• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kepercayaan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Rumah Sakit Umum Swadana Tarutung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kepercayaan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Rumah Sakit Umum Swadana Tarutung"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN RUMAH SAKIT UMUM

SWADANA TARUTUNG

T E S I S

Oleh

ERNY SISKA SARIFAH MATONDANG 097032075/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN RUMAH SAKIT UMUM

SWADANA TARUTUNG

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERNY SISKA SARIFAH MATONDANG 097032075/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN RUMAH SAKIT UMUM SWADANA TARUTUNG

Nama Mahasiswa : Erny Siska Sarifah Matondang Nomor Induk Mahasiswa : 097032075

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (dr. Fauzi, S.K.M Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN RUMAH SAKIT UMUM

SWADANA TARUTUNG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

(6)

ABSTRAK

Kepercayaan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit erat hubungannya dengan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Berdasarkan survei pendahuluan di RSU Swadana Tarutung, ditemukan BOR (Bed Occupancy Rate) rumah sakit Tahun 2010 sebesar 41,88%. Pencapaian BOR yang belum maksimal diduga terkait dengan minat masyarakat yang rendah terhadap pemanfaatan rumah sakit.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan RSU Swadana Tarutung. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berdomisili di wilayah kerja RSU Swadana Tarutung, sebanyak 64.909 kepala keluarga. Sampel sebanyak 111 kepala keluarga diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner

dan dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel kepercayaan masyarakat berpengaruh terhadap pemanfaatan RSU Swadana. Variabel Sikap terhadap pelayanan kesehatan memberikan pengaruh paling besar terhadap terhadap pemanfaatan RSU Swadana Tarutung dengan nilai koefisien (B)=0,557.

Disarankan kepada manajemen RSU Swadana Tarutung dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara untuk: meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui promosi dan penyuluhan secara intensif menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat; mengupayakan pengadaan sarana dan fasilitas yang belum tersedia serta meningkatkan kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat

(7)

ABSTRACT

(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh

Kepercayaan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Rumah Sakit Umum Swadana Tarutung ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,

M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan

Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

(9)

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku ketua komisi pembimbing dan

dr. Fauzi, S.K.M selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu

untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes selaku

penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing,

mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari

proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah berkenan

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan

pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

7. Direktur beserta Staf RSU Swadana Tarutung yang telah berkenan memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

9. Herli Leo Aritonang, selaku Penanggungjawab Klinik Melati Mabar Medan yang

memberikan dukungan moril selama menyelesaikan pendidikan di Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas

(10)

10. Ayahanda Saut Matondang, S.H dan Ibunda Dewi Hutapea (alm) atas segala

jasanya sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.

11. Adik-adik tersayang: Albert Matondang, Elly Betharia Matondang, Lusi Arta

Matondang, S.Psi, Ani Bintang Tua Matondang, Martua Matondang yang penuh

pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta rasa cinta yang dalam setia

menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa

menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,

semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan

pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, September 2011 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Erny Siska Sarifah Matondang, lahir pada tanggal 2 Januari 1982 di Tarutung,

anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Saut Matondang, S.H

dan Ibunda Dewi Hutapea (alm).

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah

Dasar Negeri 2 Tarutung, selesai Tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 1 Tarutung, selesai Tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1

Tarutung, selesai tahun 2000. Fakultas Kedokteran di Universitas Methodist

Indonesia Medan, selesai Tahun 2008.

Mulai bekerja sebagai dokter di Klinik Melati Mabar Medan, tahun 2008

sampai Mei tahun 2011, sejak Juni 2011 bekerja sebagai dokter PTT-BSB di RSCM

Jakarta sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat

(12)

DAFTAR ISI

2.1 Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan .... 11

2.2 Tipe Umum dari Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan ... 13

(13)

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 49

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 44

3.6 Metode Pengukuran ... 46

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 46

3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 46

3.7 Metode Analisis Data ... 47

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

4.1.1 Sejarah Singkat Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung ... 50

4.1.2 Letak Geografi dan Demografi Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ... 51

4.1.3 Visi dan Misi Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ... 52

4.1.4 Tenaga Kesehatan dan Pelayanan di Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara ... 52

4.2 Identitas Responden ... 54

4.3 Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan ... 56

4.4 Sikap terhadap Pelayanan Kesehatan ... 59

4.5 Persepsi terhadap Pelayanan Kesehatan... 63

4.6 Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 67

4.7 Tabel Silang Pengetahuan, Sikap dan Persepsi dengan Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 68

4.8 Analisis Multivariat ... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ... 74

5.1 Pengaruh Sikap terhadap Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 74

5.2 Pengaruh Persepsi terhadap Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung 78 5.3 Pengaruh Pengetahuan terhadap Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 80

5.4 Pengaruh Kepercayaan terhadap Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 84

5.5 Analisis Kepercayaan Masyarakat di Wilayah Kerja RSU Swadana Tarutung tentang Kesehatan ... 86

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Distribusi Sampel menurut Kecamatan ... 41

3.2 Pengukuran Variabel Bebas ... 46

3.3 Pengukuran Variabel Terikat ... 47

4.1 Distribusi Identitas Responden Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung .... 55

4.2 Distribusi Pengetahuan Responden tentang RSU Swadana Tarutung ... 58

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan di Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung ... 59

4.4 Distribusi Sikap Responden tentang RSU Swadana Tarutung ... 62

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap tentang Pelayanan Kesehatan di Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung ... 63

4.6 Distribusi Persepsi Responden tentang RSU Swadana Tarutung ... 66

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi tentang Pelayanan Kesehatan di Wilayah kerja RSU Swadana Tarutung ... 67

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung 67 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 68

4.10 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 69

4.11 Hubungan Sikap dengan Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 70

4.12 Hubungan Persepsi dengan Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung ... 70

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Landasan Teori ... 37

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 97

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 103

3 Uji Univariat ... 106

4 Uji Bivariat ... 114

5 Hasil Uji Regresi ... 117

6 Dokumentasi ... 170

7 Surat Ijin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 171

8. Surat Ijin selesai penelitian dari RSUD. Perdagangan Kabupaten Simalungun ... 172

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155

(17)

ABSTRAK

Kepercayaan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit erat hubungannya dengan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Berdasarkan survei pendahuluan di RSU Swadana Tarutung, ditemukan BOR (Bed Occupancy Rate) rumah sakit Tahun 2010 sebesar 41,88%. Pencapaian BOR yang belum maksimal diduga terkait dengan minat masyarakat yang rendah terhadap pemanfaatan rumah sakit.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan RSU Swadana Tarutung. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berdomisili di wilayah kerja RSU Swadana Tarutung, sebanyak 64.909 kepala keluarga. Sampel sebanyak 111 kepala keluarga diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner

dan dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel kepercayaan masyarakat berpengaruh terhadap pemanfaatan RSU Swadana. Variabel Sikap terhadap pelayanan kesehatan memberikan pengaruh paling besar terhadap terhadap pemanfaatan RSU Swadana Tarutung dengan nilai koefisien (B)=0,557.

Disarankan kepada manajemen RSU Swadana Tarutung dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara untuk: meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui promosi dan penyuluhan secara intensif menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat; mengupayakan pengadaan sarana dan fasilitas yang belum tersedia serta meningkatkan kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kesakitan (morbiditas) pada masyarakat merupakan salah satu

indikator derajat kesehatan masyarakat. Tingginya angka kesakitan berkaitan dengan

tingkat pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit

Menurut riset WHO (2007) menemukan bahwa pemanfaatan pelayanan rumah

sakit pemerintah lebih tinggi dibandingkan rumah sakit swasta. Perbedaan tingkat

pemanfaatan tersebut berpengaruh terhadap tingkat efisiensi rumah sakit seperti :

jumlah tempat tidur, jumlah pelayanan rawat jalan, jumlah kunjungan (rawat jalan),

jumlah hari rawat (rawat inap), jumlah tindakan operasi, jumlah pemeriksaan

laboratorium serta jumlah pemeriksaan radiologi.

Pemanfaatan pelayanan rumah sakit di Indonesia ditunjukkan dari hasil

Riskesdas (2010), bahwa persentase rumah tangga yang memanfaatkan sarana rumah

sakit sebesar 40,0% untuk daerah perkotaan dan 22,0% untuk wilayah pedesaan.

Persentase pemanfaatan rumah sakit yang rendah pada wilayah perkotaan terkait

dengan perkembangan jumlah rumah sakit swasta, khususnya di kota-kota besar.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009),

pemanfaatan RSUD masih rendah, hal ini ditunjukkan dengan angka tingkat

pemanfaatan tempat tidur (BOR) pada 29 unit RSUD di Provinsi Sumatera Utara

(19)

RSUD Sultan Sulaiman (Kabupaten Serdang Bedagai) yaitu 9,0%, sedangkan paling

tinggi pada RSU Lubuk Pakam (Kabupaten Deli Serdang), yaitu 86,3%.

Menurut Ramsey dan Sohi dalam Sunanti (2007), kepercayaan merupakan

elemen penting yang berpengaruh pada kualitas suatu hubungan. Kepercayaan

konsumen terhadap penyedia jasa akan meningkatkan nilai hubungan yang terjalin

dengan penyedia jasa. Demikian juga Morgan dan Hunt dalam Sunanti (2007)

menyatakan bahwa tingginya kepercayaan akan dapat berpengaruh terhadap

menurunnya kemungkinan untuk melakukan perpindahan terhadap penyedia jasa lain.

WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku

tertentu adalah karena adanya alasan pokok, yaitu : pemikiran dan perasaan (thought

and feeling) yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap,

kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek sarana pelayanan

kesehatan (Sudarmo, 2008).

Rendahnya utilisasi (penggunaan) fasilitas kesehatan seperti rumah sakit,

seringkali kesalahan atau penyebabnya dilemparkan kepada faktor jarak antara

fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh (baik jarak secara fisik maupun

secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan sebagainya.

Pada kenyataannya di dalam masyarakat terdapat beraneka ragam kepercayaan

terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan

(Sudarmo, 2008).

Menurut Mohamad (2009), membangun kepercayaan ini jauh lebih penting

(20)

Judarwanto (2007) menganalisis, bahwa kepercayaan pasien terhadap dokter adalah

kunci utama keberhasilan penanganan suatu penyakit. Sebagian besar indikasi

berobat ke luar negeri adalah bukan karena keterbatasan alat dan kemampuan dokter,

tetapi karena permintaan keluarga pasien. Secanggih apapun sarana medis atau

sepintar apapun dokternya tidak akan berarti bila tidak ada rasa percaya. Saat ini

masyarakat kita kurang percaya terhadap mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia.

Mereka yang berpenghasilan menengah keatas lebih memilih menjalankan

pengobatan di luar negeri.

Menurut Notoatmodjo (2003), bentuk respons terhadap stimulus salah

satunya adalah dalam perilaku sakit, yaitu: (1) perilaku itu sendiri; (2) sekuensinya;

(3) tempat atau ruang lingkup; dan (4) variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan

medis. Arti keempat unsur tersebut dapat dikembangkan 5 konsep dasar yang berguna

dalam menganalisis perilaku sakit, yaitu: (1) mencari pertolongan medis dari berbagai

sumber atau pemberi layanan, (2) fragmentasi perawatan medis di saat orang

menerima pelayanan dari berbagai unit, tetapi pada lokasi yang sama,

(3) menangguhkan (procastination) atau menangguhkan upaya mencari pertolongan

meskipun gejala sudah dirasakan, (4) melakukan pengobatan sendiri (self

medication), (5) membatalkan atau menghentikan pengobatan (discontuniti).

Menurut Suchman dalam Notoatmodjo (2003), sekuensi peristiwa medis

dibagi atas 5 tingkat, yaitu: (1) pengalaman dengan gejala penyakit, (2) penilaian

terhadap peran sakit, (3) kontak dengan perawatan medis, (4) jadi pasien, dan

(21)

keputusan-keputusan dan melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan

dengan kesehatan. Pada tingkat permulaan terdapat 3 dimensi gejala yang menjadi

pertanda adanya ketidakberesan dalam diri seseorang. Pertama, adanya rasa sakit,

kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa dialami. Kedua, pengetahuan

seseorang tentang gejala tersebut mendorongnya membuat penafsiran-penafsiran

yang berkaitan dengan akibat penyakit serta gangguan terhadap fungsi sosialnya.

Ketiga, perasaan terhadap gejala tersebut berupa takut atau rasa cemas. Suchman

mengemukakan hipotesis bahwa perilaku medis yang terjadi pada setiap tahap

penyakit mencerminkan orientasi kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok

sosial.

Menurut Koalisi untuk Indonesia Sehat (2005), pelayanan kesehatan

mempunyai keunikan tersendiri, yaitu ciri sosial dan humanitarian. Pendekatan sosial

perlu dilakukan agar masyarakat mampu menolong dirinya agar sehat. Persoalan

perilaku terhadap kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh

kepercayaan terhadap sarana kesehatan dalam memberikan pelayanan.

Persepsi masyarakat terhadap sarana kesehatan seperti rumah sakit erat

hubungannya dengan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kedua pokok

pikiran tersebut akan memengaruhi atas dipakai atau tidak dipakainya fasilitas

kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi masyarakat belum baik tentang sarana

kesehatan, maka jelas masyarakat belum tentu mau menggunakan fasilitas yang

(22)

Upaya meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan di rumah sakit perlu

ditunjang dengan adanya penelitian-penelitian sosial budaya masyarakat, persepsi dan

perilaku masyarakat tersebut terhadap sarana kesehatan. Bila diperoleh data bahwa

masyarakat masih mempunyai persepsi yang salah tentang sarana kesehatan, maka

kita dapat melakukan upaya perbaikan melalui pendidikan kesehatan masyarakat.

Dengan demikian, pelayanan yang diberikan akan diterima oleh masyarakat (Koalisi

untuk Indonesia Sehat, 2005).

Menurut Fuchs dalam Laksono (2005), menyebutkan bahwa ada beberapa

faktor yang memengaruhi permintaan terhadap pelayanan kesehatan yaitu :

(1) kebutuhan berbasis fisiologis, faktor ini menekankan pada pentingnya keputusan

petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapatkan pelayanan

medis, (2) penilaian pribadi akan status kesehatan, faktor ini dipengaruhi oleh

kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat, faktor ini berakibat pada

penggunaan pelayanan kesehatan lain.

Penelitian Ariawan (2001) menyimpulkan bahwa rumah sakit yang mampu

menghargai pasiennya akan dapat meningkatkan kepercayaan pasien yang

dilayaninya. Tinggi rendahnya kepercayaan pasien dipengaruhi oleh tinggi rendahnya

intensitas komunikasi. Keterpaksaan yang dirasakan pasien akan berpengaruh negatif

terhadap kepercayaan pasien. Dengan demikian pihak rumah sakit yang senantiasa

membangun komunikasi yang berkualitas dengan pasien akan meningkatkan

(23)

komunikasi dengan baik maka dimungkinkan kepercayaan pasien tidak terbentuk

dengan baik.

Menurut Morgan dan Hunt dalam Ariawan (2001) aspek kepercayaan dalam

pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan tingkat keyakinan pasien terhadap

kemampuan pihak rumah sakit untuk memenuhi harapan-harapan pasien atau sejauh

mana pasien percaya terhadap keahlian yang dimiliki pihak rumah sakit. Hal tersebut

dapat ditunjukkan dengan keyakinan pasien terhadap kredibilitas rumah sakit,

jaminan pelayanan serta niat baik dari pihak rumah sakit.

Kepercayaan terhadap petugas kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu

faktor dari kepercayaan terhadap rumah sakit secara umum. Menurut Susilowati

(2011) kepercayaan merupakan poin penting bagi seorang perawat. Pelayanan

keperawatan yang baik saat ini bisa diukur melalui kepercayaan yang diberikan oleh

masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai standar praktik yang diberikan perawat,

kemudian etika serta profesionalismenya. Bila standar itu tidak terpenuhi, maka

masyarakat tidak percaya lagi.

Beberapa fakta di lapangan menunjukkan, masyarakat mulai kurang merasa

dilayani oleh pelayanan kesehatan. Rendahnya kepercayaan masyarakat ini, biasanya

terjadi berdasarkan pengalaman nyata mereka sendiri akan pelayanan keperawatan

yang pernah mereka terima Menumbuhkan kepercayaan, perawat harus menyadari

terlebih dulu hal apa yang menjadi kekuatan serta kelemahannya, dengan begitu akan

dimulai pergerakan ke arah kapabilitas yang lebih tinggi. Para perawat masa kini

(24)

sungguh-sungguh untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat dengan

bekerja berdasarkan nilai-nilai yang dihayati, nilai dasar sebagai manusia, melayani

dengan alturisme yang tinggi, dan selalu sadar diri dengan apa yang akan dilakukan

(Susilowati, 2011).

Pentingnya membangun kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit

menjadi perhatian penting bagi Persatuan Rumah Sakit Swasta Indonesia (PERSI),

dimana pada Seminar Nasional VIII tahun 2007 mengambil tema “ meningkatkan

kepercayaan masyarakat kepada rumah sakit melalui program keselamatan pasien”. Alasan pemilihan tema tersebut, berdasarkan kajian panitia pelaksana bahwa

sistem keselamatan pasien sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan pasien

merupakan issue yang tidak dapat ditawar lagi. Semua lembaga pelayanan kesehatan

wajib menerapkannya dalam segala aspek pelayanan (Persi, 2007).

Sarana kesehatan milik Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara adalah RSU

Swadana Tarutung yang terletak di Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Secara

fungsional RSU tersebut berada dibawah pengawasan Pemerintah Kabupaten

Tapanuli Utara melalui instansi terkait, yakni Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Utara. Dalam hal ini rumah sakit umum pemerintah dijadikan sebagai tolak ukur dan

obyek penelitian, karena rumah Sakit Umum Pemerintah dianggap sebagai sarana

kesehatan yang sentral di suatu daerah karena mempunyai keunikan, yakni teknik

medis yang berada di bawah koordinasi Departemen Kesehatan (Laksono, 2005).

Berdasarkan survei pendahuluan pada 10 orang masyarakat yang berdomisili

(25)

menyatakan tidak memanfaatkan RSU Swadana Tarutung apabila menderita suatu

penyakit atau pun sekedar melakukan pemeriksaan kesehatan (check up). Setelah

ditanyakan lebih lanjut tentang alasan mereka tidak menggunakan RSU Swadana

Tarutung, umumnya karena adanya keraguan masyarakat terhadap kemampuan

rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, atau petugas yang

melakukan pemeriksaan kesehatan tidak yakin terhadap hasil pemeriksaan yang

dilakukan oleh petugas kesehatan di rumah sakit.

Hasil survei pendahuluan tersebut menggambarkan keberadaan RSU Swadana

Tarutung sebagai sarana pelayanan kesehatan masih diragukan kemampuannya oleh

masyarakat. Keraguan masyarakat tentang kemampuan RSU Swadana Tarutung

menyebabkan persentase masyarakat yang memanfaatkan rumah sakit tersebut belum

maksimal, hal ini berdampak pada rendahnya indikator kinerja RSU Swadana

Tarutung. Beberapa indikator kinerja tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.1 berikut :

Tabel 1.1 Indikator Kinerja RSU Swadana Tarutung Tahun 2010

No Keterangan Tahun Standar

Depkes 2010 (%)

1 BOR (Bed Occupancy Rate) 41,88 70 - 85%

2 LOS ( Length of Stay) 5,30 7-0 hari

3 BTO (Bed Turn Over) 28,84 40 -50 x

4 TOI (Turn Over Interval) 7,35 1 -3 hari

Sumber : Profil RSU Swadana Tarutung tahun 2010

Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa penggunaan tempat tidur (BOR)

sebagai indikator utama kinerja rumah sakit, yang menunjukkan jumlah pasien yang

(26)

(2005), yaitu 70-85%. Dari seluruh indikator kinerja rumah sakit, hanya LOS

(Length of Stay) yang memenuhi standar yang ditetapkan Depkes.

Penyediaan berbagai pelayanan kesehatan pemerintah dihadapkan pada

masyarakat dengan berbagai karakteristiknya akan menjadi sebuah gambaran menarik

dalam menjelaskan upaya pembangunan yang menunjang peningkatan derajat

kesehatan manusia. RSU Swadana Tarutung dengan fasilitas yang dimiliki serta

tenaga kesehatan yang ada, sudah semestinya mengalami perkembangan yang pesat

dalam hal pemanfaatan oleh masyarakat.

Berdasarkan telaah di atas dan untuk mendapatkan bukti empirik, maka

diperlukan penelitian berkenaan dengan pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap

pemanfaatan RSU Swadana Tarutung.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah: “bagaimana pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap

pemanfaatan RSU Swadana Tarutung?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kepercayaan masyarakat

(27)

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan RSU Swadana

Tarutung.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi rumah sakit untuk menyesuaikan jenis dan kualitas

pelayanan dengan kebutuhan masyarakat di wilayah kerjanya

2. Penelitian ini memberi masukan bagi pengembangan teori-teori ilmu kesehatan

masyarakat, khususnya tentang pemanfaatan rumah sakit.

3. Menjadi dasar bagi peneliti selanjutnya guna memperkaya khasanah ilmu

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sebelum mulai membahas model utama dan kecendurungan dalam

menggunakan pelayanan kesehatan, kita akan memperhatikan konsep kerangka kerja

utama dari pelayanan kesehatan tersebut. Pada prinsipnya ada dua kategori pelayanan

kesehatan: (1) kategori yang berorientasi kepada publik (masyarakat) dan (2) kategori

yang berorientasi pada perorangan (pribadi).

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi,

imunisasi, kebersihan air, dan perlindungan kualitas udara. Pelayanan kesehatan

masyarakat lebih diarahkan langsung kearah publik dari pada kearah

individu-individu yang khusus. Di lain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung

kearah individu.

Seperti kebanyakan pengobatan, pelayanan kesehatan ditujukan langsung

kepada pemakai pribadi (individual costumer). Studi tentang penggunaan pelayanan

kesehatan dikaitkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Karena itu, kita

akan mengatasi bahasan kita mengenai penggukuran pelayanan kesehatan ke kategori

pelayanan kesehatan pribadi.

Anderson dan Newman (1973) membuat suatu kerangka kerja teoritis untuk

(29)

sangat penting dari artikel mereka adalah diterimanya secara luas defenisi dari

dimensi-dimensi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Anderson dan Newman (1973) menyamakan 3 dimensi dari kepentingan

utama dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu tipe, tujuan atau

maksud, dan unit analisis.

a. Tipe

Tipe digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan kesehatan antara satu

dengan yang lainnya. Anderson dan Newman menunjukkan bahwa ada perbedaan

kecendurungan-kecendurungan jangka panjang dan jangka pendek untuk berbagi tipe

dari pelayanan (seperti rumah sakit, dokter gigi, perawatan di rumah, dan lain-lain).

Mereka juga menunjukkan penemuan-penemuan riset bahwa faktor-faktor

penentu (determinan) individual bervariasi agak besar untuk penggunaan tipe-tipe

yang berbeda pelayanan kesehatan. Karena kedua faktor ini (cenderung dan faktor

penentunya berbeda) maka masuk akal bahwa satu komponen utama dalam

pengaturan pelayanan kesehatan menjadi tipe dari pelayanan kesehatan yang

digunakan.

b.Tujuan

Disini mereka menyerahkan 4 perbedaan dari perawatan: I primary, II

secondary, III tertiary, dan IV custodial. Perawatan I dikaitkan dengan perawatan

pencegahan (preventive care). Perawatan II dikaitkan dengan perawatan perbaikan

(pengembalian individu ke tingkat semula dari fungsionalnya). Perawatan III

(30)

panjang. Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan kebutuhan pribadi dari pasien

dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit.

c. Unit Analisis

Unit analisis merupakan dimensi ke-3 dalam rangka kerja Anderson dan

Newman yang mendukung 3 perbedaan diantara unit-unit analisis, yaitu: kontak,

volume, episode.

Alasan utama bagi perbedaan ini adalah bahwa ciri-ciri khas individu

mungkin menjadi tanggung jawab bagi sejumlah episode, sedangkan ciri-ciri khas

dari sistem pembebasan (khususnya pada dokter) mungkin menjadi tanggung jawab

utama bagi sejumlah akibat dari kontak kunjungan sebagai akibat dari setiap episode

penyakit. Jadi karena jumlah kontak, episode, dan volume pelayanan yang digunakan

ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda, maka pengukuran penggunaan pelayanan

kesehatan akan membuat suatu perbedaan di antara unit-unit pelayanan kesehatan

yang berbeda.

Sebagai contoh kita ingin mengukur pelayanan rumah sakit per 100 orang

dalam 1 tahun, jumlah kunjungan dokter dalam tahun tertentu atau presentasi orang

yang mengunjungi seorang ahli gigi dalam 1 tahun. Ketiga indikator ini telah dipakai

oleh Amerika dalam menguji kecenderungan penggunaan pelayanan kesehatan.

Untuk itu kita perlu menaruh perhatian pada pengertian sifat umum pengaturan

pelayanan kesehatan sebagaimana yang di cerminkan dalam konsep Anderson dan

(31)

2.2 Tipe Umum dari Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan

Sejumlah riset telah dilakukan ke dalam faktor-faktor penentu (determinan)

penggunaan pelayanan kesehatan. Kebanyakan dari riset inilah model-model adanya

penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan dan dilengkapi.

1. Tujuan Penggunaan Model Pelayanan Kesehatan

Anderson dan Newman (1973) menjelaskan bahwa model penggunaan

pelayanan kesehatan ini dapat membantu atau memenuhi satu atau lebih dari 5 tujuan

berikut.

a. Untuk melukiskan hubungan kedua belah pihak antara faktor penentu dari

penggunaan pelayanan kesehatan.

b. Untuk meringankan peramalan kebutuhan masa depan pelayanan kesehatan.

c. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelayanan dari pemakaian pelayanan

kesehatan yang berat sebelah.

d. Untuk menyarankan cara-cara memanipulasi kebijaksanaan yang berhubungan

dengan variabel-variabel agar memberikan perubahan-perubahan yang

diinginkan.

e. Untuk menilai pengaruh pembentukan program atau proyek-proyek pemeliharaan

atau perawatan kesehatan yang baru.

2. Tujuan Tipe-tipe Kategori Penggunaan Pelayanan Kesehatan

Tujuan tipe-tipe kategori dari model-model penggunaan pelayanan kesehatan

tersebut adalah kependudukan, struktur sosial, psikologi sosial, sumber keluarga,

(32)

a. Model demografi (Kependudukan)

Dalam model ini tipe variabel-variabel yang dipakai adalah umur, seks, status

perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang digunakan sebagai

ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks) dan siklus

hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa perbedaan

derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan

sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas.

Karakteristik demografi juga mencerminkan atau berhubungan dengan

karateristik sosial (perbedaan sosial dari jenis kelamin memengaruhi berbagai

tipe dan ciri-ciri sosial).

b. Model-model struktur sosial (social structur models)

Di dalam model ini tipe variabel yang dipakai adalah pendidikan, pekerjaan, dan

kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan sosial dari individu

atau keluarga di dalam masyarakat.

Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini,

yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama

dari model struktur sosial dari penggunaan pelayanan kesehatan adalah bahwa

kita tidak mengetahui mengapa variabel ini menyebabkan penggunaan

pelayanan kesehatan.

c. Model-model sosial psikologis (Psychological models)

Dalam model ini tipe variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan

(33)

(1). Pengertian kerentanan terhadap penyakit

(2). Pengertian keseluruhan dari penyakit

(3). Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi

penyakit

(4). Kesiapan tindakan individu

Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai

penyebab langsung antara sikap dan prilaku yang belum dapat dijelaskan.

d. Model sumber keluarga (family resource models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendapat keluarga, cakupan asuransi

keluarga atau sebagai anggota suatu asuransi kesehatan dan pihak yang membiayai

pelayanan kesehatan keluarga dan sebagainya. Karakteristik ini untuk menggukur

kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan

mereka.

e. Model sumber daya masyarakat (community resource models)

Pada model ini tipe model yang digunakan adalah penyediaan pelayanan kesehatan

dan sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan

kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber

daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada

ketersediaan sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat.

f. Model-model organisasi (organization models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan

(34)

1). Gaya (style) praktik pengobatan (sendiri, rekanan, atau grup)

2). Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak)

3). Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)

4). Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat

asisten dokter).

g. Model sistem kesehatan

Keenam kategori model penggunaan fasilitas kesehatan tersebut tidak begitu

terpisah, meskipun ada perbedaan dalam sifat (nature). Model sistem kesehatan

mengintegrasikan keenam model terdahulu ke dalam model yang lebih sempurna.

Untuk itu maka demografi, ciri-ciri struktur sosial, sikap, dan keyakinan individu

atau keluarga, sumber-sumber di dalam masyarakat dan organisasi pelayanan

kesehatan yang ada, digunakan bersama dengan faktor-faktor yang berhubungan

seperti kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas

(negara). Dengan demikian apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan

penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga

faktor-faktor yang terlibat didalamnya.

h. Model kepercayaan kesehatan (The health belief models)

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosio-psikologis

seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa

problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau

masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit

(35)

yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior), yang

oleh Becker (1974) dikembangkan dari teori lapangan (Lewin, 1954) menjadi

model kepercayaan kesehatan (health belief model).

Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan

sosial (masyarakat). Di dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif

maupun negative, di suatu daerah atau wilayah terentu. Apabila seseorang

keadaannya atau berada pada daerah positif, maka berarti ia ditolak dari daerah

negatif. Implikasinya di dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit adalah suatu

daerah negatif sedangkan sehat adalah wilayah positif.

Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada

empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang

dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya

melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut.

1). Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)

Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus

merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan

kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila

seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit

tersebut.

2). Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu

(36)

atau masyarakat. Penyakit polio, misalnya, akan dirasakan lebih serius

dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan pencegahan polio akan lebih

banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) flu.

3). Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers)

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk pentakit-penyakit yang dianggap

gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini

tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan

dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih

menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam

melakukan tindakan tersebut.

4). Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan,

kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa

faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya, pesan-pesan pada media

massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit,

dan sebagainya.

i. Model sistem kesehatan (health system model)

Anderson (1974) menggambarkan model sistem kesehatan (health system

model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Di dalam model Anderson ini

terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan yakni karakteristik,

predisposisi, karakteristik pendukung, karekteristik kebutuhan. Faktor-faktor yang

(37)

Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sumber: Anderson, 1974

a. Predisposisi individu (predisposing factor)

Masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan karakteristik

pasien yang telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik ini meliputi :

ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan tentang kesehatan (Anderson,

1974).

b. Enabling factor

Faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu

memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor pendukung ini antara lain, pendapatan,

asuransi kesehatan dan ketercapaian sumber pelayanan kesehatan yang ada. Bila

Predisposing Enabling Need

(38)

faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan

kesehatan yang ada pada saat sakit. Penderita penyakit yang tergolong berat

(misalnya harus operasi atau rawat inap di rumah sakit), maka kondisi ekonomi

merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan

(Anderson, 1974).

c. Karakteristik kebutuhan (need factor)

Faktor ini lebih menitikberatkan pada masalah apakah individu beserta keluarganya

merasakan adanya penyakit, atau kemungkinan untuk terjadinya sakit. Kebutuhan

diukur dengan “perceived need” dan “evaluated need” melalui : jumlah hari

individu tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang

status kesehatannya (Anderson, 1974).

Salah satu faktor dalam predisposisi individu (predisposing factor) yang

menentukan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kepercayaan

tentang kesehatan (health belief). Kepercayaan tentang kesehatan terkait dengan

aspek persepsi, sikap dan pengetahuan tentang penyakit dan pelayanan kesehatan.

2.3. Kepercayaan

Deutsch dalam Bruhen (2003) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan

suatu pihak akan menemukan apa yang diinginkan dari pihak lain bukan apa yang

ditakutkan dari pihak lain. Mayer, Davis dan Schoorman dalam Bruhen (2003)

menyatakan bahwa kepercayaan adalah kemauan dari salah satu pihak untuk menjadi

(39)

Hansen dalam Bruhen (2003) berpendapat bahwa kepercayaan merupakan keyakinan

mutual dari kedua pihak bahwa diantara keduanya tidak akan memanfaatkan

kelemahan pihak lain. Costabile dalam Bruhen (2003) kepercayaan atau trust

didefinisikan sebagai persepsi akan keterhandalan dari sudut pandang konsumen

didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi

yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan.

Definisi diatas memberikan beberapa elemen penting yaitu kesedian dari salah

satu pihak untuk menjadi tidak berdaya, keyakinan bersama bahwa diantara mereka

tidak akan saling memanfaatkan kelemahan mitranya, serta adanya harapan bahwa

pihak lain dapat memberikan kepuasan atas kebutuhannya. Dapat dikatakan menurut

berbagai definisi tersebut bahwa dalam situasi kepercayaan terdapat unsur resiko

yang biasanya dikaitkan dengan hasil keputusan yang diambil. Sumber resiko tersebut

adalah pada keinginan dan kesediaan pihak yang terlibat untuk bertindak tepat.

Secara umum bagi industri jasa, dasar dari hubungan jangka panjang dengan

konsumen ada pada kepercayaan konsumen terhadap organisasi. Kepercayaan

merupakan inti dari kompleksitas hubungan antar manusia. Konsep ini mewakili

komponen hubungan kualitas yang berpusat pada masa depan. Kepercayaan dapat

dikatakan eksis ketika ada kerelaan konsumen untuk bersandar sepenuhnya pada

perilaku perusahaan dimasa depan (Bruhn, 2003).

Dalam upaya pembentukan kepercayaan ini dibutuhkan salah satu pihak yang

(40)

dari keputusan yang diambil. Unsur ketidakpastian ini banyak terjadi dalam bidang

jasa karena keunikan jasa seperti telah disebutkan diatas.

Sebagaimana dikatakan oleh Shostack (1977), bahwa karyawan atau petugas

sering dipandang sebagai jasa itu sendiri maka interaksi antara karyawan dengan

konsumen yang didasarkan pada kepercayaan berpengaruh secara positif bagi

perusahaan karena hubungan ini akan menciptakan nilai bagi konsumen yang pada

gilirannya akan medorong kesetiaan. Kepercayaan merupakan konsep yang

memfokuskan diri pada masa depan, yang memberikan suatu jaminan bahwa patner

termotivasi untuk tidak beralih dalam konteks pertukaran dengan pihak lain (Gurviez

dan Korchia, 2003)

Secara psikologi kepercayaan merupakan suatu keyakinan dan kemauan atau

dapat juga disebut sebagai kecenderungan perilaku (Delgado-Ballester et al., 2003),

sehingga faktor kepercayaan merupakan variabel kunci dalam hubungan antara suatu

organisasi dengan mitra kerjanya (Morgant & Hunt, 1994).

Beberapa proses yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan adalah

(Doney & Canon dalam Bruhn, 2003) adalah :

a. Proses yang terkalkulasi. Menurut proses ini pihak tertentu yakin pada

perilaku positif pihak lain ketika manfaat dari perilaku negatif pihak yang

sama memiliki konsekuensi biaya yang lebih rendah.

b. Proses prediktif. Kepercayaan menurut proses ini sangat bergantung pada

(41)

c. Proses kemampuan. Proses ini berkaitan erat dengan perkiraan kemampuan

pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.

d. Proses intensi. Menurut proses ini kepercayaan didasarkan pada tujuan dan

intensi pihak lain serta ini mengacu pada penilaian pihak lain diluar

pihak-pihak yang terlibat dalam proses.

Mengacu pada pada beberapa jenis proses diatas terdapat persamaan penting

didalamnya yakni bahwa proses penumbuhan kepercayaan membutuhkan

kemampuan mengantisipasi perilaku pihak lain dalam hubungan konsumen-produsen.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kesuksesan karyawan lini depan dalam

menghantarkan jasa yang ditawarkan sangat ditentukan oleh hubungan pertukaran

internal antar bagian dalam organisasi.

Djati dan Ferrinadewi (2004), menyatakan bahwa terdapat dimensi pada

manusia dalam jasa merupakan variabel kunci dalam penciptaan kepercayaan

konsumen pada bidang jasa. Proposisi ini didasarkan pada pemikiran bahwa

kemampuan usaha jasa untuk mengantisipasi keinginan konsumen merupakan fokus

dari keseluruhan aktivitas jasa yang ditujukan untuk mendorong komitmen

konsumen, terutama pada usaha jasa dengan tingkat interaksi yang tinggi antara

konsumen dan penyedia jasa. Usaha jasa dengan tingkat interaksi yang tinggi dengan

konsumen membuat satu-satunya sumber pengalaman konsumen dengan kinerja jasa

adalah pada proses interaksi yang mereka jalani. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa

(42)

sumber stimulus bagi persepsi konsumen ada pada proses interaksi tersebut (Djati dan

Ferrinadewi, 2004).

2.4 Persepsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) persepsi diartikan sebagai:

(a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui

beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006, secara etimologis,

persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian:

(a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan

langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan

peristiwa-peristiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan

sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi

sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.

Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka

pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ;

(b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari

lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau

rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak

menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar

mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang

(43)

Menurut Zastrow et al (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul

akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu

objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan

berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu

rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.

Persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi

dalam setiap kesempatan, disengaja atau tidak, Persepsi sebagai “suatu proses

penerimaan informasi yang rumit, yang diterima atas diekstraksi manusia dari

lingkungan, persepsi termasuk penggunaan indra manusia”. Kemp dan Dayton dalam

Prawiradilaga dan Eveline (2004) menyatakan persepsi “ sebagai satu proses dimana

seseorang menyadari keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”.

Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indra untuk menyerap objek-objek

serta kejadian di sekitarnya. Pada akhirnya, persepsi dapat memengaruhi cara

berpikir, bekerja, serta bersikap pada diri seseorang. Hal ini terjadi karena orang

tersebut dalam mencerna informasi dari lingkungan berhasil melakukan adaptasi

sikap, pemikiran, atau perilaku terhadap informasi tersebut (Prawiradilaga dan

Eveline, 2004).

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan

namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling

menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang

muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan

(44)

yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada

kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi

2.5 Pengetahuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI (2006) kata “tahu” berarti

mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari

pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta

kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat

memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber

pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo

(2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness ( kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

(45)

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.6 Sikap

Thurstone dalam Azwar (2007), mendefinisikan sikap sebagai derajat afek

positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude

senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. LaPierre dalam Azwar (2007)

mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif,

predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,

sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty &

Cacioppo dalam Azwar (2007), menyatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat

manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu.

Menurut Fishben & Ajzen dalam Dayakisni & Hudaniah (2003), sikap sebagai

predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu

berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah

(2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku

seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian

tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu

(46)

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran:

a. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis

Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut

mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap

seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak

(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

(unfavorable) pada objek tersebut.

b. Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,

Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok

pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap

suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan

kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila

individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

c. Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema

triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan

konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di

dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku

terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif

(47)

Definisi sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk

pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku

individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu,

bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap

yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi

juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat

sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Azwar, 2007).

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. (1) sikap positif

adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat

berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif

terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi

negatif terhadap stimulus yang telah diberikan.

Struktur sikap dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang (Azwar,

2007). Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap yaitu sebagai komponen

kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan)

(Kothandapani, 2004).

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu.

Dalam berinteraksi sosial, individu beraksi membentuk pola sikap tertentu terhadap

berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang memengaruhi sikap

(48)

(a) Pengalaman pribadi

Pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba atau mengejutkan yang

meninggalkan kesan paling mendalam pada jiwa seseorang. Kejadian-kejadian dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama-kelamaan

secara bertahap diserap kedalam individu dan memengaruhi terbentuknya sikap.

(b) Pengaruh orang lain

Dalam pembentukan sikap pengaruh orang lain sangat berperan. Misal dalam

kehidupan masyarakat yang hidup di pedesaan, mereka akan mengikuti apa yang

diberikan oleh tokoh masyarakatnya.

(c) Kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pembentukan sikap. Dalam kehidupan di masyarakat, sikap masyarakat diwarnai

dengan kebudayaan yang ada di daerahnya.

(d) Media massa

Media masa elektronik maupun media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap

pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dengan pemberian informasi melalui

media masa mengenai sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi

terbentuknya sikap.

(e) Faktor emosional

Sikap yang didasari oleh emosi yang fungisnya hanya sebagai penyaluran

(49)

merupakan sikap sementara, dan segera berlalu setelah frustasinya hilang, namun

dapat juga menjadi sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

Komponen kebutuhan yang ”dirasakan” (perceived need), di ukur dengan

perasaan subjektif individu terhadap pelayanan kesehatan. Jadi secara umum dapat

dikatakan bahwa faktor kebutuhan (need) merupakan penentu akhir bagi individu

dalam menentukan seseorang memanfaatkan pelayanan kesehatan (Andersen, 1975).

2.7 Masyarakat

Pengertian masyarakat dalam konteks pemanfaatan pelayanan kesehatan

rumah sakit dapat ditelaah dari pengertian menurut Soerjono (2006), bahwa

masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mempunyai kebudayaan yang

sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia

tersebut.

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang

yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian

besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.

Sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.

Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu

sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok

orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur (Soerjono, 2006).

Secara umum masyarakat digambarkan sebagai bentuk integrasi fungsional,

(50)

atas nilai-nilai. Adapun ketertiban sosial terjadi dalam masyarakat karena setiap

individu yang ada dalam masyarakat tersebut memiliki pemikiran bahwa dengan

kerjasamalah segala keinginan masing-masing individu dapat tercapai. Dalam

pandangan ini ditekankan, bahwa tarik-menarik, solidaritas, integrasi, kerjasama, dan

stabilitas dalam masyarakat dipersatukan karena kesamaan budaya, dan kesepakatan

atas norma dan nilai yang sama (Soerjono, 2006).

Sebagai mana telah dijelaskan dalam pengertian masyarakat, maka ciri-ciri

masyarakat itu sendiri adalah: kesatuan antar individu (gabungan dari beberapa

individu), menempati suatu wilayah tertentu, terdapat sistem yang berlaku dan telah

disepakati bersama, terdapat interaksi antar sesamanya.

Adanya kecenderungan perbedaan pemanfaatan pemanfaatan pelayanan

kesehatan pada suatu kelompok masyarakat dapat ditelaah sebagai akibat perbedaan

tingkatan (strata) pada masyarakat. Stratifikasi dalam masyarakat mengacu kepada

definisi stratifikasi sosial menurut beberapa pendapat pakar sosiologi. Menurut

Hewitt dan Mitchell dalam Bahrein (1997) menyatakan bahwa stratifikasi sosial

adalah tingkat perbedaan individu dalam masyarakat yang mana dalam sistem sosial

tertentu sebagai superior maupum inferior. Sedangkan menurut Marx dan Weber

dalam Bahrein (1997) mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan pencerminan

dari organisasi sosial suatu masyarakat. Soerjono (2006) menyatakan stratifikasi

sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan

adanya jenjang secara bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut akan

(51)

Dari ketiga pengertian diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa

strtatifikasi sosial adalah cara pembedaan masyarakat berdasarkan jenjang atau strata

tertentu yang bertingkat-tingkat, dari mulai strata terendah sampai dengan tertinggi.

2.8 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah rumah sakit milik pemerintah

Kabupaten/Kota yang diperuntukkan memberikan pelayanan kesehatan bagi

masyarakat di wilayahnya (PP No 41 thn 2007).

Rumah Sakit Daerah adalah Rumah Sakit milik pemerintah propinsi,

kabupaten/kota yang berlokasi di daerah propinsi, kabupaten, dan kota.

Pemerintah daerah adalah Kepala daerah beserta perangkat daerah otonom lain

sebagai badan eksekutif daerah dan sebagai unsur pelaksana pemerintah daerah

Propinsi, Kabupaten dan Kota dibidang kesehatan adalah Dinas Kesehatan. Dalam

pengelolaannya rumah sakit publik berdasarkan pengelolaan badan layanan umum

atau daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (PP No 41 thn

2007).

Rumah sakit daerah berkedudukan sebagai lembaga teknis daerah yang

dipimpin oleh kepala dengan sebutan direktur yang berada dibawah dan bertanggung

jawab kepada kepala daerah, melalui sekretaris daerah.

Tugas dan fungsi rumah sakit daerah menurut Keputusan Menteri Dalam

(52)

1.Tugas rumah sakit daerah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan

berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang

dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan serta pencegahan

dan melaksanakan upaya rujukan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil

guna dengan mengutamakan penyembuhan (kuratif), pemulihan (rehabilitatif),

upaya peningkatan (promotif) dan pencegahan terjadinya penyakit (preventif) serta

melaksanakan upaya rujukan. Melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai

standar pelayanan rumah sakit

2.Fungsi rumah sakit sebagai penyelenggara: pelayanan medis, pelayanan penunjang

medis dan non medis, pelayanan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan,

pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan penelitian dan pengembangan,

pengelolaan administrasi dan keuangan.

Jumlah personel pada rumah sakit daerah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuan Rumah Sakit Daerah berdasarkan beban kerja, azas manfaat,

efisiensi dan efektivitas serta bersifat hemat struktur dan kaya fungsi.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, rumah sakit daerah mempunyai hubungan

koordinatif dan fungsional dengan dinas kesehatan dan dalam pelayanan kesehatan

mempunyai hubungan jaringan pelayanan terkait dengan institusi pelayanan

kesehatan lainnya.

Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin meningkat

(53)

masyarakat. Dalam beberapa tahun belakangan ini, industri rumah sakit Indonesia

telah mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan diterbitkannya berbagai

peraturan dan perundang-undangan yang bertujuan untuk mendorong investasi dan

menciptakan kondisi bisnis dan jasa rumah sakit yang lebih baik.

Pada tahun 2008, jumlah rumah sakit di Indonesia mencapai 1.320 rumah

sakit (Depkes, 2009), atau bertambah sebanyak 86 rumah sakit dari posisi tahun 2003.

Dari total 1.320 rumah sakit ini, 657 diantaranya adalah milik swasta dengan rata-rata

pertumbuhan jumlah rumah sakit per tahun sekitar 1,14%. Sisanya merupakan rumah

sakit yang dibangun oleh pemerintah (Depkes, Pemprov/Pemkab/Pemkot, TNI/Polri,

dan BUMN).

2.9 Landasan Teori

RSUD Swadana Tarutung sebagai sarana kesehatan milik pemerintah di

wilayah Kabupaten Tapanuli Utara ditujukan untuk melayani masyarakat atau

penduduk di wilayahnya. Dengan demikian. seyogianya penduduk yang

membutuhkan pelayanan kesehatan memanfaatkan jasa pelayanan rumah sakit

tersebut. Konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan rumah sakit sebagai sarana

pelayanan kesehatan mengacu teori Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2005),

(54)

Gambar 2.2 Landasan Teori

Sumber : Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2005)

Kepercayaan kesehatan (health belief) sebagaimana dikemukakan Anderson

(1974), mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yaitu meliputi: penilaian

terhadap status sehat sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang

penyakit. Sehubungan dengan kajian dalam penelitian ini tentang pemanfaatan rumah

sakit, maka aspek sikap, persepsi dan pengetahuan difokuskan tentang rumah sakit.

Pemanfaata n Pelayanan Karakteristik Predisposisi

a. Demografi

(umur, jenis kelamin, status perkawinan) b. Struktur sosial

(Pendidikan, ras, pekerjaan, jumlah keluarga, suku, agama, perpindahan tempat tinggal) c. Kepercayaan Kesehatan

(Penilaian (persepsi) terhadap status sehat sakit, sikap terhadap pelayanan kesehatan,

Karakteristik Pendukung

a. Kemampuan keluarga

(penghasilan, asuransi kesehatan, sumber lain, dukungan keluarga dan teman) b. Komunitas

(jumlah sarana pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, rasio penduduk dengan tenaga kesehatan dan lokasi)

)

Karakteristik Kebutuhan

a. Perasaan subjektif tentang penyakit

(jumlah hari sakit, gejala dan keluhan yang dirasakan)

b. Evaluasi klinis

(55)

2.10 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun

kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Pemanfaatan RSU Swadana Tarutung Kepercayaan

a.Sikap terhadap pelayanan kesehatan

b.Persepsi tentang pelayanan kesehatan

(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan explanatory

yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kepercayaan terhadap pemanfaatan RSU

Swadana Tarutung.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja RSU Swadana Tarutung pada

Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara, meliputi 15 kecamatan dengan

pertimbangan bahwa pemanfaatan RSU Swadana Tarutung masih rendah.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (dua) bulan, mulai dari penyusunan

proposal sampai seminar hasil penelitian, yaitu mulai dari bulan Juli sampai

September 2011.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi sebagai unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh kepala

keluarga yang berdomisili di wilayah kerja RSU Swadana Tarutung, sebanyak 64.909

(57)

3.3.2 Sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus Slovin (Notoatmodjo, 2003), sebagai berikut :

Dengan demikian besarnya sampel sebagai berikut :

2

Menghindari sampel yang drop out, maka perlu dilakukan koreksi terhadap

besar sampel yang dihitung, dengan menambahkan sejumlah sampel agar besar

sampel tetap terpenuhi dihitung menggunakan rumus (Sudigdo dan Ismael, 2002) :

ni

Keterangan: n = besar sampel yang dihitung (100) = n / (1-f)

f = perkiraan proporsi drop out (10%)

Perhitungan : ni

Berdasarkan rumus perhitungan besar sampel di atas, maka diperoleh jumlah

sampel sebanyak 111 KK. Menentukan jumlah sampel setiap kecamatan di wilayah

kerja RSU Swadana Tarutung dilakukan dengan metode proporsional pada kecamatan

Gambar

Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Gambar 2.2 Landasan Teori
Tabel 3.1 Distribusi Sampel menurut Kecamatan
Tabel 3.2 Pengukuran Variabel Bebas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan fakta empiris tentang pelayanan kesehatan pada RSGMP FKG USU Medan dirasakan perlu dilakukan penelitian yang akan menganalisis persepsi pasien tentang kualitas

RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan sistim pelayanan keperawatan dengan metode tim sejak tahun 2007, namun pelaksanaanya yang tidak konsisten menyebabkan pasien merasa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan di RSUD Karanganyar dinilai dari tiga indikator yaitu prosedur pelayanan, kemampuan petugas, dan

2 Petugas Poliklinik menjelaskan prosedur untuk kelancaran pelayanan saat pasien membutuhkan 3 Petugas Poliklinik memberikan penjelasan atau. informasi tentang

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa ada hubungan pengetahuan tentang Poliklinik USU, sikap terhadap Poliklinik USU, persepsi terhadap tindakan petugas kesehatan,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor konsumen (persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan poli bedah, diagnosa klinis) dan provider (sikap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor konsumen (persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan dan diagnosa klinis) dan faktor penyedia pelayanan

Variabel penelitian ini adalah pengetahuan, aksesibilitas, fasilitas pelayanan, waktu pelayanan, sikap petugas kesehatan, persepsi ibu tentang kondisi kehamilan, dan pemanfaatan