PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
NAMA :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR NIM : 090706014
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)
Yang diajukan oleh :
Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim :090706014
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,
Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 1959123119850032005
Ketua Departemen Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)
Skripsi Sarjana Dikerjakan
O L E H
Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim : 090706014
Pembimbing,
Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 195912311985032005
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya
Dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN SEJARAH
DISETUJUI OLEH : FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN
PENGESAHAN :
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001
Panitia Ujian :
No. Nama Tanda Tangan
1. ……… ( ……… )
2. ……… ( ……… )
3. ……… ( ……… )
4. ……….... ( ……… )
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhana Wata’ala yang selalu
memberikan kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari Allah, dan Allah
jua beserta orang-orang yang bersabar dan berserah diri. Dan junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang penuh inspirasi dan suri tauladan bagi kita. Shalawat dan salam atas beliau dan para
sahabat, Amin Ya Rab.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga,
pikiran, serta bimbingan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada
yang penulis hormati dansayangi:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum. selaku ketua Departemen Imu Sejarah yang telah
banyak memberikan dorongan, arahan, kemudahan, serta bimbingan yang memotivasi
penulis, yang juga merupakan dosen yang mampu memupuk semangat para mahasiswa
khususnya penulis dalam menjalani perkuliahan.
3. Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. sebagai sekretaris Departemen Ilmu Sejarah dan selaku
dosen pembimbing penulis yang telah memberikan banyak motivasi dan nasehat kepada
penulis selama penulisan skripsi ini, juga telah sabar dalam menghadapi tingkah laku
penulis dan tetap mengayomi. Terima kasih ibu.
4. Bapak Dr. Budi Agustono selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat terhadap
Administrasi di Departemen Ilmu Sejarah, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu
pengetahuan yang telah diberikan selama ini, semoga membuahkan hasil kesuksesan bagi
penulis.
5. Yang teristimewa kepada Ayahanda Aiptu Sarjono Tumanggor dan Ibunda tercinta
Rusmaini Sihotang, yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran.
serta telah benyak melimpahkan kasih sayang dan doa kepada penulis sedari kecil sampai
dengan sekarang sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk
mendapatkan gelar Sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
6. Kepada Oppu Gustaman Tumanggor selaku ketua adat, orang tua sekaligus narasumber
saya yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini. Mauliate Oppu.
7. Kepada abangku Afrizal Setiono Tumanggor. Amd, dan ketiga adikku Muhammad Iqbal
Damayanto Tumanggor, Hasya Silvia Tumanggor dan si kecil Rizka Aisyiyah
Tumanggor, kalian adalah motivasi dan penyemangat hidupku. Juga seluruh keluarga
yang ada di Manduamas terima kasih banyak atas supportnya.
8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah USU 2009 ada Doli, Saddam Pulungan,
Sadam AT, Aprianta, Swandi, Hanter, Dedi, Poli, Nuel dan yang lebih dulu tamat ada
Roni, Philip, Rizal, Lala, Gian, Hendra Nurlailisa, Dara, Fani, Ita dan semua rekan yang
tak bisa disebutkan satu persatu kita pernah punya kenangan indah dan persahabatan
adalah kenangan indah yang pasti akan terus kita jaga.
9. Abang-abang, kawan-kawan dan adik-adik HMI beserta seluruh keluarga besar HMI
Komisariat FIB USU yang selalu mewarnai dinamika kampus kita ini dan banyak
10.Kawan-kawan, adek-adek sepermainan dalam keseharian penulis ada Ginanjar, Ikhwan,
Bima, Ardiansyah, Surya, Arif, dan semuanya di lingkungan kampus. Juga untuk
kawan-kawan kos bang Sandi, bang Ilham, bang Ucok Haratua, bang Gio, dan yang lainnya yang
mungkin tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dengan
kalian selama ini.
Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat mengucapkan
terimakasih sedalam – dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Februari 2015
Penulis
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita.Hingga saat ini penulis masih diberi
kesehatan dankemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Univesitas
Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul, PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP
MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992). Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini selain sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, juga untuk
menjelaskan bagaimana pengaruh budaya oleh suku Batak Toba terhadap masyarakat Pakpak
Kelasen yang menjadi salah satu kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat
tersebut.
Akhir Kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatian para pembaca dan pemerhati
sejarah, kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai kita sekalian.
Medan, Februari 2015
Penulis
Muklis Algafarh Tumanggor
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang masalah...1
1.2Rumusan Masalah...9
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...9
1.4Tinjauan Pustaka...11
1.5Metode Penelitian...14
BAB II BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA 2.1 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas...17
2.2 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba...20
2.3 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda...24
2.4 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba...27
2.5 Keadaan Penduduk...30
2.6 Pemukiman...32
2.8 Sistem Kekerabatan...35
2.9 Sistem Adat Perkawinan Pakpak Pada Umumnya...36
2.9.1 Bentuk Perkawinan...37
2.9.2 Tahapan Perkawinan...39
2.9.3 Upacara Perkawinan...50
2.9.4 Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Perkawinan...54
BAB III KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS 3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...55
3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...57
3.3 Interaksi Budaya Masyarakat Batak Toba di Manduamas...61
3.4 Wilayah Budaya Batak Toba dan Pakpak Kelasen...65
BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BUDAYA MASYARAKAT PAKPAK KELASEN MENGIKUTI BUDAYA BATAK TOBA 4.1 Pengaruh Terhadap Bahasa...74
4.2 Pengaruh Terhadap Adat Perkawinan...77
4.3 Faktor yang Mempengaruhi Budaya Pakpak Kelasen...87
4.3.1 Faktor Internal...88
4.3.1.2 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Perhatian Dari Masyarakat....89
4.3.1.3 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Dukungan Pemerintah...90
4.3.2 Faktor Eksternal...91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan...92
5.2 Saran...95
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari Bahasa
Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
demikian budaya dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata
“budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi”
sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan
rasa dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, rasa dan karsa.
Unsur-unsur kebudayaan. Menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia
mempunyai tujuh unsur universal, yaitu: Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Mata Pencaharian,
Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Religi, Kesenian. Dari ketujuh unsur kebudayaaan ini
merupakan acuan bagi penulis dalam mengkaji budaya dan perubahan budaya yang terjadi pada
masyarakat Pakpak Kelasen dan pengaruhkebudayaan suku Batak Toba terhadap kebudayaan
Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas.
Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa
Pakpak yang berada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang
Hasundutan, dan Kecamatan Manduamas.Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalahPakpak
Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelimawilayah ini berbeda dalam
sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanyadibedakan berdasarkan tempatnya atau
wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen. Alasan penulis
dimana saat ini adat budaya Pakpak Kelasen telah berubah dengan menggunakan adat budaya
Batak Toba.
Suku Pakpak mendiami wilayah yang disebut dengan Tanah Pakpak, yanglingkungan
wilayahnya berbeda dengan wilayah Dairi yang sekarang, yaitu daerahKeppas yang daerahnya
mulai dari batas Tele di Humbang Hasundutan sampaidengan ke perbatasan Aceh. Daerah
Pegagan mulai dari daerah Silalahi, Paropo,sampai dengan pesisir Bllo Kotacane.Daerah Simsim
mulai dari batas Dolok Sanggul sampai ke Penanggalan (Aceh). Daerah Kelasen yang sekarang
masuk ke wilayahKabupaten Humbang Hasundutan yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah,
dandaerah Boang dengan wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masuk
daerahKabupaten Aceh Singkil, dan Subulussalam.
Secara umum Pakpak dapat digolongkan menjadi lima bagian berdasarkanwilayah
komunitas marga dan dialek masing-masing. Pertama, Pakpak Simsimyaitu orang orang Pakpak
yang menetap dan memiliki wilayah Simsim. Marga yangmenetap di sana yaitu marga Berutu,
Sinamo, Padang, Solin, Banuarea, BoangManalu, dan Cibro Sitakar. Kedua, Pakpak Keppas
yaitu orang Pakpak yangmenetap dan berdialek Keppas dengan marga Ujung, Bintang, Bako,
dan Maha,dengan menempati wilayah Kecamatan Silimapungga-pungga, Kecamatan
TanahPinem, Kecamatan Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang. Ketiga, PakpakPegagan yang
juga berdialek Pegagan dengan marga Lingga, Mataniari, Maibang,Manik, dan Siketang,
menempati wilayah Kecamatan Pegagan Hilir, KecamatanSumbul, dan Kecamatan Tigalingga.
Keempat, Pakpak Kelasen, yaitu orangPakpak yang berdialek Kelasen dengan marga
Tinambunan, Tumangger, Maharaja,Turuten, Pinayungen, dan Nahampun atau sering disebut
dengan Si Onom Hudon, kemudian marga Kesogihan, Meka, Berasa, Mungkur yang menempati
Kabupaten Tapanuli Tengah di Kecamatan Barus dan Kecamatan Manduamas. Dan kelima,
Pakpak Boang yang berdialek Boang, dengan marga Sambo, Penarik, danSaraan. Wilayah yang
ditempati Pakpak Boang ini adalah Kabupaten Aceh Singkildan kota Subulussalam.
Sebutan suku Pakpak sering disebut dengan Pakpak Dairi. Dairi merupakan nama yang
diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanah Pakpak yang dinamai
dengan Dairi Landen. Tanah Pakpak dibagi-bagi oleh Belanda dalam berbagai wilayah, sehingga
dengan mudah melumpuhkan perjuangan Sisingamangaraja XII yang pusat pemerintahannya di
Pearaja dan beberapa wilayah Pakpak. Dengan demikian daerah administrasi Dairi Landen dapat
dipisahkan dari daerah-daerah masyarakat Pakpak lainnya, misalnya di kecamatan Parlilitan
(Kabupaten Tapanuli Utara menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang
(Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam), serta Barus dan Manduamas (Kabupaten
Tapanuli Tengah).1
1. Daerah Kelasen menjadi wilayah Tapanuli Utara.
Sejak kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1908, Tanah Pakpak resmi dibagi-bagi
seperti :
2. Daerah Manduamas masuk wilayah Tapanuli Tengah.
3. Daerah Boang masuk wilayah Aceh Selatan.
Walaupun pada akhirnya untuk memperluas hegemoni kekuasaan Belanda di Sumatera,
hak ulayat (tanah) Pakpak yang dulunya satu di bawah naungan Dairi secara administratif
dipecah. Hasilnya dibawahi oleh tiga Daerah Tingkat II yakni:
1
1. Pakpak secara administratif Kabupaten Dairi adalah: Pakpak SIMSIM, Pakpak
PEGAGAN, dan Pakpak KEPPAS.
2. Pakpak secara administratif Kabupaten Tapanuli yakni Pakpak KELASEN.
3. Pakpak secara administratif Kabupaten Aceh Selatan yakni Pakpak BOANG.
Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen, dengan marga
Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinayungan dan Nahampun atau sering disebut
juga dengan Si Onom Hudon. Sionom Hudon (bahasa Batak Toba) adalah terjemahan dari
bahasa Pakpak yaitu si Ennem Koden. Si Onom Hudon secara harfiah berarti enam periuk.
Kecamatan Manduamas ini merupakan bagian dari Tanah Pakpak. Secara geografis
Manduamas ini berbatasan dengan Kabupaten Dairi sebagai Kabupaten Induk Tanah Pakpak
karena secara ideologi dan kebudayaan masih menyatu. Sebab Kabupaten Dairi merupakan
bagian dari Pakpak awalnya sebelum dimekarkan. Untuk itu, walaupun telah terjadi pemisahan
antara Pakpak dan Dairi, tetapi sebagai sebuah entitas masyarakat antara keduanya tidak dapat
dipisahkan dari sisi ideologi dan kebudayaan yang ada di masyarakatnya karena memang
keduanya memiliki keidentikan dalam banyak hal sebagai sebuah identitas masyarakat yang satu.
Sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan. Perbatasan
sebelah Timur ini jugalah yang menghubungkan Manduamas ke Barus2
2
Barus dikenal sebagai sentral niaga internasional pengekspor hasil-hasil alam, termasuk juga damar dan kemenyan yang berasal dari Pakpak.
sebagai bagian dari
kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah yang juga dikenal sebagai jalur penetrasi
Islam di wilayah ini. Bahkan, tidak hanya itu Barus juga menjadi sentral pertama perkembangan
Islam di Indonesia secara umum sebagaimana yang banyak menjadi perhatian para ahli sejarah
internasional pada saat itu, yang dibuktikan sekarang banyak ditemukan bukti-bukti makam tua
yang menunjukkan fakta tersebut ada.3
Secara umum etnis Pakpak mengenal dua bentuk upacara (kerja).Yangpertama disebut
dengan Kerja Baik, yaitu yang berhubungan dengan upacara sukacita.Yang termasuk upacara
baik adalah upacara perkawinan, kelahiran anak, panen, dan lain-lain.Sedangkan yang kedua
adalah upacara Kerja Njahat atau upacara yang berhubungan dengan perasaan dukacita, seperti
upacara kematian.
Letak Manduamas yang strategis ini kemudian menunjukkan bahwa Pakpak dilingkupi
daerah Dairi dan Humbang Hasundutan yang secara geografis tentu saja perbatasan daerah ini
memiliki pengaruh dalam dalam masyarakatnya, terutama dalam hal kedekatan budaya antar
kedua daerah ini dan termasuk juga penyebaran masyarakat Pakpak di dalamnya merupakan
sesuatu hal yang tidak bisa dihindari mengingat perbatasan ini juga menunjukkan adanya
hubungan ekonomi antar kedua daerah terutama Manduamas sebagai bagian dari Pakpak itu
sendiri.
4
3
Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus, Sumatera Utara: Lobu Tuo, Fansur Barus
lebihdahulu dari Sriwijaya, Lemuri, Perlak, Pasai dan Majapahit (Medan: Sasterawan, 1973), hlm. 6
4
Berutu, Lister,Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak. Monora: Medan, 2002, hlm. 5
Salah satu upacara Kerja Baik pada masyarakat etnis Pakpak adalah
perkawinan.Sebab perkawinan merupakan suatu tahap yang penting dilalui oleh setiap
insanmanusia.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa: “Perkawinan merupakan peralihan yang
terpenting dari life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari
Saat ini kebudayaan Pakpak yang juga merupakan kebudayaan PakpakKelasen telah
mengalami perubahan.Kebudayaan yang berubah itu adalah dalam hal upacara adat
perkawinan.Adat Pakpak sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar warga Pakpak Kelasen
dan beralih menggunakan upacara adat perkawinan yang baru, yaitu adat Batak
Toba.Penggunaan adat Pakpak dalam masyarakat Pakpak Kelasenmulai berkurang
pemakaiannya.Bila melaksanakan adat pesta perkawinan yangdipakai adalah adat Batak Toba,
meskipun perkawinan antara sesama etnis PakpakKelasen adat yang dipakai tetap adat Batak
Toba.Akan tetapi yang mengalamiperubahan hanya dalam adat perkawinan saja, sedangkan adat
Pakpak lainnya masih tetap dipakai oleh masyarakat Pakpak Kelasen.Hal ini disebabkan orang
Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di sekitar desa Si Onom HudonKecamatan
Manduamas.Dulunya juga suku Pakpak Kelasen banyak yang berasal dari suku Batak
Toba.Perubahan upacara adat perkawinan ini disebabkan terjadinyaperkawinan antara Pakpak
Kelasen dan Batak Toba dengan menggunakan adat BatakToba.
Atas dasar pemikiran diataslah penulis menulis skripsi ini dengan judul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)”.Konsep dasar pengambilan judul tersebut adalah bagaimana kebudayaan etnis Batak Toba mudah diterima oleh etnis Pakpak Kelasen yang dengan serta merta memasukkan
unsur-unsur budaya Batak Toba ke dalam budaya Pakpak. Penulis juga membuat batasan waktu
pada tahun 1946-1992 dalam skripsi ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis
dengan Bapak Gustaman Tumanggor selaku tokoh adat di Manduamas, sejak tahun 1946 dia
memprakarsai peresmian 19 kampung di Manduamas tepatnya tanggal 5 April 1946. Sejak saat
itu Manduamas semakin ramai kegiatan masyarakatnya sekaligus sebagai awal perjalanan
periode akhir penelitian ini karena berdasarkan PP No. 35 / 1992 tanggal 13 Juli 1992 tentang
pembentukan 18 kecamatan yang ada di Sumatera Utara, maka Kabupaten Tapanuli Tengah
mendapat dua daerah pemekaran yakni Kecamatan Manduamas yang merupakan hasil
pemekaran dari Kecamatan Barus dan juga Kecamatan Kolang hasil pemekaran dari Kecamatan
Sibolga.
Dibutuhkan suatu penelitian tentang kenapa orang Pakpak tidak konsisten dan selalu
mengalah atau beradaptasi dengan adat orang lain dalam adat perkawinan. Berbeda dengan orang
Karo dan Toba yang selalu konsisten dengan adatnya walaupun kawin dengan etnis lain. Secara
umum memang diketahui penyebabnya, antara lain faktorsejarah, faktor pendidikan dan faktor
politik. Faktor sejarah dan politik misalnya sangat berperan dengan memecah belah wilayah
komunitas Pakpak dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sehingga
wilayah tradisional Pakpak terbagi dalam beberapa kabupaten.
1.2 Rumusan masalah
Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan
panulis dalam pengarahan pengumpulan data dalam rangka untuk memperoleh data yang
relevan. Hal ini menjadi landasan dalam penulisan nantinya pada bab-bab selanjutnya sehingga
penulisan lebih mudah dan terarah karena telah berpedoman pada rumusan masalah.
Berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini maka ada beberapa pokok permasalahan
yang akan dikaji, yaitu:
2. Bagaimana keberadaan masyarakat Batak Toba di Manduamas?
3. Apa faktor yang mempengaruhi budaya masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti
budaya Batak Toba?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis
maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam
penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan.
Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya,
namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran
bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Adapun Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk dapat menjelaskan budaya Pakpak Kelasen sebelum masuknya Batak Toba ke
Manduamas
2. Untuk dapat menjelaskan bagaimana keberadaan Batak Toba dan pengaruh budayanya
terhadap masyarakat Pakpak Kelasen.
3. Untuk dapat menjelaskan apa faktor yang mempengaruhi masyarakat Pakpak Kelasen
mengikuti budaya Batak Toba.
Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini mempunyai
manfaat bagi kita, yaitu:
2. Memberikan informasi tentang kebudayaan Pakpak Kelasen bagi yang ingin mengetahui
adat Pakpak Kelasen.
3. Memberikan bahan masukan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat Pakpak
Kelasen dan bagi masyarakat Pakpak umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat
dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Selain melakukan
penelitian ke lapangan, peneliti juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku
dan laporan serta artikel yang berkaitan sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan
selama penelitian.
Lister Berutu dan Nurbani Padang dalam bukunya Tradisi dan Perubahan, Konteks
Masyarakat Pakpak Dairi (1998), menjelaskan tentang segala jenis tradisi dan adat suku Pakpak
beserta perubahan-perubahan budayanya. Pembahasan utamanya tentang upacara adat
masyarakat Pakpak Dairi yang terdiri dari upacara sukacita (kerja baik) dan upacara dukacita
(kerja njahat). Juga tentang aspek-aspek lain yang berhubungan dengan Budaya Pakpak seperti
marjinalisasi pemerintahan kuta dan privatisasi pemilikan tanah adat Pakpak, upacara menanda
tahun dan maknanya bagi kelestarian lingkungan, genderang si lima; ensembel; musik adat
masyarakat Pakpak Dairi, bentuk morfofomenik dalam bahasa Pakpak Dairi, bahasa Pakpak dan
gambaran masyarakat pemakainya, dan asosiasi marga-marga orang pakpak di Kotamadya
mencakup kebudayaan Pakpak secara umum dan luas. Dari kelima suak yang ada pada bangsa
Pakpak tidak ada perbedaan dan semua sama dan seragam.
Lister berutu dan Tandak Berutu dalam bukunya Adat dan Tata Cara Perkawinan
Masyarakat Pakpak (2006), menjelaskan tentang adat perkawinan yang berlaku pada masyarakat
Pakpak yang masih memegang adatnya. Buku ini berguna untuk mengungkapkan bagaimana
adat perkawinan masyarakat Pakpak yang sesungguhnya. Buku ini secara khusus menyajikan
bentuk upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh umumnya orang Pakpak, yakni:
perkawinan Sitari-tari (merbayo), Sohom-sohom, Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke,
dan Mengalih. Ketujuh bentuk perkawinan ini memiliki ciri khasnya masing-masing, namun
Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk upacara perkawinan yang biasa dilaksanakan dan
dianggap paling ideal karena semua hak dan kewajiban dari kerabat pihak pengantin laki-laki
dan pengantin perempuan telah terpenuhi. Bentuk perkawinan jenis ini dibicarakan lebih lanjut
dan menjadi fokus utama buku ini. Pentingnya adat perkawinan Pakpak ini untuk diuraikan
secara tertulis karena dikhawatirkan adat perkawinan Pakpak akan hilang karena generasi tua
pun tidak konsisten mempertahankan adatnya. Dan generasi mudanya pun tidak paham terhadap
adatnya sendiri, karena orangtuanya sendiri pun mungkin tidak memahami secara rinci.
Togar Nainggolan dalam bukunya Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan
Identitas. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba
menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka menghilangkan identitas asli
dan mengalami perubahan identitas etnik. Suku Batak Toba selaku golongan Batak Toba
mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Yang
diperlukan dalam buku ini adalah adanya pembahasan mengenai Batak Toba di Tapanuli Utara
Kemudian pembahasan tentang nama ‘batak’. Sesudah itu akan dibicarakan juga Batak Toba
sebagai salah satu subetnis dari batak.
O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba dalam bukunya Migran Batak Toba di Luar Tapanuli
Utara: Suatu Deskripsi. Buku ini menggambarkan kedinamisan suku bangsa Batak Toba.
Persebaran mereka ke daerah sekitar yang bermula dari Pusat Negeri Batak sudah berlangsung
sejak beberapa abad yang lalu. Kejadian tersebut sudah digambaran dalam berbagai kepustakaan
yang membahas silsilah dan penyebaran marga-marga. Telaah kali ini berkenaan dengan
penyebaran orang Batak Toba dalam konteks yang lebih modern serta dalam ruang lingkup yang
lebih luas, dengan sajian sejak permulaan abad XX. Buku ini diperlukan untuk mengambil
contoh Tano Perserakan orang Batak Toba ke wilayah Dairi dan Tapanuli Tengah.
Buku lainnya yang juga ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah karya Sitor
Situmorang dalam bukunya Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX. Buku ini
menjelaskan tentang sejarah perkembangan sosial politik antara abad ke-13 hingga abad ke-16.
Dari proses pembentukan republik desa pemula, berbentuk lembaga bius, ke masa peralihan
menuju kerajaan. Sistem masyarakat Batak Toba lama adalah sebuah sistem yang merupakan
federasi sejumlah bius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius
(paguyuban desa adat) dan jajaran pemerintahan. Secara umum, buku ini merupakan sebuah
catatan perjalanan masyarakat Batak Toba dalam pasang surut laju modernisasi. Karena buku ini
membahas perjalanan orang Batak Toba, maka banyak juga unsur-unsur kebudayaan asli mereka
1.4 Metode Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah
karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi tahapan harus dilalui untuk mencapai
suatu hasil yang maksimal.Untuk itu dalam merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis
tersebut dipakai metode sejarah dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan
penelitian. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan
peninggalan masa lampau.5
5
Louis Gottschalk, “Mengerti Sejarah”, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, hlm 32.
Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber
yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan menggunakan metode
library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan field research (penelitian lapangan/
studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukandengan mengumpulkan buku-buku, skripsi,
maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang sedang dikaji. Tinjauan pustaka diambil dari perpustakaan USU,
perpustakaan UNIMED dan perpustakaan Daerah Medan. Adapun, penelitian lapangan
dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terutama pada informan-informan yang
dianggap mampu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, Informan
kunci adalah Bapak Gustaman Tumanggor selaku ketua adat Siambaton Napa di Manduamas dan
pak Remanto Tumanggor selaku pendeta.Baik informan yangberetnis Pakpak sendiri maupun
Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan
terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi
substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku
atau dokumen yang berkaitan dengan orang Pakpak dan Batak Toba, kritik ini disebut dengan
kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui
keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keotentikan, kritik ini disebut dengan
kritik ekstern.Kritik yang dilakukan lebih banyak kepada kritik internal, hal tersebut terjadi
karena kurangnya sumber primer yang diperoleh, sehingga sulit untuk melakukan kritik
eksternal.
Tahapan selanjutnya setelah uji dan analisis data ialah tahap interpretasi.Dalam tahapan
ini, data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan satu analisa yang baru yang sifatnya lebih
objektif dan ilmiah dari objek yang ditulis.Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta
minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan
keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata
lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data/informasi yang dapat
dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.
Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat
dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, yang selalu akan
berusaha memperhatikan aspek-aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini
adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan pembeberanrangkaian peristiwa dengan melibatkan
BAB II
BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA
2.1 Letak dan Keadaan Geografis
Secara administrasi desa Pasar Onan Manduamas termasuk dalam wilayahKecamatan
Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten ini merupakansatu-satunya yang
mempunyai wilayah Pakpak yaitu Kecamatan Manduamas danKecamatan Barus yang dikenal
dengan nama Suak ataupun wilayah Kelasen. Kecamatan Manduamas berada di pantai Barat
Sumatera. Luas Kecamatan ini secara keseluruhan mencapai99,55 Km2, dengan batas-batas
terdiri dari :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sirandorung
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia
Letak astronomi desa/kecamatan secara umum terletak pada Koordinat 02° 02’05” - 02°
09’29” Lintang Utara, 98° 17’18” - 98° 23’28” Bujur Timur. Kecamatan Manduamas tergolong
daerah beriklim tropis dan hanya ada dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Antara
Januari dan Desember suhu udara maksimum bisa mencapai 32,80C dan suhu minimum
mencapai 20,90C. Rata-rata suhu udara di Kecamatan Manduamas sebesar 26,30C. 6
Keadaan lahan dari Kecamatan Manduamas sebagian besar diadaptasi dataran rendah
dan tanahnya yang subur dan kemiringan lahan yang bervariasi. Sebelum kedatangan Hindia
6
Katalog BPS, “Manduamas Dalam Angka 1992”, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah&
Belanda ke Indonesia produksi dari Kecamatan Manduamas berupa rotan, damar, kapur barus,
kemenyan dan kayu yang menjadi dominasi mata pencaharian yang diperdagangkan. Sesuai
dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian masyarakat Manduamas umumnya adalah
bercocok tanam.Untuk lenih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
No Desa/Kelurahan Luas
(Km2)
Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan
1. Manduamas Lama 23.37 23.48
2. Pasar Onan Manduamas 3.89 3.91
3. Binjohara 28.44 28.57
4. Pagaran Nauli 11.36 11.41
5. Sarma Nauli 4.77 4.79
6. Saragih 11.01 11.06
7. Tumba 4.52 4.54
8. Tumba Jae 5.21 5.23
9. Lae Monong 6.98 7.01
Jumlah 99.55 100
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Manduamas
Berdasarkan topografi Kecamatan Manduamas berada di dataran rendah dan dari aspek
geografis, desa-desa yang tercakup dalam Kecamatan Manduamas adalah sebagai berikut:
Kelurahan PO Manduamas (landai, sebagian rawa), Desa Manduamas Lama (lereng, punggung
bukit, perbukitan), Desa Tumba (lereng, punggung bukit, perbukitan, landai, rawa), Desa
Binjohara (landai, dataran), Desa Saragih (lereng, punggung bukit, perbukitan), Desa Pagaran
2.2 Keadaan Demografi
Penduduk Manduamas mayoritas adalah Suku Pakpak Kelasen. Bahasa yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari adalah Bahasa Pakpak dan Bahasa Batak Toba. Selain itu ada juga
suku Batak Toba. Suku Batak Toba adalah suku terbanyak kedua di Manduamas. Lahan
Kecamatan Manduamas sangat cocok untuk tanaman muda dan keras seperti kelapa sawit, karet
dan jagung. Salah satu tanaman utama di Manduamassaat ini adalah kelapa sawit.Sistem mata
pencaharian mayoritas penduduk desa Kecamatan Manduamas adalah bertani.Ada juga beberapa
orang yang bekerja sebagai pegawai negeri seperti guru, namun mereka juga bertani sebagai
pekerjaan sampingan.Sebagian pendudukada juga yang bekerja sebagai pedagang atau
wiraswasta dan mereka jugamempunyai lahan pertanian sebagai tambahan untuk kehidupan
mereka sehari-hari.Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 penduduk Manduamas terdiri dari
19.449 jiwa, masing-masing terdiri dari 9845 laki-laki dan 9676 perempuan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat tabel berikut.
No Kelompok Umur Jumlah
1 0-6 Tahun 5091
2 7-12 Tahun 4502
3 13-18 Tahun 2918
4 19-30 Tahun 2542
5 31-45 Tahun 2039
6 46-59 Tahun 1398
7 60 Tahun keatas 1031
Berdasarkan tabel di atas, struktur penduduk Kecamatan Manduamas tahun 1990
tergolong berstruktur muda, dimana jumlah penduduk yang berumur di bawah 15 tahun
sebanyak 7570 orang. Penduduk berumur antara 15-64 tahun sebanyak 11304 orang. Sedangkan
penduduk berumur 60 tahun keatas sebanyak 1031 orang.
2.3 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas
Mengenai asal usul dari etnis Pakpak Kelasen belum dapat dipastikan darimana asal
nenek moyang mereka.Tetapi ada dugaan bahwa nenek moyang etnisPakpak Kelasen berasal
dari India Selatan.Asal usul nenek moyang etnis Pakpak Kelasen berasal dari India Selatan, yaitu
berada di daerah Kalasem (Kalasemmerupakan tempat suci bagi orang India).Pada awalnya
orang India Selatan datang ke Nusantara melalui daerah pesisir pantai barat yaitu Barus.Sebab
Barus merupakan pusat bandar perdagangan yang cukup ramai didatangi oleh musafir asing
yangdatang ke Nusantara.7
Cerita lain menyatakan bahwa pernah datang serombongan armada dariIndia Selatan
yang terdampar di daerah pesisir barat pulau Sumatera yaitu Barus.Orang-orang India tersebut
adalah orang Tamil yang jumlahnya kurang lebih 1500orang dan mereka menyebar masuk ke
pedalaman Barus dengan membawa armadagajah putih sebagai alat transportasi. Inilah yang
diyakini sebagai nenek moyang etnis Pakpak Kelasen.Pada waktu orang India itu datang ke
Barus, mereka juga membawa kebudayaan asli mereka dari India Selatan.Ini dapat dilihat dari
bukti peninggalan kebudayaan Pakpak umumnya yang juga merupakan pengaruh kebudayaan
7
Ery Soedewo ,Jejak Keindiaan (Hindu-Buddha) Dalam Kebudayaan Pakpak, dalam Berkala
India,seperti Mejan (patung batu yang berbentuk gajah yang sedang ditunggangi).Patung ini
masih ada dan terdapat di Kabupaten Pakpak Barat.Penyebutan nama‘Kelasen’ juga berasal dari
India. Pada awalnya kataKelasen berasal dari kata ‘Kalasem’ yang merupakan suatu tempat di
India Selatan.Lambat laun kata Kalasem ini berubah menjadi Kelasen yang menjadi sub
bagianetnis Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah.8
Persamaan lain antara etnis Pakpak Kelasen dengan orang India adalahdalam hal
pembakaran mayat. Sebelum masuknya pengaruh Agama Kristen ke daerahKelasen, pembakaran
mayat merupakan tradisi yang dilakukan jika ada orang yangmeninggal.Sama halnya dengan di
India juga melakukan pembakaran mayat jika ada yang meninggal dunia. Pembakaran mayat ini
termasuk dalam upacara Njahat dalam adat Pakpak. Namun pembakaran mayat ini tidak
dilakukan lagi sejak masuknya Agama Kristen ke daerah Pakpak Kelasen.Begitu juga dengan
bumbu masakan tradisional Pakpak umumnya tetapmenyerupai dengan bumbu khas India, yaitu
menggunakan kunyit.Dalam masakanPakpak, kunyit sangat dominan digunakan misalnya
masakan tradisional Pakpak,yaitu Pelleng9yang menggunakan kunyit.10
Pakpak Kelasen terdiri dari dua bagian berdasarkan asal-usulnya.Pertamaadalah berasal
dari India Selatan yang merupakan penduduk asli di Kelasen.Keturunan dari India ini adalah
Mpu Mada sebagai nenek moyang etnis PakpakKelasen.Sebelum Mpu Mada datang ke daerah
Kelasen, pada awalnya dia menetapdi Barus dan menikah dengan boru Pohan. Dari hasil
perkawinan itu, Mpu Madamendapatkan 6 orang anak yang juga menjadi marga asli Pakpak
8
Ibid, hal 41
9
Makanan tradisional Pakpak ini terbuat dari beras yang ditanak hingga menjadi bubur beras. Selama proses memasak dicampurkan bumbu seperti bawangrambu, cabe, jahe, lada, santan kelapa dan yang paling utama adalah kunyit. Semua bumbu dimasukkan hingga tercampur merata.
10
Kelasen, yaituTendang (Tondang), Rea (Banuarea), Manik, Gajah, Berasa, dan Beringin.
Merekapindah ke daerah Kelasen yang pada waktu itu belum ada yang menguasai.
Kedua, etnis Pakpak Kelasen yang berasal dari Batak Toba dan menjadibagian dari
Pakpak Kelasen.Marga Batak yang datang ke Kelasen yaitu margaSimbolon Tuan atau Oppu
Tuan Nahoda Raja.Sedangkan keturunan dari Nahoda Rajaterdiri dari 6 marga atau yang disebut
dengan Si Onom Hudon/Siennem Kodin11
Sejak saat itu keturunan Mpu Mada mulai meninggalkan Tanah Kelasen danmerantau
untuk mencari daerah kekuasaan di daerah lain yang belum dikuasai, seperti marga Tendang
pergi ke wilayah Simalungun (marga Tondang), di Tapanuli Selatanmenjadi marga Matondang.
Manik dan Banuarea pergi ke Salak (Kabupaten PakpakBarat), Gajah dan Beringin pergi ke
Pakkat dan Manduamas (Tapanuli Tengah), yang tinggal hanya marga Berasa.Sehingga ini
memudahkan bagi keturunan Si OnomHudon menguasai seluruh tanah Pakpak
Kelasen.Terjadilah perselisihan antaramarga Berasa dengan marga Si Onom Hudon karena
penguasaan tanah yangdilakukan marga Si Onom Hudon.Marga Berasa yang hanya tinggal
sendiri tidakdapat mempertahankan daerah kekuasaannya, membuat marga Berasa harus
keluardari tanah Kelasen dan pergi ke wilayah Aceh Singkil.Akibat penguasaan tanah yang .Keturunan SimbolonTuan (Nahoda Raja) adalah
marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan,Pinayungan, dan Nahampun.Ketika Nahoda
Raja datang ke daerah Kelasen, awalnyadia melakukan adaptasi dengan keturunan Mpu
Mada.Awalnya sebagai pendatangyang belum memiliki tanah kekuasaan Tuan Nahoda Raja
meminta sedikit tanahuntuk tempat tinggal dan untuk bertani.Maka keturunan Mpu Mada
memberikantanah, yaitu Pearaja (Si Onom Hudon Utara).
11
dilakukan oleh marga Si Onom Hudonmembawa dampak buruk bagi marga-marga Si Onom
Hudon.Hasil pertanian, ternakmengalami kegagalan dan sangat merugikan bagi marga Si Onom
Hudon.Akhirnyamereka memanggil kembali marga Berasa yang telah pergi ketika terjadi
perselisihan.Marga Si Onom Hudon memberikan kembali tanah kepada marga Berasa
sebagaidaerah kekuasaannya.Penyerahan tanah ini dilakukan dengan upacara adat.Marga Si
Onom Hudon memberikan tanah kepada marga Berasa mulai dari Sigulang-gulangsampai ke
Siekur-ekur (yang sekarang Si Onom Hudon Toruan).Sejak saat itu antara marga Berasa dan
marga Si Onom Hudon bersaudara dan menjadi bagian dari PakpakKelasen. Akan tetapi marga
Berasa tidak sama dengan marga Si Onom Hudon atauParna, karena selama ini banyak orang
mengatakan Berasa masuk ke marga Parna.Sewaktu Mpu Mada tinggal di Barus dia
bersama-sama dengan Mpu Bada (margaSigalingging) dan menikahi boru Pohan yang merupakan kakak
beradik.Inilahsebabnya selama ini orang mengatakan bahwa marga Berasa masuk ke Parna.
2.4 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba
Pada masa itu seorang nenek moyang yang bernama Oppu Tuan Nahoda Raja Simbolon
datang dari Samosir turun di daerah Parlilitan tepatnya di Gunung Sintua Kecamatan Parlilitan
sekitar tahun 1700. Dia bersama dua istrinya yang satu adalah Boru Sihotang dan yang kedua
adalah Boru Limbong. Setelah bertahun-tahun tinggal di sana, mereka dikaruniai delapan anak,
tujuh laki-laki satu perempuan (Si Onom Hudon).
Pada mulanya mereka hidup dengan bercocok tanam di sana, dan seiring berjalannya
waktu mereka menanam kemenyan untuk komoditi, yang sampai sekarang kemenyan itu masih
berharga dan mahal harganya pada waktu itu sehingga mereka berencana untuk mengambil
kapur barus di daerah Gunung Sijagar, yang sekarang menjadi daerah Siambaton Napa. Dan
setelah mereka melihat bahwa memang benar kayu kapur itu banyak dari Gunung Sijagar daerah
dataran rendah sampai ke perbatasan Aceh semuanya ini diambil mereka bertahun-tahun dan
hasilnya dijual ke Barus, dan pembelinya adalah orang luar khususnya Mesir. Sehingga di
pedalaman itulah terkenal kapur barus hasil dari olahan Si Onom Hudon.
Penjelasan mengenai nama Manduamas, sewaktu nenek moyang Si Onom Hudon
mengambil kayu kapur barus, kayu kapur itu dibagi menjadi dua, yaitu kayu dengan intinya. Jadi
kayunya diambil dari hutan dan kayunya dibagi menjadi dua bagian, dan istilahnya adalah
“mendua” dalam bahasa Dairi yaitu membagi dua. Jadi orang-orang pada waktu itu latah
mengucapkan hendak pergi ke tempat pengolahan kayu kapur itu sebagai Manduamas, karena
kapur barus pada waktu itu dianggap sama dengan emas dengan selisih harga yg kecil dengan
Kapur Barus. Waktu itu nama kapur barus adalah “Haburuan” artinya kapur atau kayu kapur
dalam bahasa Dairi. Karena transaksinya dilakukan atau dijual di kota Barus makanya namanya
lazim disebut sebagai kapur barus.12
Semenjak purbakala nama Barus, sebuah kota pelabuhan di Tapanuli sudah terkenal di
dunia sampai Eropa. Yang menjadikannya terkenal ialah kamfer (kapur barus) dan kemenyan,
yang diekspor melalui kota itu. Sarjana Yunani, Ptolomeus pada tahun 150 sesudah Masehi telah
mencantumkannya dalam buku ilmu buminya. Demikian pula seorang Arab bernama Ibn Chord
hadbheh dalam salah satu tulisannya pada tahun 846 sesudah Masehi menguraikan tentang
Barus. Dalam kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang India turut juga tersebut daerah itu.
12Wawancara
Demikian harumnya nama Barus yang menarik pedagang-pedagang dari tempat-tempat yang
jauh untuk membeli hasinya.13
Di sisi lain, dari daerah pedalaman Batak Toba (Kabupaten Tapanuli Utara yang
sekarang), terdapat jalan setapak atau disebut juga jalan pengangkut garam (parlanja sira) ke
daerah pesisir barat dan timur. Jalan setapak ini terbentang dari hulu Sungai Asahan, daerah
Uluan (Proyek Sigura-gura Asahan) menuju Bandar Pulo, sebuah pangkalan dagang dengan
Pantai Timur Sumatera (Asahan). Sejak zaman prasejarah hingga permulaan abad ke-19 hampir
seluruh pemenuhan kebutuhan daerah Toba berorientasi ke Pesisir Barat, yaitu Dusun Tapian
Nauli, Sorkam dan Barus. Terutama Barus yang sejak berabad-abad lalu sudah disinggahi
perahu-perahu layar antarbenua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper (kapur
barus).14
Dari berbagai distrik Toba, termasuk itu Silundung, Humbang Hasundutan, dan Pulau
Samosir terbentang jalan-jalan setapak yang menghubungkan pelabuhan Barus dengan
pasar-pasar besar di pedalaman. Dari ketiga distrik tersebut masing-masing memiliki satu pasar-pasar besar
yang disebut Onan Saksing atau Onan na Marpatik, yang secara harfiah berarti “Lembaga Pasar
Besar” yang dilindungi oleh hukum/undang-undang Paguyuban Adat. Pelabuhan Barus selama
berabad-abad berfungsi sebagai pintu ke dunia luar bagi pedalaman Toba. Perdagangan antara
daerah pesisir dan Toba menjadi pintu masuk bagi pengaruh dunia luar, baik di bidang
kebudayaan maupun di bidang keagamaan dan kemasyarakatan (politik) yang meliputi unsur
budaya Hindu-Buddha sebelum abad ke-13 dan pengaruh kebudayaan pesisir (Melayu-Islam)
sejak abad ke-15.
13
N. Siahaan B.A., “Sedjarah Kebudajaan Batak”, Medan: CV Napitupulu & Sons, 1964, hal 22.
14
Dunia luar bagi penduduk Toba di masa lampau adalah semua daerah tetangga. Dairi
Pakpak dan Karo di sebelah utara, Simalungun di pantai timur Danau Toba, termasuk Asahan
dan Angkola-Mandailing di sebelah selatan. Sementara di sebelah Barat adalah daerah pesisir
antara Teluk Tapiannauli dan Pelabuhan Barus. Orang Batak Toba mempunyai hubungan dagang
dengan Dairi Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Batak Toba dan Pakpak
Dairi sudah terjalin sejak zaman dahulu sampai sekarang sehingga hubungan yang terjalin tak
sebatas hubungan karena perniagaan saja tetapi karena kesamaan budaya dan nenek moyang
mereka.
2.5 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda
Zaman dahulu kala sebelum penjajahan Belanda suku Pakpak yang lima kelompok atau
lima suak yakni : suak Singkil Boang, Suak Kelasen, Suak Simsim, Suak Keppas, dan Suak
Pegagan adalah suatu kesatuan dalam bahasa dan adat istiadat. Jauh sebelum kita merdeka
Belanda, Inggris, Perancis, Amerika, Portugis dan Spanyol dan negara barat lainnya sudah
masuk ke Pantai Barat Sumatera Utara dengan maksud untuk membeli hasil hutan dari daerah
Sumatera. Pada masa itu sudah terjadi perebutan kekuasaan melalui hasil perdagangan hasil
hutan yang laris dijual di Eropa.
Hasil hutan tersebut antara lain: damar, kemenyan, kapur barus, cula badak, lada dan
lain-lain. Dengan adanya perebutan hasil hutan maka terjadilah peperangan di negara Eropa
antara Belanda dengan Inggris. Penyelesaian peperangan ini muncullah Traktat London pada
tanggal 17 Maret 1824 dengan isi perjanjian bahwa inggris harus menyerahkan seluruh wilayah
Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasainya di Semenanjung Malaka yang
selama ini dikuasainya selama perdagangan.
Sejak itulah Belanda mulai menguasai Pantai Barat Sumatera yakni Pelabuhan Barus
dan Singkel, merupakan pelabuhan paling ramai. Belanda mulai membuat perjanjian dengan
tokoh-tokoh masyarakat, pengetua masyarakat dengan perjanjian menguntungkan sepihak. Pada
awalnya perjanjian itu banyak yang kurang memenuhi, maka Belanda mulai membuat perjanjian
dengan lebih mempertajam lagi dimana bangsa kita tidak dibenarkan berdagang atau menjual
hasil hutan yang dicarinya kepada orang lain. Bilamana ada yang tidak mematuhinya maka
Belanda tidak segan-segan menekan dengan menggunakan militer atau tentaranya untuk
kepentingan perdagangan ini.
Belanda memasuki daerah Tapanuli Tengah dan dengan kelihaian atau kelicikannya
yaitu dengan memberikan hadiah atau upah. Pada awalnya di daerah Toba, Belanda juga
mendapat tantangan karena kurang sesuainya dengan budaya adat Batak, akan tetapi karena
kelicikannya dan dengan memberi hadiah maupun upah besar kepada orang-orang tertentu,
dimana kelak orang ini yang akan dipergunakan untuk menarik yang lainnya. Belanda pernah
mendapat perlawanan Sisingamangaraja XII, karena Sisingamangaraja XII merasa kurang aman
bagi perjuangannya takut apabila ada yang akan menghianati perjuangannya maka
Sisingamangaraja XII berusaha bergabung dengan pejuang-pejuang Pakpak.
Sisingamangaraja XII yang sudah mengetahui bahwa orang-orang Pakpak gigih
berjuang dan tidak mau menyerah kepada Belanda (lebih baik menyingkir ke hutan atau
mengungsi daripada dijajah Belanda). Pernah terjadi dalam suatu peperangan antara pasukan
Belanda ada seorang Controleur yang mati dan tidak diizinkan oleh masyarakat untuk
dikuburkan di tanah Pakpak maka terpaksa dibawa oleh Belanda ke Siborong-borong untuk
dikebumikan. Belanda mempelajari Bahasa Toba dan setelah mengetahui Bahasa Toba maka
mereka sudah dapat menghimpun orang-orang Toba. Belanda mendirikan gereja dengan
berbahasa Toba yakni: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan mencetak atau
mengeluarkan buku bibel (Alkitab), buku nyanyian dan lain-lain dengan Bahasa Toba. Pada saat
pengembangan Agama Kristen yang dikembangkan oleh Belanda melalui Zending Agama
Kristen dimana dari Toba HKBP akan masuk ke Tanah Pakpak.
Pada prinsipnya suku Pakpak tidak setuju melihat cara Belanda menyanyikan lagu-lagu
rohani (lagu-lagu agama Kristen) yang nyanyi bersama-sama. Sedangkan bagi suku pakpak sejak
dahulu kala adalah tabu bilamana seorang anak gadis menyanyi didengar oleh besannya juga
sebaliknya. Masyarakat Pakpak menganggap bahwa Agama Kristen dengan Zending HKBP ini
adalah merusak tatakrama kehidupan suku Pakpak. Dengan adanya pemikiran atau perasaan
yang sedemikian itu maka ada yang nekad membunuh penginjil dan sempat terbunuh dua orang
penginjil yakni Van Lyman dan Munson di daerah Pakpak. Dengan terbunuhnya kedua penginjil
tersebut maka Belanda mengirim berita ke Nederland Eropa maka muncullah kata-kata yang
menyatakan Pakpak makan orang.
Hal ini juga dipertajam oleh Belanda untuk memecah belah suku Pakpak yang sudah
tunduk ke Tarutung bahwa dia adalah orang Dairi sedangkan orang yang membunuh adalah
orang Pakpak. Dengan adanya perilaku dan sikap suku Pakpak yang keras, gigih, dan tak mau
dijajah maka Belanda semakin marah dan semakin ganas melihat suku Pakpak maka timbullah
1. Membakar rumah adat sampai habis, sehingga sekarang sudah sulit untuk menemukan
rumah adat yang masih bersisa.
2. Peninggalan orang-orang tua dahulu kala, benda-benda bersejarah peninggalan zaman
kuno misalnya: Mejan yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dibawa ke negeri
Belanda.
3. Silsilah atau tarombo disusun atau dikurangi di negeri Belanda kemudian disebarluaskan
ke Tapanuli sehingga mereka suku Toba mengatakan bahwa hampir semua marga suku
Pakpak (marga-marga yang ada di Tanah Pakpak) berasal dari Toba sedangkan yang
sebelumnya belum tentu demikian.
2.6 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba
Ketujuh marga Si Onom Hudon yang sudah berumah tangga lalu membuka
perkampungan masing-masing satu suku satu kampung. Tinambunan berada di Sidombilik
Hutagodung, Si Raja Tanggor (Tumanggor) di Pasi, Maharaja di Sitapung, Turuten di Hutarea,
Pinayungan di Binjohara dan Nahampun di Pearaja. Kemudian Si Raja Tanggor turun ke Aceh
yang tepatnya sekarang di Aceh Simpang Kanan namanya Sali Tumanggor. Beberapa tahun
berselang lahirlah anaknya yang bernama Gondul Tumanggor yang merupakan anak sulung.Pada
tahun 1932 Gondul Tumanggor diangkat Pemerintah Belanda menjadi kepala kampung yang
memimpin desa yaitu Ladang Jehe, Tanjeski dan Tapus. Setelah tahun 1932 penduduk semakin
berdatangan yaitu ke dataran rendah, termasuk ke daerah Manduamas sekarang. Maka tahun
1940-an pada masa penjajahan Belanda, diangkatlah dewan negeri Siambaton Napa karena
Tumanggor. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, Osen Tumanggor tetap menjadi dewan
negeri sebagai perwakilan pemerintah. Dan karena sudah banyak penduduk di daerah
masing-masing di daerah Siambaton Napa, maka dibentuklah Raja-Raja Huta dengan mengadakan suatu
upacara pesta besar sebagai peresmian kampung “19 Kampung” di Siambaton Napa dengan
acara pesta pada tanggal 5 April 1946. Setelah itu penduduk pun semakin ramai berdatangan.
Dan saat itu pemerintahan pun sudah berganti dengan Pemerintahan Republik Indonesia.
Untuk memudahkan terkumpulnya masyarakat, maka dikumpulkan di suatu desa yang
namanya Pardomuan (Pertemuan) yang sekarang menjadi nama desa. Jadi disanalah tempat
mereka berkumpul dan disanalah dirumuskan semua keperluan dan kegiatan apa yang akan
dilakukan. Sesudah itu masyarakat semakin berkembang. Pada tahun 1966, dewan negeri dilebur
dan tidak ada lagi, jadi untuk memimpin adat dibentuklah raja adat Siambaton Napa karena dulu
dewan negeri juga menyangkut di dalam menjalankan pemerintahan dan pimpinan adat dan
budaya di Siambaton Napa, tetapi karena dewan negeri sudah dilebur maka struktur
pemerintahan pun langsung kepada kecamatan dan kepala desa pada tahun 1946 dan pada selang
waktu tersebut tidak ada pimpinan adat.
Namun pada tahun 1982 tanggal 17 Februari 1982 diadakanlah pesta besar Si Onom
Hudon di seluruh Indonesia. Dibentuklah raja-raja adat dan dibentuklah organisasi Si Onom
Hudon sehingga terpilihlah sebagai ketua adat di Siambaton Napa adalah Gustamin Tumanggor
atau biasa dipanggil bapak GS Tumanggor. Dan sejak saat itu daerah Siambaton Napa semakin
berkembang sehingga pada tahun 1983 Manduamas Siambaton Napa direncanakan pemerintah
untuk mengadakan transmigrasi. Jadi di dalam kepengurusan Transmigrasi itu juga melibatkan
tokoh-tokoh Si Onom Hudon dan sebagai satuan pembina Transmigrasi diangkat dari Si Onom
Batak Toba dan Pakpak Kelasen disatukan dalam satu kepemimpinan adat. Sejak dahulu suku
Batak Toba yang bermigrasi dan menetap di Manduamas telah mendapat tanah yang dibayarkan
kepada kepala adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tantang hak ulayat tanah.
Pada saat itu masyarakat-masyarakat Si Onom Hudon memohon kepada pemerintah
supaya hak adat yang telah ada di dalam surat keputusan tahun 1946 itu harus dilakukan,
sehingga terjadilah perdebatan yang sangat alot pada waktu itu dengan bupati Tapanuli Tengah
yaitu Bapak Lundu Panjaitan SH. Namun karena kebijakan dari gubernur Sumatera Utara
perdebatan itu dapat ditengahi dan hak-hak adat itu dapat dilaksanakan sehingga diadakanlah
pesta pembauran kepada Naiambaton dan dibayarlah adat sulam dengan memotong kerbau
jantan sebagaimana yang tertulis dalam surat keputusan 46 dilakukan di Pasar Onan Manduamas
pada tahun 87 atau 85. Jadi yang mewakili masyarakat Naiambaton15 dan masyarakat Siambaton
Napa menerima jambar kepala kerbau dan adat selanjutnya adalah bapak GS Tumanggor.
Setelah masuknya transmigrasi masyarakat pun sudah semakin banyak dan beragam budaya
sudah masuk tapi adat-adat tetap dipenuhi. Setelah masuk Batak Toba hubungan mereka tetap
harmonis. Karena dalam sejarah hubungan antara Batak Toba dan Batak Dairi adalah sama-sama
suku Batak. Marga Si Onom Hudon berasal dari Batak Toba dari Samosir yaitu Oppu Tuan
Nahoda Raja Simbolon. Jadi tidak pernah ada persengketaan, hubungan tetap harmonis.
Sama-sama menghormati adat-istiadat. 16
Nama desa secara administrasi pemerintahan disebut Si Onom HudonToruan.Nama desa
Si Onom Hudon Toruan ini dipakai dalam pemerintahan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli
15
Naiambaton itu ada lima nenek moyang, yaitu Simbolon Tua, Munthe Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Nahampun Tua. Anak-anaknya sekarang menjadi 52 marga. Jadi Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua, ibunya adalah boru Hotang dan boru Limbong. Anaknya boru Hotang yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja. Anak boru Limbong yaitu Pinayungan, Turuten, Nahampun.
16
Tengah. Masyarakat umum juga mengenaldesa ini dengan nama Si Onom Hudon Toruan. Kata
Si Onom Hudon ini adalahterjemahan dari Bahasa Pakpak yaitu Si Ennem Koden. Si Onom
Hudon artinya Si Enam Periuk, sedangkan Toruan artinya dataran rendah. Jadi arti desa
tersebut adalah suatu desa yang mempunyai enam periuk dan berada di suatu dataran yang
rendah.
Desa ini disebut Si Onom Hudon karena penduduk asli di daerah ini mempunyai enam
marga yang merupakan satu keturunan.Nama dari marga-marga tersebut adalah Tinambunan,
Tumangger, Maharaja, Pinayungan, Turuten, dan Nahampun. Keenammarga tersebut dulunya
merupakan nama anak dari nenek moyang dari Si OnomHudon.Modal yang diberikan orangtua
mereka setelah mendapatkan istri kepada keenam anak tersebut adalah sebuah periuk untuk
menanak nasi, maka jumlah periuk yang diberikan oleh orangtua mereka adalah sama dengan
jumlah anaknya yaitu enam periuk. Namun saat ini penduduk di Kecamatan Manduamas lebih
familiar dengan nama Desa Siambaton Napa. Alasannya adalah Siambaton Napa, daerah Si
Onom Hudon ini ada dua, yaitu Siambaton Dolok di dataran tinggi yaitu di Pakkat dan tidak ada
batasan wilayah adat antara Siambaton Dolok dan Siambaton Napa karena gunung yang jadi
pembatas yaitu Gunung Sijagar dan Gunung Dolok Bunga. Di dataran rendah disebutlah
Siambaton Napa yaitu sekarang Kecamatan Manduamas. Nama “Siambaton” itu berasal dari
nama suku yaitu Naiambaton. Jadi sudah menjadi suatu hukum tetap dari suku batak apabila dia
membuka sebuah perkampungan dialah sebagai raja di daerah itu dan dibuatlah marganya
sendiri, contoh: Siantar nai Pospos, nai Posposlah rajanya. Lumban Sihotang, Sihotanglah
rajanya. Pasaribu Dolok, Pasaribulah rajanya. Lumban Sihombing, Sihombinglah rajanya.
Siambaton Napa, Naiambatonlah rajanya. Marga Naiambaton itu, itulah yang 52 marga, tetapi
Oppu Tuan Nahoda Raja. Oppu Tuan Nahoda Raja adalah generasi ketiga suku Batak Simbolon.
Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua.
Mayoritas penduduk desa Siambaton Napa khususnya dan KecamatanManduamas
umumnya adalah suku Pakpak yang disebut Suak atau wilayah Kelasen.Suku bangsa yang lain
adalah suku bangsa Batak Toba, namun hanya sebagian kecil saja.Sebagai tuan tanah atau
pemilik lahan di desa ini adalah orang Kelasensendiri. Walaupun suku pendatang dalam hal ini
Batak Toba sudah ada yangmempunyai sebidang tanah pertanian baik sawah atau ladang untuk
mereka kerjakan,namun itu dibeli atau diberi penghargaan berupa uang kepada tuan tanah atau
BAB III
KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS
3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas
Perpindahan penduduk dari dataran tinggi Toba (Tapanuli Utara) dalam era pra modern
mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh
lahan persawahan. Pada umumnya daerah persebaran mula-mula adalah ke daerah sekitarnya dan
kemudian merembes ke daerah lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Hingga sekarang perpindahan
tersebut masih berlangsung.17
Dalam kurun waktu tahun 1900-1940 ini perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara
masih didominasi oleh kaum tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya.
Mereka memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Asahan,
Labuhan Batu, Deli Serdang bahkan ada yang sampai ke Aceh (Tanah Alas dan Singkil). Selain
dari Tapanuli Utara, tahun-tahun berikutnya ada yang pindah lagi (remigrasi) dari satu daerah ke
daerah lainnya; pindah secara permanen atau temporer antara lain karena pengaruh konflik.
Perpindahan secara temporer dan sirkuler sering menjadi perpindahan permanen. Dengan
berbekal pengetahuan dan teknik bertani yang dibawa dari kampung halamannya, daerah hutan Perkembangan sosial budaya bergerak sangat cepat dewasa ini
menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial orang Batak toba,
terutama yang hidup di desa-desa di daratan tinggi Toba Kabupaten Tapanuli Utara. Disadari
sepenuhnya bahwa perkembangan itu merupakan pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan
masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar wilayah dan antar suku.
17
O.H.S. Purba, Elvis F. Purba,”Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara suatu deskripsi”, Medan:
belantara dan daerah rawa-rawa diolah menjadi areal persawahan dan perladangan sesuai dengan
potensi daerahnya. Lumbung-lumbung padi pun menyebar di mana-mana.18
Sejak tahun 1946 setelah melihat bahwa Manduamas sangat subur, pertaniannya bagus.
Dulu Manduamas ini adalah lumbung padi, maka berdatanganlah orang Batak Toba dari Dolok
Sanggul, Pakkat dan Parlilitan masuk ke Siambaton Napa Manduamas. Maka semakin
berkembanglah Manduamas dan adatpun menjadi dua, yaitu adat Pakpak Kelasen dan adat Toba
Humbang. Kedua adat ini berlaku sebagai adat pokok. Namun tidak mengisolasi beberapa adat
suku pendatang seperti adat Karo, adat Mandailing, adat Jawa namun penggunannya tetap dalam
lingkup mereka. Adat Pakpak dipakai sejak tahun 1946 di Manduamas ini berkembang sampai
sekarang yang disebut adat Pakpak Kelasen.19
18
Ibid O. H. S. Purba, 1997, hal 268.
19
Wawancara dengan Gustaman Tumanggor, 30 Agustus 2014 di Manduamas.
Jadi, masuknya Batak Toba ke Manduamas melalui dua jalur, yaitu dari Dolok Sanggul,
Pakkat dan Parlilitan yang merupakan wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan, dan yang
masuk dari Kabupaten Dairi. Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang
berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan adalah untuk mencari tempat untuk penghidupan
melalui bercocok tanam dan didominasi oleh kaum tani. Seiring dengan waktu migrasi orang
Batak Toba ke Manduamas terus berlanjut, mereka mulai membuka persawahan. Pada tahun
1906/1907 ada pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang, lalu rampung hingga ke
3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas
Pada waktu itu masyarakat Pakpak Kelasen sudah hidup bercocok tanam membuka
persawahan, perkebunan, dan sebagai sumber mata pencaharian juga mengambil hasil hutan
yaitu rotan, damar, dan kapur barus. Orang Batak Toba yang datang kemudian ikut membuka
lahan perkebunan dan persawahan sebagai salah satu upaya memanfaatkan lahan yang luas yang
selama ini nampak sebagai hutan. Sistem nilai pada orang Batak Toba tradisional, tanah
merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Memiliki tanah terutama persawahan memberi
status yang tinggi bagi mereka, seperti dalam ungkapan Lulu Anak, Lulu Tano.20 Kehadiran
migran tersebut membuat mereka memilih tinggal menetap dan membuka lahan pertanian di
daerah tujuan, sehingga berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan tanah-lahan. Di daerah
tujuan mereka yang bermigrasi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan tanah yang telah
bermakna seperti di daerah asalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, penguasaan tanah
biasanya di dapat melalui pelepasan adat maupun penyerobotan. Pelepasan secara adat dapat
diberikan kepada anggota kelompok setempat atau kelompok luar dengan status kepemilikan hak
pakai, dimana tanah dapat digunakan sampai keturunan selanjutnya. Bila tanah tidak dikelola
lagi maka tanah tidak dapat dijual dan kembali kepada pemilik semula atau pemilik ulayat.21
Pada awal mulanya masyarakat Pakpak Kelasen hidup dengan bercocok tanam di
Manduamas dan seiring berjalannya waktu mereka mengusahakan dan menanam kemenyan
untuk komoditi, yang hingga saat ini masih ada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Lintong
Nihuta. Kemenyan yang merupakan salah satu usaha pertanian merupakan salah satu usaha yang
berasal dari sub sektor perkebunan rakyat, belum dikenal secara luas dibandingkan dengan kopi,
20
Arti harafiahnya adalah suka akan anak (gabe) juga suka akan tanah. Ungkapan ini mengandung arti semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka.
21
padi, kelapa sawit, karet dan produk perkebunan rakyat lainnya. Hal ini disebabkan manfaat
secara nyata kemenyan ini belum jelas diketahui. Bahkan petani kemenyan sendiri pada waktu
itu kurang jelas mengetahuinya. Petani dalam hal ini merupakan pekerja, pengumpul, dan
penjualnya, dimana kemenyan yang mutunya sangat bagus memiliki harga jual yang relatif
tinggi. Kemenyan merupakan jenis tanaman tua yang dapat tumbuh selama berpuluh-puluh tahun
bahkan beratus tahun. Sehingga dalam memanen dapat dikerjakan beberapa generasi berikutnya.
Begitu juga setelah mereka mengenal kapur barus juga untuk komoditi ekspor dengan
memanfaatkan kayu kapur yang banyak tumbuh di negeri Si Onom Hudon seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang berasal dari Kabupaten
Dairi adalah untuk penyebaran injil di Tanah Pakpak setelah sebelumnya Badan Zending masuk
ke Tanah Toba. Pada mulanya Tanah Batak yang selama berabad-abad berada dalam
keterkungkungan dan hal itu menjadi kebiasaan masyarakat Batak kala itu. Bahkan mereka
memproteksi diri dari kehidupan lain di luar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun
pada orang Batak Toba. Badan Zending ini yang membuka isolasi melalui pendidikan yang
ditularkan melalui pengajaran Agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya
minat orang Batak Toba melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal mendasar dari cita-cita
filosofi semua Orang Batak yaitu mengejar Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Kekayaan,
kehormatan dan kebahagian)adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan keinginan-keinginan
itu.
Sebelum injil masuk masyarakat Batak merupakan penyembah berhala. Kehidupan
agamanya bercampur antara menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Magis.
dikeramatkan. Masuknya Agama Kristen sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial
masyarakat, terutama bagi masyarakat Batak Toba. Agama Kristen masuk ke Tanah Batak
disiarkan oleh Misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwic Nommensen pada tahun
1824 dan Nommensen secara Kristiani digelari sebagai Apostel Batak. Nommensen tak dapat
dilupakan untuk tidak mencatatnya sebagai seorang yang telah berjasa membuka lembaran
sejarah baru suku Batak Toba.
Kedatangan etnis Batak Toba juga disebabkan keinginan orang Tapanuli Utara untuk
menyebarkan injil ke Tanah Pakpak.Penyebaran injil di Tanah Pakpak terjadi pada tahun 1911
yaitu melalui para pedagang kaum Kristen dari Tapanuli Utara. Penginjilan etnis Batak Toba
tidak dilakukan secara langsung akan tetapi melakukan pendek