KADAR C-REACTIVE PROTEIN PADA PENDERITA PPOK EKSASERBASI
PENELITIAN POTONG LINTANG DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT
DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H ADAM MALIK /
RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
Maret 2008 – Juni 2008
TESIS
OLEH :
DUMAWAN HARRIS PARHUSIP
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP.H. ADAM MALIK/ RSUD. DR PIRNGADI
MEDAN
2008
DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP
DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DAN DITERIMA
SEBAGAI SALAH SATU SYARAT
UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG
ILMU PENYAKIT DALAM
PEMBIMBING TESIS
(Dr. ALWINSYAH ABIDIN, SpPD- KP)
DISYAHKAN OLEH :
KEPALA DEPARTEMEN
KETUA PROGRAM STUDI
ILMU PENYAKIT DALAM
ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DEWAN PENILAI
1. Prof. Dr. OK. Moehad Sjah, SpPD-KR
2. Prof. Dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH
3. Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD-SpJP (K)
4. Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH
5. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji syukur, hormat dan kemuliaan yang Maha Tinggi hanya
bagi Allah Bapa di Surga, hingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul :
“Kadar C-reactive Protein pada Penderita PPOK Eksaserbasi”, yang berlangsung
sejak Maret 2008 hingga Juni 2008. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima
kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr Salli Rossefi Nasution, SpPD-KGH selaku Kepala Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dan Dr Refli Hasan
sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan
kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH
dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto
SpPD-KEMD yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan
membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan
berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.
3. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD Dr Pirngadi/
RSUP H. Adam Malik Medan : Prof Dr Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof
Dr T Renardi Haroen KKV MPH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis
SpPD-KHOM, Prof Dr Habibah Hanum Nasution SpPD-Kpsi, Prof Dr Sutomo
Kasiman SpPD-KKV, Prof Dr Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof Dr
Prof Dr OK Moehad Sjah KR, Prof Dr Lukman Hakim Zain
KGEH, Prof Dr M Yusuf Nasution KGH, Prof Dr Azmi S Kar
SpPD-KHOM, Prof Dr Gontar Alamsyah Siregar SpPD-KGEH, Prof Dr Harris Hasan
SpPD-SpJP (K), Dr Rusli Pelly SpPD-KP (alm), Dr Nur Aisyah SpPD-KEMD,
Dr A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr Lufti Latief SpPD-KKV, Dr Syafii Piliang
KEMD, Dr T Bachtiar Panjaitan SpPD, Dr Abiran Nababan
SpPD-KGEH, Dr H OK Alfien Syukran SpPD-KEMD (alm), Dr Betthin Marpaung
KGEH, Dr Sri M Sutadi KGEH, Dr Mabel Sihombing
SpPD-KGEH, Dr Salli R Nasution SpPD-KGH, Dr Juwita Sembiring SpPD-SpPD-KGEH, Dr
Alwinsyah Abidin SpPD-KP, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH, Dr
Chairul Bahri SpPD (alm), Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD, Dr Umar Zein
SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr Yosia Ginting SpPD-KPTI, Dr Pirma Siburian
SpPD-KGer, Dr Refli Hasan SpPD-SpJP, Dr EN Keliat SpPD-KP, Dr Blondina
Marpaung SpPD-KR, Dr Leonardo Basa Dairi SpPD-KGEH yang merupakan
guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada
saya selama mengikuti pendidikan.
4. Dr Armon Rahimi SpPD, Dr Heriyanto Yoesoef SpPD, Dr R Tunggul Ch
Sukendar SpPD-KGH, Dr Daud Ginting SpPD, Dr Tambar Kembaren SpPD, ,
Dr Saut Marpaung SpPD, Dr Mardianto SpPD, Dr Zuhrial SpPD, Dr Dasril
Efendi SpPD, Dr Ilhamd SpPD, Dr Calvin Damanik SpPD, Dr Zainal Safri
SpPD, Dr Rahmat Isnanta SpPD, Dr Santi Safril SpPD, Dr Dairion Gatot
SpPD, Dr Jerahim Tarigan SpPD, Dr Haryani Adin SpPD, Dr Endang
Sembiring SpPD, Dr Abraham SpPD, Dr Soegiarto Gani SpPD, Dr Savita
dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat banyak membimbing saya
selama mengikuti pendidikan ini.
5. Para dewan penilai yang telah membantu dalam perbaikan dan
penyempurnaan tesis ini.
6. Direktur Kesehatan Tentara Nasinal Indonesia Angkatan Darat dan Dirjen
Kuathan Dephan yang telah memberikan izin, bantuan moril dan materil bagi
penulis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis dalam bidang Ilmu
Penyakit Dalam.
7. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang
telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan
fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.
8. Kepada Manager RSU Sri Pamela PTP Nusantara III Tebing Tinggi Dr
Syukron Taufik serta konsultan di RSU Sri Pamela Dr Nazrin Bey Sitompul
SpPD, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis
selama ditugaskan sebagai Konsultan Penyakit Dalam RSU Sri Pamela PTP
Nusantara III Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini.
9. Kepada Kepala Dinas Kesehatan TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi
Sumatera Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan
menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.
10. Para pasien yang telah dengan ikhlas menjadi “guru” sehingga memungkinkan
saya mencapai gelar dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam.
11. Kepada Kolonel CKM (Pur) Dr. M.Abrar Danial, SpM KaKesdam I/BB Tahun
1998-2002 dan Kolonel CKM (Pur) Dr. Amir Hamzah KaKesdam I/BB Tahun
bagi penulis agar melanjutkan pendidikan spesialis selagi masih muda dan
masih ada kesempatan, tetap berjuang dan terus berjuang serta berdisiplin
dalam menjalani hidup ini. “Sekali melangkah pantang menyerah bila
ragu-ragu lebih baik kembali” Inilah amanah beliau yang menjadi senjata ampuh
bagi penulis untuk menjalani kehidupan ini. Dan kepada Dr. Tjahaya Indra
Utama,SpAn KaKesdam I/BB Tahun 2006 – sekarang, penulis mengucapkan
terima kasih atas perhatian dan bimbingan beliau dalam kurun waktu penulis
menjalani program pendidikan dokter spesialis.
12. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr EN Keliat
SpPD-KP selaku pembimbing tesis, serta Prof Dr Azhar Tanjung
SpPD-KP-KAI-SpMK dan Dr Zuhrial Zubir SpPD yang penulis rasakan benar-benar
dengan tulus membantu penulis menyelesaikan penelitian dan karya tulis ini,
hanya doa yang dapat penulis berikan kiranya berkat berlimpah dari Yang
Maha Kuasa selalu beserta beliau dan keluarga.
13. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan
dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.
14. Para sejawat PPDS-Interna, perawat serta paramedis dan seluruh
karyawan/karyawati di lingkungan SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr
Pirngadi/ RSUP H Adam Malik Medan atas segala kerjasamanya yang baik
selama ini.
15. Kepada Kakanda Dr.Herryanto L Tobing SpPD, Dr Leonard Pardede SpPD,
Dr Bernard Dachi SpPD, yang telah banyak memberikan kontribusi terutama
dalam transfer of knowledge bagi penulis, semoga Kakanda sukses dalam
16. Teman-teman seperjuangan Dr Bistok Sihombing, Dr Irwin, Dr Zulfan, Dr Lina,
Dr Delvi Naibaho, Dr Imelda Rey, teman berbagi cerita dan pendorong buat
penulis hingga selesainya tulisan ini. Semoga persahabatan kita tetap abadi
selamanya.
17. Kepada teman-teman di lapangan bola, Kompol Dr Zulkhairi SpPD, Mayor Kes
Dr Faisal, Dr Iman R Tarigan SpPD, Dr Sahat, Dr Bistok, Dr Masrul SpPD, Dr
Idwan Harris SpPD, Dr Eric Nelson, Dr Faizal Drissa, Dr Radar, Dr Dede, dr
Suvianto, Dr Doharman, Dr Arjuna Wijaya, Dr Syafrian, Dr Darma Muda, Dr
Henda AP, Dr Taufik, Dr Henry Panjaitan, Dr Hendra Jufri, Dr Syafran, Dr
Fahmi, Dr Donald, Dr Gusti, Dr Aron, Dr Feri, Dr Asriluddin, Dr Faisal Rozy
dan teman-teman pendukung yang lainnya penulis mengucapkan terima kasih
dan semoga team sepak bola Penyakit Dalam tetap jaya dan kita pupuk
persaudaraan serta sportifitas dengan penuh rasa kekeluargaan.
18. Kepada rekan-rekan PATUBEL TNI (Perwira tugas belajar TNI) penulis
mengucapkan terima kasih atas semua dukungannya semoga kekompakan
dan kerjasama kita selama sekolah tetap abadi selamanya dalam
mengabdikan ilmu yang sudah kita dapatkan bagi nusa dan bangsa,
dimanapun kita nantinya ditugaskan persahabatan kita tetap utuh dan bagi
adik-adik Patubel yang saat tengah pendidikan tetaplah pegang jiwa korsa
agar tetap solid, jaya dan bertindaklah satria. Merdeka!
19. Kepada kedua orang tua penulis, Drs. Kader Parhusip (alm) dan Mesia br
Malau, begitu berat perjuangan yang engkau lalui demi kami anak-anakmu,
khusus buat Ayahku tersayang yang telah mendahului kami belum sempat
penulis balaskan pengorbanan dan ketabahanmu demi kemajuan
lindungan Tuhan dalam menjalani sisa hidup ini serta lihatlah kami
anak-anakmu dan cucu-cucumu yang menjadi penghibur di hari tuamu dengan
penuh bahagia. Demikian juga kepada Bapak Ibu Mertua penulis Jamalon
Sinaga BA (alm) dan Berna br Situmorang, atas segala perhatian, nasehat
dan dukungan yang mendorong penulis untuk terus berjuang dan berpikir
positif dalam setiap mengambil keputusan.
20. Kepada Kakak, Abang : Ir Masrina RN Parhusip MEng/Ir. Henry Sidabutar
MEng, MT Sahat P Parhusip Amd/Elfride Naibaho Amd. Ito / Lae : Roslinda
Parhusip Amd / Ir Tigor Ompusunggu Msi, dan adikku Richo Parhusip Amd
semoga cepat selesai sekolahmu dan ditunjukkan Tuhan jodoh yang terbaik
untukmu agar Ibunda kita semakin sehat dan bahagia. Begitu juga kepada
seluruh keponakan tercinta, tiada kata yang terindah selain terima kasih atas
dukungannya buat penulis untuk menyempurnakan cita-cita yang kita
dambakan.
21. Kepada istriku tercinta Drg Asima Sinaga, tiada kata yang paling tepat selain
terima kasih Tuhan atas istri yang Engkau karuniakan bagiku, yang selalu
menjadi pendorong dan teman paling setia dalam suka maupun duka serta
selalu mendengarkan dan memberikan solusi yang baik dalam berbagai
masalah yang dihadapi penulis. Juga anak-anakku tersayang Nathasia
Omega Parhusip, Julia Pratiwi Parhusip dan Reynaldo Joy Christian Parhusip
yang merupakan tempat curahan kasih sayang penulis, pendorong setia dan
pelipur lara bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian dan tulisan ini,
rajin-rajin belajar anakku Papi berdoa dan berharap anak-anakku lebih bijak dan
22. Sebenarnya masih banyak lagi kata ucapan terima kasih yang ingin penulis
sampaikan buat berbagai pihak yang tidaklah mungkin disebutkan satu
persatu, dan pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang tulus secara menyeluruh. Dan dari Bapa di sorgalah yang
membalaskan kebaikan dan ketulusan dari semua pihak yang telah membantu
penulis sehingga penelitian dan tulisan ini dapat penulis selesaikan.
Halleluyah! Tuhan memberkati.
Medan, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
DAFTAR ISI ……….. viii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... x
ABSTRAK ……….. xii
BAB I. PENDAHULUAN ………. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 5
2.1 DEFINISI ………. 5
2.2 EPIDEMIOLOGI ………. 6
2.3 FAKTOR RISIKO ………. 7
2.3.1 GENETIK ……….. 7
2.3.2 PAPARAN PARTIKEL INHALASI ………. 8
2.3.3 PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PARU …. 9 2.3.4 STRES OKSIDATIF ………. 10
2.3.5 JENIS KELAMIN ……….. 10
2.3.6 INFEKSI ……… 10
2.3.7 STATUS SOSIOEKONOMIK DAN NUTRISI ………. 11
2.3.8 KOMORBIDITAS ……… 11
2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI …. 11 2.5 INFLAMASI PADA PPOK ……….. 16
2.5.1 INFLAMASI LOKAL DAN INFLAMASI SISTEMIK … 16 2.5.2 CRP PADA PPOK ………. 19
BAB III. PENELITIAN SENDIRI ……….. 25
3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN ……… 24
3.2. PERUMUSAN MASALAH ……….. 26
3.3. HIPOTESA ……… 26
3.4. TUJUAN PENELITIAN ……… 27
3.5. MANFAAT PENELITIAN ………. 27
3.6. BAHAN DAN CARA. ……… 27
3.6.1. DESAIN PENELITIAN ……… 27
3.6.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ………... 27
3.6.3. SUBYEK PENELITIAN ……… 27
3.6.4. KRITERIA INKLUSI ……… 27
3.6.5. KRITERIA EKSKLUSI ………. 27
3.6.6. DEFINISI OPERASIONAL ………. 28
3.6.6.1. C-REACTIVE PROTEIN (CRP) ………… 28
3.6.6.2. PENDERITA PPOK EKSASERBASI …… 28
3.6.6.3. UJI BRONKODILATOR ………. 28
3.6.6.4. DERAJAT KEPARAHAN PPOK ……….. 29
3.6.6.5. SINDROMA METABOLIK ……….. 30
3.6.7. KERANGKA OPERASIONAL ………. 31
3.6.8. BESAR SAMPEL ………. 31
3.6.9. CARA PENELITIAN ………. 32
BAB IV. HASIL PENELITIAN ……… 33
4.1. KARAKTERISTIK DASAR SUBYEK PENELITIAN ……… 33
4.2. HUBUNGAN ANTARA KADAR CRP DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PPOK EKSASERBASI…..……… 34
BAB V. PEMBAHASAN ……… 40
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 44
6.1. KESIMPULAN ……….. 44
6.2. SARAN ……….. 44
DAFTAR PUSTAKA ……….. 45
LAMPIRAN LAMPIRAN 1. MASTER TABEL PENELITIAN ………. 50
LAMPIRAN 2. PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN ... 52
LAMPIRAN 3. INFORMED CONSENT ……… . 53
LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN ……….. 54
LAMPIRAN 5. PERSETUJUAN KOMITE ETIK ………... 57
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
I. GAMBAR
GAMBAR 1
Trigger dari PPOK eksaserbasi dan patofisiologinya………. 12
GAMBAR 2
Inflamasi netrofil pada PPOK eksaserbasi……….13
GAMBAR 3
Mekanisme inflamasi sistemik akibat stress oksidatif
dan inflamasi pada PPOK ... 20
GAMBAR 4
Korelasi kadar CRP serum dengan derajat keparahan
PPOK ekseserbasi ... 39
II. TABEL
TABEL 1.
Klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan spirometri …………. 29
TABEL 2.
Kriteria klinis PPOK eksaserbasi... 30
TABEL 3.
Karakteristik dasar subyek penelitian ……….. 34
TABEL 4.
Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat II
TABEL 5.
Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat III
PPOK Eksaserbasi……… 36
TABEL 6.
Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat III
PPOK Eksaserbasi……… 37
TABEL 7.
Gambaran nilai rerata CRP dan VEP1/VEP Prediksi berdasarkan
C-REACTIVE PROTEIN LEVEL IN EXACERBATION COPD PATIENT
Dumawan Harris Parhusip, EN Keliat, Alwinsyah Abidin
Pulmonology and Allergy-Immunology Division, Internal Medicine Department,
H Adam Malik Hospital/ Dr Pirngadi Hospital Medan.
ABSTRACT
Background.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a low grade systemic inflammation disease. Local airways inflammation related with systemic inflammation burden. CRP as an acute phase protein of systemic inflammation was suggested relating with severity of COPD.,
Aim.
Determining correlation between CRP level with severity of Exacerbation COPD.
Method.
A cross sectional study was conducted on 40 Exacerbation COPD patients who visit Pulmonology and Allergy-Immunology Inpatient and Outpatient Clinic H Adam Malik Hospital dan Dr Pirngadi Hospital Medan since March until June 2008. Anamnesis, physical examination, chest radiograph, spirometry and CRP serum level was measured. Statistic analysis using Spearmann’s correlation and Anova test.
Result.
CRP level was positively correlated with severity of Exacerbation COPD with correlation coefficent (r) 0.490 (p = 0.001).
Conclusion.
CRP serum level was positively correlated with severity of Exacerbation COPD.
KADAR C-REACTIVE PROTEIN PADA PENDERITA PPOK EKSASERBASI
Dumawan Harris Parhusip, EN Keliat, Alwinsyah Abidin
Divisi Pulmonologi, Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik/RS.Dr.Pirngadi Medan.
ABSTRAK
Latar Belakang.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit low grade systemic
inflammation. Inflamasi lokal saluran nafas berhubungan dengan beban inflamasi sistemik. CRP sebagai protein fase akut inflamasi sistemik diduga berhubungan dengan derajat keparahan PPOK.
Tujuan.
Untuk mengetahui kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi.
Metode.
Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 40 penderita PPOK Eksaserbasi yang rawat inap dan kontrol kepoliklinik Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi RSUP H Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan dari bulan Maret hingga Juni 2008. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, rontgen dada, spirometri dan pemeriksaan kadar CRP serum. Penilaian dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman dan Uji Anova.
Hasil.
Terdapat korelasi positif antara kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi dengan koefisien korelasi (r) 0,490 (p=0,001).
Kesimpulan
Kadar CRP serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi.
BAB I
PENDAHULUAN
Eksaserbasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan beban
pada system perawatan kesehatan yang meluas di seluruh dunia, yang menurunkan
status kesehatan yang akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1
PPOK diselingi dengan periode eksaserbasi yang berhubungan dengan
mortalitas, gagal pernafasan yang membutuhkan peralatan mekanik pada beberapa
pasien dan sebagai penyebab primer kematian dari penyakit ini. Eksaserbasi
dihubungkan dengan kegagalan pengobatan, kambuh yang membutuhkan perawatan
dirumah sakit dan meningkatkan mortalitas dalam satu tahun. Sehingga strategi
pengobatan (termasuk antibiotik yang tepat) sangat dibutuhkan untuk menekan
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan eksaserbasi.2
Perkembangan pengetahuan terhadap Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) sebagai penyakit inflamasi lokal paru yang mempunyai beban inflamasi
sistemik dan merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas utama di
dunia semakin meningkat. Pada banyak penelitian terakhir didapatkan adanya
peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi dan protein fase akut baik pada keadaan
stabil, terlebih pada keadaan eksaserbasi. 1,2
Peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi ini dinilai mempunyai banyak
pengaruh terhadap organ-organ lain disamping paru-paru yang secara klinis dapat
diamati. Hubungan antara proses inflamasi lokal pada paru-paru dan inflamasi
sistemik yang terjadi memang belum secara gamblang dapat dijelaskan, tetapi
melalui pengamatan akan inflamasi sistemik tersebut, maka prognosis pada
pasien-pasien PPOK dapat diperkirakan. 3,4
PPOK menduduki peringkat keempat dalam penyebab morbiditas dan
mortalitas di Amerika Serikat, dan WHO memperkirakan pada tahun 2020 akan
menduduki peringkat 5 sebagai penyebab mortalitas.5 Indonesia sendiri belumlah
memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah
Tangga DepKes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma
bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.6
Ilhamd dkk mendapatkan bahwa penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu
31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
RSUP H Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari
keseluruhan penyakit paru yang ada. 7
Salah satu petanda inflamasi yang sering diamati pada pasien PPOK adalah
C-reactive Protein (CRP). CRP merupakan protein fase akut, predominan dihasilkan
oleh hepatosit. CRP memiliki respon yang baik terhadap beban inflamasi sistemik
yang ada dan memiliki waktu paruh yang cukup panjang sehingga tidak mudah untuk
berubah. CRP, yang sudah lebih dulu establish sebagai prediktor kematian pada
kejadian kardiovaskular, ternyata juga memang didapati meningkat pada PPOK yang
stabil, terlebih-lebih pada PPOK yang sedang mengalami eksaserbasi akut. 8
CRP ini pada penelitian Aronson dkk didapati berkorelasi terbalik pada
penderita PPOK dengan nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang buruk dan
pada mereka yang merokok dibandingkan dengan orang normal. 9 Malah pada
penelitian de Torres dkk, yang meneliti secara longitudinal nilai VEP1 pertahun,
perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak perokok, dan justru nilai CRP nya
jauh lebih tinggi pada mereka yang merokok dibandingkan yang tidak. 13
Anthonisen dkk mendapatkan bahwa setiap penurunan 10% VEP1 akan
meningkatkan mortalitas kardiovaskular kira-kira 28% dan juga meningkatkan
kejadian penyakit jantung koroner yang non fatal kira-kira 20% pada PPOK yang
ringan-sedang.10 Dahl dkk menemukan bahwa inflamasi sistemik pada PPOK
ternyata dapat diukur melalui kadar CRP serum, dan pada penelitian kohor selama 8
tahun pada 1302 orang di Kopenhagen, diperoleh bahwa ternyata kadar CRP serum
merupakan prediktor independen jangka panjang yang kuat terhadap kejadian
morbiditas dan mortalitas pada penderita PPOK. 11
Nilai prediktor yang dimiliki CRP ini memberikan pemikiran akan kemungkinan
menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitasnya dengan cara mengurangi beban
inflamasi sistemik melalui pencegahan peningkatan CRP atau menurunkan kadar
CRP pada PPOK itu sendiri. Tatalaksana yang baik dan komprehensif jelaslah
menjadi cara untuk menurunkan petanda inflamasi yang ada diantaranya CRP, selain
sitokin-sitokin pro inflamasi yang ada. Selain menghindari faktor pencetus seperti
gas-gas berbahaya, asap rokok, infeksi, maka pemberian steroid sistemik telah lama
diketahui dapat menurunkan rekurensi eksaserbasi dan petanda-petanda inflamasi
pada PPOK. Tetapi harus juga dipertimbangkan, pemberian steroid sistemik jangka
lama akan memberikan efek samping yang banyak dan cukup berat. Steroid inhalasi,
pada GOLD 2007, tampak dengan jelas mulai dianjurkan untuk diberikan pada PPOK
derajat 3-4 bila didapati eksaserbasi yang berulang. Juga telah diteliti, meskipun
hasilnya masih kontroversial, bahwa pemberian steroid inhalasi akan menurunkan
Pemikiran-pemikiran dan hasil-hasil penelitian diatas memberikan wacana
untuk meneliti bagaimana hubungan antara kadar CRP dengan derajat keparahan
PPOK eksaserbasi, dimana penelitian sebelumnya pada pasien PPOK stabil sudah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI .
PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai kondisi pasien yang mengalami
perubahan diantaranya sesak yang bertambah, batuk yang semakin berat, sputum
yang bertambah atau berubah warna.1,3,6,7
Eksaserbasi pada PPOK adalah terjadinya perburukan yang akut pada
saluran nafas dari keadaan stabil. Dasar definisi ini digunakan juga pada perawatan
kesehatan, seperti:kunjungan ke dokter yang tidak rutin, perubahan atau
penambahan obat-obatan, pemakaian antibiotik, steroid oral pada eksaserbasi dan
kunjungan ke rumah sakit. Sebagian PPOK eksaserbasi tidak dirawat dan diobati
sendiri. GOLD (Global Initiative for chronic obstructive Lung Disease) juga
merekomendasikan eksaserbasi dapat self-limiting khususnya pada keadaan
ringan.2,4
Eksaserbasi biasanya terjadi karena inflamasi pada saluran nafas dan
peningkatan marker inflamasi sistemik. Hurst dkk meneliti 36 biomarker pada PPOK
eksaserbasi dimana biomarker yang lebih selektif adalah C-reaktif protein (CRP).
CRP akan meningkat sensitifitas dan spesifitasnya bila dijumpai peningkatan gejala
mayor pada eksaserbasi (sesak nafas, volume sputum, atau sputum purulen).5
Catatan yang dapat diperhatikan dari definisi akan PPOK berdasarkan
GOLD 2007 yang mendefinisikan PPOK merupakan suatu penyakit yang
dikarakteristikkan dengan hambatan saluran nafas yang biasanya bersifat progresif
adalah pada penekanan terhadap efek-efek ekstrapulmoner dari respon inflamasi itu
sendiri.1
2.2 EPIDEMIOLOGI.
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering ter
jadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai
mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus didapati sebanyak 15-53% pada
pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.
Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita
yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 Simpangan Baku dibawah
VEP Prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok. 14
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa PPOK sendiri
masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ke-3 terdepan, yang kemudian
menyebabkan beban sosioekonomik semakin meningkat diseluruh dunia. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura
dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.1 Indonesia
sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei
Kesehatan Rumah Tangga DepKes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak
di Indonesia.6
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh
dunia. Hal ini dibuktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika
Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5
kematiannya sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun
2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara
berurutan.1 Ilhamd dkk mendapatkan bahwa penderita PPOK menduduki proporsi
terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian
Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember
1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada. 7
2.3 FAKTOR RISIKO.
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini
muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan
membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat
merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan
partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur,
infeksi saluran nafas, status sosioekonomik, nutrisi dan komorbiditas. 1,14
2.3.1 Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan-genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah diteliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease
serine inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1
antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun
bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan
pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan
pola inflamasi dalam pembentukan CRP serum juga dipengaruhi oleh beberapa
gen yang terkait dengan 2 varian pada surfactant protein B (SFTB). 15
2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Setiap partikel berdasarkan komposisi dan ukurannya akan
memberikan pengaruh yang bermakna. Pada PPOK, paparan rokok, debu-debu
pada tempat kerja dan zat-zat kimia yang bersifat iritan merupakan penyebab
PPOK yang utama. Paparan rokok yang saat ini paling banyak diteliti dan
diketahui merupakan faktor risiko terhadap meningkatnya prevalensi PPOK itu
sendiri.16 Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain enviromental
smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna
pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah
pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif
dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lahir rendah, maka
insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun
pertama menjadi meningkat.1,14 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat
menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang
telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK
yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8%
(95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit
saluran pernafasan, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita
penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain.
Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap
lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0.02). 17
Paparan lainnya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu
yang terkait dengan pekerjaan (occupational dusts) dan bahan-bahan kimia.
Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab
tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan
inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir
10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20 %
paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna
pada PPOK.14
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu,
polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah
PPOK menjadi tinggi seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar
sulfur dioksida (S02) dan Nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan
sumbatan pada saluran nafas kecil (bronkiolitis) yang semakin memberikan
perburukan kepada fungsi paru.1,18
2.3.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Paru.
Pertumbuhan dan perkembangan Paru yang kemudian menyokong
kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status
pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan
yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.1
2.3.4 Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel-sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan
stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada
paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang
penting terhadap patogenesis PPOK.1
2.3.5 Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada
PPOK. Pada beberapa waktu lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK
lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari
beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara
pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang
mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok
dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita
lebih banyak yang perokok saat ini.19
Infeksi, baik viral maupun bakteri, akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri seperti
rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas
dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi pada PPOK. Proses
kolonisasi virus tersebut diduga dipermudah oleh paparan asap rokok yang ada,
khususnya pada saluran nafas yang lebih kecil. 1,18
2.3.7 Status sosioekonomik dan Nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi berhubungan dengan kejadian
PPOK, tetapi pada banyak studi populasi, didapatkan bahwa kepadatan
penghuni rumah, malnutrisi dan polusi udara yang terkait dengan status
sosioekonomi merupakan peta pola peningkatan jumlah penderita PPOK. 1
2.3.8 Komorbiditas.
Penyakit penyerta, khususnya asma dikatakan merupakan faktor resiko
terjadinya PPOK, dimana didapatkan pada Tucson Epidemiological Study of
Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan
mengalami 12 kali lebih tinggi resiko menderita PPOK. 20
2.4. PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.
Eksaserbasi PPOK dihubungkan dengan peningkatan inflamasi sistemik
saluran nafas atas dan saluran nafas bawah (gambar.1)21. Pada PPOK stabil dijumpai
peningkatan CD8+, limfosit dan makrofag pada mukosa bronkial dan peningkatan
dilakukan biopsi dijumpai peningkatan eosinofilia di saluran nafas terutama pada
PPOK ringan.2,3
Gambar 1.Trigger dari PPOK eksaserbasi dan patofisiologinya.21
Meningkatnya inflamasi sistemik pada eksaserbasi berhubungan dengan
infeksi virus dan bakteri. Beberapa marker inflamasi meningkat selama eksaserbasi
seperti plasma fibrinogen dan CRP yang juga dapat meningkatkan risiko
kardiovaskuler. Infeksi saluran nafas berhubungan dengan peningkatan kejadian
kardiovaskuler dan eksaserbasi PPOK. Respon inflamasi saluran nafas selama
eksaserbasi menimbulkan edema saluran nafas, bronkospasme, dan peningkatan
produksi sputum, terjadi hambatan aliran nafas dan hiperinflasi dinamik. Hiperinflasi
penyakit yang berat hambatan aliran nafas makin memburuk yang dapat berkembang
menjadi gagal nafas.2,3,21
Selama eksaserbasi pada sekresi saluran nafas dijumpai peningkatan
netrofil, hal ini dihubungkan dengan perubahan sputum yang menjadi lebih purulen.
Hasil degranulasi netrofil karena pengeluaran dari elastase dan proteinase yang lain
yang diakibatkan kerusakan dari epitel akan menurunkan aktifitas ciliar,
perangsangan sekresi mukus oleh sel goblet, dan peningkatan permeabilitas dari
mukosa bronkial akan menimbulkan edema saluran nafas dan pengeluaran protein
eksudatif.(gambar.2)22
Gambar.2. Inflamasi netrofil pada PPOK eksaserbasi 22
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan
kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada
mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari
ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. 18,22
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil
yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon
inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan
mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atrofi dan kelenjar mukus menjadi
hipertrofi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodelling saluran nafas
tersebut, hanya saja proses remodelling ini justru akan merangsang dan
mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana limfosit T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Perbedaannya dengan
asma adalah tidak terdapatnya penebalan pada lamina retikularis subepitel saluran
nafas penderita PPOK.17,18
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan
septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentriasinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar
(perilobular) yang sering dibahas, dan skar emfisema atau irregular dan emfisema
dengan bulla, yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada
emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat
proses inflasi.18
Inflamasi pada saluran nafas pada pasien PPOK merupakan suatu respon
yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan antiprotease dan defisiensi 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. 22,23
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T (CD8+ lebih dominan
dibandingkan CD4+) di paru-paru akan memperberat kaparahan dari PPOK. Sel-sel
inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam
proses penyakit, diantaranya adalah leucotriene B4, chemotactic factors seperti CXC
chemokines interleukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan IL-6, dan
TGF . Selain itu ketidakseimbangan aktivitas protease atau inaktivitas antiprotease,
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi
seperti produksi netrofil dan makrofag dan aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya
telah ada. 23,24
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan
obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan
air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada
abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa
hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada
hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi.
remodelling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi
pulmonary capillary bed menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap
hipertensi pulmonal. Hal lain yang kemudian menjadi pokok bahasan pada penelitian
ini adalah efek sistemik dari PPOK yang menyebabkan banyak hal seperti penurunan
massa otot, kecenderungan eksaserbasi, anemia, depresi, disfungsi ereksi dan
peningkatan kejadian kardiovaskular yang dikatakan terkait erat dengan C-reactive
Protein (CRP). 12,15
2.5. INFLAMASI PADA PPOK.
2.5.1. Inflamasi Lokal dan Inflamasi Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti penelitian terhadap inflamasi sistemik
pada PPOK. Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut
tampak pada PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui
luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK.
Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga
menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi-komponen.24
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan
perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut
meluas ke parenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang
memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutrofil
dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran
akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+)
akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer, berikut parenkim paru dan
lapisan adventisia arteri pulmonalis. Neutrofil yang juga meningkat pada
terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen
IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel
bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.23,24
TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan
berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1
dan IL-6 yang kemudian menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin
diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar pada sirkulasi
sistemik. Sitokin-sitokin yang berada pada saluran nafas akan mengekspresikan
TGF 1 yang merupakan suatu faktor pertumbuhan multifungsi yang memodulasi
proliferasi seluler dan menginduksi diferensiasi dan sintesis dari protein matriks
ekstraseluler, termasuk didalamnya kolagen dan fibronektin pada banyak jenis
sel. TGF 1 ini juga menginduksi sel-sel inflamasi dan kemotaksis seperti fagosit
mononuklear, sel mast dan limfosit T, dan ini berarti ada pemacuan proses
inflamasi yang ada. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas
sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil
dan limfosit pada gambaran darah tepi. Inflamasi yang terjadi kemudian
meningkatkan juga mediator peradangan sistemik, seperti protein-protein fase
akut yang berasal dari hati, yang merupakan pemain kunci dalam imunitas
alamiah. Salah satu penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
kadar CRP serum dan protein pengikat lipopolisakarida pada PPOK yang
kemudian hal ini akan meningkatkan resting energy expenditure (REE) dan
menurunkan massa tubuh tanpa lemak. Peningkatan derajat inflamasi sistemik
akan semakin membebani hati untuk juga memproduksi protein fase akut,
inflamasi sistemik dengan derajat protein fase akut yang dihasilkan, meskipun
ternyata juga terdapat beberapa bukti bahwa sel-sel spesifik lain seperti sel
epitel paru juga memproduksi protein fase akut seperti halnya hati.3
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas
dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat
menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas
adalah salah satu faktor risiko PPOK yaitu asap rokok. Selain menyebabkan
inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen
menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan
inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular
perifer, dan menariknya, kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski
hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari
mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi lokal berdiri sendiri,
begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar
TNF -R dan IL-8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum,
ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga
pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi,
lipopolisakarida, memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa
kenaikan temperatur tubuh, reaktivitas saluran nafas dan penurunan VEP1,
hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada
subyek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subyek yang hanya
mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang
diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK,
mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang kemudian akan menyebabkan
peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.2
Efek inflamasi sistemik ini berpengaruh luas seperti tertera pada
gambar 3. Efek terhadap bermacam sistem, tersebut diantaranya 1) otot dan
tulang yang berupa kelemahan tungkai dan penurunan indeks massa tubuh, 2)
sistem kardiovaskular berupa risiko aterosklerosis, sudden death, peningkatan
kadar CRP 3) sistem endokrin berupa resistensi insulin, penurunan testosteron,
kadar Insulin-like growth factor bahkan hingga mempengaruhi 4) sistem
susunan saraf pusat. Efek sistemik ini kemudian dicoba untuk dimengerti untuk
mencegah eksaserbasi berulang dan outcome yang buruk. 3,24
2.5.2 CRP pada PPOK
CRP yang diambil berdasarkan presipitat dari somatik
C-polysaccharide dari Streptococcus pneumoniae, merupakan suatu protein fase
akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu petanda
inflamasi yang memberikan respon pada keadaan-keadaan peradangan atau
inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi
yang mungkin saja terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan
keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut
sebenarnya didasarkan kepada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase
akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negatif, dalam artian dapat naik
ataupun turun sebanyak 25%. Protein fase akut itu sendiri sebenarnya terdiri
dari banyak jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik,
konsentrasi, baik berupa peningkatan maupun penurunan sebesar 25% dan
termasuk didalamnya adalah CRP. 25
Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi
adalah 0,8 mg/dL, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi
peningkatan hingga 10000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini
kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada
seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit. 8,25,27,28
Oksidan
Oksidan, Sel atau molekul Inflamasi (Makrofag alveolar, Netrofil, Monosit dan Limfosit)
Sumsum
Gambar 3. Mekanisme Inflamasi sistemik akibat stres oksidatif
dan inflamasi pada PPOK. 27
Beban Inflamasi sistemik akan direspon oleh hati dengan
akan mempengaruhi beberapa organ ekstrapulmonal. CRP sendiri sebenarnya
sudah establish sebagai suatu petanda akan kejadian kardiovaskular, tetapi
banyak penelitian melihat bahwa terjadi juga peningkatan kadar CRP serum
pada penderita PPOK, apalagi pandangan PPOK sebagai penyakit multisistem
semakin menegaskan adanya peningkatan protein fase akut dan mediator pro
inflamasi pada sirkulasi sistemik. Hubungan antara CRP pada beberapa
penelitian ditunjukkan dengan adanya hubungan terbalik dengan fungsi paru
yang ada. Aronson dkk meneliti bahwa terdapat peningkatan petanda inflamasi
sistemik, dalam hal ini CRP pada orang sehat yang bukan perokok (median
CRP 2,5; 1,8; 1,7; dan 1,3 pada kuartil VEP1 pertama hingga keempat, p <
(0,0001) dan lebih tinggi pada perokok (median CRP 3,8; 2,3; 2,0; 1,9 pada
kuartil VEP1 pertama hingga keempat, p < 0,0001). 9
Bila pada orang sehat yang perokok memang didapati peningkatan
CRP seiring adanya gangguan fungsi paru, pada suatu review sistematik
metaanalisis, dari 14 penelitian asli, didapatkan perbedaan bermakna akan
kadar CRP antara penderita PPOK dan kontrol sebesar 0,53 unit (95%, derajat
kepercayaan 0,34-0,72) begitu juga dengan petanda inflamasi lainnya seperti
fibrinogen dan kadar TNF serum. 29
Selain adanya hubungan, peranan CRP yang penting juga adalah
sebagai faktor prognostik yang baik terhadap morbiditas dan mortalitas pada
PPOK. Dahl dkk melaporkan bahwa CRP merupakan suatu prediktor kejadian
rawat inap dan kematian yang independen pada PPOK dimana didapati hazard
ratio morbiditas dan kematian pada PPOK meningkat pada 1,4 (95% derajat
kepercayaan, 1,0-2,0) dan 2,2 (1,2-3,9) pada penderita dengan kadar CRP > 3
peningkatan CRP sebesar 1,2 mg/L (analysis of variance p = 0,002) dan 4,1
mg/L (p = 0,001) pada mereka yang rawat inap dan meninggal karena PPOK. 11
2.6. DIAGNOSIS.
Belum ada definisi yang universal untuk PPOK eksaserbasi. Definisi
deskriptifnya dapat: akut, perubahan memburuk yang tumpang tindih pada PPOK
stabil dengan meningkatnya sesak nafas, performa harian yang menurun, dengan
atau tanpa perubahan volume sputum dan warnanya, batuk atau perubahan suhu
tubuh; dan atau perubahan status mental. Tiga tanda penting untuk eksaserbasi
seperti Kriteria Anthonisen, yaitu:8,10
• Meningkatnya sesak nafas
• Meningkatnya purulensi sputum
• Meningkatnya volume sputum
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya
dipikirkan sebagai suatu PPOK. Diagnosis PPOK dipastikan melalui pemeriksaan
spirometri paska bronkodilator. Perasaan sesak nafas dan dada terasa menyempit
merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat
muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK. 1
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK.
Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan
yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksinya memiliki nilai sensitifitas dan
spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat ditemukan sentral sianosis, bentuk
jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali
tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas
paru-hati. Auskultasi sering memberikan pelemahan saluran nafas, dapat dengan
disertai adanya mengi.19
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib dilakukan
pada penderita yang memang sudah dicurigai PPOK untuk lebih memastikan
diagnosis yang ada sekaligus memantau progresifisitas penyakit. Perangkat ini
merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most
reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas
Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspiratory Paksa 1 detik (VEP1) yang
didasarkan kepada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK
ditegakkan bila didapati nilai paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1
<80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan
dari PPOK itu sendiri.1,28,29
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali
adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda
hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga
retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corakan vaskular paru. Selain itu
radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung.
BAB III
PENELITIAN SENDIRI
3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai
dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, dimana hambatan
aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
pada partikel atau gas berbahaya.1 Menurut GOLD 2007, PPOK merupakan suatu
penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dapat mempengaruhi organ luar paru yang
dapat memperberat kondisi pasien. Hambatan aliran udara yang kronis pada PPOK
disebabkan penyakit saluran nafas kecil (obstruktif bronkiolitis) dan kerusakan
parenkim (emfisema).1,2
PPOK merupakan penyebab kematian keempat di Amerika dan Eropa, dan
diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020.3 Saat ini hampir 14
juta orang Amerika menderita PPOK dan menyebabkan sekitar 120.000 kematian
setiap tahun.3 Negara kita belum mempunyai data pasti tentang jumlah penderita
PPOK , tetapi menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 1992
mendapatkan mortalitas PPOK bersama-sama dengan asma bronkial berada pada
peringkat ke-6 penyebab kematian terbanyak di Indonesia.4
Karena PPOK dihubungkan dengan beberapa faktor risiko yang cukup banyak
dan akan meningkat di Indonesia, seperti asap rokok, polusi udara di kota-kota besar,
daerah industri, pertambangan, kebakaran hutan, dll, maka diperkirakan jumlah kasus
PPOK pun akan meningkat tajam dimasa-masa yang akan datang.5
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala,gejala
pada keadaan stabil dan pada keadaan eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK yaitu
terjadi perburukan dibanding dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi sendiri
ditandai dengan bertambahnya sesak nafas, kadang-kadang disertai wheezing, dan
bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum atau sputum menjadi lebih
purulen atau berubah warna. Kadang – kadang terdapat gejala yang tidak spesifik
seperti malaise, insomnia, fatique, depresi dan konfusio.1,6
CRP sebagai satu protein fase akut, berperan dalam menunjukkan adanya
gambaran inflamasi dan kerusakan jaringan. Korelasi antara CRP dengan PPOK
sendiri sudah banyak diteliti, dimana didapati adanya hubungan antar kadar CRP
tersebut dengan pO2 dan 6-Minute Walking Distance, begitu juga hubungan antara
kemampuan fungsi paru pada orang sehat yang dikaitkan dengan subyek yang
sehat.7 Penilaian eksaserbasi akut sendiri secara defenisi belumlah terlalu jelas
karena adanya beberapa kriteria baik klinis, fungsi paru maupun petanda-petanda
inflamasi. Perubahan FEV1 yang dinilai perhari,tidaklah selalu berkorelasi dengan
keadaan eksaserbasi akut, tetapi peningkatan petanda-petanda inflamasi seperti
CRP, fibrinogen plasma dan IL-6 memang seiring dengan adanya infeksi akut,
meskipun sering peningkatannya jauh lebih tinggi pada infeksi bakterial maupun
viral.8
CRP sendiri dipengaruhi oleh beberapa keadaan sistemik seperti yang sudah
banyak diteliti adalah penyakit jantung koroner, tetapi CRP dapatlah menjadi salah
satu parameter untuk melihat status inflamasi saluran nafas yang menilai eksaserbasi
dari PPOK, dimana karena keadaan eksaserbasi ini, akan meningkatkan resiko
hospitalisasi bahkan hingga kematian. Dahl dkk memperkuat hal tersebut dengan
mendapatkan bahwa ternyata CRP merupakan preditor kematian yang kuat pada
Meskipun banyak tulisan mengenai hubungan kadar CRP ini dengan
keadaan-keadaan eksaserbasi, CRP sendiri juga tetap muncul dan juga bahkan
dikatakan juga meningkat pada PPOK yang stabil meskipun peningkatannya tidak
setinggi peningkatan pada keadaan eksaserbasi.10 Hurst dkk menggunakan 36
biomarker termasuk didalamnya CRP pada pasien PPOK sebelum dan pada
eksaserbasi, didapatkan hasil IQR (interquartile range) yang signifikan pada
eksaserbasi dibanding baseline dengan nilai masing-masing 4.0 mg/L dan 15,6
mg/L.11 Berbeda dengan hasil yang didapat Weis dkk, dari total 166 pasien PPOK
eksaserbasi dijumpai 51 orang didiagnosa dengan pneumoni median CRP 97 mg/L,
64 orang tanpa pneumonia dengan median CRP 8 mg/L, disimpulkan bahwa kadar
CRP meningkat secara signifikan pada pasien pneumonia.30 Sembiring dkk di Medan
meneliti 40 orang penderita PPOK stabil mendapatkan nilai rata-rata CRP serum 0,23
± 0,34 mg/dl (2,3 ± 3,4 mg/L), tetapi pada keadaan eksaserbasi sepengetahuan
penulis belum pernah diteliti.31
Oleh karena itu kami memikirkan bagaimana hubungan inflamasi sistemik
yang diwakili oleh kadar CRP pada penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi
yang berobat jalan pada poliklinik Pulmonologi Alergi dan Imunologi dan yang rawat
inap di RSUD Dr.Pirngadi dan RSUP H Adam Malik Medan.
3.2. PERUMUSAN MASALAH
Apakah peningkatan kadar CRP serum sebanding dengan semakin tingginya
derajat keparahan PPOK eksaserbasi?
Makin tinggi derajat keparahan PPOK eksaserbasi, makin besar kadar CRP
serum
3.4. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui kadar CRP serum pada penderita PPOK eksaserbasi yang
datang berobat ke Poliklinik Pulmonologi Alergi dan Imunologi dan yang rawat
inap di RSUD Dr Pirngadi dan RSUP H Adam Malik Medan
3.5. MANFAAT PENELITIAN
Dengan mengetahui kadar CRP serum pada penderita PPOK eksaserbasi, maka
CRP menjadi salah satu pilihan biomarker untuk menilai derajat keparahan PPOK
eksaserbasi
3.6. BAHAN DAN CARA.
3.6.1. DESAIN PENELITIAN.
Penelitian dilakukan secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik.
3.6.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN.
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2008 s/d Juni 2008 di Poliklinik Devisi
Pulmonologi dan Alergi-Imunologi dan rawat inap RSUP H Adam Malik Medan dan
Poliklinik Pulmonologi dan Alergi-Imunologi dan rawat inap RSUD Dr Pirngadi Medan.
3.6.3. SUBYEK PENELITIAN.
Penderita PPOK eksaserbasi yang berobat jalan dan rawat inap di RSUD Dr Pirngadi
dan RSUP H Adam Malik Medan.
3.6.4. KRITERIA INKLUSI.
2. Berusia diatas 40 tahun.
3. Bersedia ikut dalam penelitian.
3.6.5. KRITERIA EKSKLUSI.
1. Penderita PPOK dengan gangguan fungsi hati.
2. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kadar CRP ( statin,
aspirin, vit C, vit E, antibiotika, steroid sistemik dan inhalasi).
3. Penderita penyakit autoimun dan penyakit kolagen.
4. Penyakit paru lainnya seperti bronkiektasis, fibrosis kistik, tuberkulosis atau asma.
5. Penderita Sindroma Metabolik.
3.6.6. DEFINISI OPERASIONAL.
3.6.6.1. C-reactive Protein (CRP)
CRP merupakan High Sensitive C-reactive Protein yang diambil dari
serum subyek yang telah disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, dan dinilai
secara metode Immunotubidimetric dengan alat HITACHI 912.
3.6.6.2. Penderita PPOK Eksaserbasi.1
Subyek yang ditegakkan sebagai PPOK melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, foto thoraks dan spirometri (derajat I-IV berdasarkan kriteria GOLD
2007) yang secara klinis sedang mengalami eksaserbasi (sesak yang
bertambah, volume sputum meningkat dan sputum menjadi purulen).
3.6.6.3. Uji Bronkodilator.1
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri Chest Graph HI-701.
- Pasien sebelumnya tidak boleh menggunakan obat-obatan
dan 12 jam untuk bronkodilator kerja panjang, dan 24 jam untuk teofilin
yang lepas lambat)
- Dilakukan pengukuran VEP1 sebelum pemakaian bronkodilator.
- Kemudian diberikan 400 µg bronkodilator 2 agonis kerja singkat
melalui Metered-Dose Inhaler dalam hal ini dengan memakai fenoterol.
- Dilakukan pengukuran setelah 10-15 menit setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
- Bila didapati peningkatan kurang dari 12% atau kurang dari 200 ml
paska bronkodilator dibandingkan dengan hasil pre bronkodilator,
maka dipastikan didapati adanya hambatan aliran udara yang bersifat
non reversibel.
3.6.6.4. Derajat Keparahan PPOK.
Derajat keparahan penderita PPOK ditentukan dengan klasifikasi menurut
kriteria Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2007.,
seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan spirometri.1
VEP1< 50% prediksi ditambah gagal nafas kronik
VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa satu detik; KVP : Kapasitas Vital Paksa; Gagal
nafas : Tekanan Oksigen Parsial Arteri (PaO2) kurang 8,0 kPa (60 mmHg) dengan
atau tanpa Tekanan CO2 Parsial Arteri (PaCO2) > 6,7 kPa (50mmHg) saat
bernafas pada ketinggian rata-rata air.
Tabel 2. Kriteria klinis PPOK Eksaserbasi 10
[
3.6.6.5. SINDROMA METABOLIK. 32
Sindroma Metabolik didefinisikan berdasarkan The IDF Consensus
Worldwide definition of the Metabolic Syndrome yaitu seseorang yang
memiliki Obesitas sentral (didefinisikan sebagai lingkar pinggang > 90 cm
untuk pria , dan > 80 cm untuk wanita ditambah 2 dari empat faktor
1. Peningkatan trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau dengan terapi
spesifik untuk abnormalitas lipid ini.
2. Penurunan nilai kolesterol HDL, < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) untuk pria
dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) untuk wanita, atau dengan terapi
spesifik untuk abnormalitas lipid ini.
3. Peningkatan tekanan darah sistolik > 130 atau diastolik > 85 mmHg
atau dengan pengobatan dimana sebelumnya didiagnosa sebagai
hipertensi.
4. Peningkatan Kadar Gula Darah Puasa > 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau
sebelumnya didiagnosa sebagai Diabetes Mellitus Tipe 2.
3.6.7. KERANGKA OPERASIONAL.
Rumus besar sampel :
Z x S 2 n > ---
d
d = presisi = 0,1
Perkiraan besar sampel :
1.96 x 0,3 2
n > ---
0,1
n > 5,88 2
n > 34,5744 35
3.6.9. CARA PENELITIAN.
Seluruh subyek penelitian yang selama ini menderita PPOK stabil, saat
ini diduga mengalami PPOK eksaserbasi dilakukan :
- Anamnesis meliputi keluhan utama, riwayat paparan asap rokok atau
merokok, jumlah rokok per hari dan lama merokok. Riwayat serangan hingga
subyek pernah masuk rumah sakit karena sesak nafas. Riwayat penyakit
lainnya dan riwayat penggunaan obat-obatan.
- Pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan tanda vital, TB, BB, Indeks Massa
Tubuh (IMT), pemeriksaan sistem khususnya pemeriksaan sistem saluran
pernafasan.
- Untuk menilai derajat keparahan PPOK melalui uji bronkodilator terlebih
dahulu, setelah itu baru dilakukan penilaian derajat keparahan PPOK sesuai
dengan GOLD 2007.
- Pemeriksaan laboratorium yang meliputi darah rutin, Kadar gula darah
3.6.10. ANALISA DATA.
- Untuk menilai korelasi kadar CRP dengan derajat beratnya PPOK dilakukan
dengan menggunakan uji korelasi Spearman.
- Untuk melihat perbedaan rata-rata kadar CRP berdasarkan derajat
keparahan PPOK dilakukan dengan menggunakan Uji Anova.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 KARAKTERISTIK DASAR SUBYEK PENELITIAN.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2008 hingga Juni 2008 pada
Poliklinik Pulmonologi dan Alergi-Imunologi RSUP H Adam Malik dan RSUD Dr
Pirngadi Medan. Pada pelaksanaan penelitian didapatkan 40 penderita PPOK (rerata
umur 62,18 + 10,283 tahun , 36 (90%) pria dan 4 (10%) wanita). Pada penelitian ini
tidak dijumpai PPOK eksaserbasi derajat I (tabel 3). Penderita PPOK terbanyak pada
derajat III dengan jumlah 18 orang dimana PPOK pria sebanyak 16 orang dan wanita
2 orang. Subyek wanita dijumpai frekuensi sama banyak antara PPOK derajat sedang
dan PPOK derajat berat masing-masing 2 orang.
Sepuluh orang subyek merupakan penderita PPOK yang masih merokok.
Dua puluh sembilan subyek yang dengan riwayat merokok dan satu orang tidak
pernah merokok. Derajat PPOK berat dijumpai pada delapanbelas subyek,
enambelas orang subyek derajat PPOK sedang serta enam orang subyek derajat
PPOK sangat berat. Status tingkat pendidikan mendapatkan bahwa terbanyak 15
(37,5%) subyek hanya lulus sekolah dasar. Dijumpai masing-masing sebelas orang
subyek lulusan SLTP dan SLTA, dan hanya 3 orang subyek yang tingkat pendidikan
Sarjana. Indeks Brinkmann tertinggi berada pada subyek PPOK derajat III sebesar 18
4.2. Hubungan antara kadar CRP dengan Derajat Keparahan PPOK Eksaserbasi.
Pada tabel 4 digambarkan hubungan kadar CRP dengan VEP1/VEP
prediksi pada derajat II PPOK eksaserbasi, disajikan 16 subyek dengan kadar
tertinggi CRP adalah 1,14 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPprediksi sebesar 62,12 %,
sedangkan kadar terendah CRP bernilai 0,03 dengan nilai VEP1/VEPpred adalah
71,55 %.
Tabel 4. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat II PPOK
Eksaserbasi
No Subyek
Kadar CRP (mg/dL)
Pada derajat III PPOK eksaserbasi, didapatkan rerata kadar CRP sebesar
0,89+0,47 mg/dl dengan rerata VEP1/VEPpred sebesar 38,75 + 4,02 %, dengan
kadar CRP tertinggi sebesar 1,70 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPpred sebesar 47,19%
dan kadar CRP terendah sebesar 0,12 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPpred sebesar
42,79 %.(Tabel 5)
Tabel 5. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat III PPOK Eksaserbasi
No
Subyek
Kadar CRP
(mg/dL)
Tabel 6 menggambarkan kadar CRP dan nilai VEP1/VEPpred pada derajat
IV PPOK eksaserbasi, didapatkan 6 subyek dengan kadar CRP tertinggi dan
terendah masing-masing sebesar 1,60 mg/dl dan 0,05 mg/dl dengan nilai
VEP1/VEPpred secara berturutan sebesar 18,56 % dan 16,74 %.
Tabel 6. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat IV PPOK
Tabel 7 menggambarkan perbedaan rerata kadar CRP dan rerata
VEP1/VEP Prediksi berdasarkan derajat keparahan PPOK eksaserbasi, semakin
berat derajat PPOK eksaserbasi maka semakin besar nilai rerata CRP, hal ini
berbanding terbalik dengan nilai rerata VEP1/VEP Prediksi dimana semakin berat
derajat PPOK eksaserbasi semakin kecil nilai reratanya. Dengan menggunakan uji
Anova kedua variable tersebut bermakna secara statistik.
Tabel 7. Gambaran nilai rerata CRP dan VEP1/VEP Prediksi berdasarkan derajat
PPOK Eksaserbasi
Derajat PPOK n CRP VEP1/VEP Prediksi
X ± SD X ± SD
Derajat II 16 0,34±0,39 67,14±8,10
Derajat III 18 0,89±0,47 38,75±4,02
Derajat IV 6 0,93±0,69 20,19±5,08
( Sig ) = P 40 0,003* 0,0001*
Keterangan : Uji ANOVA
* Signifikan
Secara keseluruhan nilai rerata kadar CRP pada penelitian ini adalah 0,68 +
0,54 mg/dl. Kadar CRP pada derajat II, III, dan IV PPOK eksaserbas masing-masing
adalah sebesar 0,34+0,39, 0,89+0,47 dan 0,93+0,69 secara berturutan seperti yang
telah digambarkan pada tabel 4 hingga tabel 6. Dengan analisa statistik Anova
rerata kadar CRP pada masing-masing derajat keparahan PPOK eksaserbasi dan
Kadar CRP serum tampak meningkat seiring dengan peningkatan derajat
keparahan PPOK eksaserbasi berdasarkan spirometri paska bronkodilator. Hubungan
yang didapat tampak merupakan korelasi positif yang bermakna secara statistik
melalui uji korelasi Spearman, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,490 (p<0,05)
(gambar 4).
2 2.5 3 3.5 4
Derajat PPOK 0.00
0.50 1.00 1.50 2.00
CR
P
r = 0.490
p. = 0.001*
i
x
y=−0.2968+0.3535.
Hubungan kadar CRP serum dengan derajat keparahan PPOK eksaserbasi
yang didapati bermakna secara statistik, semakin berat derajat PPOK eksaserbasi