• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perbandingan Kandungan Besi Pada Beberapa Spesies Bayam Secara Spektrofotometri Serapan atom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Perbandingan Kandungan Besi Pada Beberapa Spesies Bayam Secara Spektrofotometri Serapan atom"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

OLEH: WINDA YANI NIM 111524049

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

(2)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: WINDA YANI NIM 111524049

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

OLEH: WINDA YANI NIM 111524049

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 27 Juli 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Tuty R. Pardede, M.Si., Apt. Drs. Chairul A. Dalimunthe, M.Sc., Apt. NIP 195401101980032001 NIP 194907061980021001

Pembimbing II, Dra. Tuty R. Pardede, M.Si., Apt. NIP 195401101980032001

Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt. Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt. NIP 195006221980021001 NIP 195191311976031003

Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. NIP 195409101983032001

Medan, September 2013 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

limpahan berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini di susun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar

Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan

judul Studi Perbandingan Kandungan Besi Pada Beberapa Spesies Bayam

Secara Spektrofotometri Serapan atom.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr.

Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. Tuti Roida Pardede, M.Si., Apt., dan Bapak

Dr. Muchlisyam M.Si., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk

serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Drs.

Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt., dan Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt., serta

Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt., selaku dosen penguji yang telah

memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang

telah mendidik selama perkuliahan dan Ibu Dra. Fat Aminah M.Si., Apt., selaku

(5)

perkuliahan. Ibu Dra. Masfria, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Kimia

Farmasi Kualitatif USU dan Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra,

S.U., Apt., selaku kepala Laboratorium penelitian USU yang telah memberikan

izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan

penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada Ayahanda Pairin dan Ibunda Rusmawati yang telah

memberikan cinta kasih yang tidak ternilai dengan apapun, doa yang tulus serta

pengorbanan baik materi maupun non materi. Adik, Kakak dan Abang yang

selalu memberikan dorongan dan semangat. Sahabat-sahabat ekstensi 2011,

terima kasih untuk dorongan, semangat dan kebersamaan nya selama ini, serta

seluruh pihak yang telah ikut mebantu penulis yang tidak dapat di sebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran

demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini

dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, 27 Juni 2013 Penulis,

(6)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN

ATOM

ABSTRAK

Bayam merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu bagian dari tanaman bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia. Zat besi yang terkandung pada daun bayam berbeda antara spesies satu dengan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan besi pada berbagai spesies bayam.

Metode penelitian yang dilakukan yaitu analisis kualitatif besi dengan menggunakan pereaksi kalium heksasianoferat (II) dan amonium tiosianat dan analisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm dengan menggunakan nyala udara – asetilen.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan besi dalam bayam adalah (13,3854 ± 0,4126) mg/100g, bayam merah adalah (11,1592 ± 0,7117) mg/100g dan bayam duri adalah (25,0405 ± 0,8555) mg/100g. Secara statistik, uji beda rata-rata kandungan besi antara bayam, bayam merah dan bayam duri dengan menggunakan distribusi t, menyimpulkan bahwa kandungan besi pada bayam duri dan bayam lebih tinggi secara signifikan dari bayam merah.

(7)

THE COMPARATIVE STUDY ON SOME SPECIES OF IRON CONTENT IN SPINACH BY ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETR Y

ABSTRACT

Spinach is a vegetable that has long been known and is widely cultivated by farmers in all parts of Indonesia. One piece of useful plant spinach leaves. In the spinach leaves are pretty much protein, calcium, iron and vitamins needed by humans. Iron contained in spinach leaves differ from one species to another. The purpose of this study was to determine differences in the iron content of spinach in a variety of species.

Research methodology is a qualitative analysis of iron using potassium heksasianoferat reagent (II) and ammonium thiocyanate and quantitative analysis using atomic absorption spectrophotometer at a wavelength of 248.3 nm using a flame air - acetylene.

The results showed iron content in spinach is (13.3854 ± 0.4126) mg/100g, red amaranth was (11.1592 ± 0.7117) mg/100g and spinach thorns is (25.0405 ± 0.8555) mg/100g. Statistically, the average difference test between the iron content of spinach, red spinach and spinach spines using the t distribution, concluded that the iron content in spinach and spinach thorns is significantly higher than the red spinach.

(8)

DAFTAR ISI

JUDUL Halaman

HALAMAN PEN GESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAK A ... 5

2.1 Bayam ... 5

2.1.1 Mengenal Tanaman Bayam ... 5

2.1.2 Taksonomi Tanaman Bayam ... 6

2.1.3 Jenis-jenis Bayam ... 6

2.1.4 kandungan Gizi bayam ... 9

2.1.5 Manfaat Tanaman Bayam ... 10

2.2 Mineral ... 10

(9)

2.4 Keberadaan Besi di dalam Tanaman Bayam ... 12

2.5 Analisis K ualitatif Besi ... 12

2.5.1 Kompleksometri ... 12

2.5.2 Gravimetri ... 13

2.5.3 Spektofotometri Sinar Tampak ... 13

2.5.3.1 Metode tiosianat ... 13

2.5.3.2 Metode 1,10- fenantrolina ... 13

2.5.3.3 Metode asam tioglikolat ... 14

2.5.4 Spektrofotometri Serapan Atom ... 14

2.5.4.1 Instrumentasi SSA ... 15

2.5.4.2 Gangguan-gangguan pada SSA ... 19

2.6 Validasi metode Analisis ... 20

BAB III METODE PEN ELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Bahan-bahan ... 23

3.2.1 Sampel ... 23

3.2.2 Pereaksi ... 23

3.3 Alat-alat ... 23

3.4 Identifikasi sampel ... 24

3.5 Pembuatan Pereaksi ... 24

3.5.1 Larutan HNO3 (1:1) v/v ... 24

3.5.2 Larutan HNO3 1 N v/v ... 24

3.5.3 Larutan Kalium Heksasianoferat (II) 10% b/v ... 24

3.5.4 Larutan Amonium Tiosianat 8% b/v ... 24

3.6 Prosedur Penelitian ... 25

3.6.1 Pengambilan Sampel ... 25

(10)

3.6.3 Proses Destruksi ... 25

3.6.4 Pembuatan Larutan Sampel ... 26

3.6.5 Analisis K ualitatif ... 26

3.6.5.1 Reaksi warna dengan Kalium heksasianoferat(II) ... 26

3.6.5.2 Reaksi warna dengan Amonium tiosianat ... 26

3.6.6 Analisis K uantitatif ... 27

3.6.6.1 Pembuatan K urva Kalibrasi Besi ... 27

3.6.6.2 Penetapan Kadar Besi dalam Sampel ... 27

3.6.6.2.1 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.) ... 27

3.6.6.2.2 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) ... 28

3.6.6.2.3 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) ... 28

3.6.7 Penentuan Batas Deteksi dan batas kuantitasi ... 29

3.6.8 Uji Perolehan Kembali (Recovery) ... 29

3.6.9 Simpangan Baku Relatif ... 30

3.6.10 Analisis data Secara Statistik ... 31

3.6.11 Pengujian Beda N ilai Rata-rata ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Analisis K ualitatif ... 35

4.2 Analisis K uantitatif ... 36

4.2.1 Kurva Kalibrasi Besi ... 36

(11)

4.2.3 Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi pada

Bayam, Bayam merah, Bayam duri ... 38

4.2.4 Batas Deteksi dan Batas K uantitasi ... 40

4.2.5 Uji Perolehan kembali (Recovery) ... 40

4.2.6 Simpangan Baku Relatif ... 41

BAB V K ESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. N ilai Qkritis pada Taraf Kepercayaan 95% ... 32

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif dalam Sampel ... 35

Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Besi dalam Sampel Bayam .. 37

Tabel 3. Hasil Uji Beda N ilai Rata-rata Besi dalam Sampel ... 39

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kurva Kalibrasi Besi ... 36

Gambar 2. Sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.) ... 48

Gambar 3. Sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) ... 48

Gambar 4. Sampel Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) ... 49

Gambar 5. Spektrofotometer Serapan Atom hitachi Z-2000 ... 50

Gambar 6. Neraca Analitik ... 50

Gambar 7. Tanur Stuart ... 51

Gambar 8. Hasil analisis kualitatif dengan Larutan pereaksi Kalium heksasianoferat (II) 8% ... 54

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Sampel ... 45

Lampiran 2. Gambar Sampel yang Digunakan ... 48

Lampiran 3. Alat-alat yang Di gunakan ... 50

Lampiran 4. Bagan Alir Proses Dekstruksi Kering ... 52

Lampiran 5. Bagan Alir Proses Pembutan Larutan Sampel ... 53

Lampiran 6. Hasil Analisis K ualitatif Besi ... 54

Lampiran 7. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Besi ... 55

Lampiran 8. Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (r) ... 56

Lampiran 9. Hasil Analisis Kadar Besi dalam Sampel ... 58

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Sampel ... 59

Lampiran 11. Perhitungan Statistik Kadar Besi ... 61

Lampiran 12. Perhitungan Batas Deteksi dan K uantitasi ... 64

Lampiran 13. Hasil Uji Perolehan Kembali Besi Setelah Penambahan Larutan Baku ... 66

Lampiran 14. Perhitungan Uji Perolehan Kembali Besi dalam Sampel ... 67

Lampiran 15. Perhitungan Simpangan Baku Relatif ... 68

Lampiran 16. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam dan Bayam merah ... 69

Lampiran 17. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam dan Bayam duri ... 71

Lampiran 18. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam merah dan Bayam duri ... 73

Lampiran 19. Tabel Distribusi t ... 75

(15)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN

ATOM

ABSTRAK

Bayam merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu bagian dari tanaman bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia. Zat besi yang terkandung pada daun bayam berbeda antara spesies satu dengan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan besi pada berbagai spesies bayam.

Metode penelitian yang dilakukan yaitu analisis kualitatif besi dengan menggunakan pereaksi kalium heksasianoferat (II) dan amonium tiosianat dan analisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm dengan menggunakan nyala udara – asetilen.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan besi dalam bayam adalah (13,3854 ± 0,4126) mg/100g, bayam merah adalah (11,1592 ± 0,7117) mg/100g dan bayam duri adalah (25,0405 ± 0,8555) mg/100g. Secara statistik, uji beda rata-rata kandungan besi antara bayam, bayam merah dan bayam duri dengan menggunakan distribusi t, menyimpulkan bahwa kandungan besi pada bayam duri dan bayam lebih tinggi secara signifikan dari bayam merah.

(16)

THE COMPARATIVE STUDY ON SOME SPECIES OF IRON CONTENT IN SPINACH BY ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETR Y

ABSTRACT

Spinach is a vegetable that has long been known and is widely cultivated by farmers in all parts of Indonesia. One piece of useful plant spinach leaves. In the spinach leaves are pretty much protein, calcium, iron and vitamins needed by humans. Iron contained in spinach leaves differ from one species to another. The purpose of this study was to determine differences in the iron content of spinach in a variety of species.

Research methodology is a qualitative analysis of iron using potassium heksasianoferat reagent (II) and ammonium thiocyanate and quantitative analysis using atomic absorption spectrophotometer at a wavelength of 248.3 nm using a flame air - acetylene.

The results showed iron content in spinach is (13.3854 ± 0.4126) mg/100g, red amaranth was (11.1592 ± 0.7117) mg/100g and spinach thorns is (25.0405 ± 0.8555) mg/100g. Statistically, the average difference test between the iron content of spinach, red spinach and spinach spines using the t distribution, concluded that the iron content in spinach and spinach thorns is significantly higher than the red spinach.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bayam (Amaranthus L.) merupakan genus dari berbagai spesies bayam

diantaranya bayam (Amaranthus hybridus L.), bayam merah (Amaranthus

tricolor L.) dan bayam duri (Amaranthus spinosus L.) (Sunarjono, 2009).

Tanaman ini merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan

secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di negara lain.

Tanaman ini terdiri dari beberapa spesies dan varietas, baik yang telah

dibudidayakan maupun masih merupakan tanaman liar. Di Indonesia hanya

dikenal dua spesies bayam budi daya yaitu Amaranthus tricolor L. dan

Amaranthus hybridus L. Di luar spesies bayam tersebut merupakan bayam liar

(Bandini dan Nurudin, 2001).

Bagian bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat

cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan

oleh manusia, terutama bagi anak-anak dan ibu yang sedang hamil. Zat besi yang

terdapat di daun bayam dapat mencegah penyakit anemia atau kurang darah dan

memperkuat tulang dan gigi (Bandini dan Nurudin, 2001).

Tubuh tidak mampu mensintesa mineral sehingga unsur-unsur mineral

ini harus disediakan lewat makanan (Budianto, 2009). Mineral mikro terdapat

dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai fungsi

(18)

mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 3-5

gram di dalam tubuh manusia dewasa. Mineral besi yang terikat dengan

hemoglobin mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh : sebagai alat

angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam

sel dan sebagai unsur Fe merupakan bagian terpenting dari reaksi enzim di dalam

jaringan tubuh (Almatsier, 2004).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, kandungan besi

yang terdapat dalam bayam merah lebih banyak dari bayam karena bayam

tersebut berwarna merah, sehingga mereka menganggap bahwa bayam merah

dapat menambah darah karena warna merah tersebut yang seperti darah. Tetapi

menurut literatur yang mengandung besi lebih banyak adalah bayam

dibandingkan bayam merah, sedangkan pada bayam duri belum diketahui.

Perbedaan kandungan besi pada bayam disebabkan oleh kandungan klorofil

yang terdapat dalam daun bayam tersebut (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Besi berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan klorofil, protein dan

berperan dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim

sitokrom, katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi

dengan kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan

terhambatnya pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Analisis kuantitatif besi dapat dilakukan secara Spektrofotometri sinar

tampak, Gravimetri, Kompleksometri dan Spektrofotometri serapan atom.

(19)

didasarkan pada ketelitian alat, kecepatan analisis, tidak memerlukan pemisahan

pendahuluan, dan dapat menetukan kadar suatu unsur dengan konsentrasi yang

rendah (Khopkar, 2008). Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelitian

terhadap perbedaan kandungan besi pada tiga spesies bayam yang terdapat di

Indonesia.

1.1 Perumusan Masalah

1. Berapakah kadar besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah

dan Bayam duri.

2. Apakah ada perbedaan kadar besi yang terkandung di dalam Bayam,

Bayam merah dan Bayam duri.

1.2 Hipotesis

1. Besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri

dalam jumlah tertentu.

2. Terdapat perbedaan kadar besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam

merah dan Bayam duri.

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kadar besi pada Bayam, Bayam merah dan Bayam

duri.

2. Untuk membandingkan kadar besi yang terdapat dalam Bayam, Bayam

(20)

1.4Manfaat Penelitian

Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang kandungan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bayam

2.1.1 Mengenal Tanaman Bayam

Bayam merupakan salah satu jenis sayuran komersial yang mudah di

peroleh disetiap pasar, baik pasar tradisional maupun pasar swalayan. Harganya

pun dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Tanaman ini awalnya

berasal dari negara Amerika beriklim tropis, namun sekarang tersebar keseluruh

dunia. Hampir semua orang mengenal dan menyukai kelezatan nya, karena

lunak, dapat memberikan rasa dingin dalam perut dan memperlancar

pencernaan. Umumnya yang dikonsumsi adalah bagian daun dan batangnya

(Bandini dan Nurudin, 2001).

Tanaman bayam sangat mudah dikenali, yaitu berupa perdu yang tumbuh

tegak, batangnya tebal berserat dan ada beberapa jenis yang mempunyai duri.

Daunnya bisa tebal atau tipis, besar atau kecil, berwarna hijau atau ungu kemerahan

(pada jenis bayam merah). Bunganya berbentuk pecut, muncul di pucuk tanaman

atau pada ketiak daunnya. Bijinya berukuran sangat kecil berwarna hitam atau

coklat dan mengkilap. Tanaman bayam sangat toleran terhadap perubahan keadaan

iklim. Bayam banyak ditanam di dataran rendah hingga menengah, terutama pada

ketinggian antara 5-2000 meter dari atas permukaan laut. Kebutuhan sinar matahari

untuk tanaman bayam adalah tinggi, dimana pertumbuhan optimum dengan suhu

rata-rata 20-300C, curah hujan antara 1000-2000 mm, dan kelembaban di atas 60 %.

Oleh karena itu, bayam tumbuh baik bila ditanam di lahan terbuka dengan sinar

(22)

2.1.2 Taksonomi Tanaman Bayam

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), dalam taksonomi tanaman,

bayam diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dycotyledoneae

Ordo : Chenopodiales

Family : Amaranthaceae

Genus : Amaranthus L

Tanaman bayam digolongkan dalam keluarga Amaranthaceae. Sebagai

keluarga Amaranthaceae, bayam termasuk tanaman gulma yang tumbuh liar.

Namun karena perkembangannya, manusia memanfaatkan bayam sebagai tanaman

budidaya yang mengandung gizi tinggi.

2.1.3 Jenis-jenis Bayam

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), secara ringkas bayam dapat di

kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Bayam Liar

Bayam ini tumbuh secara liar, dapat dijumpai di lahan-lahan kosong

tak terurus, sebagai gulma di lahan pertanian atau di tempat-tempat

yang lembap, seperti di tepi selokan. Tanaman ini tumbuh cepat dan

semakin subur jika musim hujan tiba.

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), jenis bayam liar yang ada yaitu

(23)

a. Bayam tanah (Amaranthus blitum L.), mempunyai ciri utamanya

terletak pada batang yang berwarna merah. Daun nya berbentuk

lancip dan kecil. Rasanya agak keras dan kasar.

b. Bayam berduri (Amaranthus spinosus L.), mempunyai ciri-ciri

yang sama dengan bayam tanah, yaitu daun kecil tetapi batangnya

berwarna hijau. Namun pada batang nya terdapat duri yang keluar

dari buku-bukunya. Bayam ini dapat di konsumsi, tetapi lebih

banyak di gunakan obat atau bahan untuk kecantikan.

2. Bayam budi daya

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), jenis bayam budi daya

memang sengaja dibudidayakan untuk dikonsumsi karena rasa

daunnya empuk dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Jenis

bayam yang banyak di budidayakan adalah sebagai berikut:

a. Bayam cabut (Amaranthus tricolor L.)

Bayam cabut disebut juga bayam sekul atau bayam putih.

Cirinya, daun agak bulat dengan daging yang tebal dan lemas.

Bunga keluar dari ketiak cabang. Batang berwarna hijau

keputih-putihan sampai merah. Adapun varietas dari bayam cabut adalah

sebagai berikut:

1. Giti hijau

Tanaman ini merupakan introduksi dari Thailand, umur 28

(24)

mencapai 20-25 cm. Bercabang sedikit, bentuk batang bulat

langsing, halus dan berwarna keputih-putihan. Daun

berwarna hijau keputih-putihan, berbentuk mirip delta,

berukuran kecil, dan berurat halus (Bandini dan Nurudin,

2001).

2. Giti merah

Bayam ini juga merupakan tanaman introduksi dari Thailand.

Ciri-ciri tanaman ini antara lain bercabang sedikit, tinggi

tanaman pada waktu cabut yaitu 20-25 cm. Batang berwarna

merah tua, bentuk bulat, langsing dan halus. Tanaman ini

dipanen pada umur 30 hari (Bandini dan Nurudin, 2001)

b. Bayam Petik/bayam tahunan (Amaranthus Hybridus L.)

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), tanaman ini berdaun lebar,

berbatang tegap. Daun diambil secara dipetik. Pemetikan ini dapat

berlangsung hingga tahunan sehingga di sebut bayam tahunan. Tetapi

sekarang bayam ini dipanen dengan cara dicabut saat masih muda

karena kebutuhan pasar yang mendesak. Adapun varietas dari bayam

petik ini adalah sebagai berikut:

a. Amaranthus hybridus varietas caudatus

Daun agak panjang dengan ujung runcing dan berwarna

hijau. Bayam ini juga di sebut bayam ekor kucing.

(25)

Daun agak besar dan berwarna hijau. Perbanyakannya

banyak di negara Asia Tenggara (Bandini dan Nurudin,

2001).

2.1.4 Kandungan Gizi bayam

Di dalam daun tanaman bayam terdapat cukup banyak kandungan protein,

mineral, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Pada

tabel di bawah ini diuraikan mengenai komposisi gizi yang terkandung tiap 100g

pada daun tanaman bayam, yaitu:

No Zat gizi Bayam hijau Bayam merah

1 Kalori (kal) 36 52

2 Karbohidrat 6,5 10

3 Lemak (g) 0,5 0,5

4 Protein (g) 3,5 4,6

5 Kalsium (mg) 267 368

6 Posfor (mg) 6,7 111

7 Besi (mg) 3,9 2,2

8 Vitamin A (SI) 6090 5800

9 Vitamin B 1 (mg) 0,08 0,08

10 Vitamin C (mg) 80 80

11 Air (g) 86,9 82

(Bandini dan Nurudin, 2001)

2.1.5 Manfaat Tanaman Bayam

Mengkonsumsi bayam dalam jumlah yang cukup memberikan manfaat yang

besar. Ditinjau dari kandungan gizinya, bayam merupakan jenis sayuran hijau yang

(26)

anak-anak dan para ibu yang sedang hamil. Di dalam daun bayam terdapat cukup banyak

kandungan protein, mineral, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh

tubuh manusia. Kandungan vitamin A dalam daun bayam berguna untuk

memberikan ketahanan tubuh dalam menanggulangi penyakit mata, sakit

pernafasan, kesehatan kulit dan selaput lendir. Kandungan vitamin B dapat

mencegah penyakit beri-beri, memperkuat syaraf dan melenturkan otot rahim,

sehingga dianjurkan bagi ibu yang sedang hamil untuk memudahkan persalinan nya.

Vitamin C sangat membantu menyembuhkan sariawan atau gusi berdarah. Zat besi

dapat mencegah penyakit anemia dan sakit kuning serta memperkuat tulang dan

gigi. Manfaat lain dari bayam yaitu akarnya dapat menjadi obat untuk

menghilangkan panas (antipiretik), meluruhkan kencing (diuretik), menghilangkan

racun (antitoksik), menyembuhkan bengkak, obat diare dan membersihkan darah

(Bandini dan Nurudin, 2001).

2.2 Mineral

Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting

dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun

fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro

dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam

jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang

dari 100 mg sehari (Almatsier, 2004).

Mineral merupakan unsur essensial bagi fungsi normal sebagian enzim.

Mineral merupakan konstituen tulang dan gigi, yang memberikan kekuatan

(27)

sehingga unsur-unsur ini harus disediakan lewat makanan

(Budianto, 2009).

2.3 Besi

Besi yang murni adalah logam berwarna putih perak, melebur pada

1535oC (Svehla, 1979). Sumber zat besi diantaranya adalah telur, daging, ikan,

tepung, gandum, roti, sayuran hijau, hati, bayam, kacang-kacangan, kentang dan

jagung. Fungsi besi diantaranya adalah:

- untuk pembentukan hemoglobin baru

- untuk mengimbangi sejumlah kecil zat besi yang secara konstan di

keluarkan tubuh terutama lewat urine ,feses dan keringat

Kebutuhan akan zat besi untuk berbagai jenis kelamin dan golongan usia adalah

sebagai berikut:

- untuk laki-laki dewasa 10 mg/hari

- wanita yang mengalami haid 12 mg/hari

- anak-anak 8-15 mg/hari

zat besi yang tidak mencukupi bagi pembentukan sel darah, akan mengakibatkan

anemia, menurunkan kekebalan tubuh, sehingga sangat peka terhadap serangan

penyakit (Budianto, 2009).

2.4 Keberadaan Besi di dalam tanaman bayam

Besi (Fe) merupakan unsur mikro yang di serap dari dalam tanah. Besi

(28)

dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim sitokrom,

katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi dengan

kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya

pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang (Rosmarkam dan

Yuwono, 2002). Defisiensi besi pada tanaman akan terlihat pada daun berwarna

hijau pucat (klorosis) (Winarso, 2005).

2.5 Analisis Kuantitatif Besi

Analisis kuantitatif besi dapat dilakukan secara Kompleksometri,

Gravimetri, Spektofotometri Sinar Tampak dan Spektrofotometri Serapan Atom

(Basset, et al, 1991).

2.5.1 Kompleksometri

Penetapan besi secara kompleksometri dilakukan dengan cara masukkan

larutan besi ke dalam labu erlenmeyer, kemudian sesuaikan pH menjadi 2-3,

kemudian tambahkan 5 tetes indikator biru variamina, panaskan labu sampai

suhu 40oC dan titrasi dengan larutan EDTA (0,05 M) standar sampai warna awal

larutan yang biru berubah menjadi abu-abu tepat sebelum titik akhir, dan dengan

tetes reagensia yang terakhir, berubah menjadi kuning (Basset, et al, 1991).

2.5.2 Gravimetri

Penetapan besi secara gravimetri dapat dilakukan dengan cara

menambahkan amonia sedikit berlebih ke dalam larutan besi untuk

mengendapkan oksida – terhidrasi Fe2O3.xH2O. kemudian endapan disaring

(29)

klorida, kemudian endapan hasil saringan dipijar pada suhu 1000oC sehingga

menghasilkan besi oksida atau panaskan pada tanur pada suhu 500-550oC dan

timbang hasil pemijaran. Ulangi hasil pemijaran (10-15 menit) hingga diperoleh

berat konstan (dengan batas selisih 0,0002 g) (Basset, et al, 1991).

2.5.3 Spektrofotometri Sinar Tampak

Penetapan besi dengan spektrofotometri sinar tampak dapat dilakukan

dengan 3 metode, yaitu metode tiosianat, metode 1,10-fenantrolina dan metode

asam tioglikolat (Basset, et al, 1991).

2.5.3.1 Metode tiosianat

Besi(III) bereaksi dengan tiosianat menghasilkan senyawa kompleks

yang berwarna merah tua [Fe(SCN)6]3- yang dapat diukur absorbansi nya dengan

spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 480 nm (Basset, et al,

1991).

2.5.3.2 Metode 1,10-fenantrolina

Besi(II) bereaksi dengan 1,10-fenantrolina membentuk kompleks jingga

merah [C12H8N2)3Fe]2+ yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak

pada panjang gelombang 515 nm. Besi(III) dapat direduksi dengan

hidroksilamonium klorida atau dengan hidrokuinon menjadi besi(II), apabila

ingin direaksikan dengan 1,10- phenantrolina (Basset, et al, 1991).

(30)

Besi(III) bereaksi dengan asam tioglikolat memberikan warna ungu

merah yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang

gelombang 535 nm (Basset, et al, 1991).

2.5.4 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif

unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit

(ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu

sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel

tersebut. Cara ini cocok untuk analisis kelumit logam karena mempunyai

kepekaan yang tinggi ( batas deteksi kurang dari 1 ppm ), pelaksanaannya relatif

sederhana, dan interferensinya sedikit. Spektrofotometri serapan atom

didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dan sinar yang

diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Dalam garis besarnya prinsip

spektrofotometri serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak

dan ultraviolet. Perbedaan nya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaaan

sampel dan peralatannya. Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan

menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat

unsurnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam (atau suatu

senyawa logam) dihembuskan kedalam suatu nyala (misalnya asetilena yang

terbakar di udara) dapatlah terbentuk uap yang mengandung atom-atom logam

(31)

atau dengan perkataan lain, dalam keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan

panjang gelombang yang khas dengan logam tersebut dilewatkan nyala yang

mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya tersebut

akan diserap dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya

atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari

spektrofotometri serapan atom (SSA) (Basset, et al, 1991).

2.5.4.1 Instrumentasi SSA

Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Gambar Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom (Gandjar dan Rohman, 2007)

1. Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow

catodhe lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung

suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat

dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan

gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya

[image:31.596.124.477.343.497.2]
(32)

Bila anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka

katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda

yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi dalam perjalanannya menuju

anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang bertabrakan tadi. Akibat dari

tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron

dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif ini

selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi yang tinggi

pula. Sebagaimana disebutkan diatas, pada katoda terdapat unsur-unsur yang

sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Unsur-unsur ini akan ditabrak oleh

ion-ion positif gas mulia. Akibat tabrakan ini, unsur-unsur akan terlempar ke luar

dari permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan

mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan

memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan

dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007).

2. Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan

dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan

asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu

sampel menjadi uap atom-atom yaitu: dengan nyala (flame) dan tanpa nyala

(flameless) (Gandjar dan Rohman, 2007).

(33)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau

cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Suhu

yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas-gas yang digunakan, misalkan

untuk gas batubara-udara, suhunya kira-kira sebesar 1800oC; gas alam-udara:

1700oC; asetilen-udara: 2200oC; dan gas asetilen-dinitrogen oksida (N 2O) sebesar 3000oC (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemilihan bahan bakar dan bahan pengoksida serta komposisi

perbandingannya sangat mempengaruhi suhu nyala. Sumber nyala yang paling

banyak di gunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan bakar dan udara

sebagai pengoksida (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Tanpa nyala (flameless)

Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurang peka karena: atom gagal

mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk ke dalam nyala terlalu besar, dan

proses atomisasi kurang sempurna. Oleh karena itu muncullah suatu teknik

atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan

dalam tungku dari grafit seperti tungku yang dikembangkan oleh Masmann

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Sejumlah sampel diambil sedikit (untuk sampel cair diambil hanya

beberapa µL, sementara sampel padat diambil beberapa mg), lalu di letakkan

dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem

elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini,

maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi

(34)

sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah

analisis kuantitatif. Sistem pemanasan dengan tanpa nyala ini dapat melalui 3

tahap yaitu: pengeringan (drying) yang membutuhkan suhu yang relatif rendah,

pengabuan (ashing) yang membutuhkan suhu yang lebih tinggi dan pengatoman

(atomising) (Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Monokromator

Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk

memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan untuk analisis

(Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui

tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton

(photomultiplier tube). Ada 2 cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi

yaitu: (a) yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi

kontinyu; dan (b) yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi

(Gandjar dan Rohman, 2007).

5. Readout

Readout merupakan suatu sistem pencatatan hasil yang berupa hasil

pembacaan. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi

untuk pembacaan transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka

atau kurva (Gandjar dan Rohman, 2007).

(35)

Menurut (Gandjar dan Rohman, 2007), yang dimaksud dengan

gangguan-gangguan pada SSA adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan

pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar

dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel.

Gangguan-gangguan yang dapat terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut:

1. Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang mana dapat

mempengaruhi banyaknya sampel yang mencapai nyala

Sifat – sifat tertentu matriks sampel dapat mengganggu analisis yakni

matriks tersebut dapat berpengaruh terhadap laju aliran bahan bakar gas

pengoksidasi. Sifat-sifat tersebut adalah viskositas, tegangan permukaan, berat

jenis dan tekanan uap. Gangguan matriks yang lain adalah pengendapan unsur

yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala menjadi lebih sedikit

dari konsentrasi yang seharusnya yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan

Rohman, 2007).

2. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah/banyak nya atom

yang terjadi di dalam nyala

Terbentuknya atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas di dalam

nyala sering terganggu oleh dua peristiwa kimia yaitu: disosiasi

senyawa-senyawa yang tidak sempurna dan ionisasi atom-atom di dalam nyala. Terjadi

disosiasi yang tidak sempurna disebabkam oleh terbentuknya senyawa-senyawa

yang bersifat refraktorik (sukar diuraiakan di dalam nyala api). Contoh senyawa

(36)

Dengan terbentuknya senyawa ini, maka akan mengurangi jumlah atom netral

yang ada di dalam nyala. Ionisasi atom-atom di dalam nyala dapat terjadi jika

suhu yang digunakan untuk atomisasi terlalu tinggi. Prinsip analisis dengan SSA

adalah mengukur absorbansi atom-atom netral yang berada dalam keadaan azas.

Jika terbentuk ion maka akan mengganggu pengukuan absorbansi atom netral

karena atom-atom yang mengalami ionisasi tidak sama spektrum atom dalam

keadaan netral (Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Gangguan oleh penyerapan non-atomik (non atomic absorption)

Gangguan jenis ini berarti terjadinya penyerapan cahaya dari sumber

sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non

atomik dapat disebabkan oleh adanya penyerapan cahaya oleh partikel-partikel

padat yang berada di dalam nyala (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap

parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan

bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil

analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai

persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil

analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan

(37)

dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti

menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan

pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu:

Metode simulasi (spiked-placebo recovery)

Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke

dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran

tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard additionmethod)

Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah

tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan

dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya

(hasil yang diharapkan) (Harmita, 2004).

Dalam kedua metode tersebut, persen peroleh kembali dinyatakan

sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. % Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo

(eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi

tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan),

kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Tetapi bila tidak

memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen

misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan

konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode

tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa

persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

2. Keseksamaan (precision)

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian

(38)

rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil

dari campuran yang homogen (Harmita, 2004).

3. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang

hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel (Harmita, 2004).

4. Linearitas dan Rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon

yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,

proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah

pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat

ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima

(Harmita, 2004).

5. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan

blangko. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif dan

di Laboratorium Penelitian Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara pada bulan Februari 2013 - April 2013.

3.2 Bahan-bahan

3.2.1 Sampel

Sampel yang digunakan adalah sampel segar yaitu Bayam (Amaranthus

hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) yang diambil secara

purposif di Pasar Sore Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan dan Bayam

duri (Amaranthus spinosus L.) yang diambil dari kompleks USU Medan

(Gambar dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 48 dan 49).

3.2.2 Pereaksi

Semua pereaksi yang digunakan adalah pro analis keluaran E. Merck

yaitu HNO3 65% b/v, Larutan baku besi 1000 µg/ml, Kalium heksasianoferat

(II), Amonium tiosianat, kecuali Aquabides (PT. Ikapharmindo Putramas).

3.3 Alat-alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer

(40)

Whatman no.42, Neraca analitik (Shimadzu), Botol gelap, Kurs porselen, Cawan

penguap, Hot plate (Shott), Alat-alat gelas (Pyrex dan Oberoi).

3.4 Identifikasi Sampel

Identifikasi tanaman bayam dilakukan oleh Laboratorium Taksonomi

Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Sumatera Utara.

3.5 Pembuatan Pereaksi

3.5.1 Larutan HNO3 (1:1) v/v

Larutan HNO3 (1: 1) dibuat dengan cara mengencerkan 500 ml HNO3

65% b/v dengan air suling 500 ml (Ditjen POM,1979).

3.5.2 Larutan HNO3 1 N v/v

Larutan HNO3 1 N dibuat dengan cara mengencerkan 69 ml HNO3 65%

b/v dengan air suling 1000 ml(Ditjen POM,1979).

3.5.3 Larutan Kalium Heksasianoferat (II) 10% b/v

Larutan Kalium heksasianoferat (II) 10% b/v dibuat dengan cara

melarutkan sebanyak 10 g kalium heksasianoferat (II) dengan 100 ml air suling

(Ditjen POM, 1995).

(41)

Larutan Amonium tiosianat 8% b/v dibuat dengan cara melarutkan

sebanyak 8 g Amonium tiosianat dengan 100 ml air suling (Ditjen POM, 1995).

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif

yang dikenal juga sebagai sampling pertimbangan dimana sampel ditentukan

atas pertimbangan bahwa populasi sampel adalah homogen dan sampel yang

tidak diambil mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel yang sedang

diteliti (Sudjana, 2005).

3.6.2 Penyiapan Bahan

Sampel yang digunakan adalah Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.

Masing-masing bayam yang masih segar diambil daunnya tetapi tidak ikut pucuk

daunnya, kemudian dicuci dengan aquades dan dikeringkan dengan dianginkan,

dirajang dan ditimbang masing-masing daun bayam sebanyak ± 100 g.

Kemudian dikeringkan selama 2 hari di udara terbuka.

3.6.3 Proses Dekstruksi

Bayam yang segar masing-masing ditimbang sebanyak ± 100 gram

dikeringkan selama 2 hari di udara terbuka, kemudian dimasukkan ke dalam

cawan porselen, ditambah 10 ml HNO3 p lalu diarangkan menggunakan hot plate

dengan suhu 100oC, lalu diabukan di tanur mula-mula pada temperature 100oC

dan secara perlahan-lahan dinaikkan interval 25oC setiap 5 menit sampai

(42)

dibiarkan dingin di dalam desikator. Kemudian abu dilarutkan dalam 10 ml

HNO3 (1:1) dan dipanaskan di atas hot plate dengan suhu 100oC sampai kering,

kemudian ditanur pada suhu 500oC selama 1 jam (Helrich, 1990 dengan

modifikasi). Bagan alir proses dekstruksi kering dapat dilihat pada Lampiran 4,

halaman 52.

3.6.4 Pembuatan larutan Sampel

Hasil dekstruksi dilarutkan dengan 10 ml HNO3 (1:1) hingga larut

sempurna, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan kurs

porselen dibilas dengan aquabides sebanyak 3 kali. Hasil pembilasan

dimasukkan ke dalam labu tentukur. Setelah itu dicukupkan volumenya dengan

aquabides hingga garis tanda. Kemudian disaring dengan kertas saring Whatman

no. 42 dengan membuang 5 ml larutan pertama hasil penyaringan untuk

menjenuhkan kertas saring (Helrich, 1990 dengan modifikasi). Larutan ini

digunakan untuk analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis yang sama

dilakukan sebanyak 6 kali untuk masing-masing sampel. Bagan alir proses

pembuatan larutan sampel dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 53.

3.6.5 Analisis kualitatif

3.6.5.1 Reaksi warna dengan Kalium heksasianoferat (II) 10 % b/v

Kedalam tabung reaksi dimasukkan 1 ml sampel kemudian ditambahkan

1 tetes kalium heksasianoferat (II) 10 % b/v. Jika terdapat besi maka akan terjadi

endapan biru tua (Svehla, 1979).

(43)

Kedalam tabung reaksi dimasukkan 1 ml sampel kemudian ditambahkan

1 tetes ammonium tiosianat 8 % b/v. Jika terdapat besi maka akan terbentuk

warna merah tua (Svehla, 1979).

3.6.6 Analisis kuantitatif

3.6.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Besi

Larutan baku besi (1000 µg/ml) dipipet sebanyak 10 ml dimasukkan ke

dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 1 N,

dicukupkan dengan aquabides sampai garis tanda (konsentrasi 100 µg/ml).

Larutan untuk kurva kalibrasi besi dibuat dengan memipet (2; 4; 6; 8 dan

10) ml larutan baku 100 µg/ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu

tentukur 100 ml, ditambahkan 10 ml HNO3 1 N kemudian dicukupkan dengan

aquabides sampai garis tanda (larutan ini mengandung 2 µg/ml, 4 µg/ml, 6

µg/ml, 8 µg/ml dan 10 µg/ml) dan diukur pada panjang gelombang 248,3 nm

dengan nyala udara-asetilen.

3.6.6.2 Penetapan Kadar Besi dalam Sampel

3.6.6.2.1 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.)

Larutan sampel bayam sebanyak 0,5 ml dimasukkan ke dalam labu

tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan

dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/0,5 = 50 kali).

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang

gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang

nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan

(44)

3.6.6.2.2 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor

L.)

Larutan sampel bayam merah sebanyak 1,0 ml dimasukkan ke dalam

labu tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan

dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/1,0 = 25 kali).

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang

gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang

nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan

berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi.

3.6.6.2.3 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus

L.)

Larutan sampel bayam sebanyak 0,25 ml dimasukkan ke dalam labu

tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan

dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/0,25 = 100 kali).

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang

gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang

nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan

berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi.

Kadar besi dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

(45)

Keterangan : C = konsentrasi logam dalam larutan sampel (µg/ml) V = volume larutan sampel (ml)

Fp = Faktor pengenceran W = berat sampel (g)

3.6.7 Penentuan Batas Deteksi dan batas kuantitasi

Menurut Harmita (2004), batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit

dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan.

Sebaliknya batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel

yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.

Batas deteksi dan batas kuantitasi ini dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut:

Simpangan baku =

− �

Batas Deteksi (LOD) =

Batas Kuantitasi (LOQ) = �

3.6.8 Uji Perolehan Kembali (Recovery)

Uji perolehan kembali atau recovery dilakukan dengan metode

penambahan larutan standar (standard addition method). Dalam metode ini,

kadar logam dalam sampel ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan

penentuan kadar logam dalam sampel yang sudah ditambahkan larutan standar

dengan konsentrasi tertentu, kemudian dihitung berapa jumlah analit yang

(46)

Sampel yang telah ditimbang ± 100 g dan telah dikeringkan, lalu

ditambahkan 10 ml larutan baku besi (konsentrasi 1000 µg/ml), kemudian

dilanjutkan dengan prosedur dekstruksi kering seperti yang telah dilakukan

sebelumnya. Prosedur pengukuran uji perolehan kembali dilakukan sama

dengan prosedur penetapan kadar sampel.

Menurut Harmita (2004), persen perolehan kembali dapat dihitung

dengan rumus di bawah ini:

Persen Perolehan Kembali = �− �

�∗

%

Keterangan : CA = Kadar logam dalam sampel sebelum penambahan baku (mg/100g)

CF = Kadar logam dalam sampel setelah penambahan baku (mg/100g)

C*

A = Kadar larutan baku yang ditambahkan (mg/100g)

3.6.9 Simpangan Baku Relatif

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau

koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang

menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode

dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Nilai simpangan baku

relatif yang memenuhi persyaratan menunjukkan adanya keseksamaan metode

yang dilakukan (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), rumus untuk menghitung simpangan baku

relatif adalah sebagai berikut:

RSD = 100%

X SD

(47)

SD = Standar Deviasi

RSD = Relative Standard Deviation

3.6.10 Analisis data Secara Statistik

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), kadar besi yang diperoleh dari

hasil pengukuran masing-masing larutan sampel dianalisis secara statistik

dengan metode standar deviasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SD =

1 -n X -Xi 2

Keterangan : Xi = Kadar sampel

X = Kadar rata-rata sampel n = jumlah pengulangan

Kadar besi yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing ke enam

larutan sampel, diuji secara statistik dengan uji Q.

Untuk mengetahui data ditolak atau diterima dilakukan dengan uji Q

yang dapat dihitung dengan rumus:

Qhitung =

terendah Nilai tertinggi Nilai terdekat yang Nilai dicurigai yang Nilai  

Hasil pengujian atau nilai Q yang diperoleh ditinjau terhadap daftar harga Q

pada Tabel 3.1, apabila Qhitung > Qkritis maka data tersebut ditolak.

Tabel 3.1 Nilai Qkritis pada Taraf Kepercayaan 95%

Banyak Data Nilai Qkritis

(48)

Menurut Sudjana

(2005), untuk menentukan kadar besi di dalam sampel dengan interval

kepercayaan 95,  = 0,05, dk = n-1, dapat digunakan rumus:

µ = X ± t

(½,dk)

x (SD/

n)

Keterangan : µ = interval kepercayaan X = kadar rata-rata sampel

t = harga t tabel sesuai dengan dk = n-1  = tingkat kepercayaan

SD = standar deviasi n = jumlah perlakuan

3.6.11 Pengujian Beda Nilai Rata-rata

Menurut Sudjana (2005), sampel yang dibandingkan adalah independen

dan jumlah pengamatan masing-masing lebih kecil dari 30 dan varians () tidak

diketahui sehingga dilakukan uji F untuk mengetahui apakah varians kedua

populasi sama (1 =  2) atau berbeda (1   2) dengan rumus:

F0 =

Keterangan : F0 = Beda nilai yang dihitung

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

5 0,717

6 0,621

7 0,570

(49)

Apabila dari hasilnya diperoleh Fo tidak melewati nilai kritis F maka dilanjutkan uji

dengan distribusi t dengan rumus:

to = −

� √ / + /

Sp

=

− � +

− �

+ −

Keterangan : X1 = kadar rata-rata sampel 1

X2 = kadar rata-rata sampel 2

Sp = simpangan baku

n1 = jumlah perlakuan sampel 1

n2 = jumlah perlakuan sampel 2

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

Dan jika Fo melewati nilai kritis F maka dilanjutkan uji dengan distribusi t dengan

rumus:

to = −

� √� / + � /

Keterangan : X1 = kadar rata-rata sampel 1

X2 = kadar rata-rata sampel 2

Sp = simpangan baku

n1 = jumlah perlakuan sampel 1

n2 = jumlah perlakuan sampel 2

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

Kedua sampel dinyatakan berbeda apabila to yang diperoleh melewati nilai kritis t, dan

(50)
(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan sebagai analisis pendahuluan untuk

mengetahui ada atau tidaknya besi dalam sampel. Data dan Gambar dapat dilihat

[image:51.596.112.476.285.464.2]

pada Tabel 1 dan Lampiran 6, halaman 54.

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif

No Sampel Pereaksi Hasil reaksi Hasil

1

Bayam

(Amaranthus

hybridus L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

2

Bayam merah

(Amaranthus

tricolor L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

3

Bayam duri

(Amaranthus

spinosus L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

Keterangan : + = Mengandung besi

Tabel di atas menunjukkan bahwa Bayam (Amaranthus hybridus L.),

Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus

L.) mengandung besi. Sampel di katakan positif mengandung besi jika

menghasilkan endapan biru tua dengan penambahan Kalium heksasianoferat II

(52)

4.2 Analisis kuantitatif

4.2.1 Kurva kalibrasi Besi

Kurva kalibrasi besi diperoleh dengan cara mengukur absorbansi dari

larutan standar besi pada panjang gelombang 248,3 nm. Dari pengukuran kurva

kalibrasi besi diperoleh persamaan garis regresi yaitu Y= 0,0234X + 0,0023

Gambar 1. Kurva kalibrasi Larutan Standar Besi

Berdasarkan kurva diatas diperoleh hubungan yang linear antara

konsentrasi dengan absorbansi, dengan koefisien korelasi (r) untuk besi sebesar

0,9995. Nilai r ≥ 0,97 menunjukkan adanya korelasi yang linear yang

menyatakan adanya hubungan antara X (konsentrasi) dan Y (absorbansi) (Ermer

dan Miller, 2005). Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar besi dan

perhitungan persamaan garis regresi dapat di lihat pada Lampiran 7 dan 8,

halaman 55 dan 56.

4.2.2 Analisis Kadar Besi dalam Bayam

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

0 2 4 6 8 10 12

A

bs

or

ba

ns

i

Konsentrasi ( µg/mL)

[image:52.596.115.493.263.436.2]
(53)

Pada pengukuran sampel yang dilakukan secara spektrofotometri serapan

atom, terlebih dahulu dikondisikan alat dan diatur modenya. Setelah itu

dilakukan pengenceran terhadap sampel. Pengenceran yang dilakukan yaitu

sebesar 25 kali untuk sampel Bayam merah, 50 kali untuk sampel Bayam dan

100 kali untuk Bayam duri. Untuk pengukuran kadar besi dalam sampel Bayam

duri, karena konsentrasi besi yang terdapat dalam Bayam duri besar, perlu

pengenceran 100 kali, agar berada dalam rentang kurva kalibrasi besi. Dan pada

sampel Bayam merah di perlukan pengenceran 25 kali, karena konsentrasi besi

yang terdapat dalam Bayam merah tidak sebesar konsentrasi besi yang terdapat

pada Bayam dan Bayam duri, maka hanya dengan pengenceran 25 kali

konsentrasi besi berada pada rentang kurva kalibrasi besi. Data dan contoh

perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10halaman 58 dan 59.

Analisis dilanjutkan dengan perhitungan statistik (perhitungan dapat

dilihat pada Lampiran 11, halaman 61. Hasil analisis kuantitatif besi pada sampel

[image:53.596.114.486.572.680.2]

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kadar besi dalam sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus

spinosus L.)

No Sampel Kadar Besi (mg/100g)

1 Bayam (Amaranthus hybridus L.) 13,3854 ± 0,4126

2 Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) 11,1592 ± 0,7117

(54)

Setelah dilakukan uji statistik terhadap kadar sampel maka dapat dilihat

bahwa kadar besi yang terdapat dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam

merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)

mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor

perbedaan spesies tanaman dan lingkungannya (Ruskin, 1984).

Dari hasil analisis kuantitatif, sesuai yang tercantum pada tabel, Bayam

duri dengan daun berwarna hijau yang lebih tua dari Bayam dan Bayam merah,

mempunyai kadar yang lebih tinggi dari Bayam dan Bayam merah, sedangkan

Bayam merah memiliki kadar besi yang paling kecil dibandingkan Bayam dan

Bayam duri.

Hal ini bertolak belakang dengan pendapat umum masyarakat bahwa

bayam merah mengandung besi yang lebih tinggi, tetapi kenyataannya tidak.

Besi berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan klorofil, protein dan

berperan dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim

sitokrom, katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi

dengan kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan

terhambatnya pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang

(Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Defisiensi besi pada tanaman akan terlihat

pada daun berwarna hijau pucat (klorosis) (Winarso, 2005).

4.2.3 Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi pada Bayam, Bayam Merah dan Bayam Duri

Pengujian nilai beda rata-rata kadar besi pada sampel bertujuan untuk

(55)

ke tiga sampel bayam. Uji statistik yang digunakan yaitu uji beda nilai rata-rata

kadar besi antara ketiga sampel dengan menggunakan distribusi t pada taraf

kepercayaan 95% , jika diperoleh to atau thitung lebih tinggi atau lebih rendah dari

range t tabel maka menunjukkan perbedaan kadar yang signifikan antara ketiga

sampel tersebut.

Tabel 3. Hasil Uji Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara tiga Sampel dari Spesies yang berbeda

Mineral No Sampel t hitung t tabel Kesimpulan

Besi

1 S1 terhadap S2 6,9563

± 2,2281

Ditolak

2 S1 terhadap S3 -54,4852 Ditolak 3 S2 terhadap S3 -34,0651 Ditolak

Keterangan : S1 = Sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.) S2 = Sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) S3 = Sampel Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)

Daerah kritis penolakan dengan menggunakan distribusi t dengan taraf

kepercayaan 95% adalah thitung < -2.2281 dan thitung > 2,2281. Dari tabel di atas

menunjukkan bahwa hipotesa ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan kandungan besi yang signifikan antara sampel Bayam (Amaranthus

hybridus L.), sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan sampel Bayam

duri (Amaranthus spinosus L.). Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17

dan 18, halaman 69, 71 dan

Gambar

Gambar Sampel yang Digunakan  ...................................
tabel di bawah ini diuraikan mengenai komposisi gizi yang terkandung tiap 100g
gambar di bawah ini:
Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara statistik uji beda rata-rata kadar mineral kalsium, kalium dan natrium antara daun kari segar dan daun kari rebus dengan menggunakan distribusi F menyimpulkan bahwa kadar

Hasil statistik uji beda rata-rata kadar mineral antara selada air segar dan selada air rebus dengan menggunakan distribusi F, menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

Hasil statistik uji beda rata-rata kadar mineral antara selada air segar dan selada air rebus dengan menggunakan distribusi F, menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

Hasil statistik uji beda rata-rata kadar mineral antara selada air segar dan selada air rebus dengan menggunakan distribusi F, menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

yang signifikan rata-rata kandungan mineral besi dalam daun kari segar dan daun kari rebus.. Pengujian Beda Nilai Rata-Rata Kandungan Mineral Magnesiumpada

Secara statistik uji beda rata- rata kadar mineral kalsium, natrium dan magnesium antara daun salam segar dan daun salam rebus dengan menggunakan distribusi F menyimpulkan bahwa kadar

Dari hasil uji statistik yaitu uji beda rata-rata yang dilanjutkan dengan uji t, diperoleh kandungan kalsium dan magnesium yang berbeda secara signifikan, di mana kandungan

Gangguan matriks yang lain adalah pengendapan unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala menjadi lebih sedikit dari konsentrasi yang seharusnya