• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen Di Kecamatan Manduamas (1946-1992)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen Di Kecamatan Manduamas (1946-1992)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR NIM : 090706014

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

Yang diajukan oleh :

Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim :090706014

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 1959123119850032005

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992)

Skripsi Sarjana Dikerjakan

O L E H

Nama :MUKLIS ALGAFARH TUMANGGOR Nim : 090706014

Pembimbing,

Dra.Nurhabsyah, M.Si NIP. 195912311985032005

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN SEJARAH

DISETUJUI OLEH : FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001

(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN :

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Hari : Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. ……… ( ……… )

2. ……… ( ……… )

3. ……… ( ……… )

4. ……….... ( ……… )

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhana Wata’ala yang selalu

memberikan kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Tiada daya dan upaya melainkan pertolongan dari Allah, dan Allah

jua beserta orang-orang yang bersabar dan berserah diri. Dan junjungan kita Nabi Muhammad

SAW yang penuh inspirasi dan suri tauladan bagi kita. Shalawat dan salam atas beliau dan para

sahabat, Amin Ya Rab.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga,

pikiran, serta bimbingan serta nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada

yang penulis hormati dansayangi:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum. selaku ketua Departemen Imu Sejarah yang telah

banyak memberikan dorongan, arahan, kemudahan, serta bimbingan yang memotivasi

penulis, yang juga merupakan dosen yang mampu memupuk semangat para mahasiswa

khususnya penulis dalam menjalani perkuliahan.

3. Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. sebagai sekretaris Departemen Ilmu Sejarah dan selaku

dosen pembimbing penulis yang telah memberikan banyak motivasi dan nasehat kepada

penulis selama penulisan skripsi ini, juga telah sabar dalam menghadapi tingkah laku

penulis dan tetap mengayomi. Terima kasih ibu.

4. Bapak Dr. Budi Agustono selaku Dosen Wali yang telah memberikan nasehat terhadap

(7)

Administrasi di Departemen Ilmu Sejarah, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu

pengetahuan yang telah diberikan selama ini, semoga membuahkan hasil kesuksesan bagi

penulis.

5. Yang teristimewa kepada Ayahanda Aiptu Sarjono Tumanggor dan Ibunda tercinta

Rusmaini Sihotang, yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga dan pikiran.

serta telah benyak melimpahkan kasih sayang dan doa kepada penulis sedari kecil sampai

dengan sekarang sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk

mendapatkan gelar Sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada Oppu Gustaman Tumanggor selaku ketua adat, orang tua sekaligus narasumber

saya yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini. Mauliate Oppu.

7. Kepada abangku Afrizal Setiono Tumanggor. Amd, dan ketiga adikku Muhammad Iqbal

Damayanto Tumanggor, Hasya Silvia Tumanggor dan si kecil Rizka Aisyiyah

Tumanggor, kalian adalah motivasi dan penyemangat hidupku. Juga seluruh keluarga

yang ada di Manduamas terima kasih banyak atas supportnya.

8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah USU 2009 ada Doli, Saddam Pulungan,

Sadam AT, Aprianta, Swandi, Hanter, Dedi, Poli, Nuel dan yang lebih dulu tamat ada

Roni, Philip, Rizal, Lala, Gian, Hendra Nurlailisa, Dara, Fani, Ita dan semua rekan yang

tak bisa disebutkan satu persatu kita pernah punya kenangan indah dan persahabatan

adalah kenangan indah yang pasti akan terus kita jaga.

9. Abang-abang, kawan-kawan dan adik-adik HMI beserta seluruh keluarga besar HMI

Komisariat FIB USU yang selalu mewarnai dinamika kampus kita ini dan banyak

(8)

10.Kawan-kawan, adek-adek sepermainan dalam keseharian penulis ada Ginanjar, Ikhwan,

Bima, Ardiansyah, Surya, Arif, dan semuanya di lingkungan kampus. Juga untuk

kawan-kawan kos bang Sandi, bang Ilham, bang Ucok Haratua, bang Gio, dan yang lainnya yang

mungkin tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dengan

kalian selama ini.

Akhir kata, atas bantuan dari semua pihak, penulis hanya dapat mengucapkan

terimakasih sedalam – dalamnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2015

Penulis

(9)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita.Hingga saat ini penulis masih diberi

kesehatan dankemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu

syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Univesitas

Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul, PENGARUH BUDAYA BATAK TOBA TERHADAP

MASYARAKAT PAKPAK KELASEN DI KECAMATAN MANDUAMAS (1946-1992). Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini selain sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, juga untuk

menjelaskan bagaimana pengaruh budaya oleh suku Batak Toba terhadap masyarakat Pakpak

Kelasen yang menjadi salah satu kebudayaan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat

tersebut.

Akhir Kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatian para pembaca dan pemerhati

sejarah, kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai kita sekalian.

Medan, Februari 2015

Penulis

Muklis Algafarh Tumanggor

(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang masalah...1

1.2Rumusan Masalah...9

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian...9

1.4Tinjauan Pustaka...11

1.5Metode Penelitian...14

BAB II BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA 2.1 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas...17

2.2 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba...20

2.3 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda...24

2.4 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba...27

2.5 Keadaan Penduduk...30

2.6 Pemukiman...32

(12)

2.8 Sistem Kekerabatan...35

2.9 Sistem Adat Perkawinan Pakpak Pada Umumnya...36

2.9.1 Bentuk Perkawinan...37

2.9.2 Tahapan Perkawinan...39

2.9.3 Upacara Perkawinan...50

2.9.4 Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Perkawinan...54

BAB III KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS 3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...55

3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas...57

3.3 Interaksi Budaya Masyarakat Batak Toba di Manduamas...61

3.4 Wilayah Budaya Batak Toba dan Pakpak Kelasen...65

BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BUDAYA MASYARAKAT PAKPAK KELASEN MENGIKUTI BUDAYA BATAK TOBA 4.1 Pengaruh Terhadap Bahasa...74

4.2 Pengaruh Terhadap Adat Perkawinan...77

4.3 Faktor yang Mempengaruhi Budaya Pakpak Kelasen...87

4.3.1 Faktor Internal...88

(13)

4.3.1.2 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Perhatian Dari Masyarakat....89

4.3.1.3 Adat Pakpak yang Kurang Mendapat Dukungan Pemerintah...90

4.3.2 Faktor Eksternal...91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan...92

5.2 Saran...95

DAFTAR PUSTAKA

(14)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)” adalah skripsi yang telah diselesaikan dengan berbagai tahapan dalam penulisan sejarah yang mana membahas fenomena yang terjadi kepada masyarakat Pakpak yang mayoritas berada di Tanah Pakpak khususnya di Manduamas Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang Hasundutan. Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalah Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelima wilayah ini berbeda dalam sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanya dibedakan berdasarkan tempatnya atau wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen.Alasan penulis meneliti wilayah ini karena makin hilangnya identitas kebudayaan dari Pakpak Kelasen tersebut, dimana saat ini dari bahasa dan adat perkawinan masyarakat Pakpak terinfiltrasi oleh kebudayaan Batak Toba.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari Bahasa

Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan

demikian budaya dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata

“budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi”

sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan

rasa dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, rasa dan karsa.

Unsur-unsur kebudayaan. Menurut konsep B. Malinowski, kebudayaan di dunia

mempunyai tujuh unsur universal, yaitu: Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Mata Pencaharian,

Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Religi, Kesenian. Dari ketujuh unsur kebudayaaan ini

merupakan acuan bagi penulis dalam mengkaji budaya dan perubahan budaya yang terjadi pada

masyarakat Pakpak Kelasen dan pengaruhkebudayaan suku Batak Toba terhadap kebudayaan

Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas.

Pakpak Kelasen merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari suku bangsa

Pakpak yang berada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbang

Hasundutan, dan Kecamatan Manduamas.Beberapa wilayah Pakpak yang lainnya adalahPakpak

Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, dan Pakpak Boang.Kelimawilayah ini berbeda dalam

sistem administrasi pemerintahan, sehingga namanyadibedakan berdasarkan tempatnya atau

wilayahnya.Penelitian yang dikaji hanya satu wilayah saja yaitu Pakpak Kelasen. Alasan penulis

(16)

dimana saat ini adat budaya Pakpak Kelasen telah berubah dengan menggunakan adat budaya

Batak Toba.

Suku Pakpak mendiami wilayah yang disebut dengan Tanah Pakpak, yanglingkungan

wilayahnya berbeda dengan wilayah Dairi yang sekarang, yaitu daerahKeppas yang daerahnya

mulai dari batas Tele di Humbang Hasundutan sampaidengan ke perbatasan Aceh. Daerah

Pegagan mulai dari daerah Silalahi, Paropo,sampai dengan pesisir Bllo Kotacane.Daerah Simsim

mulai dari batas Dolok Sanggul sampai ke Penanggalan (Aceh). Daerah Kelasen yang sekarang

masuk ke wilayahKabupaten Humbang Hasundutan yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah,

dandaerah Boang dengan wilayah Simpang Kiri dan Simpang Kanan yang masuk

daerahKabupaten Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Secara umum Pakpak dapat digolongkan menjadi lima bagian berdasarkanwilayah

komunitas marga dan dialek masing-masing. Pertama, Pakpak Simsimyaitu orang orang Pakpak

yang menetap dan memiliki wilayah Simsim. Marga yangmenetap di sana yaitu marga Berutu,

Sinamo, Padang, Solin, Banuarea, BoangManalu, dan Cibro Sitakar. Kedua, Pakpak Keppas

yaitu orang Pakpak yangmenetap dan berdialek Keppas dengan marga Ujung, Bintang, Bako,

dan Maha,dengan menempati wilayah Kecamatan Silimapungga-pungga, Kecamatan

TanahPinem, Kecamatan Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang. Ketiga, PakpakPegagan yang

juga berdialek Pegagan dengan marga Lingga, Mataniari, Maibang,Manik, dan Siketang,

menempati wilayah Kecamatan Pegagan Hilir, KecamatanSumbul, dan Kecamatan Tigalingga.

Keempat, Pakpak Kelasen, yaitu orangPakpak yang berdialek Kelasen dengan marga

Tinambunan, Tumangger, Maharaja,Turuten, Pinayungen, dan Nahampun atau sering disebut

dengan Si Onom Hudon, kemudian marga Kesogihan, Meka, Berasa, Mungkur yang menempati

(17)

Kabupaten Tapanuli Tengah di Kecamatan Barus dan Kecamatan Manduamas. Dan kelima,

Pakpak Boang yang berdialek Boang, dengan marga Sambo, Penarik, danSaraan. Wilayah yang

ditempati Pakpak Boang ini adalah Kabupaten Aceh Singkildan kota Subulussalam.

Sebutan suku Pakpak sering disebut dengan Pakpak Dairi. Dairi merupakan nama yang

diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanah Pakpak yang dinamai

dengan Dairi Landen. Tanah Pakpak dibagi-bagi oleh Belanda dalam berbagai wilayah, sehingga

dengan mudah melumpuhkan perjuangan Sisingamangaraja XII yang pusat pemerintahannya di

Pearaja dan beberapa wilayah Pakpak. Dengan demikian daerah administrasi Dairi Landen dapat

dipisahkan dari daerah-daerah masyarakat Pakpak lainnya, misalnya di kecamatan Parlilitan

(Kabupaten Tapanuli Utara menjadi Kabupaten Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang

(Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam), serta Barus dan Manduamas (Kabupaten

Tapanuli Tengah).1

1. Daerah Kelasen menjadi wilayah Tapanuli Utara.

Sejak kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1908, Tanah Pakpak resmi dibagi-bagi

seperti :

2. Daerah Manduamas masuk wilayah Tapanuli Tengah.

3. Daerah Boang masuk wilayah Aceh Selatan.

Walaupun pada akhirnya untuk memperluas hegemoni kekuasaan Belanda di Sumatera,

hak ulayat (tanah) Pakpak yang dulunya satu di bawah naungan Dairi secara administratif

dipecah. Hasilnya dibawahi oleh tiga Daerah Tingkat II yakni:

1

(18)

1. Pakpak secara administratif Kabupaten Dairi adalah: Pakpak SIMSIM, Pakpak

PEGAGAN, dan Pakpak KEPPAS.

2. Pakpak secara administratif Kabupaten Tapanuli yakni Pakpak KELASEN.

3. Pakpak secara administratif Kabupaten Aceh Selatan yakni Pakpak BOANG.

Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen, dengan marga

Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinayungan dan Nahampun atau sering disebut

juga dengan Si Onom Hudon. Sionom Hudon (bahasa Batak Toba) adalah terjemahan dari

bahasa Pakpak yaitu si Ennem Koden. Si Onom Hudon secara harfiah berarti enam periuk.

Kecamatan Manduamas ini merupakan bagian dari Tanah Pakpak. Secara geografis

Manduamas ini berbatasan dengan Kabupaten Dairi sebagai Kabupaten Induk Tanah Pakpak

karena secara ideologi dan kebudayaan masih menyatu. Sebab Kabupaten Dairi merupakan

bagian dari Pakpak awalnya sebelum dimekarkan. Untuk itu, walaupun telah terjadi pemisahan

antara Pakpak dan Dairi, tetapi sebagai sebuah entitas masyarakat antara keduanya tidak dapat

dipisahkan dari sisi ideologi dan kebudayaan yang ada di masyarakatnya karena memang

keduanya memiliki keidentikan dalam banyak hal sebagai sebuah identitas masyarakat yang satu.

Sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan. Perbatasan

sebelah Timur ini jugalah yang menghubungkan Manduamas ke Barus2

2

Barus dikenal sebagai sentral niaga internasional pengekspor hasil-hasil alam, termasuk juga damar dan kemenyan yang berasal dari Pakpak.

sebagai bagian dari

kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah yang juga dikenal sebagai jalur penetrasi

Islam di wilayah ini. Bahkan, tidak hanya itu Barus juga menjadi sentral pertama perkembangan

Islam di Indonesia secara umum sebagaimana yang banyak menjadi perhatian para ahli sejarah

(19)

internasional pada saat itu, yang dibuktikan sekarang banyak ditemukan bukti-bukti makam tua

yang menunjukkan fakta tersebut ada.3

Secara umum etnis Pakpak mengenal dua bentuk upacara (kerja).Yangpertama disebut

dengan Kerja Baik, yaitu yang berhubungan dengan upacara sukacita.Yang termasuk upacara

baik adalah upacara perkawinan, kelahiran anak, panen, dan lain-lain.Sedangkan yang kedua

adalah upacara Kerja Njahat atau upacara yang berhubungan dengan perasaan dukacita, seperti

upacara kematian.

Letak Manduamas yang strategis ini kemudian menunjukkan bahwa Pakpak dilingkupi

daerah Dairi dan Humbang Hasundutan yang secara geografis tentu saja perbatasan daerah ini

memiliki pengaruh dalam dalam masyarakatnya, terutama dalam hal kedekatan budaya antar

kedua daerah ini dan termasuk juga penyebaran masyarakat Pakpak di dalamnya merupakan

sesuatu hal yang tidak bisa dihindari mengingat perbatasan ini juga menunjukkan adanya

hubungan ekonomi antar kedua daerah terutama Manduamas sebagai bagian dari Pakpak itu

sendiri.

4

3

Dada Meuraxa, Sejarah Masuknya Islam di Bandar Barus, Sumatera Utara: Lobu Tuo, Fansur Barus

lebihdahulu dari Sriwijaya, Lemuri, Perlak, Pasai dan Majapahit (Medan: Sasterawan, 1973), hlm. 6

4

Berutu, Lister,Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak. Monora: Medan, 2002, hlm. 5

Salah satu upacara Kerja Baik pada masyarakat etnis Pakpak adalah

perkawinan.Sebab perkawinan merupakan suatu tahap yang penting dilalui oleh setiap

insanmanusia.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa: “Perkawinan merupakan peralihan yang

terpenting dari life cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari

(20)

Saat ini kebudayaan Pakpak yang juga merupakan kebudayaan PakpakKelasen telah

mengalami perubahan.Kebudayaan yang berubah itu adalah dalam hal upacara adat

perkawinan.Adat Pakpak sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian besar warga Pakpak Kelasen

dan beralih menggunakan upacara adat perkawinan yang baru, yaitu adat Batak

Toba.Penggunaan adat Pakpak dalam masyarakat Pakpak Kelasenmulai berkurang

pemakaiannya.Bila melaksanakan adat pesta perkawinan yangdipakai adalah adat Batak Toba,

meskipun perkawinan antara sesama etnis PakpakKelasen adat yang dipakai tetap adat Batak

Toba.Akan tetapi yang mengalamiperubahan hanya dalam adat perkawinan saja, sedangkan adat

Pakpak lainnya masih tetap dipakai oleh masyarakat Pakpak Kelasen.Hal ini disebabkan orang

Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di sekitar desa Si Onom HudonKecamatan

Manduamas.Dulunya juga suku Pakpak Kelasen banyak yang berasal dari suku Batak

Toba.Perubahan upacara adat perkawinan ini disebabkan terjadinyaperkawinan antara Pakpak

Kelasen dan Batak Toba dengan menggunakan adat BatakToba.

Atas dasar pemikiran diataslah penulis menulis skripsi ini dengan judul “Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen di Kecamatan Manduamas (1946-1992)”.Konsep dasar pengambilan judul tersebut adalah bagaimana kebudayaan etnis Batak Toba mudah diterima oleh etnis Pakpak Kelasen yang dengan serta merta memasukkan

unsur-unsur budaya Batak Toba ke dalam budaya Pakpak. Penulis juga membuat batasan waktu

pada tahun 1946-1992 dalam skripsi ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis

dengan Bapak Gustaman Tumanggor selaku tokoh adat di Manduamas, sejak tahun 1946 dia

memprakarsai peresmian 19 kampung di Manduamas tepatnya tanggal 5 April 1946. Sejak saat

itu Manduamas semakin ramai kegiatan masyarakatnya sekaligus sebagai awal perjalanan

(21)

periode akhir penelitian ini karena berdasarkan PP No. 35 / 1992 tanggal 13 Juli 1992 tentang

pembentukan 18 kecamatan yang ada di Sumatera Utara, maka Kabupaten Tapanuli Tengah

mendapat dua daerah pemekaran yakni Kecamatan Manduamas yang merupakan hasil

pemekaran dari Kecamatan Barus dan juga Kecamatan Kolang hasil pemekaran dari Kecamatan

Sibolga.

Dibutuhkan suatu penelitian tentang kenapa orang Pakpak tidak konsisten dan selalu

mengalah atau beradaptasi dengan adat orang lain dalam adat perkawinan. Berbeda dengan orang

Karo dan Toba yang selalu konsisten dengan adatnya walaupun kawin dengan etnis lain. Secara

umum memang diketahui penyebabnya, antara lain faktorsejarah, faktor pendidikan dan faktor

politik. Faktor sejarah dan politik misalnya sangat berperan dengan memecah belah wilayah

komunitas Pakpak dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sehingga

wilayah tradisional Pakpak terbagi dalam beberapa kabupaten.

1.2 Rumusan masalah

Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan

panulis dalam pengarahan pengumpulan data dalam rangka untuk memperoleh data yang

relevan. Hal ini menjadi landasan dalam penulisan nantinya pada bab-bab selanjutnya sehingga

penulisan lebih mudah dan terarah karena telah berpedoman pada rumusan masalah.

Berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini maka ada beberapa pokok permasalahan

yang akan dikaji, yaitu:

(22)

2. Bagaimana keberadaan masyarakat Batak Toba di Manduamas?

3. Apa faktor yang mempengaruhi budaya masyarakat Pakpak Kelasen mengikuti

budaya Batak Toba?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis

maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam

penelitian ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penulisan.

Memang masa lampau manusia tidak dapat ditampilkan dalam konstruksi seutuhnya,

namun rekonstruksi manusia perlu dipelajari sehingga diharapkan mampu memberikan pelajaran

bagi kehidupan manusia di masa kini dan akan datang. Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat menjelaskan budaya Pakpak Kelasen sebelum masuknya Batak Toba ke

Manduamas

2. Untuk dapat menjelaskan bagaimana keberadaan Batak Toba dan pengaruh budayanya

terhadap masyarakat Pakpak Kelasen.

3. Untuk dapat menjelaskan apa faktor yang mempengaruhi masyarakat Pakpak Kelasen

mengikuti budaya Batak Toba.

Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini mempunyai

manfaat bagi kita, yaitu:

(23)

2. Memberikan informasi tentang kebudayaan Pakpak Kelasen bagi yang ingin mengetahui

adat Pakpak Kelasen.

3. Memberikan bahan masukan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat Pakpak

Kelasen dan bagi masyarakat Pakpak umumnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam memahami masalah penelitian ini, diperlukan beberapa referensi yang dapat

dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka. Selain melakukan

penelitian ke lapangan, peneliti juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku

dan laporan serta artikel yang berkaitan sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan

selama penelitian.

Lister Berutu dan Nurbani Padang dalam bukunya Tradisi dan Perubahan, Konteks

Masyarakat Pakpak Dairi (1998), menjelaskan tentang segala jenis tradisi dan adat suku Pakpak

beserta perubahan-perubahan budayanya. Pembahasan utamanya tentang upacara adat

masyarakat Pakpak Dairi yang terdiri dari upacara sukacita (kerja baik) dan upacara dukacita

(kerja njahat). Juga tentang aspek-aspek lain yang berhubungan dengan Budaya Pakpak seperti

marjinalisasi pemerintahan kuta dan privatisasi pemilikan tanah adat Pakpak, upacara menanda

tahun dan maknanya bagi kelestarian lingkungan, genderang si lima; ensembel; musik adat

masyarakat Pakpak Dairi, bentuk morfofomenik dalam bahasa Pakpak Dairi, bahasa Pakpak dan

gambaran masyarakat pemakainya, dan asosiasi marga-marga orang pakpak di Kotamadya

(24)

mencakup kebudayaan Pakpak secara umum dan luas. Dari kelima suak yang ada pada bangsa

Pakpak tidak ada perbedaan dan semua sama dan seragam.

Lister berutu dan Tandak Berutu dalam bukunya Adat dan Tata Cara Perkawinan

Masyarakat Pakpak (2006), menjelaskan tentang adat perkawinan yang berlaku pada masyarakat

Pakpak yang masih memegang adatnya. Buku ini berguna untuk mengungkapkan bagaimana

adat perkawinan masyarakat Pakpak yang sesungguhnya. Buku ini secara khusus menyajikan

bentuk upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh umumnya orang Pakpak, yakni:

perkawinan Sitari-tari (merbayo), Sohom-sohom, Menama, Mengrampas, Mencukung, Mengeke,

dan Mengalih. Ketujuh bentuk perkawinan ini memiliki ciri khasnya masing-masing, namun

Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk upacara perkawinan yang biasa dilaksanakan dan

dianggap paling ideal karena semua hak dan kewajiban dari kerabat pihak pengantin laki-laki

dan pengantin perempuan telah terpenuhi. Bentuk perkawinan jenis ini dibicarakan lebih lanjut

dan menjadi fokus utama buku ini. Pentingnya adat perkawinan Pakpak ini untuk diuraikan

secara tertulis karena dikhawatirkan adat perkawinan Pakpak akan hilang karena generasi tua

pun tidak konsisten mempertahankan adatnya. Dan generasi mudanya pun tidak paham terhadap

adatnya sendiri, karena orangtuanya sendiri pun mungkin tidak memahami secara rinci.

Togar Nainggolan dalam bukunya Batak Toba di Jakarta Kontinuitas dan Perubahan

Identitas. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana masyarakat yang memiliki suku Batak Toba

menyerap budaya baru dari daerah baru dan menjadikan mereka menghilangkan identitas asli

dan mengalami perubahan identitas etnik. Suku Batak Toba selaku golongan Batak Toba

mencoba mengubah identitas diri mereka mengikuti daerah tempat tinggal mereka. Yang

diperlukan dalam buku ini adalah adanya pembahasan mengenai Batak Toba di Tapanuli Utara

(25)

Kemudian pembahasan tentang nama ‘batak’. Sesudah itu akan dibicarakan juga Batak Toba

sebagai salah satu subetnis dari batak.

O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba dalam bukunya Migran Batak Toba di Luar Tapanuli

Utara: Suatu Deskripsi. Buku ini menggambarkan kedinamisan suku bangsa Batak Toba.

Persebaran mereka ke daerah sekitar yang bermula dari Pusat Negeri Batak sudah berlangsung

sejak beberapa abad yang lalu. Kejadian tersebut sudah digambaran dalam berbagai kepustakaan

yang membahas silsilah dan penyebaran marga-marga. Telaah kali ini berkenaan dengan

penyebaran orang Batak Toba dalam konteks yang lebih modern serta dalam ruang lingkup yang

lebih luas, dengan sajian sejak permulaan abad XX. Buku ini diperlukan untuk mengambil

contoh Tano Perserakan orang Batak Toba ke wilayah Dairi dan Tapanuli Tengah.

Buku lainnya yang juga ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah karya Sitor

Situmorang dalam bukunya Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX. Buku ini

menjelaskan tentang sejarah perkembangan sosial politik antara abad ke-13 hingga abad ke-16.

Dari proses pembentukan republik desa pemula, berbentuk lembaga bius, ke masa peralihan

menuju kerajaan. Sistem masyarakat Batak Toba lama adalah sebuah sistem yang merupakan

federasi sejumlah bius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius

(paguyuban desa adat) dan jajaran pemerintahan. Secara umum, buku ini merupakan sebuah

catatan perjalanan masyarakat Batak Toba dalam pasang surut laju modernisasi. Karena buku ini

membahas perjalanan orang Batak Toba, maka banyak juga unsur-unsur kebudayaan asli mereka

(26)

1.4 Metode Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah

karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi tahapan harus dilalui untuk mencapai

suatu hasil yang maksimal.Untuk itu dalam merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis

tersebut dipakai metode sejarah dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan

penelitian. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan

peninggalan masa lampau.5

5

Louis Gottschalk, “Mengerti Sejarah”, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, hlm 32.

Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber

yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan menggunakan metode

library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan field research (penelitian lapangan/

studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukandengan mengumpulkan buku-buku, skripsi,

maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan

dengan permasalahan yang sedang dikaji. Tinjauan pustaka diambil dari perpustakaan USU,

perpustakaan UNIMED dan perpustakaan Daerah Medan. Adapun, penelitian lapangan

dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terutama pada informan-informan yang

dianggap mampu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, Informan

kunci adalah Bapak Gustaman Tumanggor selaku ketua adat Siambaton Napa di Manduamas dan

pak Remanto Tumanggor selaku pendeta.Baik informan yangberetnis Pakpak sendiri maupun

(27)

Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan

terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi

substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku

atau dokumen yang berkaitan dengan orang Pakpak dan Batak Toba, kritik ini disebut dengan

kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui

keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keotentikan, kritik ini disebut dengan

kritik ekstern.Kritik yang dilakukan lebih banyak kepada kritik internal, hal tersebut terjadi

karena kurangnya sumber primer yang diperoleh, sehingga sulit untuk melakukan kritik

eksternal.

Tahapan selanjutnya setelah uji dan analisis data ialah tahap interpretasi.Dalam tahapan

ini, data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan satu analisa yang baru yang sifatnya lebih

objektif dan ilmiah dari objek yang ditulis.Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta

minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan

keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata

lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data/informasi yang dapat

dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.

Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat

dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, yang selalu akan

berusaha memperhatikan aspek-aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini

adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan pembeberanrangkaian peristiwa dengan melibatkan

(28)

BAB II

BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA

2.1 Letak dan Keadaan Geografis

Secara administrasi desa Pasar Onan Manduamas termasuk dalam wilayahKecamatan

Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten ini merupakansatu-satunya yang

mempunyai wilayah Pakpak yaitu Kecamatan Manduamas danKecamatan Barus yang dikenal

dengan nama Suak ataupun wilayah Kelasen. Kecamatan Manduamas berada di pantai Barat

Sumatera. Luas Kecamatan ini secara keseluruhan mencapai99,55 Km2, dengan batas-batas

terdiri dari :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sirandorung

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia

Letak astronomi desa/kecamatan secara umum terletak pada Koordinat 02° 02’05” - 02°

09’29” Lintang Utara, 98° 17’18” - 98° 23’28” Bujur Timur. Kecamatan Manduamas tergolong

daerah beriklim tropis dan hanya ada dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Antara

Januari dan Desember suhu udara maksimum bisa mencapai 32,80C dan suhu minimum

mencapai 20,90C. Rata-rata suhu udara di Kecamatan Manduamas sebesar 26,30C. 6

Keadaan lahan dari Kecamatan Manduamas sebagian besar diadaptasi dataran rendah

dan tanahnya yang subur dan kemiringan lahan yang bervariasi. Sebelum kedatangan Hindia

6

Katalog BPS, “Manduamas Dalam Angka 1992”, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah&

(29)

Belanda ke Indonesia produksi dari Kecamatan Manduamas berupa rotan, damar, kapur barus,

kemenyan dan kayu yang menjadi dominasi mata pencaharian yang diperdagangkan. Sesuai

dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian masyarakat Manduamas umumnya adalah

bercocok tanam.Untuk lenih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

No Desa/Kelurahan Luas

(Km2)

Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan

1. Manduamas Lama 23.37 23.48

2. Pasar Onan Manduamas 3.89 3.91

3. Binjohara 28.44 28.57

4. Pagaran Nauli 11.36 11.41

5. Sarma Nauli 4.77 4.79

6. Saragih 11.01 11.06

7. Tumba 4.52 4.54

8. Tumba Jae 5.21 5.23

9. Lae Monong 6.98 7.01

Jumlah 99.55 100

Sumber : Kantor Camat Kecamatan Manduamas

Berdasarkan topografi Kecamatan Manduamas berada di dataran rendah dan dari aspek

geografis, desa-desa yang tercakup dalam Kecamatan Manduamas adalah sebagai berikut:

Kelurahan PO Manduamas (landai, sebagian rawa), Desa Manduamas Lama (lereng, punggung

bukit, perbukitan), Desa Tumba (lereng, punggung bukit, perbukitan, landai, rawa), Desa

Binjohara (landai, dataran), Desa Saragih (lereng, punggung bukit, perbukitan), Desa Pagaran

(30)

2.2 Keadaan Demografi

Penduduk Manduamas mayoritas adalah Suku Pakpak Kelasen. Bahasa yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari adalah Bahasa Pakpak dan Bahasa Batak Toba. Selain itu ada juga

suku Batak Toba. Suku Batak Toba adalah suku terbanyak kedua di Manduamas. Lahan

Kecamatan Manduamas sangat cocok untuk tanaman muda dan keras seperti kelapa sawit, karet

dan jagung. Salah satu tanaman utama di Manduamassaat ini adalah kelapa sawit.Sistem mata

pencaharian mayoritas penduduk desa Kecamatan Manduamas adalah bertani.Ada juga beberapa

orang yang bekerja sebagai pegawai negeri seperti guru, namun mereka juga bertani sebagai

pekerjaan sampingan.Sebagian pendudukada juga yang bekerja sebagai pedagang atau

wiraswasta dan mereka jugamempunyai lahan pertanian sebagai tambahan untuk kehidupan

mereka sehari-hari.Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 penduduk Manduamas terdiri dari

19.449 jiwa, masing-masing terdiri dari 9845 laki-laki dan 9676 perempuan. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat tabel berikut.

No Kelompok Umur Jumlah

1 0-6 Tahun 5091

2 7-12 Tahun 4502

3 13-18 Tahun 2918

4 19-30 Tahun 2542

5 31-45 Tahun 2039

6 46-59 Tahun 1398

7 60 Tahun keatas 1031

(31)

Berdasarkan tabel di atas, struktur penduduk Kecamatan Manduamas tahun 1990

tergolong berstruktur muda, dimana jumlah penduduk yang berumur di bawah 15 tahun

sebanyak 7570 orang. Penduduk berumur antara 15-64 tahun sebanyak 11304 orang. Sedangkan

penduduk berumur 60 tahun keatas sebanyak 1031 orang.

2.3 Sejarah Suku Pakpak Kelasen di Manduamas

Mengenai asal usul dari etnis Pakpak Kelasen belum dapat dipastikan darimana asal

nenek moyang mereka.Tetapi ada dugaan bahwa nenek moyang etnisPakpak Kelasen berasal

dari India Selatan.Asal usul nenek moyang etnis Pakpak Kelasen berasal dari India Selatan, yaitu

berada di daerah Kalasem (Kalasemmerupakan tempat suci bagi orang India).Pada awalnya

orang India Selatan datang ke Nusantara melalui daerah pesisir pantai barat yaitu Barus.Sebab

Barus merupakan pusat bandar perdagangan yang cukup ramai didatangi oleh musafir asing

yangdatang ke Nusantara.7

Cerita lain menyatakan bahwa pernah datang serombongan armada dariIndia Selatan

yang terdampar di daerah pesisir barat pulau Sumatera yaitu Barus.Orang-orang India tersebut

adalah orang Tamil yang jumlahnya kurang lebih 1500orang dan mereka menyebar masuk ke

pedalaman Barus dengan membawa armadagajah putih sebagai alat transportasi. Inilah yang

diyakini sebagai nenek moyang etnis Pakpak Kelasen.Pada waktu orang India itu datang ke

Barus, mereka juga membawa kebudayaan asli mereka dari India Selatan.Ini dapat dilihat dari

bukti peninggalan kebudayaan Pakpak umumnya yang juga merupakan pengaruh kebudayaan

7

Ery Soedewo ,Jejak Keindiaan (Hindu-Buddha) Dalam Kebudayaan Pakpak, dalam Berkala

(32)

India,seperti Mejan (patung batu yang berbentuk gajah yang sedang ditunggangi).Patung ini

masih ada dan terdapat di Kabupaten Pakpak Barat.Penyebutan nama‘Kelasen’ juga berasal dari

India. Pada awalnya kataKelasen berasal dari kata ‘Kalasem’ yang merupakan suatu tempat di

India Selatan.Lambat laun kata Kalasem ini berubah menjadi Kelasen yang menjadi sub

bagianetnis Pakpak yang berada di Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah.8

Persamaan lain antara etnis Pakpak Kelasen dengan orang India adalahdalam hal

pembakaran mayat. Sebelum masuknya pengaruh Agama Kristen ke daerahKelasen, pembakaran

mayat merupakan tradisi yang dilakukan jika ada orang yangmeninggal.Sama halnya dengan di

India juga melakukan pembakaran mayat jika ada yang meninggal dunia. Pembakaran mayat ini

termasuk dalam upacara Njahat dalam adat Pakpak. Namun pembakaran mayat ini tidak

dilakukan lagi sejak masuknya Agama Kristen ke daerah Pakpak Kelasen.Begitu juga dengan

bumbu masakan tradisional Pakpak umumnya tetapmenyerupai dengan bumbu khas India, yaitu

menggunakan kunyit.Dalam masakanPakpak, kunyit sangat dominan digunakan misalnya

masakan tradisional Pakpak,yaitu Pelleng9yang menggunakan kunyit.10

Pakpak Kelasen terdiri dari dua bagian berdasarkan asal-usulnya.Pertamaadalah berasal

dari India Selatan yang merupakan penduduk asli di Kelasen.Keturunan dari India ini adalah

Mpu Mada sebagai nenek moyang etnis PakpakKelasen.Sebelum Mpu Mada datang ke daerah

Kelasen, pada awalnya dia menetapdi Barus dan menikah dengan boru Pohan. Dari hasil

perkawinan itu, Mpu Madamendapatkan 6 orang anak yang juga menjadi marga asli Pakpak

8

Ibid, hal 41

9

Makanan tradisional Pakpak ini terbuat dari beras yang ditanak hingga menjadi bubur beras. Selama proses memasak dicampurkan bumbu seperti bawangrambu, cabe, jahe, lada, santan kelapa dan yang paling utama adalah kunyit. Semua bumbu dimasukkan hingga tercampur merata.

10

(33)

Kelasen, yaituTendang (Tondang), Rea (Banuarea), Manik, Gajah, Berasa, dan Beringin.

Merekapindah ke daerah Kelasen yang pada waktu itu belum ada yang menguasai.

Kedua, etnis Pakpak Kelasen yang berasal dari Batak Toba dan menjadibagian dari

Pakpak Kelasen.Marga Batak yang datang ke Kelasen yaitu margaSimbolon Tuan atau Oppu

Tuan Nahoda Raja.Sedangkan keturunan dari Nahoda Rajaterdiri dari 6 marga atau yang disebut

dengan Si Onom Hudon/Siennem Kodin11

Sejak saat itu keturunan Mpu Mada mulai meninggalkan Tanah Kelasen danmerantau

untuk mencari daerah kekuasaan di daerah lain yang belum dikuasai, seperti marga Tendang

pergi ke wilayah Simalungun (marga Tondang), di Tapanuli Selatanmenjadi marga Matondang.

Manik dan Banuarea pergi ke Salak (Kabupaten PakpakBarat), Gajah dan Beringin pergi ke

Pakkat dan Manduamas (Tapanuli Tengah), yang tinggal hanya marga Berasa.Sehingga ini

memudahkan bagi keturunan Si OnomHudon menguasai seluruh tanah Pakpak

Kelasen.Terjadilah perselisihan antaramarga Berasa dengan marga Si Onom Hudon karena

penguasaan tanah yangdilakukan marga Si Onom Hudon.Marga Berasa yang hanya tinggal

sendiri tidakdapat mempertahankan daerah kekuasaannya, membuat marga Berasa harus

keluardari tanah Kelasen dan pergi ke wilayah Aceh Singkil.Akibat penguasaan tanah yang .Keturunan SimbolonTuan (Nahoda Raja) adalah

marga Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan,Pinayungan, dan Nahampun.Ketika Nahoda

Raja datang ke daerah Kelasen, awalnyadia melakukan adaptasi dengan keturunan Mpu

Mada.Awalnya sebagai pendatangyang belum memiliki tanah kekuasaan Tuan Nahoda Raja

meminta sedikit tanahuntuk tempat tinggal dan untuk bertani.Maka keturunan Mpu Mada

memberikantanah, yaitu Pearaja (Si Onom Hudon Utara).

11

(34)

dilakukan oleh marga Si Onom Hudonmembawa dampak buruk bagi marga-marga Si Onom

Hudon.Hasil pertanian, ternakmengalami kegagalan dan sangat merugikan bagi marga Si Onom

Hudon.Akhirnyamereka memanggil kembali marga Berasa yang telah pergi ketika terjadi

perselisihan.Marga Si Onom Hudon memberikan kembali tanah kepada marga Berasa

sebagaidaerah kekuasaannya.Penyerahan tanah ini dilakukan dengan upacara adat.Marga Si

Onom Hudon memberikan tanah kepada marga Berasa mulai dari Sigulang-gulangsampai ke

Siekur-ekur (yang sekarang Si Onom Hudon Toruan).Sejak saat itu antara marga Berasa dan

marga Si Onom Hudon bersaudara dan menjadi bagian dari PakpakKelasen. Akan tetapi marga

Berasa tidak sama dengan marga Si Onom Hudon atauParna, karena selama ini banyak orang

mengatakan Berasa masuk ke marga Parna.Sewaktu Mpu Mada tinggal di Barus dia

bersama-sama dengan Mpu Bada (margaSigalingging) dan menikahi boru Pohan yang merupakan kakak

beradik.Inilahsebabnya selama ini orang mengatakan bahwa marga Berasa masuk ke Parna.

2.4 Manduamas Sebelum Masuknya Batak Toba

Pada masa itu seorang nenek moyang yang bernama Oppu Tuan Nahoda Raja Simbolon

datang dari Samosir turun di daerah Parlilitan tepatnya di Gunung Sintua Kecamatan Parlilitan

sekitar tahun 1700. Dia bersama dua istrinya yang satu adalah Boru Sihotang dan yang kedua

adalah Boru Limbong. Setelah bertahun-tahun tinggal di sana, mereka dikaruniai delapan anak,

tujuh laki-laki satu perempuan (Si Onom Hudon).

Pada mulanya mereka hidup dengan bercocok tanam di sana, dan seiring berjalannya

waktu mereka menanam kemenyan untuk komoditi, yang sampai sekarang kemenyan itu masih

(35)

berharga dan mahal harganya pada waktu itu sehingga mereka berencana untuk mengambil

kapur barus di daerah Gunung Sijagar, yang sekarang menjadi daerah Siambaton Napa. Dan

setelah mereka melihat bahwa memang benar kayu kapur itu banyak dari Gunung Sijagar daerah

dataran rendah sampai ke perbatasan Aceh semuanya ini diambil mereka bertahun-tahun dan

hasilnya dijual ke Barus, dan pembelinya adalah orang luar khususnya Mesir. Sehingga di

pedalaman itulah terkenal kapur barus hasil dari olahan Si Onom Hudon.

Penjelasan mengenai nama Manduamas, sewaktu nenek moyang Si Onom Hudon

mengambil kayu kapur barus, kayu kapur itu dibagi menjadi dua, yaitu kayu dengan intinya. Jadi

kayunya diambil dari hutan dan kayunya dibagi menjadi dua bagian, dan istilahnya adalah

“mendua” dalam bahasa Dairi yaitu membagi dua. Jadi orang-orang pada waktu itu latah

mengucapkan hendak pergi ke tempat pengolahan kayu kapur itu sebagai Manduamas, karena

kapur barus pada waktu itu dianggap sama dengan emas dengan selisih harga yg kecil dengan

Kapur Barus. Waktu itu nama kapur barus adalah “Haburuan” artinya kapur atau kayu kapur

dalam bahasa Dairi. Karena transaksinya dilakukan atau dijual di kota Barus makanya namanya

lazim disebut sebagai kapur barus.12

Semenjak purbakala nama Barus, sebuah kota pelabuhan di Tapanuli sudah terkenal di

dunia sampai Eropa. Yang menjadikannya terkenal ialah kamfer (kapur barus) dan kemenyan,

yang diekspor melalui kota itu. Sarjana Yunani, Ptolomeus pada tahun 150 sesudah Masehi telah

mencantumkannya dalam buku ilmu buminya. Demikian pula seorang Arab bernama Ibn Chord

hadbheh dalam salah satu tulisannya pada tahun 846 sesudah Masehi menguraikan tentang

Barus. Dalam kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang India turut juga tersebut daerah itu.

12Wawancara

(36)

Demikian harumnya nama Barus yang menarik pedagang-pedagang dari tempat-tempat yang

jauh untuk membeli hasinya.13

Di sisi lain, dari daerah pedalaman Batak Toba (Kabupaten Tapanuli Utara yang

sekarang), terdapat jalan setapak atau disebut juga jalan pengangkut garam (parlanja sira) ke

daerah pesisir barat dan timur. Jalan setapak ini terbentang dari hulu Sungai Asahan, daerah

Uluan (Proyek Sigura-gura Asahan) menuju Bandar Pulo, sebuah pangkalan dagang dengan

Pantai Timur Sumatera (Asahan). Sejak zaman prasejarah hingga permulaan abad ke-19 hampir

seluruh pemenuhan kebutuhan daerah Toba berorientasi ke Pesisir Barat, yaitu Dusun Tapian

Nauli, Sorkam dan Barus. Terutama Barus yang sejak berabad-abad lalu sudah disinggahi

perahu-perahu layar antarbenua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper (kapur

barus).14

Dari berbagai distrik Toba, termasuk itu Silundung, Humbang Hasundutan, dan Pulau

Samosir terbentang jalan-jalan setapak yang menghubungkan pelabuhan Barus dengan

pasar-pasar besar di pedalaman. Dari ketiga distrik tersebut masing-masing memiliki satu pasar-pasar besar

yang disebut Onan Saksing atau Onan na Marpatik, yang secara harfiah berarti “Lembaga Pasar

Besar” yang dilindungi oleh hukum/undang-undang Paguyuban Adat. Pelabuhan Barus selama

berabad-abad berfungsi sebagai pintu ke dunia luar bagi pedalaman Toba. Perdagangan antara

daerah pesisir dan Toba menjadi pintu masuk bagi pengaruh dunia luar, baik di bidang

kebudayaan maupun di bidang keagamaan dan kemasyarakatan (politik) yang meliputi unsur

budaya Hindu-Buddha sebelum abad ke-13 dan pengaruh kebudayaan pesisir (Melayu-Islam)

sejak abad ke-15.

13

N. Siahaan B.A., “Sedjarah Kebudajaan Batak”, Medan: CV Napitupulu & Sons, 1964, hal 22.

14

(37)

Dunia luar bagi penduduk Toba di masa lampau adalah semua daerah tetangga. Dairi

Pakpak dan Karo di sebelah utara, Simalungun di pantai timur Danau Toba, termasuk Asahan

dan Angkola-Mandailing di sebelah selatan. Sementara di sebelah Barat adalah daerah pesisir

antara Teluk Tapiannauli dan Pelabuhan Barus. Orang Batak Toba mempunyai hubungan dagang

dengan Dairi Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Batak Toba dan Pakpak

Dairi sudah terjalin sejak zaman dahulu sampai sekarang sehingga hubungan yang terjalin tak

sebatas hubungan karena perniagaan saja tetapi karena kesamaan budaya dan nenek moyang

mereka.

2.5 Manduamas Pada Masa Kolonial Belanda

Zaman dahulu kala sebelum penjajahan Belanda suku Pakpak yang lima kelompok atau

lima suak yakni : suak Singkil Boang, Suak Kelasen, Suak Simsim, Suak Keppas, dan Suak

Pegagan adalah suatu kesatuan dalam bahasa dan adat istiadat. Jauh sebelum kita merdeka

Belanda, Inggris, Perancis, Amerika, Portugis dan Spanyol dan negara barat lainnya sudah

masuk ke Pantai Barat Sumatera Utara dengan maksud untuk membeli hasil hutan dari daerah

Sumatera. Pada masa itu sudah terjadi perebutan kekuasaan melalui hasil perdagangan hasil

hutan yang laris dijual di Eropa.

Hasil hutan tersebut antara lain: damar, kemenyan, kapur barus, cula badak, lada dan

lain-lain. Dengan adanya perebutan hasil hutan maka terjadilah peperangan di negara Eropa

antara Belanda dengan Inggris. Penyelesaian peperangan ini muncullah Traktat London pada

tanggal 17 Maret 1824 dengan isi perjanjian bahwa inggris harus menyerahkan seluruh wilayah

(38)

Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang dikuasainya di Semenanjung Malaka yang

selama ini dikuasainya selama perdagangan.

Sejak itulah Belanda mulai menguasai Pantai Barat Sumatera yakni Pelabuhan Barus

dan Singkel, merupakan pelabuhan paling ramai. Belanda mulai membuat perjanjian dengan

tokoh-tokoh masyarakat, pengetua masyarakat dengan perjanjian menguntungkan sepihak. Pada

awalnya perjanjian itu banyak yang kurang memenuhi, maka Belanda mulai membuat perjanjian

dengan lebih mempertajam lagi dimana bangsa kita tidak dibenarkan berdagang atau menjual

hasil hutan yang dicarinya kepada orang lain. Bilamana ada yang tidak mematuhinya maka

Belanda tidak segan-segan menekan dengan menggunakan militer atau tentaranya untuk

kepentingan perdagangan ini.

Belanda memasuki daerah Tapanuli Tengah dan dengan kelihaian atau kelicikannya

yaitu dengan memberikan hadiah atau upah. Pada awalnya di daerah Toba, Belanda juga

mendapat tantangan karena kurang sesuainya dengan budaya adat Batak, akan tetapi karena

kelicikannya dan dengan memberi hadiah maupun upah besar kepada orang-orang tertentu,

dimana kelak orang ini yang akan dipergunakan untuk menarik yang lainnya. Belanda pernah

mendapat perlawanan Sisingamangaraja XII, karena Sisingamangaraja XII merasa kurang aman

bagi perjuangannya takut apabila ada yang akan menghianati perjuangannya maka

Sisingamangaraja XII berusaha bergabung dengan pejuang-pejuang Pakpak.

Sisingamangaraja XII yang sudah mengetahui bahwa orang-orang Pakpak gigih

berjuang dan tidak mau menyerah kepada Belanda (lebih baik menyingkir ke hutan atau

mengungsi daripada dijajah Belanda). Pernah terjadi dalam suatu peperangan antara pasukan

(39)

Belanda ada seorang Controleur yang mati dan tidak diizinkan oleh masyarakat untuk

dikuburkan di tanah Pakpak maka terpaksa dibawa oleh Belanda ke Siborong-borong untuk

dikebumikan. Belanda mempelajari Bahasa Toba dan setelah mengetahui Bahasa Toba maka

mereka sudah dapat menghimpun orang-orang Toba. Belanda mendirikan gereja dengan

berbahasa Toba yakni: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan mencetak atau

mengeluarkan buku bibel (Alkitab), buku nyanyian dan lain-lain dengan Bahasa Toba. Pada saat

pengembangan Agama Kristen yang dikembangkan oleh Belanda melalui Zending Agama

Kristen dimana dari Toba HKBP akan masuk ke Tanah Pakpak.

Pada prinsipnya suku Pakpak tidak setuju melihat cara Belanda menyanyikan lagu-lagu

rohani (lagu-lagu agama Kristen) yang nyanyi bersama-sama. Sedangkan bagi suku pakpak sejak

dahulu kala adalah tabu bilamana seorang anak gadis menyanyi didengar oleh besannya juga

sebaliknya. Masyarakat Pakpak menganggap bahwa Agama Kristen dengan Zending HKBP ini

adalah merusak tatakrama kehidupan suku Pakpak. Dengan adanya pemikiran atau perasaan

yang sedemikian itu maka ada yang nekad membunuh penginjil dan sempat terbunuh dua orang

penginjil yakni Van Lyman dan Munson di daerah Pakpak. Dengan terbunuhnya kedua penginjil

tersebut maka Belanda mengirim berita ke Nederland Eropa maka muncullah kata-kata yang

menyatakan Pakpak makan orang.

Hal ini juga dipertajam oleh Belanda untuk memecah belah suku Pakpak yang sudah

tunduk ke Tarutung bahwa dia adalah orang Dairi sedangkan orang yang membunuh adalah

orang Pakpak. Dengan adanya perilaku dan sikap suku Pakpak yang keras, gigih, dan tak mau

dijajah maka Belanda semakin marah dan semakin ganas melihat suku Pakpak maka timbullah

(40)

1. Membakar rumah adat sampai habis, sehingga sekarang sudah sulit untuk menemukan

rumah adat yang masih bersisa.

2. Peninggalan orang-orang tua dahulu kala, benda-benda bersejarah peninggalan zaman

kuno misalnya: Mejan yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dibawa ke negeri

Belanda.

3. Silsilah atau tarombo disusun atau dikurangi di negeri Belanda kemudian disebarluaskan

ke Tapanuli sehingga mereka suku Toba mengatakan bahwa hampir semua marga suku

Pakpak (marga-marga yang ada di Tanah Pakpak) berasal dari Toba sedangkan yang

sebelumnya belum tentu demikian.

2.6 Manduamas Pada Awal Masuknya Batak Toba

Ketujuh marga Si Onom Hudon yang sudah berumah tangga lalu membuka

perkampungan masing-masing satu suku satu kampung. Tinambunan berada di Sidombilik

Hutagodung, Si Raja Tanggor (Tumanggor) di Pasi, Maharaja di Sitapung, Turuten di Hutarea,

Pinayungan di Binjohara dan Nahampun di Pearaja. Kemudian Si Raja Tanggor turun ke Aceh

yang tepatnya sekarang di Aceh Simpang Kanan namanya Sali Tumanggor. Beberapa tahun

berselang lahirlah anaknya yang bernama Gondul Tumanggor yang merupakan anak sulung.Pada

tahun 1932 Gondul Tumanggor diangkat Pemerintah Belanda menjadi kepala kampung yang

memimpin desa yaitu Ladang Jehe, Tanjeski dan Tapus. Setelah tahun 1932 penduduk semakin

berdatangan yaitu ke dataran rendah, termasuk ke daerah Manduamas sekarang. Maka tahun

1940-an pada masa penjajahan Belanda, diangkatlah dewan negeri Siambaton Napa karena

(41)

Tumanggor. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan, Osen Tumanggor tetap menjadi dewan

negeri sebagai perwakilan pemerintah. Dan karena sudah banyak penduduk di daerah

masing-masing di daerah Siambaton Napa, maka dibentuklah Raja-Raja Huta dengan mengadakan suatu

upacara pesta besar sebagai peresmian kampung “19 Kampung” di Siambaton Napa dengan

acara pesta pada tanggal 5 April 1946. Setelah itu penduduk pun semakin ramai berdatangan.

Dan saat itu pemerintahan pun sudah berganti dengan Pemerintahan Republik Indonesia.

Untuk memudahkan terkumpulnya masyarakat, maka dikumpulkan di suatu desa yang

namanya Pardomuan (Pertemuan) yang sekarang menjadi nama desa. Jadi disanalah tempat

mereka berkumpul dan disanalah dirumuskan semua keperluan dan kegiatan apa yang akan

dilakukan. Sesudah itu masyarakat semakin berkembang. Pada tahun 1966, dewan negeri dilebur

dan tidak ada lagi, jadi untuk memimpin adat dibentuklah raja adat Siambaton Napa karena dulu

dewan negeri juga menyangkut di dalam menjalankan pemerintahan dan pimpinan adat dan

budaya di Siambaton Napa, tetapi karena dewan negeri sudah dilebur maka struktur

pemerintahan pun langsung kepada kecamatan dan kepala desa pada tahun 1946 dan pada selang

waktu tersebut tidak ada pimpinan adat.

Namun pada tahun 1982 tanggal 17 Februari 1982 diadakanlah pesta besar Si Onom

Hudon di seluruh Indonesia. Dibentuklah raja-raja adat dan dibentuklah organisasi Si Onom

Hudon sehingga terpilihlah sebagai ketua adat di Siambaton Napa adalah Gustamin Tumanggor

atau biasa dipanggil bapak GS Tumanggor. Dan sejak saat itu daerah Siambaton Napa semakin

berkembang sehingga pada tahun 1983 Manduamas Siambaton Napa direncanakan pemerintah

untuk mengadakan transmigrasi. Jadi di dalam kepengurusan Transmigrasi itu juga melibatkan

tokoh-tokoh Si Onom Hudon dan sebagai satuan pembina Transmigrasi diangkat dari Si Onom

(42)

Batak Toba dan Pakpak Kelasen disatukan dalam satu kepemimpinan adat. Sejak dahulu suku

Batak Toba yang bermigrasi dan menetap di Manduamas telah mendapat tanah yang dibayarkan

kepada kepala adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tantang hak ulayat tanah.

Pada saat itu masyarakat-masyarakat Si Onom Hudon memohon kepada pemerintah

supaya hak adat yang telah ada di dalam surat keputusan tahun 1946 itu harus dilakukan,

sehingga terjadilah perdebatan yang sangat alot pada waktu itu dengan bupati Tapanuli Tengah

yaitu Bapak Lundu Panjaitan SH. Namun karena kebijakan dari gubernur Sumatera Utara

perdebatan itu dapat ditengahi dan hak-hak adat itu dapat dilaksanakan sehingga diadakanlah

pesta pembauran kepada Naiambaton dan dibayarlah adat sulam dengan memotong kerbau

jantan sebagaimana yang tertulis dalam surat keputusan 46 dilakukan di Pasar Onan Manduamas

pada tahun 87 atau 85. Jadi yang mewakili masyarakat Naiambaton15 dan masyarakat Siambaton

Napa menerima jambar kepala kerbau dan adat selanjutnya adalah bapak GS Tumanggor.

Setelah masuknya transmigrasi masyarakat pun sudah semakin banyak dan beragam budaya

sudah masuk tapi adat-adat tetap dipenuhi. Setelah masuk Batak Toba hubungan mereka tetap

harmonis. Karena dalam sejarah hubungan antara Batak Toba dan Batak Dairi adalah sama-sama

suku Batak. Marga Si Onom Hudon berasal dari Batak Toba dari Samosir yaitu Oppu Tuan

Nahoda Raja Simbolon. Jadi tidak pernah ada persengketaan, hubungan tetap harmonis.

Sama-sama menghormati adat-istiadat. 16

Nama desa secara administrasi pemerintahan disebut Si Onom HudonToruan.Nama desa

Si Onom Hudon Toruan ini dipakai dalam pemerintahan dalam wilayah Kabupaten Tapanuli

15

Naiambaton itu ada lima nenek moyang, yaitu Simbolon Tua, Munthe Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Nahampun Tua. Anak-anaknya sekarang menjadi 52 marga. Jadi Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua, ibunya adalah boru Hotang dan boru Limbong. Anaknya boru Hotang yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja. Anak boru Limbong yaitu Pinayungan, Turuten, Nahampun.

16

(43)

Tengah. Masyarakat umum juga mengenaldesa ini dengan nama Si Onom Hudon Toruan. Kata

Si Onom Hudon ini adalahterjemahan dari Bahasa Pakpak yaitu Si Ennem Koden. Si Onom

Hudon artinya Si Enam Periuk, sedangkan Toruan artinya dataran rendah. Jadi arti desa

tersebut adalah suatu desa yang mempunyai enam periuk dan berada di suatu dataran yang

rendah.

Desa ini disebut Si Onom Hudon karena penduduk asli di daerah ini mempunyai enam

marga yang merupakan satu keturunan.Nama dari marga-marga tersebut adalah Tinambunan,

Tumangger, Maharaja, Pinayungan, Turuten, dan Nahampun. Keenammarga tersebut dulunya

merupakan nama anak dari nenek moyang dari Si OnomHudon.Modal yang diberikan orangtua

mereka setelah mendapatkan istri kepada keenam anak tersebut adalah sebuah periuk untuk

menanak nasi, maka jumlah periuk yang diberikan oleh orangtua mereka adalah sama dengan

jumlah anaknya yaitu enam periuk. Namun saat ini penduduk di Kecamatan Manduamas lebih

familiar dengan nama Desa Siambaton Napa. Alasannya adalah Siambaton Napa, daerah Si

Onom Hudon ini ada dua, yaitu Siambaton Dolok di dataran tinggi yaitu di Pakkat dan tidak ada

batasan wilayah adat antara Siambaton Dolok dan Siambaton Napa karena gunung yang jadi

pembatas yaitu Gunung Sijagar dan Gunung Dolok Bunga. Di dataran rendah disebutlah

Siambaton Napa yaitu sekarang Kecamatan Manduamas. Nama “Siambaton” itu berasal dari

nama suku yaitu Naiambaton. Jadi sudah menjadi suatu hukum tetap dari suku batak apabila dia

membuka sebuah perkampungan dialah sebagai raja di daerah itu dan dibuatlah marganya

sendiri, contoh: Siantar nai Pospos, nai Posposlah rajanya. Lumban Sihotang, Sihotanglah

rajanya. Pasaribu Dolok, Pasaribulah rajanya. Lumban Sihombing, Sihombinglah rajanya.

Siambaton Napa, Naiambatonlah rajanya. Marga Naiambaton itu, itulah yang 52 marga, tetapi

(44)

Oppu Tuan Nahoda Raja. Oppu Tuan Nahoda Raja adalah generasi ketiga suku Batak Simbolon.

Oppu Tuan Nahoda Raja adalah anak dari Simbolon Tua.

Mayoritas penduduk desa Siambaton Napa khususnya dan KecamatanManduamas

umumnya adalah suku Pakpak yang disebut Suak atau wilayah Kelasen.Suku bangsa yang lain

adalah suku bangsa Batak Toba, namun hanya sebagian kecil saja.Sebagai tuan tanah atau

pemilik lahan di desa ini adalah orang Kelasensendiri. Walaupun suku pendatang dalam hal ini

Batak Toba sudah ada yangmempunyai sebidang tanah pertanian baik sawah atau ladang untuk

mereka kerjakan,namun itu dibeli atau diberi penghargaan berupa uang kepada tuan tanah atau

(45)

BAB III

KEBERADAAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI MANDUAMAS

3.1 Awal Kedatangan Masyarakat Batak Toba di Manduamas

Perpindahan penduduk dari dataran tinggi Toba (Tapanuli Utara) dalam era pra modern

mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh

lahan persawahan. Pada umumnya daerah persebaran mula-mula adalah ke daerah sekitarnya dan

kemudian merembes ke daerah lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Hingga sekarang perpindahan

tersebut masih berlangsung.17

Dalam kurun waktu tahun 1900-1940 ini perpindahan penduduk dari Tapanuli Utara

masih didominasi oleh kaum tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya.

Mereka memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Asahan,

Labuhan Batu, Deli Serdang bahkan ada yang sampai ke Aceh (Tanah Alas dan Singkil). Selain

dari Tapanuli Utara, tahun-tahun berikutnya ada yang pindah lagi (remigrasi) dari satu daerah ke

daerah lainnya; pindah secara permanen atau temporer antara lain karena pengaruh konflik.

Perpindahan secara temporer dan sirkuler sering menjadi perpindahan permanen. Dengan

berbekal pengetahuan dan teknik bertani yang dibawa dari kampung halamannya, daerah hutan Perkembangan sosial budaya bergerak sangat cepat dewasa ini

menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial orang Batak toba,

terutama yang hidup di desa-desa di daratan tinggi Toba Kabupaten Tapanuli Utara. Disadari

sepenuhnya bahwa perkembangan itu merupakan pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan

masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar wilayah dan antar suku.

17

O.H.S. Purba, Elvis F. Purba,”Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara suatu deskripsi”, Medan:

(46)

belantara dan daerah rawa-rawa diolah menjadi areal persawahan dan perladangan sesuai dengan

potensi daerahnya. Lumbung-lumbung padi pun menyebar di mana-mana.18

Sejak tahun 1946 setelah melihat bahwa Manduamas sangat subur, pertaniannya bagus.

Dulu Manduamas ini adalah lumbung padi, maka berdatanganlah orang Batak Toba dari Dolok

Sanggul, Pakkat dan Parlilitan masuk ke Siambaton Napa Manduamas. Maka semakin

berkembanglah Manduamas dan adatpun menjadi dua, yaitu adat Pakpak Kelasen dan adat Toba

Humbang. Kedua adat ini berlaku sebagai adat pokok. Namun tidak mengisolasi beberapa adat

suku pendatang seperti adat Karo, adat Mandailing, adat Jawa namun penggunannya tetap dalam

lingkup mereka. Adat Pakpak dipakai sejak tahun 1946 di Manduamas ini berkembang sampai

sekarang yang disebut adat Pakpak Kelasen.19

18

Ibid O. H. S. Purba, 1997, hal 268.

19

Wawancara dengan Gustaman Tumanggor, 30 Agustus 2014 di Manduamas.

Jadi, masuknya Batak Toba ke Manduamas melalui dua jalur, yaitu dari Dolok Sanggul,

Pakkat dan Parlilitan yang merupakan wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan, dan yang

masuk dari Kabupaten Dairi. Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang

berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan adalah untuk mencari tempat untuk penghidupan

melalui bercocok tanam dan didominasi oleh kaum tani. Seiring dengan waktu migrasi orang

Batak Toba ke Manduamas terus berlanjut, mereka mulai membuka persawahan. Pada tahun

1906/1907 ada pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang, lalu rampung hingga ke

(47)

3.2 Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Manduamas

Pada waktu itu masyarakat Pakpak Kelasen sudah hidup bercocok tanam membuka

persawahan, perkebunan, dan sebagai sumber mata pencaharian juga mengambil hasil hutan

yaitu rotan, damar, dan kapur barus. Orang Batak Toba yang datang kemudian ikut membuka

lahan perkebunan dan persawahan sebagai salah satu upaya memanfaatkan lahan yang luas yang

selama ini nampak sebagai hutan. Sistem nilai pada orang Batak Toba tradisional, tanah

merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Memiliki tanah terutama persawahan memberi

status yang tinggi bagi mereka, seperti dalam ungkapan Lulu Anak, Lulu Tano.20 Kehadiran

migran tersebut membuat mereka memilih tinggal menetap dan membuka lahan pertanian di

daerah tujuan, sehingga berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan tanah-lahan. Di daerah

tujuan mereka yang bermigrasi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan tanah yang telah

bermakna seperti di daerah asalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, penguasaan tanah

biasanya di dapat melalui pelepasan adat maupun penyerobotan. Pelepasan secara adat dapat

diberikan kepada anggota kelompok setempat atau kelompok luar dengan status kepemilikan hak

pakai, dimana tanah dapat digunakan sampai keturunan selanjutnya. Bila tanah tidak dikelola

lagi maka tanah tidak dapat dijual dan kembali kepada pemilik semula atau pemilik ulayat.21

Pada awal mulanya masyarakat Pakpak Kelasen hidup dengan bercocok tanam di

Manduamas dan seiring berjalannya waktu mereka mengusahakan dan menanam kemenyan

untuk komoditi, yang hingga saat ini masih ada di Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Lintong

Nihuta. Kemenyan yang merupakan salah satu usaha pertanian merupakan salah satu usaha yang

berasal dari sub sektor perkebunan rakyat, belum dikenal secara luas dibandingkan dengan kopi,

20

Arti harafiahnya adalah suka akan anak (gabe) juga suka akan tanah. Ungkapan ini mengandung arti semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka.

21

(48)

padi, kelapa sawit, karet dan produk perkebunan rakyat lainnya. Hal ini disebabkan manfaat

secara nyata kemenyan ini belum jelas diketahui. Bahkan petani kemenyan sendiri pada waktu

itu kurang jelas mengetahuinya. Petani dalam hal ini merupakan pekerja, pengumpul, dan

penjualnya, dimana kemenyan yang mutunya sangat bagus memiliki harga jual yang relatif

tinggi. Kemenyan merupakan jenis tanaman tua yang dapat tumbuh selama berpuluh-puluh tahun

bahkan beratus tahun. Sehingga dalam memanen dapat dikerjakan beberapa generasi berikutnya.

Begitu juga setelah mereka mengenal kapur barus juga untuk komoditi ekspor dengan

memanfaatkan kayu kapur yang banyak tumbuh di negeri Si Onom Hudon seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya.

Motivasi suku Batak Toba datang ke Manduamas dari jalur yang berasal dari Kabupaten

Dairi adalah untuk penyebaran injil di Tanah Pakpak setelah sebelumnya Badan Zending masuk

ke Tanah Toba. Pada mulanya Tanah Batak yang selama berabad-abad berada dalam

keterkungkungan dan hal itu menjadi kebiasaan masyarakat Batak kala itu. Bahkan mereka

memproteksi diri dari kehidupan lain di luar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun

pada orang Batak Toba. Badan Zending ini yang membuka isolasi melalui pendidikan yang

ditularkan melalui pengajaran Agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya

minat orang Batak Toba melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal mendasar dari cita-cita

filosofi semua Orang Batak yaitu mengejar Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon (Kekayaan,

kehormatan dan kebahagian)adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan keinginan-keinginan

itu.

Sebelum injil masuk masyarakat Batak merupakan penyembah berhala. Kehidupan

agamanya bercampur antara menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Magis.

(49)

dikeramatkan. Masuknya Agama Kristen sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial

masyarakat, terutama bagi masyarakat Batak Toba. Agama Kristen masuk ke Tanah Batak

disiarkan oleh Misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwic Nommensen pada tahun

1824 dan Nommensen secara Kristiani digelari sebagai Apostel Batak. Nommensen tak dapat

dilupakan untuk tidak mencatatnya sebagai seorang yang telah berjasa membuka lembaran

sejarah baru suku Batak Toba.

Kedatangan etnis Batak Toba juga disebabkan keinginan orang Tapanuli Utara untuk

menyebarkan injil ke Tanah Pakpak.Penyebaran injil di Tanah Pakpak terjadi pada tahun 1911

yaitu melalui para pedagang kaum Kristen dari Tapanuli Utara. Penginjilan etnis Batak Toba

tidak dilakukan secara langsung akan tetapi melakukan pendek

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pelaksan~n upacara saur matua akan memerlukan waktu, uang yang banyak, tetapi dapat juga mcngikat persatuan bagi

IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (SIAK) DI KECAMATAN SALAK, KABUPATEN PAKPAK

Puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatdanrahmat-Nya serta kasih dan karuniaNya sehingga

Toba dan Batak Pakpak di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi”.Kajian ini menjelaskan tentang bagaimana interaksi yang terjadi di dalam kehidupan antara kelompok suku

Akan tetapi dari informasi yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat diketahui bahwa suku pertama yang mendiami desa Bangun adalah suku Batak Pakpak

suku Batak Pakpak yang pada umumnya menguasai atau mampu berbahasa daerah dari suku pendatang tersebut yaitu bahasa Batak Toba.. Walaupun daerah ini didiami oleh beberapa suku

Namun, walau demikian, interaksi komunikasi antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya juga bisa terhambat, apalagi dengan keluarga yang berbeda latar belakang budaya,

Lokasi penelitian penulis yaitu ambil di Desa Kuta Meriah, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat dimana daerah ini merupakan salah satu wilayah permukiman suku Pakpak