempunyai hubungan yang lebih mendalan
bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lain yang di luar
batas-batas wilayahnya.
e. Masyarakat tersebut sifatnya homogeny, seperti dalam hal mata
pencaharian, agama, adat istiadat dan sebagainya.
f. Penduduk desa merupakan unit sosial dan unit kerja.
II.6.1.3 Kehidupan Sosial Masyarakat Pedesaan
Corak kehidupan masyarakat di desa dapat dikatakan masih homogeny
dan pola interaksinya horizontal, banyak dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan.
Semua pasangan berinteraksi dianggap sebagai anggota keluarga. Serta hal yang
sosial. Interaksi sosial selalu diusahakan supaya kesatuan sosial (social unity)
tidak terganggu, konflik atau pertentangan sosial sedapat mungkin dihindarkan
jangan sampai terjadi. Prinsip kerukunan inilah yang menjiwai hubungan sosial
pada masyarakat pedesaan. Kekuatan yang mempersatukan masyarakat
masyarakat pedesaan itu timbul karena adanya kesamaan-kesamaan
kemasyarakatan, seperti kesamaan adat kebiasaan, kesamaan tujuan dan kesamaan
pengalaman.
II.6.1.4 Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Pada masyarakat pedesaan mata pencaharian bersifat homogeny yang
berada di sector ekonomi primer, yaitu bertumpu pada bidang pertanian.
Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk
keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Jadi kegiatan
di desa adalah mengolah alam untuk memperoleh bahan-bahan mentah untuk
memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Pada umumnya masyarakat pedesaan menganut sistem ekonomi
tradisional atau sistem ekonomi tertutup, cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ekonomi masyarakat terbatas untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan
bersama.
II.6.1.5 Kehidupan Budaya Masyarakat Pedesaan
Kebudayaan adalah cara hidup yang dibina oleh suatu masyarakat guna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti untuk bertahan hidup,
adalah penjumlahan atau akumulasi semua obyek materi, pola organisasi
kemasyarakatan, tingkah laku, pengetahuan, kepercayaan dan lain-lain yang
dikembangkan dalam pergaulan hidup manusia.
Kebudayaan tidaklah diwariskan secara biologis. Setiap angkatan
mempelajari sendiri dan meneruskan pada generasi berikutnya dan ditambah
dengan apa yang dirubah atau dikembangkan selama masa hidupnya dengan
transmisi ini maka dimungkinkan adanya kelangsungan kebudayaan selama
beberapa generasi. Kebudayaan yang diturunkan kepada generasi berikutnya itu
dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan:
a. Kebiasaan, yaitu cara yang sudah menetap dan umum untuk melakukan
sesuatu, dan sudah diakui oleh masyarakat.
b. Adat, yaitu cara tingkah laku dalam masyarakat yang diberi sanksi dan
dianggap sebagai cara yang tetap dan baik.
c. Upacara peribadatan, yaitu suatu rangkaian gerak dan perkataan yang
dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan para var simbolik perkataan
tertentu dan cara-cara yang mempunyai arti.
II.6.2 Tipologi Desa
Tipologi dari masyarakat desa dilihat dari kegiatan pokok yang ditekuni
masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu tipologi
desa bias dilihat dari segi pemukiman maupun dari tingkat perkembangan
masyarakat desa itu sendiri, dilihat dari segi mata pencaharian pokok yang
dikerjakan. Tipologi masyarakat desa terbagi dua yaitu desa pertanian dan desa
• Desa pertanian
Menurut Landis ada 4 tipe desa pertanian, yaitu Farm Village
Type, Nebulous Farm Village Type, Arranged Isolated Farm Type, Pure
Isolated Farm Type, Everett, M.Rogers dan Rabelj. Burge dalam bukunya
“Social change in Rural societies menambahkan tipe desa yaitu The
scaffered farmstead community and The Cluster Village.
• Desa Industri
Selain dilihat dari aspek mata pencaharian, tipologi desa juga dapat
dilihat dari perkembangan masyarakatnya, yaitu;
1) Desa Tradisional (Swadaya), yaitu desa yang masih terikat oleh
tradisi karena taraf pendidikannya relatif rendah, produksi
diarahkan untuk kebutuhan primer keluarga, dan komunikasi ke
luar sangat terbatas.
Atau, desa swadaya adalah suatu wilayah pedesaan yang hampir
seluruh masyarakatnya mampu memenuhi kebutuhannya dengan
cara mengadakan sendiri.
Ciri-ciri desa swadaya :
a) Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya.
b) Penduduknya jarang.
c) Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris.
d) Bersifat tertutup.
e) Masyarakat memegang teguh adat.
f) Teknologi masih rendah.
h) Hubungan antarmanusia sangat erat.
i) Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
2) Desa Swakarya, yaitu desa yang sudah agak longgar adat
istiadatnya karena pengaruh luar, mengenal teknologi pertanian,
dan taraf pendidikan warganya relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan desa lainnya.
Atau, desa yang sudah bias memenuhi kebutuhannya sendiri,
kelebihan produksi sudah mulai dijual ke daerah-daerah lainnya.
Ciri-ciri desa swakarya :
a) Adanya pengaruh dari luar sehingga mengakibatkan perubahan
pola pikir.
b) Masyarakat sudah mulai terlepas dari adat.
c) Produktivitas mulai meningkat.
d) Sarana prasarana mulai meningkat.
e) Adanya pengaruh dari luar yang mengakibatkan perubahan cara
berpikir.
3) Desa Swasembada, yaitu desa yang lebih maju daripada desa
swakarya dan tidak terikat lagi oleh adat-istiadat yang ketat.
Atau, desa yang lebih maju dan mampu mengembangkan semua
potensi yang ada secara optimal,dengan ciri-ciri berikut :
a) Hubungan antarmanusia bersifat rasional.
b) Mata pencaharian homogen.
c) Teknologi dan pendidikan tinggi.
e) Terlepas dari adat.
f) Sarana dan prasarana lengkap dan modern.
Tipologi desa adalah teknik untuk mengenal desa-desa yang banyak
jumlahnya, sehingga konkrit permasalahannya.
Tingkat perkembangan desa ditentukan oleh :
• Imbangan daya unsur-unsur dari dalam desa itu sendiri.
• Pengaruh unsur-unsur dari dalan desa itu sendiri
• Intensitas pengaruh unsure luar ditentukan oleh posisi desa tersebut
terhadap pusat-pusat unit wilayah yang lebih besar dan pusat-pusat
fasilitas.
Disamping dapat dilihat dari faktor-faktor diatas, maka tingkat
pertumbuhan desa dapat dilihat dari komposisi jenis jalan dan karakteristik
kegiatan ekonomi yaitu primer, sekunder, dan tersier.
Komponen potensi desa berdasarkan perumusan diskusi penelitian desa di
Cibogo 1971 digolongkan sebagai berikut :
1. Alami: Lokasi, Luas Desa, Keadaan Tanah, Keadaan Air, keadaan
alam nabati dan hewani.
2. Manusia: Jumlah pendudk, Penyebarannya (Density), karakteristiknya
meliputi :(susunan umur, susunan kelamin (seks), adat istiadat dan
agama, organisasi masyarakatdan gotong royong).
3. Kegiatan Ekonomi: Agraris (Primer) yang meliputi : (pertanian,
perikanan, peternakan, pengumpulan hasil hutan), industri/kerajinan
4. Prasarana: Prasarana perhubungan dan komunikasi, prasarana
pengairan/produksi, prasarana pemasaran/pasar-pasar, kios-kios dan
lain-lain, prasarana pendidikan, kesehatan (social budaya).
Berdasarkan analisis Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah bekerja sama
dengan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan dan Center for Urban and
Regional Development Curds Medan (April 2009), Di Indonesia, sistem
klasifikasi dan tipologi desa didasarkan atas pendekatan ekosistem. Pendekatan
ini, dapat diidentifikasikan adanya sepuluh faktor yang menentukan tingkat
perkembangan sebuah desa, yaitu sebagai berikut.
5. a. Faktor penduduk (D–Density).
6. b. Faktor alam (N–Nature).
7. c. Faktor orbitrasi desa (U–Urban centre).
8. d. Faktor mata pencarian (E–Earning).
9. e. Faktor pendapatan desa (Y–Yield/Output).
10.f. Faktor adat istiadat (C–Custom).
11.g. Faktor kelembagaan (L).
12.h. Faktor pendidikan (E–Education).
13.i. Fakor gotong royong (Gr).
14.j. Faktor prasarana desa (P).
Dalam penelitian Tugas Akhir ini kita menggunakan tipologi desa
berdasarkan perkembangan masyarakatnya, yaitu desa swadaya, desa swakarya
dan desa swasembada. Dalam pengolahan data selanjutnya perlu dianalisis secara
sistematik dari tiap factor atau komponen penyusun tipologi desa. Factor manusia
perlu suatu alat pengukur (parameter)yang akan dipakai dalam analisis
selanjutnya.
II.7 Pengantar Statistika
II.7.1 Pengertian Istilah Statistik
Statistik (statistic) berasal dari kata state yang artinya negara. Disebut
Negara karena sejak dahulu kala statistik hanya digunakan untuk
kepentingan-kepentingan negara saja. Kepentingan negara itu meliputi berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan, sehingga lahirlah istilah statistik yang pemakaiannya
disesuaikan dengan lingkup datanya.
Ada kalanya data yang dikumpulkan di lapangan disajikan dalam bentuk
tabel atau diagram dengan uraian yang lebih rinci dan di bagian atas atau bawah
dari tabel atau diagram dituliskan judul yang sesuai dengan nama ruang lingkup
data yang diperoleh. Statistik yang fungsinya untuk menyajikan data tertentu
dalam bentuk tabel dan diagram ini termasuk statistik dalam arti sempit atau
statistik deskriptif.
Statistik deskriptif ialah susunan angka yang memberikan gambaran
tentang data yang disajikan dalam bentuk-bentuk tabel, diagram, histogram,
poligon frekuensi, ozaiv (ogive), ukuran penempatan (median, kuartil, desil, dan
persentil), ukuran gejala pusat (rata-rata hitung, rata-rata ukur, rata-rata harmonic,
dan modus), simpangan baku, angka baku, kurva normal, korelasi, dan regresi
linier. Sebaliknya, statistik dalam arti luas yaitu salah satu alat untuk
mengumpulkan data, mengolah data, menarik kesimpulan dan membuat
luas ini meliputi penyajian data, yang berarti meliputi statistik dalam arti sempit.
Statistik dalam arti luas ini disebut juga dengan istilah statistika.
II.7.2 Peranan Statistik
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah ledakan data, kita tidak dapat
melepaskan diri dari data, baik data itu bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Kedua sifat data tersebut dapat dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif
atau gabungan dari keduanya. Dalam menghadapi data yang berserakan itu, aliran
kuantitatif yang berakar dari paham positivism memandang bahwa data dan
kebenaran itu sudah ada di sekitar kita. Kita ditantang untuk mengumpulkannya
melalui teknik pengumpulan data baik melalui pengamatan, wawancara, angket
maupun dokumentasi secara objektif. Setelah data itu terkumpul, maka
dilanjutkan dengan mengolah data tersebut dalam bentuk penyajian data. Dalam
hal ini statistik deskriptif sangat diperlukan karena peneliti akan dapat
mendeskripsikan data yang dikumpulkan. Pada perkembangan selanjutnya,
mungkin peneliti ingin membedakan data berdasarkan rata-rata kelompokinya
atau ingin menghubungkan data yang satu dengan yang lainnya atau ingin
meramalkan pengaruh data yang satu dengan yang lainnya sehingga akhirnya
peneliti dapat menarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisisnya. Jadi,
statistika berperan sebagai alat untuk deskripsi, komparasi, korelasi, regresi, dan
komunikasi.
a. Deskripsi yaitu menggambarkan atau menerangkan data seperti mengukur