• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan alat peraga mobil garis bilangan terhadap pemahaman konsep matematika siswa pada materi bilangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan alat peraga mobil garis bilangan terhadap pemahaman konsep matematika siswa pada materi bilangan"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

Ahmad Luthfi Firdaus

104017000538

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(2)

Skripsi yang berjudul “Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangan” disusun oleh Ahmad Luthfi Firdaus dengan Nomor Induk Mahasiswa 104017000538 Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayattullah Jakarta, telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak diajukan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan fakultas.

Jakarta, Juni 2011

Yang mengesahkan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Afidah Mas’ud Otong Suhyanto, M.Si

(3)

Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangan diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqosah pada tanggal 13 Juni 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Matematika.

Jakarta, Juni 2011 Panitia Ujian Munaqosah

Tanggal Tanda Tangan Ketua Panitia (Ketua Jurusan)

Maifalinda Fatra, M.Pd ... NIP. 19700528 199603 2 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan)

Otong Suhyanto, M.Si ... NIP. 19681104 199903 1 001

Penguji I

Dr. Kadir, M.Pd ... NIP. 19670812 199402 1001

Penguji II

Maifalinda Fatra, M.Pd ... NIP. 19700528 199603 2 002

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

(4)

Nama : AHMAD LUTHFI FIRDAUS NIM : 104017000538

Jurusan : Pendidikan Matematika Angkatan Tahun : 2004

Alamat : Jl. Muhasyim, Rt. 001/01, No. 26, Larangan Indah, Larangan, Tangerang, Banten.

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangan adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

1. Nama : Dra. Afidah Mas’ud NIP : 19610926 198603 2 004 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika 2. Nama : Otong Suhyanto, M.Si

NIP : 19681104 199903 1 001 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, Juni 2011 Yang menyatakan

(5)

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : AHMAD LUTHFI FIRDAUS Nim : 104017000538

Fakultas/Jurusan : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Matematika Jenis Penelitian : Skripsi

Judul : Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangan

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk:

1. Memberikan hak bebas royalty kepada perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas penulisan karya ilmiah saya, demi mengembangkan ilmu pengetahuan.

2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan/ pengalih formatkan.

3. Mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base), mendistribusikannya serta menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta.

4. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, Juni 2011 Yang menyatakan

(6)

ii

Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep matematika siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Joglo 03 Pagi Jakarta Barat dari tanggal 10 Januari 2011 sampai dengan tanggal 28 Januari 2011 pada siswa kelas empat. Sampel yang digunakan adalah 41 siswa kelas 4A sebagai kelas eksperimen dan 41 siswa kelas 4B sebagai kelompok kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan sebagai tes hasil belajar matematika adalah 22 butir soal berbentuk essay. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji – t untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan ternyata diperoleh thitung

sebesar 2,64 kemudian dikonsultasikan dengan taraf signifikansi sebesar 0,05 dan derajat kebebasan 80 diperoleh nilai ttabel sebesar 1,67. Karena thitung > ttabel

(2,64 > 1,67) maka H0 ditolak, sehingga terdapat perbedaan pemahaman konsep

matematika siswa antara kelas yang diajarkan dengan menggunakan alat peraga dengan siswa yang tidak diajarkan dengan menggunakan alat peraga. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep matematika siswa.

(7)

iii

Mathematic Education Department, Faculty of Education and Teaching Science, Syarif Hidayattullah State Islamic University Jakarta.

The research aims to understanding influence of the Media Usage to Students

Understanding of Mathematic Concept in the matter of “numbers”. The method

used in this research is quasi experiment method. Research was conducted in

January 10th until January 28th of 2011 at fourth grade of State Primary School of

Joglo 03, West Jakarta. The sampel is 41 students at class 4A as experiment class and 41 students at class 4B as control class. The instrument is 22 short essay type tests. The analytic technique in the research use the t-test to evaluate hypothesis.

Pursuant to result of calculation hypothesis test is obtained value of tcount 2,64

then consulted to ttabel at significant level 0,05 and degree of freedom 80, obtain

value of ttabel 1,67. Because tcount > ttabel (2,64 > 1,67), then H0 is rejected, so that

there are difference in understanding mathematic concept students between classes that are taught using media with students who are not taught using media. So that it can be deduced that students understanding of mathematic concept in class that are taught using media is better than students understanding of mathematic concept in class that are not taught using media.

(8)

iv

Tuhan semesta alam. Segala inspirasi dan kemudahan dalam pencapaian sebuah kesuksesan adalah anugerah Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, sahabatnya, serta umatnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah skripsi dengan judul ”Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangandapat penulis selesaikan dengan baik. Selama proses penyelesaian skripsi banyak elemen yang terlibat dan turut membantu membimbing penulis. Penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

2. Dosen pembimbing skripsi I Ibu Dra. Afidah Mas’ud atas segala kesempatan untuk berbagi ilmu dan korektor ketika penulis melakukan kekeliruan.

3. Dosen pembimbing skripsi II Bapak Otong Suhyanto M.Si, atas segala ilmu dan inspirasi dalam mengembangkan pola fikir penulis.

4. Dosen pembimbing akademik Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah, M.Pd atas segala arahan dan nasehat.

5. Ketua Jurusan, Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd, terima kasih atas segala dukungan dan perhatiannya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di jurusan yang beliau pimpin.

6. Para dosen dan staf jurusan Pendidikan Matematika UIN Jakarta atas segala ilmu dan pengetahuan kematematikaan sehingga penulis dapat sedikit tahu bagaimana cara belajar.

(9)

8. Para sahabat yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk bisa berbagi ilmu dan pengalaman.

9. Keluarga besar SD Negeri Joglo 03 Pagi, Jakarta Barat atas kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam mengaplikasikan sebuah pengajaran.

10. Teman-teman terbaik di jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2004. Terima kasih atas semua motivasi dan bantuannya selama ini.

Jakarta, Juni 2011

(10)

vi

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Perumusan Masalah ... 10

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Pembelajaran Matematika ... 12

1. Pengertian Belajar ... 12

2. Pengertian Dan Karakteristik Matematika ... 17

B. Pemahaman Konsep Dalam Pembelajaran Matematika ... 24

C. Media Pembelajaran ... 30

1. Alat Peraga Sebagai Media Pendidikan ... 30

a. Pengertian alat Peraga ... 30

b. Syarat Alat Peraga ... 33

c. Manfaat Alat Peraga ... 34

2. Alat Peraga Mobil Garis Bilangan ... 35

D. Kerangka Berfikir... 38

(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

C. Metode Penelitian ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 41

E. Instrumen Penelitian ... 42

1. Validitas Instrumen ... 42

2. Reliabilitas Instrumen ... 43

3. Uji Tingkat Kesukaran Butir Soal ... 43

4. Uji Daya Pembeda ... 44

F. Teknik Analisis Data ... 46

1. Pengujian Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas ... 46

b. Uji Homogenitas ... 47

2. Pengujian Hipotesis a. Perumusan Hipotesis ... 47

b. Penentuan Uji Statistik ... 47

c. Penentuan Tingkat Signifikan ... 48

d. Kriteria Pengujian Hipotesis ... 49

e. Pengambilan Kesimpulan ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ... 50

1. Deskripsi Data Kelas Eksperimen ... 51

2. Deskripsi Data Kelas Kontrol ... 53

B. Pengujian Persyaratan Analis ... 57

1. Uji Normalitas ... 57

2. Uji Homogenitas ... 58

C. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 59

1. Analisis Data ... 59

2. Pengujian Hipotesis ... 60

(12)

E. Keterbatasan Penelitian ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(13)

ix

Eksperimen ... 51

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pemahaman Konsep Matematika Kelas Kontrol ... 54

Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ... 56

Tabel 4.4 Uji Normalitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 58

Tabel 4.5 Uji Homogenitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 59

Tabel L.1 Rekapitulasi Data Tiap Butir Soal ... 126

Tabel L.2 Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen ... 128

[image:13.595.113.525.80.471.2]
(14)

x

Grafik 4.2 Histogram dan Poligon Frekuensi Hasil Belajar Matematika

[image:14.595.117.527.81.467.2]
(15)

xi

Gambar L.2 Kegiatan Siswa Dalam Kerja Kelompok ... 147 Gambar L.3 Kegiatan Siswa Saat Memeragakan Alat Peraga Mobil Garis

[image:15.595.125.526.79.472.2]
(16)

xii

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa ... 108

Lampiran 4 Kisi-kisi Instrumen Pemahaman Konsep Matematika ... 115

Lampiran 5 Uji Validitas Instrumen Pemahaman Konsep Matematika ... 122

Lampiran 6 Uji Reliabilitas Instrumen Pemahaman Konsep Matematika ... 123

Lampiran 7 Uji Indeks Kesukaran Instrumen Pemahaman Konsep Matematika ... .... 124

Lampiran 8 Uji Daya Pembeda Instrumen Pemahaman Konsep Matematika .. 125

Lampiran 9 Rekapitulasi Data Tiap Butir Soal ... 126

Lampiran 10 Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen ... 128

Lampiran 11 Pemahaman Konsep Kelasa Kontrol ... 129

Lampiran 12 Perhitungan Mean dari Data Distribusi Frekuensi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 130

Lampiran 13 Perhitungan Median ... 131

Lampiran 14 Perhitungan Modus ... 133

Lampiran 15 Perhitungan Persentil ... 135

Lampiran 16 Perhitungan Quartil ... 137

Lampiran 17 Koefisien Kemiringan dan Koefisien Kurtosis... 139

Lampiran 18 Varians dan Simpangan Baku ... 141

Lampiran 19 Uji Normalitas Kelas Eksperimen dengan Uji Kecocokan Chi-Square ... 143

Lampiran 20 Uji Normalitas Kelas Kontrol dengan Uji Kecocokan Chi-Square ... 144

Lampiran 21 Uji Homogenitas Dua Varians dengan Uji F ... 145

Lampiran 22 Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 146

Lampiran 23 Dokumentasi Penelitian ... 147

Lampiran 24 Surat Bimbingan Skripsi... 149

(17)
(18)

1 A. Latar Belakang Masalah

Guru/pendidik dianggap sebagai orang tua kedua bagi anak-anak, atau sebagai pengganti orang tua mereka di rumah. Pendidik (yang selanjutnya penulis sebutkan sebagai guru) hendaknya mampu menempatkan diri mereka sebagai orang tua, teman/sahabat bagi anak-anak didik mereka. Sebuah kesadaran yang belum semua guru mampu menerapkannya.

Sebuah kesalahan paradigma yang mengatakan bahwa anak didik ibarat sebuah wadah kosong yang siap untuk diisi sewaktu-waktu. Peran guru hanyalah memberikan dan menularkan ilmu yang mereka miliki, tanpa melibatkan peran serta siswa dalam proses pembelajaran. Mereka kerap melupakan bahwa anak-anak didik mereka juga memiliki perasaan, keterbatasan dan perbedaan daya fikir, dan faktor-faktor lainnya yang dapat menghambat proses pembelajaran atau sebaliknya mampu membantu proses pembelajaran jika guru dapat menyikapinya dengan tepat.

Sebagai pendidik atau pengajar, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Guru harus memaksimalkan segala upaya yang dilakukan dalam pembelajaran agar para peserta didik mau belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.

Proses belajar mengajar melibatkan interaksi antar guru dan peserta didik secara terarah dan terencana. Guru memerlukan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan dalam proses belajar mengajar tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang guru harus berusaha menempatkan diri tidak hanya sebagai media penyampai pesan dan informasi pengetahuan, tetapi juga sebagai motivator, mediator, fasilitator dan sebagainya.

(19)

dipersiapkan untuk terjun langsung ke dalam kehidupan bermasyarakat sebagai salah salah satu wujud dari tujuan pendidikan.

Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan informal, non-formal, dan formal di sekolah dan luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar di kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.1 Salah satu tujuan negara Republik Indonesia yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai tindak lanjut dari tujuan tersebut, maka diadakan program pendidikan nasional. Sehubungan dengan hal ini pemerintah telah mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan, di antaranya mengenai pelaksanaan pendidikan dewasa ini yang lebih diorientasikan pada peningkatan mutu, khususnya untuk memacu penguasaan pengetahuan dan teknologi yang perlu ditingkatkan.

Paparan di atas, secara eksplisit tertera dalam UU RI No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yaitu:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah melaksanakan usaha dan upaya dengan melaksanakan berbagai perbaikan seperti: melengkapi sarana dan prasarana, meningkatkan kualitas guru dan perbaikan kurikulum. Pada bidang kurikulum, pemerintah telah melakukan perubahan yang mendasar dengan memberlakukan pendekatan kurikulum berbasis kompetensi.

1

Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II, h.11.

2

(20)

Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini menempatkan posisi pendidikan sebagai penentu bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi suatu negara di masa yang akan datang. Untuk menunjang perkembangan IPTEK diperlukan penguasaan terhadap ilmu dasar, salah satunya matematika. Perkembangan IPTEK tidak hanya menuntut kemampuan menerapkan matematika tetapi juga membentuk kemampuan, penalaran untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Oleh karena itu, penguasaan suatu konsep matematika sangat penting dalam mendukung hal tersebut.

Tak diragukan lagi bahwa matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Di samping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika merupakan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan. Perhitungan matematis memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi. Di samping itu pemikiran matematis memberikan warna kepada kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Bahkan jatuh bangun suatu negara dewasa ini tergantung dari kemajuannya di bidang matematika. Akhirnya matematika merupakan salah satu kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam, serta hakekat dan tujuan manusia dalam berkehidupan.3

Jadi dapat disimpulkan bahwa matematika adalah pelajaran yang penting dikuasai setiap siswa agar proses bernalar dapat terus diasah, karena yang terpenting dari pelajaran matematika adalah proses bernalar, berlogika dan berfikir terstruktur, serta melatih analisis. Dengan dikuasainya ilmu matematika yang mengandalkan penalaran dan logika maka siswa mampu menjalankan kehidupannya kelak dengan proses berfikir yang lebih terarah pula.

Namun pada kenyataannya, pentingnya diajarkan matematika dengan proses bernalar tidak sejalan dengan kenyataan di sekolah. Pengalaman penulis sebagai pengajar di salah satu bimbingan belajar menunjukkan bahwa sebagian besar peserta didik di bimbingan belajar tersebut mengatakan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang dianggap sebagai momok di sekolah,

3

(21)

baik dari tingkat dasar hingga tingkat menengah atas, matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dipelajari. Matematika seringkali dianggap sebagai pelajaran yang membosankan, tidak bermanfaat, menegangkan dan citra-citra buruk lainnya. Tidak salah memang jika melihat itu dari sisi proses pembelajaran atau peran guru selama ini. Metode yang selama ini digunakan guru kerapkali dianggap membosankan bagi peserta didik. Mengajar tak ubahnya proses “mendongeng”. Guru menjelaskan di depan kelas, memberikan rumus, contoh soal, dan menugaskan siswa untuk mengerjakan soal-soal. Sebuah proses monoton dan turun-temurun dari generasi ke generasi.

Salah satu hal yang membuat siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang membosankan karena matematika adalah pelajaran yang hanya menuliskan angka-angka dan menghitungnya berdasarkan rumus yang telah diajarkan guru. Siswa tidak mengerti dari mana rumus itu berasal, siswa kurang diajak terlibat langsung untuk menemukan jawaban menurut pola pikir dan dari pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelumnya.

Kurangnya penguasaan materi matematika bagi siswa diantaranya disebabkan karena siswa terbiasa menghafal suatu rumus tanpa mengetahui bagaimana pembentukan rumus itu berlangsung. Hal ini menyebabkan siswa sering lupa dengan apa yang telah dipelajari dan siswa kurang dapat memahami atau menarik kesimpulan dari informasi yang telah diberikan guru. Siswa juga tidak pernah diberi pengalaman langsung atau contoh konkret, sehingga memberikan kesan yang membosankan. Selain itu, terdapat guru yang kurang berhasil menyampaikan konsep atau materi karena kurangnya penguasaan metode pembelajaran. Masih rendahnya penguasaan terhadap pemahaman konsep matematika ditandai oleh nilai prestasi matematika siswa yang masih rendah.

(22)

sepenuhnya salah, misalnya anggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang berisi rumus-rumus. Memang benar bahwa matematika identik dengan rumus, namun yang perlu diajakan bahwa rumus-rumus itu tidak datang dengan sendirinya, namun ada pendekatan-pendekatan yang digunakan sehingga didapatkan rumus-rumus yang ada saat ini. Para pendidik cenderung tidak mengikutsertakan peserta didik dalam mencari suatu jawaban dari permasalahan yang ada dengan menggunakan penalaran, melainkan dengan menggunakan rumus yang ada. Sehingga pada saat anak lupa dengan rumus yang sudah ia hafal, maka ia tidak bisa mengerjakan soal tersebut. Padahal yang terpenting dalam menguasai matematika adalah proses bernalar.

Penekanan hafalan pada pembelajaran matematika tradisional merupakan sesuatu yang dianggap paling buruk dan harus disingkirkan. Namun kita juga tidak boleh melupakan bahwa proses dan keahlian menghafal juga harus diperhatikan oleh para guru. Perlu diingat bahwa dalam menghadapi ujian, siswa tidak diperkenankan menggunakan kalkulator dan alat hitung lainnya. Jadi pemahaman akan suatu permasalahan dengan keahlian menghafal tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

(23)

ilmu yang didapatkan dari proses belajar dapat dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari, atau dapat digunakan sebagai bekal pada pendidikan selanjutnya.

Sampai saat ini masalah-masalah pendidikan tentang pelajaran matematika masih menjadi beban berat bagi guru dan siswa, lemahnya intensitas pemahaman terhadap suatu materi membuat siswa mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal dalam pelajaran matematika. Selama ini siswa kurang memahami konsep dari pelajaran matematika yang diajarkan guru, bahkan tak jarang mereka tidak mengerti untuk apa mereka menghitung dengan rumus yang telah diberikan oleh guru.

Prestasi siswa Indonesia pada mata pelajaran matematika masih belum memuaskan. Data UNESCO berdasarkan penelitian Trends in International

Mathematics and Science Study (TIMMS) pada tahun 1999 menempatkan

Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 38 negara pada mata pelajaran matematika, masih di bawah Malaysia dan Singapura.4

Sedangkan berdasarkan penelitian TIMMS yang dilakukan oleh Frederick K. S. Leung pada tahun 2003, jumlah jam pelajaran matematika di Indonesia tidak sebanding dengan prestasi yang diraih.

“Jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibanding kedua negara tersebut. Dalam satu tahun, siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika, sementara siswa di Malaysia hanya mendapat 120 jam dan 112 jam di Singapura. Namun, waktu yang dihabiskan siswa Indonesia tidak sebanding dengan prestasi yang diraih. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya menembus skor rata-rata 411, 11 angka lebih tinggi dari rata-rata rendah dan masih kurang 64 poin lagi untuk menembus rata-rata menengah. Sementara Malaysia dan Singapura masing-masing mencapai 508 dan 605.5

Lebih lanjut, dari 49 negara yang ikut serta dalam TIMSS 2007, prestasi siswa Indonesia dalam matematika berada di urutan ke-36, dengan skor rata-rata 405 (skor rata-rata internasional = 500). Dalam pencapaian prestasi belajar matematika, lima urutan terbaik dunia diduduki oleh Taiwan

4

“Rendah, Prestasi Matematika Indonesia,” artikel diakses pada 7 Mei 2011 dari http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TPKMP1F380BEBFJGS.

5

(24)

diikuti oleh Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan Jepang. Secara umum, hasil TIMSS 2007 tersebut menunjukkan bahwa siswa kita mempunyai pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk dapat memecahkan masalah rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) apalagi yang non-rutin (penalaran intuitif dan induktif berdasarkan pola dan kereguleran).6

Hasil penelitian dari TIMSS ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa di Indonesia masih rendah. Jumlah jam pelajaran tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai. Ini memberi indikasi ada yang salah dalam sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia. Guru selaku pendidik memliki kewajiban untuk bisa mengangkat prestasi siswa di kelas dengan metode, atapun media yang bisa memberikan konsep yang benar dalam proses belajar matematika.

Matematika merupakan ilmu yang berhubungan dengan ide-ide atau konsep abstrak yang tersusun secara hierarki dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan berurutan. Kesulitan memahami matematika merupakan faktor utama yang menyebabkan siswa tidak menyukai matematika, yang pada dasarnya siswa bukan paham akan konsep tetapi menghapal rumus-rumus pada matematika. Jika konsep-konsep dasar diterima siswa secara salah, maka akan sulit untuk memperbaikinya.

Keberhasilan proses belajar matematika dapat diukur dari keberhasilan siswa mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tingkat keberhasilan pemahaman, penguasaan materi dan hasil belajar siswa, terutama pada penguasaan konsep yang merupakan dasar untuk belajar matematika di tingkat selanjutnya. Semakin tinggi pemahaman dan penguasaan materi serta prestasi belajar maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran.

Selain dari kemampuan siswa menerjemahkan informasi yang ia dapatkan di sekolah, yang terpenting adalah peran guru dalam sistem

6

(25)

pembelajaran, terutama peningkatan kualitas belajar mengajar. Guru tidak dapat menyalahkan sepenuhnya output dari hasil pembelajaran pada usaha siswa dalam belajar, karena dalam proses belajar terdiri dari rangkaian peristiwa yang sangat kompleks, bahkan peran guru sangat besar untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Proses belajar mengajar dipengaruhi oleh beberapa komponen pengajaran yaitu: guru, prasarana/sarana termasuk media pengajaran, kurikulum, metode pengajaran, materi pengajaran, alat evaluasi, lingkungan atau masyarakat setempat.

Khusus untuk pendidikan di tingkat dasar banyak sekali kesalahan konsep yang disampaikan oleh guru, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan guru terhadap bidang studi matematika. Guru sekolah dasar adalah guru borongan, artinya bahwa guru sekolah dasar harus menguasai semua mata pelajaran. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru SD adalah dengan memberlakukannya aturan penyetaraan S1 bagi guru-guru SD.7

Upaya pemerintah dalam memajukan pembelajaran matematika memang perlu dilakukan. Guru yang sudah mengajar di tingkat dasar sebelum diberlakukannya aturan penyetaraan gelar pendidikan diberikan kesempatan untuk melanjutkan studinya, namun guru tersebut juga ditantang untuk mengupayakan suatu cara agar matematika yang selama ini menjadi momok bagi siswa dapat disajikan dengan menarik dan dapat memberikan konsep yang benar kepada siswa. Artinya pendidikan guru sebagai pendidik memang perlu diperhatikan dan ditingkatkan, namun kreatifitas guru dalam mengajar jauh lebih penting agar materi yang ingin disampaikan kepada peserta didik dapat diberikan dengan baik dan tentunya menarik.

Salah satu cara yang penulis coba terapkan dalam membawakan matematika ke dalam “dunia siswa” adalah dengan menggunakan alat peraga. Dengan alat peraga, siswa diajak untuk terlibat langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa secara mandiri diajak untuk memecahkan suatu permasalahan dan soal-soal.

7

(26)

Untuk menanamkan secara baik pemahaman konsep-konsep matematika diperlukan kekongkritan, karena beberapa konsep-konsep matematika memiliki sifat yang abstrak, maka diperlukan suatu benda-benda yang menjadi perantara atau alat peraga yang berfungsi untuk mengkongkritkan, sehingga fakta-faktanya menjadi jelas dan mudah diterima siswa.

Dengan menggunakan alat peraga, guru dapat memberikan kesamaan dalam pengamatan. Pengamatan seseorang terhadap sesuatu biasanya berbeda-beda, tergantung pada pengalamannya masing-masing. Dengan bantuan alat peraga, guru dapat memberikan persepsi yang sama terhadap suatu benda atau peristiwa tertentu kepada para siswa. Kemudian persepsi yang sama akan menimbulkan pengertian dan pengalaman yang sama.

Dengan alat peraga, guru juga dapat mengatasi keterbatasan waktu, tempat dan tenaga. Dan yang terpenting alat peraga juga dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian siswa sehingga dapat menimbulkam motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dan lingkungannya, dan menanamkan konsep yang benar kepada siswa.

“Menurut Cronbach, belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dengan mengalami itu si pelajar mempergunakan panca inderanya”.8

Alat peraga sebagai media pendidikan diharapkan dapat mengambil peran itu.

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut dalam penelitian yang berjudul “Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa Pada Materi Bilangan”.

B. Identifikasi Masalah

Melihat latar belakang masalah yang telah penulis utarakan di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

8

(27)

1. Siswa kurang menyukai pelajaran matematika dan tidak memiliki motivasi dalam belajar matematika.

2. Siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit.

3. Siswa sering lupa terhadap apa yang dipelajari karena terbiasa menghafal suatu rumus tanpa tahu bagaimana pembentukan rumus itu berlangsung. 4. Hasil belajar matematika siswa rendah karena siswa kurang mampu

memahami konsep dalam matematika.

5. Guru mengajar tidak menggunakan media sebagai alat bantu dalam pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan yang dihadapi, serta keterbatasan waktu dan kemampuan yang dimiliki, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Untuk itu peneliti membatasi pada masalah:

1. Subjek penelitian yang dimaksud adalah siswa-siswi kelas IV di SD Negeri Joglo 03 Pagi, Jakarta Barat.

2. Alat peraga yang digunakan adalah mobil garis bilangan.

Alat peraga mobil garis bilangan yang dimaksud di sini adalah media alat peraga yang dibuat penulis sendiri. Alat peraga ini terbuat dari bahan sederhana seperti kayu, triplek, dan sterofoam.

3. Materi pembahasan mengenai pokok bahasan “bilangan”. 4. Pemahaman konsep.

Tiga macam pemahaman adalah pengubahan (translation), pemberian arti

(interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation).

D. Perumusan Masalah

Dari uraian yang telah dijelaskan sebelumnya dan dikaitkan dengan latar belakang masalah, maka masalah yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut: “Apakah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga mobil garis

bilangan terhadap pemahaman konsep matematika siswa kelas IV di SD

(28)

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Dari uraian dan perumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat peraga mobil garis

bilangan terhadap pemahaman konsep siswa dalam belajar matematika.

Adapun manfaat penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah sebagai acuan bagaimana proses belajar mengajar dengan menggunakan media alat peraga, yang apabila memiliki pengaruh positif terhadap pemahaman konsep matematika siswa, dapat dijadikan sebagai alternatif proses pembelajaran matematika yang selama ini cenderung membosankan, dihindari, dan bahkan ditakuti oleh sebagian besar siswa.

(29)

12 A. Pembelajaran Matematika

1. Pengertian Belajar

Setiap saat dalam kehidupan manusia selalu terjadi proses belajar. Proses ini berlangsung baik disengaja maupun tidak disengaja, disadari maupun tidak disadari. Hal ini disebabkan karena sifat manusia yang selalu ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya.

Belajar merupakan kebutuhan setiap orang, sebab dengan belajar seseorang dapat memahami dan menguasai sesuatu sehingga kemampuannya dapat ditingkatkan. Hal ini tampak pada semua kecakapan, keterampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap manusia yang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar.

“Belajar seringkali didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada masa berikutnya yang diperoleh kemudian dari pengalaman-pengalaman”.1 “Belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dengan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”.2

Dari beberapa definisi tentang belajar yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen penting yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa:3

a. Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku.

b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui proses latihan atau pengalaman.

1

Abdul Rahman Shaleh, Psikologi (Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam). (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), Cet. III, h. 205

2

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. XIV, h. 92

3

(30)

c. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir dari suatu periode waktu yang cukup panjang.

d. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.

e. Belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat.

f. Belajar merupakan proses yang secara umum menetap, ada kemampuan bereaksi, adanya sesuatu yang diperkuat, dan dilakukan dalam bentuk praktek atau latihan.

Dalam kaitannya dengan perkembangan manusia, “belajar adalah merupakan faktor penentu proses perkembangan, manusia memperoleh hasil perkembangan berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, reaksi, keyakinan, dan lain-lain tingkah laku yang dimiliki manusia adalah diperoleh melalui belajar”.4

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses memperoleh pengetahuan dan perubahan dalam kepribadian sebagai akibat dari pengalaman atau latihan, yang termanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru dalam bentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan kecakapan. Perubahan kemampuan bersifat relatif langgeng sebagai hasil dari latihan yang diperkuat.

Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang terjadi setelah siswa mengikuti atau mengalami suatu proses belajar mengajar, yaitu hasil belajar dalam bentuk penguasaan kemampuan dan keterampilan tertentu. Perubahan kemampuan ini dapat dilihat dari perubahan perilaku seseorang.

4

(31)

Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan kemampuan tertentu dalam berbagai jenis kinerja, sikap, minat atau nilai.

Berhasil baik atau tidaknya belajar itu tergantung pada bermacam-macam faktor yang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor individual dan faktor sosial. Yang termasuk ke dalam faktor individual, antara lain kematangan/pertumbuhan, kecerdasan dan intelegensia, latihan dan ulangan, motivasi, dan sifat-sifat pribadi. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor sosial atau yang berada di luar individu itu, antara lain: keadaan keluarga, guru dan cara mengajar, alat-alat peragaan, lingkungan dan kesempatan, motivasi sosial.5

Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar yang dikemukakan Mustaqim di antaranya adalah:6

a. Kemampuan pembawaan.

Anak yang memiliki kemampuan pembawaan yang lebih, akan lebih mudah dan lebih cepat belajar dibandingkan dengan anak yang memiliki kemampuan pembawaan rata-rata atau kurang. b. Kondisi fisik orang yang belajar.

Orang yang belajar tidak terlepas dari kondisi fisiknya. Anak yang cacat, misalnya kurang pendengaran atau penglihatan, maka prestasinya juga kurang apabila dibandingkan dengan anak normal. c. Kondisi psikis.

Keadaan psikis yang kurang baik banyak sebabnya, mungkin karena cacat, sakit, keadaan lingkungan rumah yang tidak baik dan sebagainya. Agar dapat membantu belajar seseorang maka harus dijaga kondisi psikisnya.

d. Kemauan belajar.

Adanya kemauan belajar akan memperkuat proses belajar seseorang, dan sebaliknya tidak adanya kemauan belajar akan memperlemah belajar.

5

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.102.

6

(32)

e. Sikap terhadap guru.

Sikap siswa terhadap guru juga mempengaruhi belajarnya. Sikap guru yang baik, ramah, mengenal siswa, akan membantu mendorong siswa untuk menyukai gurunya. Penampilan guru yang selalu muram ataupun cara berpakaiannya juga akan mempengaruhi sikap siswa.

f. Bimbingan.

Dalam proses belajar, anak memerlukan bimbingan. Bimbingan perlu diberikan agar anak tidak mengalami kegagalan dalam belajar, melainkan kesuksesan.

Sebagai sebuah aktifitas, belajar juga memiliki tujuan. Tujuan belajar tersebut erat kaitannya dengan perubahan atau pembentukan tingkah laku tertentu. Menurut Surachmad dalam Sabri tujuan belajar di sekolah itu ditujukan untuk mencapai pengumpulan pengetahuan, penanaman konsep dan kecekatan atau keterampilan, dan pembentukan sikap dan perbuatan.7

Tujuan belajar yang lebih dikenal dalam dunia pendidikan sekarang adalah tujuan pendidikan menurut Taksonomi Bloom. Ada tiga aspek kompetensi yang harus dinilai untuk mengetahui pencapaian tujuan tersebut, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.

Penilaian terhadap ranah kognitif bertujuan untuk mengukur penguasaan dan pemilihan konsep dasar keilmun berupa materi-materi esensial sebagai konsep kunci dan prinsip utama. Ranah kognitif menurut Bloom memiliki enam jenjang proses berpikir, yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tujuan belajar afektif untuk memperoleh sikap, apresiasi, karakterisasi. Sedangkan tujuan psikomotorik untuk memperoleh keterampilan fisik yang berkaitan dengan keterampilan gerak maupun keterampilan ekspresi verbal dan non verbal. Lebih lanjut lagi, enam tingkatan proses berpikir pada ranah kognitif yang

7

(33)
[image:33.595.128.523.115.705.2]

dimaksud adalah seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1 mengenai tingkat domain kognitif di bawah ini.8

Tabel 2.1

Tingkatan Domain Kognitif

No Tingkatan Deskriptif Kompetensi

1 Ingatan

(knowledge/recalling)

Aspek pengetahuan berkenaan dengan hafalan dan ingatan, misalnya hafal atau ingat tentang simbol, istilah, fakta, konsep, definisi, dalil, prosedur, pendekatan, metode.

Contoh menyebutkan menunjukkan menuliskan 2 Pemahaman

(comprehension)

Tiga macam pemahaman adalah pengubahan

(translation), pemberian arti (interpretation),

dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Contoh

Menjelaskan perbedaan Menghitung

3 Penerapan

(application)

Kemampuan seseorang menggunakan apa yang telah diperolehnya (generalisasi, abstraksi, aturan, dalil prosedur dan metode) dalam situasi khusus yang baru, dan konkrit, mengaplikasikan pemahamannya untuk memecahkan persoalan baru untuk situasi baru tanpa adanya aturan yang sudah diberikan. Aplikasi menekankan kepada mengenai apa-apa yang perlu diketahui dan mengenal kegunaannya, memilihnya, kemudian menggunakannya.

4 Analisis

(analysis)

Kemampuan memisahkan materi (informasi) ke dalam bagian-bagiannya yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagiannya, dan mengamati sistem bagian-bagiannya, mampu melihat (mengenal) komponen-komponennya, bagaimana komponen-komponen itu berhubungan dan terorganisasikan, membedakan fakta dari khayalan. Analisis juga meliputi kemampuan

8

(34)

menyelesaikan soal-soal tak rutin, menemukan hubungan, membuktikan, mengomentari bukti, dan merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu generalisasi, tetapi baru dalam tahap analisis, belum dapat menyusun.

5 Sintesis

(Syntesis)

Kemampuan bekerja dengan bagian-bagiannya, potongan-potongannya, unsur-unsurnya, dan semacamnya, dan menyusunnya menjadi suatu kebulatan baru seperti pola dan struktur.

6 Evaluasi

(evaluation)

Kemampuan untuk membuat kriteria, memberikan pertimbangan, mengkaji (kekeliruan, ketepatan, ketetapan/reliabilitas) dan mampu menilai.

Tingkatan domain kognitif di atas nantinya penulis akan berfokus pada pemahaman konsep, yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi.

2. Pengertian dan Karakteristik Matematika

”Kata matematika mulanya diambil dari perkataan Yunani,

mathematike yang berarti “relating to learning”. Perkataan itu mempunyai

akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).”9 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, matematika diartikan sebagai “Ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur

operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai

bilangan”.

Pengertian matematika sangat sulit didefinsikan secara akurat. Pada umumnya orang awam hanya akrab dengan satu cabang matematika yang disebut aritmatika atau ilmu hitung yang secara informal dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang berbagai bilangan yang bisa langsung diperoleh dari bilangan-bilangan bulat 0, 1, 2, 3, 4, ..., dst, melalui beberapa operasi dasar: tambah, kurang, kali dan bagi.

9

(35)

Sejarah panjang matematika dengan segala perkembangannya dan pengalaman langsung berinteraksi dengan matematika membuat pengertian orang tentang matematika terus berkembang. Riedesel dkk merangkum beberapa pandangan siswa, orang tua dan guru tentang apa yang dimaksud dengan matematika.10

Menurut siswa:

a. Setiap soal matematika mempunyai tepat sebuah jawaban yang benar.

b. Matematika adalah kumpulan kebenaran dan aturan. Tugas siswa adalah mengikuti aturan untuk menemukan jawaban yang benar. Biasanya aturan yang harus dipakai adalah yang diajarkan guru. c. Siswa tidak perlu mengerti mengapa suatu aturan berlaku, tetapi

cukup menghafalkan saja.

d. Jika dalam tempo lima menit suatu soal tidak dapat dipecahkan berarti kita tidak mungkin memecahkannya. Lebih baik berhenti saja!

e. Hanya para jenius sajalah yang dapat menemukan atau menciptakan matematika. Siswa tidak dapat memikirkan matematika menurut pikirannya sendiri.

f. Soal matematika hampir tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Dalam dunia nyata kita mengerjakan apa yang bermakna, sedangkan dalam matematika kita tinggal menuruti aturan-aturan.

10 “Matematika Asyik”. E

-book pada tanggal 21 oktober 2010 diakses dari http://books.google.co.id/books?id=zw5DFCbBPBgC&pg=PA6&dq=pengertian+matematika&hl=

(36)

Menurut orang tua:

a. Matematika berisi bilangan-bilangan dan hitungan-hitungan, ketepatan yang pasti, serta aturan-aturan yang tidak mungkin keliru.

b. Anak perlu mengetahui kebenaran-kebenaran dan aturan-aturan matematika.

c. Belajar matematika merupakan kemampuan bawaan. Jika anak tidak berbakat, maka ia tidak mungkin berhasil dalam pelajaran matematika.

d. Matematika merupakan pelajaran yang sulit, sehingga anak tidak bisa terlalu diharapkan untuk berhasil mempelajarinya.

e. Di sekolah dasar, pelajaran membaca lebih penting daripada matematika. Kurang mahir matematika, tidak perlu dirisaukan.

Menurut guru:

a. Matematika bersifat instrumental, yaitu berupa kumpulan aturan-aturan, tanpa perlu mengetahui alasan-alasannya.

b. Matematika adalah pelajaran yang isinya sudah tertentu bersifat statis.

c. Memahami matematika berarti menghafal rumus-rumus dan aturan-aturan, serta memakainya untuk mencari jawaban soal-soal.

Bertitik tolak dari hasil rangkuman tersebut, Riedesel dkk (1996: 13-15) menyajikan pandangan baru yang benar mengenai apa yang dimaksud dengan matematika, yaitu:

a. Matematika bukanlah sekadar berhitung.

b. Matematika merupakan kegiatan pembangkitan masalah dan pemecahan masalah.

(37)

d. Matematika adalah sebuah bahasa.

e. Matematika adalah cara berpikir dan alat berpikir.

f. Pelajaran matematika bukan sekadar untuk mengetahui matematika, tetapi terutama untuk melakukan matematika.

g. Pelajaran matematika merupakan suatu jalan menuju berpikir merdeka.

Menurut Jujun, ”matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “Artifisial”, yaitu baru mempunyai arti setelah

sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus mati”.11 Menurut James dan James, ”matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri”.12

Selain dari definisi matematika di atas ada beberapa definisi lain yang dikemukakan oleh para tokoh matematika antara lain:13

a. Jhonson dan Myklebust, “Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekpresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir”.

b. Lerner, “Matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mendata, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas”.

11

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT. Sinar Harapan, 1984), h. 190.

12

Erman Suherman dkk, Strategi Pembelajaran ..., 2003, h. 16

13

(38)

c. Kline, “Matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara berfikir deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif”.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang matematika yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang berasal dari hasil pemikiran intelektual anak manusia. Matematika merupakan respon yang timbul karena adanya permasalahan dalam kehidupan sehari-hari tentang bilangan, bentuk, susunan besaran, konsep-konsep yang berhubungan dan terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri, sehingga muncul aturan-aturan atau yang biasa para siswa kenal dengan istilah rumus.

Meskipun tidak ada definisi tunggal yang disepakati, matematika memiliki ciri-ciri atau karakteristik khusus yang terdapat pada pengertian matematika. Beberapa karakteristik matematika dalam Anitah, dkk.14 adalah

1) Memiliki objek kajian yang abstrak

Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak. Objek-objek itu merupakan Objek-objek pikiran yang meliputi fakta, konsep,

skill/keterampilan, dan prinsip.

a) Fakta dalam matematika merupakan konvensi atau kesepakatan yang umumnya sudah dipahami oleh pengguna matematika, disajikan dalam bentuk lambang atau simbol, misalnya “dua” yang disimbolkan dengan “2”.

b) Konsep dalam matematika adalah ide abstrak yang memungkinkan seseorang dapat mengklasifikasikan objek-objek atau peristiwa, serta menentukan apakah objek atau peristiwa tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut, misalnya bilangan genap diungkap dengan definisi bilangan yang merupakan kelipatan 2.

14

(39)

c) Skill juga dapat juga disebut operasi atau relasi. Operasi alam matematika adalah aturan untuk memperoleh elemen atau unsur tunggal dari satu atau lebih elemen yang diberikan. Algoritma seperti penjumlahan dan pengurangan merupakan contoh dari skill. d) Prinsip dalam matematika dapat memuat fakta, konsep maupun

operasi yang dapat muncul dalam bentuk teorema, lemma, sifat, dan hukum. Contoh dari prinsip, jika a dan b bilangan real maka berlaku a+b=b+a.

2) Bertumpu pada kesepakatan

Kesepakatan yang paling mendasar adalah unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan aksioma. Unsur-unsur yang tidak didefinisikan disebut dengan unsur primitif atau pengertian pangkal. Hal ini muncul untuk menghindari pendefinisian yang berputar-putar. Melalui pendefinisian satu atau lebih unsur primitif dapat dibentuk sebuah konsep baru. Sedangkan aksioma atau postulat muncul untuk menghindari pembuktian yang berputar-putar. Dari suatu sistem aksioma dapat diturunkan menjadi sebuah teorema. Contohnya, penulisan lambang bilangan.

3) Berpola pikir deduktif

Pola pikir deduktif secara sederhana dapat diartikan sebagai pemikiran dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Contoh seorang siswa yang mengerti konsep persegi panjang ketika menemukan berbagai bentuk pigura dalam sebuah pameran, dia dapat menunjukkan mana yang termasuk persegi panjang dan mana yang bukan.

4) Memiliki simbol yang kosong dari arti

(40)

sebagainya. Misalnya, huruf-huruf dalam persamaan x + y = z belum tentu berarti bilangan, demikian juga tanda “+” belum tentu berarti operasi penjumlahan.

5) Memperhatikan semesta pembicaraan

Simbol-simbol atau tanda-tanda dalam matematika memerlukan kejelasan lingkup atau semesta pembicaraan. Benar atau salahnya maupun ada atau tidaknya penyelesaian model matematika sangat ditentukan oleh semesta pembicaraannya. Misalnya diberikan persamaan 2x = 3, jika semesta pembicaraannya bilangan real maka diperoleh x = 1,5, tetai jika semesta pembicaraannya adalah bilangan bulat maka tidak ada jawaban yang memenuhi.

6) Konsisten dalam sistemnya

Konsistensi berlaku dalam masing-masing sistem. Dengan kata lain bahwa dalam setiap sistem atau struktur tidak boleh ada kontradiksi. Suatu teorema atau definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah ditetapkan terdahulu. Misalnya jika telah disepakati bahwa x

+ y = a dan a + b = c maka x + y + b haruslah sama dengan c.

(41)

B. Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran Matematika

Pemahaman merupakan proses berpikir dan belajar, dikatakan demikian karena untuk ke arah pemahaman perlu diikuti belajar dan berpikir. “Pemahaman merupakan proses, perbuatan dan cara memahami”.15 ”Pemahaman tampak pada alih bahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya, penafsiran dan memperkirakan”.16

”Pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini ia tidak hanya hafal secara verbalitas, tetapi memahami konsep dari masalah atau fakta yang ditanyakan. Maka operasionalnya dapat membedakan, mengubah, mempersiapkan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan, menjelaskan, mendemonstrasikan, memberi contoh, memperkirakan, menentukan, dan mengambil kesimpulan”.17

Seseorang dikatakan memahami sesuatu jika telah dapat mengorganisasikan dan mengutarakan kembali apa yang dipelajarinya dengan menggunakan kalimatnya sendiri. Siswa tidak lagi mengingat dan menghafal informasi yang diperolehnya, melainkan harus dapat memilih dan mengorganisasikan informasi tersebut.

Menurut Ernest Hilgard ada enam ciri dari belajar yang mengandung pemahaman, yaitu:18

1. Pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar

2. Pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu 3. Pemahaman tergantung pada pengaturan situasi

4. Pemahaman didahului oleh usaha-usaha coba-coba 5. Belajar dengan pemahaman dapat diulangi

6. Suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain

15

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 636.

16

Oemar Hamalik, Media Pendidikan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), Cet II, h.80.

17

Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), Cet VI, h. 44-45.

18

(42)

Kata kerja atau indikator untuk meyimpulkan bahwa seorang siswa mampu memahami menurut Suciati anatara lain: “membedakan, menjelaskan, menyimpulkan, merangkumkan, dan memperkirakan”.19

Sedangkan menurut Moore indikator pemahaman lebih banyak dari yang dikemukakan Suciati, yaitu “menerjemahkan, mengubah, menggeneralisasi, menguraikan (dengan kata-kata sendiri), menulis ulang (dengan kalimat sendiri), meringkas, membedakan (di antara dua), mempertahankan, menyimpulkan, berpendapat dan menjelaskan”.20

Tingkatan dalam pemahaman menurut Taksonomi Bloom meliputi:21 1. Translasi yaitu mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain tanpa

perubahan makna. Misalkan simbol dalam bentuk kata-kata diubah menjadi gambar, bagan atau grafik.

2. Interpretasi yaitu menjelaskan makna yang terdapat dalam simbol, baik dalam bentuk simbol verbal maupun non verbal. Seseorang dapat dikatakan telah dapat menginpterpretasikan tentang suatu konsep atau prinsip tertentu jika dia telah mampu membedakan, memperbandingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain.

3. Ekstrapolasi yaitu melihat kecenderungan, arah atau kelanjutan dari suatu temuan. Misalnya kepada siswa dihadapkan rangkaian bilangan 2, 3, 5, 7, 11, dengan kemampuan ektrapolasinya tentu dia akan mengatakan bilangan ke-6 adalah 13 dan ke-7 adalah 17.

Sedangkan konsep menurut kamus matematika adalah ”gambaran ide tentang suatu benda yang dilihat dari segi ciri-cirinya seperti kuantitas, sifat atau kualitas”.22 Carrol menjelaskan bahwa konsep “sebagai suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok objek

19

Suciati, Taksonomi Tujuan Instruksional, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), h. 12

20

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), h.140.

21

Akhmat Sudrajat, Taksonomi Bloom, Diakses dari alamat website http://www.scribd.com/doc/18022257/Taksonomi-Bloom pada 23 November 2010.

22

(43)

atau kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain”.23

”Konsep berkembang, sejalan dengan pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam situasi, peristiwa, perlakuan ataupun kegiatan yang lain, baik yang diperoleh dari bacaan ataupun pengalaman langsung”.24 Konsep erat kaitannya dengan pemahaman dasar. Siswa mengembangkan suatu konsep ketika mereka mampu mengelompokkan benda-benda atau ketika mereka dapat mengasosiasikan suatu nama dengan kelompok benda tertentu. Konsep mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama dan dituangkan dalam bentuk suatu kata. Suatu konsep dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata yang mewakili konsep itu, jadi lambang konsep dituangkan dalam bentuk suatu kata atau bahasa.

Beberapa ciri pengertian konsep sebagai berikut:25

1. Konsep itu semacam simbol yang merupakan buah pikiran dari seseorang atau sekelempok orang.

2. Konsep timbul sebagai hasil dari pengalaman manusia terhadap suatu objek tertentu atau peristiwa tertentu.

3. Konsep adalah hasil pikiran yang abstrak yang merangkum banyak pengalaman.

4. Konsep menyangkut keterkaitan fakta-fakta atau pola pada fakta. 5. Suatu konsep dapat mengalami perubahan bila timbul fakta atu

penemuan baru.

6. Konsep berguna untuk menjelaskan dan meramalkan.

23

Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoristik – Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 158.

24

R.Ibrahim dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran…, h.37.

25

(44)

Belajar konsep berguna dalam rangka pendidikan siswa atau paling tidak punya pengaruh tertentu. Adapun kegunaan konsep adalah sebagai berikut:26

1. Konsep-konsep mengurangi kerumitan lingkungan. Lingkungan yang luas dan rumit dapat dikurangi kerumitannya dengan menjabarkannya menjadi sejumlah konsep (suatu kelas stimuli). Misalnya untuk memudahkan mempelajari lingkungan desa, perlu dirinci menjadi konsep-konsep, misalnya geografisnya, penduduk, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

2. Konsep-konsep membantu kita untuk mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar kita. Konsep berguna untuk mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar kita dengan cara mengenali ciri-ciri masing-masing objek. Misalnya, kalau kita telah mengenali konsep rumah, maka kita akan mudah mempelajari macam-macam rumah, rumah panggung, rumah tembok, rumah limas dan sebagainya.

3. Konsep membantu kita untuk mempelajari sesuatu yang baru, lebih luas dan lebih maju. Siswa tidak harus belajar secara konstan, tetapi dapat menggunakan konsep-konsep yang telah dimilikinya untuk mempelajari sesuatu yang baru.

4. Konsep mengarahkan kegiatan instrumental. Berdasarkan konsep yang telah diketahui, maka seseorang dapat menentukan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya perlu dikerjakan/dilakukan.

5. Konsep memungkinkan pelaksanaan pengajaran. Pengajaran umumnya berlangsung secara verbal, artinya dengan menggunakan bahasa lisan. Hal itu terjadi dalam pengajaran pada semua jenjang persekolahan. Pengajaran lebih tinggi hanya mungkin berlangsung secara efektif jika siswa telah memiliki

26

(45)

konsep berbagai mata pelajaran yang telah diberikan pada jenjang sekolah di bawahnya.

6. Konsep dapat digunakan untuk mempelajari dua hal yang berbeda dalam kelas yang sama. Jika kita telah mengetahui konsep suku bangsa, misalnya cerdas, bertanggung jawab, dan rajin. Selanjutnya kita dapat mengenali suatu suku bangsa yang bodoh, tak bertanggung jawab, dan pemalas. Konsep suku bangsa sebenarnya merupakan bagian dari konsep tentang manusia. Kedua konsep tersebut merupakan dua hal yang stereo, bagaimana dua nada yang dibunyikan dalam waktu yang bersamaan.

“Konsep dalam matematika merupakan ide abstrak yang memungkinkan orang dalam mengklasifikasikan objek-objek atau peristiwa-peristiwa dan menentukan apakah objek atau peristiwa-peristiwa itu merupakan contoh atau bukan dari ide abstrak tersebut”.27 Jadi konsep dalam pembelajaran matematika dapat diperkenalkan melalui definisi, gambar, contoh, model atau peraga.

Konsep dalam matematika akan mudah dipahami dengan baik jika disajikan kepada peserta didik atau siswa dalam bentuk konkrit. Menurut Dienes konsep matematika dipelajari menurut enam tahapan bertingkat, yaitu:28

1. Tahap bermain bebas: tahap permulaan anak-anak belajar matematika, anak-anak bermain dengan benda konkrit model matematika, mereka belajar bebas tidak teratur dan tidak diarahkan.

2. Tahap permainan: tahap ini mulai mengamati pola, sifat-sifat kesamaan atau tidak kesamaan, keteraturan atau tidak keteraturan suatu konsep yang disajikan oleh benda-benda konkrit.

27

Sri Anitah dan Janet Trineke Manoy, Strategi Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), Cet II, h. 7.6.

28

(46)

3. Tahap penelaah sifat bersama: pada tahap ini siswa benar-benar harus menghayati cara bersama sehingga akhirnya ia diharapkan mampu menunjukkan contoh dan non contoh.

4. Tahap representatif: tahap pengambilan kesamaan sifat dari yang ditemukan dalam tahap ketiga.

5. Tahap simbolisasi: pada tahap ini siswa belajar membuat simbolnya. 6. Tahap formalisasi: pada tahap ini siswa belajar mengurutkan sifat-sifat

konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep itu.

Pemahaman terhadap suatu konsep dapat berkembang baik jika terlebih dahulu disajikan konsep yang paling umum sebagai jembatan antar informasi baru dengan informasi yang telah ada pada struktur kognitif siswa. Penyajian konsep yang paling umum perlu dilakukan sebelum penjelasan yang lebih rumit mengenai konsep yang baru agar terdapat keterkaitan antara informasi yang telah ada dengan informasi yang baru diterima pada struktur kognitif siswa.

Penanaman konsep, teorema, dalil, dan rumus-rumus matematika dapat terwujud dengan baik jika para siswa dapat memusatkan perhatiannya terhadap bahan pelajaran yang dipelajari serta selalu melakukan penguatan melalui latihan yang teratur. Sehingga apa yang telah dipelajarinya dapat dikuasai dengan baik dan dapat digunakan untuk mempelajari materi selanjutnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, pemahaman konsep sangat penting ditanamkan pada siswa, karena keberhasilan dan kesalahan dalam pemahaman konsep-konsep yang bersifat mendasar dalam kajian suatu bahan mempunyai dampak pada konsep-konsep dalam bahan kajian lainnya, karena matematika adalah ilmu yang terus berjenjang dari tahap awal ke tahap selanjutnya. Sebagai gambaran, siswa akan mendapatkan kesulitan memahami materi pembagian jika ia belum menguasai konsep tentang perkalian.

(47)

konsep dasar matematika dan hubungan antar berbagai sistem bilangan. Ini bukan berarti keterampilan berhitung tidak diperlukan lagi, namun latihan dan hapalan akan lebih baik apabila dilandasi dengan pemahaman. Sebagai contoh, siswa yang diberikan pemahaman yang benar akan mengerti bahwa 5x3 berbeda dengan 3x5, walaupun pada hasil akhirnya kedua permasalahan tadi memberikan jawaban yang sama. Tanpa pemahaman, siswa akan kecil kemungkinan untuk dapat mengikuti perkembangan matematika.

C. Media Pembelajaran

1. Alat Peraga Sebagai Media Pembelajaran a. Pengertian Alat Peraga

Pada usia pra sekolah anak-anak memperoleh stimulus dari benda-benda untuk belajar, seperti main-mainan, perabot rumah, binatang, tanaman, dan sebagainya. Benda-benda terus digunakan untuk memberi stimulus juga di sekolah sampai Perguruan Tinggi.29 “Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi”.30 Media pendidikan merupakan komponen yang penting dalam proses belajar mengajar. Dengan adanya media pendidikan, proses penyampaian informasi dari guru kepada peserta didik menjadi lebih mudah, efisien dan menyenangkan.

“Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti „tengah’, „perantara’ atau „pengantar’. Dalam bahasa Arab, media berasal dari kata wasaa’ilu yang berarti perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi,

29

Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. XII, h.195

30

(48)

atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal”.31 “Media adalah setiap orang, bahan, alat dan peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap”.32

Sedangkan Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa media adalah “alat komunikasi yang digunakan untuk membawa suatu informasi dari suatu sumber kepada penerima”.33

Adapun alat peraga merupakan bagian dari media pendidikan walaupun para ahli pendidikan masih terdapat perbedaan dalam penggunaan istilah media dan alat peraga. “Sebenarnya perbedaan antara alat peraga dan media hanyalah pada fungsi, bukan pada substansi atau bendanya sendiri. Sesuatu disebut alat peraga bila fungsi hanya sebagai alat bantu belaka dan disebut media bila merupakan bagian yang integral dari seluruh kegiatan belajar mengajar dan ada pembagian antara guru kelas di satu pihak dan media di lain pihak.”34

Dalam buku Media Pendidikan karangan Hamalik (1994), dinyatakan bahwa di dalam pendidikan kita mengenal berbagai istilah peragaan atau keperagaan. Ada yang lebih senang menggunakan istilah peragaan. Tetapi ada pula yang menggunakan istilah komunikasi keperagaan. Dewasa ini telah mulai dipopulerkan istilah baru yakni “Media Pendidikan”.

31

Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 3.

32

Sri Anitah Wiryawan dan Noorhadi Th, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), h.6.5.

33

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Cet.III, h. 113.

34

(49)

Oleh karena beragamnya istilah tersebut, namun memiliki arti yang sama. Maka dapat dikategorikan bahwa alat peraga sebagai media pembelajaran dan pendidikan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:35

1) Media pendidikan identik, artinya dengan pengertian peragaan yang berasal dari kata “raga” artinya suatu benda yang dapat diraba, dilihat, didengar, dan yang dapat diamati melalui panca indera kita. 2) Tekanan utama terletak pada benda atau hal-hal yang bisa dilihat dan

didengar.

3) Media pendidikan digunakan dalam rangka hubungan (komunikasi) dalam pengajaran, antara guru dan siswa.

4) Media pendidikan adalah semacam alat bantu belajar mengajar, baik di dalam atau di luar kelas.

5) Berdasarkan (3) dan (4), maka pada dasarnya media pendidikan merupakan suatu “perantara” (medium, media) dan digunakan dalam rangka pendidikan.

6) Media pendidikan mengandung aspek; sebagai alat dan sebagai teknik, yang sangat erat pertaliannya dengan metode mengajar.

Dari beberapa pengertian dan ciri-ciri alat peraga yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran dan merupakan alat bantu yang dapat membantu dalam memperjelas penyampaian konsep sebagai perantara atau visualisasi suatu pelajaran, sehingga siswa dapat memahami konsep abstrak dengan bantuan benda-benda konkret. Dengan menggunakan alat peraga konkret dalam mengajarkan berhitung pada siswa, maka diharapkan siswa menjadi termotivasi dalam belajar, apalagi bila alat peraga yang digunakan dibuat semenarik mungkin. Sehingga dengan adanya alat peraga, konsep matematika akan mudah dipahami dan dimengerti.

35

(50)

b. Syarat Alat Peraga

Sebagai pendidik dalam bidang studi apa saja, guru harus mampu menggunakan lingkungan sekitar sebagai media belajar. Pendidik di zaman sekarang seharusnya mampu memanfaatkan media belajar yang sangat kompleks seperti video, televisi dan film, di samping media yang sangat sederhana.36

Alat peraga dapat berupa benda riil, gambar atau diagram. Keuntungan alat peraga benda riil adalah dapat dipindah-pindahkan (dimanipulasi). Sedangkan kelemahannya tidak dapat disajikan dalam buku (tulisan). Oleh ka

Gambar

Tabel 2.1 Tingkatan Domain Kognitif ............................................................
Grafik 4.1 Histogram dan Poligon Frekuensi Hasil Belajar Matematika
Gambar 2.1 Ilustrasi Alat Peraga Mobil Garis Bilangan ..................................
Tabel 2.1 Tingkatan Domain Kognitif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar. Matematika merupakan ilmu yang bersifat deduktif dan juga ilmu yang bersifat

Hasil belajar matematika di tingkat sekolah dasar dan menengah umumnya dinyatakan dengan nilai (angka), sehingga siswa yang belajar matematika akan mempunyai kemampuan

Crow, Psik%gi Pendidikan (Teljemah A.. Dari beberapa pengertian diatas terlihat saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan bahwa minat adalah rasa suka dan perhatian

Dari hasil pengujian data di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa dari penelitian yang dilakukan di peroleh hasil bahwa terdapat pengaruh alat peraga mobil

Dari hasil pengujian data di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa dari penelitian yang dilakukan di peroleh hasil bahwa terdapat pengaruh alat peraga mobil

Berdasarkan pengertian hasil belajar menurut beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa adalah perubahan yang terjadi pada diri

Menurut Sanjaya (Rodiawati, 2016) metode demonstrasi ialah sebuah penyajian pembelajaran dengan memperagakan kepada siswa terhadap suatu proses. Berdasarkan beberapa

Dengan bantuan alat peraga yang sesuai siswa mampu: - memahami ide-ide dasar yang melandasi sebuah konsep - mengetahui cara membuktikan rumus - dapat mengambil kesimpulan dari hasil