• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Program Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK

DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

DISUSUN OLEH:

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013-2014

(2)

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrohim

Assalaamua’laikum warohmatullaahi wabarokaatuh

Puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini serta dapat menyempurnakan penulisan skripsi ini dengan baik yang berjudul “Implementasi Program

Pengurangan Pekerja Anak di Kota “Layak Anak” Medan”.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna baik dari sisi substansi maupun redaksi, untuk itu kepada berbagai pihak yang turut mengambil peran dalam membantu menyelesaikan laporan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

1. Teristimewa untuk sang motivator Almarhumah Ibu 2. Teristimewa untuk pembimbing terbaik Bapak

3. Teristimewa buat Kak Yuki dan Kak Devi, kita masih memiliki banyak tugas penting sebagai anak.

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

(3)

ii

6. Bapak Drs. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 8. Dosen Penguji Bapak Dadang Darmawan, S.Sos., M.Si yang memberi banyak

saran-saran hebat dalam penelitian ini.

9. Ibu Dra. Nurlela Ketaren, M.SP selaku dosen wali

10. Seluruh dosen di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

11. Seluruh jajaran staf di lingkungan Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya kak Mega dan kak Dian. 12. Ibu Rosmalinda, Kak Yana, Kak Lia, dan Bang Mahlil di Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak, yang mengarahkan dan memberikan banyak data dalam penelitian ini.

13. Kepada Rizky, Sholeh, Adit, dicky, Nicolas, Cahyono, Sammuel, Adit, Zakaria, Umar, Roni. Banyak pelajaran hidup yang sangat berharga dari kalian pekerja anak jalanan. Semoga walaupun kalian berada di jalanan cita-cita kalian bisa ditempatkan setinggi langit.

14. Ibu Dra. Akrida dan Bapak Timbul di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan yang telah memberikan banyak informasi penting dalam penelitian ini 15. Buat para sahabat sekaligus keluarga saya: Bobby Trimart Gea, David Ajay

(4)

iii

16. Manulang, Ade Auristha Gea, Petra Rosjuwita, Christine AD Batubara, Mariance Hasibuan.

17. Buat teman-teman Magang terkompak Kelompok III Desa Timbang Jaya, Langkat: Geni Iryenti Putri, David Ajay Saputra, Fahmi Nasution, Bobby Trimart Gea, Junita Friska Capah, Christine AD Batubara, Muda Rahmansyah, Petra Rosjuwita, Susanti Lona, Agustiana Padang, dan Elvina Gulo.

18. Terkhusus buat Susanti Silalahi, Bobby Trimart Gea, David Ajay Saputra, Ade Auristha, Junita Friska Capah yang membantu melaksanakan FGD. 19. Buat teman-teman seperjuangan, seluruh AN 2010 tanpa terkecuali.

20. Buat keluarga besar UKM Tenis Meja Universitas Sumatera Utara, semoga Go Internasional.

Akhir kata, terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini maupun selama masa perkuliahan.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, amin.

(5)

iv

ABSTRAKSI

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

Skripsi ini disusun oleh:

NAMA : MAULANA ALL RAVI SIREGAR

NIM :100903024

DEPARTEMEN : ILMU ADMINISTRASI NEGRA

FAKULTAS : ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PEMBIMBING : Dra. ASIMA YANTI SIAHAAN, MA., PhD

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi konvensi ILO 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elemination of the Worst Forms Child Labour. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Berdasarkan masalah tersebut penelitian ini ingin melihat implementasi program penghapusan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan yang pada tahun 2012 telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sebagi kota “Layak Anak” kategori pratama. Penelitian dilakukan dengan studi terhadap pekerja anak jalanan di kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer yaitu: wawancara terhadap informan kunci, Focused Group Discussion (FGD) terhadap informan utama yaitu pekerja anak jalanan, observasi, serta pengumpulan data sekunder lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah kota Medan terhadap permasalahan pekerja anak, program penghapusan pekerja anak satu-satunya adalah program nasional pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung keluarga harapan (PPA-PKH) tahun 2011 yang dikembangkan dengan menjangkau 50 (lima puluh) kabupaten/kota pada 13 (tiga belas) provinsi. Tantangan utama dalam mengatasi permasalahan pekerja anak di kota Medan adalah sulitnya mendapatkan data jumlah pekerja anak yang akurat, oleh karena itu peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting di kota Medan dalam memenuhi informasi jumlah pekerja anak maupun sebagai pelaku pengurangan pekerja anak di kota Medan.

(6)

v

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Fokus Masalah 6

1.3. Rumusan Masalah 7

1.4. Tujuan Penelitian 7

1.5. Manfaat Penelitian 8

1.6. Definisi Konsep 8

1.7. Sistematika Penulisan 10

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Implementasi Kebijakan

2.1.1 Implementasi Kebijakan Anak 11 2.1.2 Model Kebijakan Penanggulanagan Pekerja Anak 14 2.1.3 Persfektif Implementasi Kebijakan 15 2.1.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan 16 2.2 Pekerja Anak Jalanan

2.2.1 Pengertian Anak Jalanan 18

2.2.2 Pengelompokkan Anak Jalanan 19 2.2.3 Karakteristik Pekerja Anak Jalanan 20

(7)

vi BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Bentuk Penelitian 24

3.2 Lokasi Penelitian 25

3.3 Informan Penelitian 25

3.4 Teknik Pengumpulan Data 26

3.5 Teknik Analisis Data 36

3.6 Pengujian Kredibilitas Data 37

3.7 Etika Penelitian 38

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Kota Medan 40

4.1.1 Situasi Pekerja Anak Jalanan di Kota Medan 44 4.1.2 Penyebab Anak Bekerja di Jalanan 54 4.1.3 Pengembangan Kota “Layak Anak” Medan 62

4.2 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja 63

4.3 Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan 68

BAB V PROGRAM PEMERINTAH KOTA MEDAN

(8)

vii

5.2 Kesenjangan Program Penghapusan Pekerja Anak

di Kota Medan 96

5.3. Citra Buruk Pemerintah Kota Medan di Mata Pekerja

Anak Jalanan 101

BAB VI PERAN MASYARAKAT DAN PUSAT KAJIAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

6.1 Hilangnya Perhatian Pemerintah Terhadap Pekerja

Anak Jalanan 104

6.2 Kepedulian Masyarakat Terhadap Pekerja Anak Jalanan 107 6.3 Penanganan Pekerja Anak Jalanan Yang Dilakukan

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak 108

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan 114

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Karakteristik Umum Pekerja Anak jalanan

dan Anak yang Hidup di Jalanan 21

Tabel III.1 Data Informan Focus Group Discussiom (FGD)

Pekerja Anak Jalanan 32

Tabel III.2 Tim Pelaksanaan FGD 32

Tabel IV.1 Penduduk Menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin tahun 2011 43

Tabel IV.2 8 Kecamatan dengan Jumlah Pekerja Anak Tertinggi 46

Tabel IV.3 Jenis Pekerjaan Anak Jalanan 48

Tabel V.1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin

di Kota Medan Tahun 2006-2010 97

Tabel V.2 Kesempatan Kerja dan Lapangan Kerja tahun 2012 99

Tabel VI.1 Persebaran Wilayah Pekerja Anak Dampingan PKPA

dan KNH (Kinder Not Hilfe) 109

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1 Gambar Pelaksanaan Focused Group Discussion 29

Gambar III.2 Gambar Pelaksanaan Focused Group Discussion 30

Gambar IV.1 Pekerja Anak Jalanan di Simpang Terminal Amplas

Sedang Membersihkan Angkutan Kota Hingga Menjelang Malam 50

Gambar IV.2 Pekerja Anak Jalanan Sedang Mencari Angkutan

Umum untuk Dibersihkan 53

Gambar IV.3 Faktor Terbesar yang Mendorong Anak Menjadi

Pekerja Anak Jalanan 55

Gambar IV.4 Skema Proses Munculnya Pekerja Anak Jalanan

Yang Dipengaruhi Oleh Teman (faktor eksternal) 60

Gambar IV.5 Bagan Organisasi Dinas Tenaga Kerja Kota Medan 68

Gambar IV.6 Struktur Unit SKA-PKPA 73

Gambar V.1 Bagan mekanisme program PPA-PKH 77

Gambar V.2 Struktur Organisasi Tim Pelaksana PPA-PKH di

Kabupaten/Kota 78

Gambar V.3 Tahap Pendampingan program PPA-PKH 84

Gambar V.4 Bagan Penerima Manfaat Program PPA –PKH 85

Gambar V.5 Skema Hubungan Peran Selama di Shelter 90

Gambar V.6 Gambar Pekerja Anak Jalanan dan Satpol PP dalam FGD 102

Gambar V.10 Diagram Venn, pihak-pihak yang memperhatikan

(11)

iv

ABSTRAKSI

IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN PEKERJA ANAK DI KOTA “LAYAK ANAK” MEDAN

Skripsi ini disusun oleh:

NAMA : MAULANA ALL RAVI SIREGAR

NIM :100903024

DEPARTEMEN : ILMU ADMINISTRASI NEGRA

FAKULTAS : ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PEMBIMBING : Dra. ASIMA YANTI SIAHAAN, MA., PhD

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi konvensi ILO 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elemination of the Worst Forms Child Labour. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Berdasarkan masalah tersebut penelitian ini ingin melihat implementasi program penghapusan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan yang pada tahun 2012 telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sebagi kota “Layak Anak” kategori pratama. Penelitian dilakukan dengan studi terhadap pekerja anak jalanan di kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer yaitu: wawancara terhadap informan kunci, Focused Group Discussion (FGD) terhadap informan utama yaitu pekerja anak jalanan, observasi, serta pengumpulan data sekunder lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah kota Medan terhadap permasalahan pekerja anak, program penghapusan pekerja anak satu-satunya adalah program nasional pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung keluarga harapan (PPA-PKH) tahun 2011 yang dikembangkan dengan menjangkau 50 (lima puluh) kabupaten/kota pada 13 (tiga belas) provinsi. Tantangan utama dalam mengatasi permasalahan pekerja anak di kota Medan adalah sulitnya mendapatkan data jumlah pekerja anak yang akurat, oleh karena itu peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting di kota Medan dalam memenuhi informasi jumlah pekerja anak maupun sebagai pelaku pengurangan pekerja anak di kota Medan.

(12)

1

BAB I

1.1 Latar Belakang

Penegakkan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak saat ini masih sangat memprihatinkan, seperti data situasi anak yang di konfirmasi dari laporan yang disampaikan oleh lembaga-lembaga di dunia menunjukkan problematika anak belum menarik banyak pihak untuk membelanya. Anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahkan juga kultur domestik.

United Nation Children’s Fund (UNICEF), badan PBB yang mengurusi masalah anak mencatat fakta mengenai anak di dunia yang sangat mengkhawatirkan. Sekitar 250 juta anak tersebar dalam arus pasar kerja. Anak-anak yang bekerja di pasar kerja tersebut bukan di sektor perburuhan saja, tetapi juga pasar kerja sektor informal, yang secara garis besar bekerja di 3 wilayah besar, yaitu : buruh anak, anak jalanan, dan pelacuran anak (Bulian Jufri, 2006:3).

(13)

Kondisi ini menempatkan anak sebagai alasan bagi keterbatasan orang-orang dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Himpitan hidup dan peningkatan tuntutan hidup semakin meluaskan kesempatan untuk mengorbankan anak-anak sehingga mereka menganggap dunia pendidikan tidak lagi penting untuk masa depan anak-anaknya. Daerah yang menjadi pusat pekerja anak tersebut biasanya daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan kumuh.

Tingginya populasi anak yang tersebar dalam arus pasar kerja secara nasional juga belum mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak saat ini menjadi cerminan negara belum mampu melaksanakan perlindungan terhadap generasi penerus bangsa. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memperkirakan pada tahun 2006, terdapat sekitar 2,1 juta buruh anak yang bekerja di Industri dan sekitar 150 ribu anak jalanan dengan konsentrasi terbanyak terdapat di kota-kota besar seperti, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan (Misran Lubis dkk, 2010:1)

(14)

“Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengarahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukkan porno. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak” (Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:118).

Sebagai tindak lanjut ratifikasi konvensi tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (KAN-PBPTA), dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA) yang dalam salah satu amanatnya adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat daerah baik secara pre-preventif maupun represif. Salah satu program yang telah dilahirkan dari kebijakan tersebut adalah program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH). Melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) tersebut Indonesia telah menargetkan bebas pekerja anak pada tahun 2016 (Undang-Undang Perlindungan Anak, 2003:182).

(15)

daerah dalam ruang lingkup yang lebih kecil tentunya harus memperhatikan situasi yang dihadapi, karena setiap daerah memiliki permasalahan pekerja anak yang berbeda-beda. Perbedaan permasalahan pekerja anak di setiap daerah tersebut dapat dilihat dari berbagai sektor yang menjadi pusatnya pekerja anak, seperti di kota Medan lebih kepada persoalan anak dipekerjakan di sektor industri dan anak yang bekerja di jalanan, sedangkan Deliserdang di sektor perkebunan, dan Serdang Bedagai di sektor lepas pantai.

Kompleksnya permasalahan anak di kota Medan menjadikan kota Medan sebagai salah satu kota yang melaksanakan program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH) di Indonesia, selain itu pemerintah kota Medan juga telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan PUHA (pemenuhan hak anak) seperti Perda No.6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis serta Praktik Tuna Susila di Kota Medan. Perwal No.11 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Perda No.6 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita (KIBBLA) di Kota Medan, Kepwal No.463.K/2011 tentang Penetapan Kawasan Kelurahan Layak Anak di Kota Medan Tahun 2011. Sehingga pada tahun 2012 pemerintah pusat melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia telah memberikan penghargaan kepada kota Medan sebagai “Kota Layak Anak” Kategori Pratama atau Kategori baik di Indonesia (www.pemkomedan.go.id)

(16)

banyak permasalahan anak di kota Medan yang terabaikan haknya, menjadi korban segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan tindakan kurang manusiawi, bahkan jumlah anak terlantar dan anak jalanan semakin sering dijumpai, misalnya anak terlantar yang turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara meminta-minta, tukang asongan, menjual koran, dan tukang semir sepatu

(Observasi penelitian di terminal Pinang Baris, 4 April 2014)

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena anak adalah tunas bangsa dan generasi penerus. Kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kelanjutan pembangunan nasional akan sangat ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak. Untuk mencapai tingkat perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, maka anak harus terbebas dari hal-hal yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak seperti mempekerjakannya pada pekerjaan yang terburuk bagi anak.

Berdasarkan masalah tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul,

Implementasi program pengurangan pekerja anak di kota “Layak Anak”

Medan. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan apa

(17)

1.2 Fokus Masalah

Fokus masalah dalam penelitian kualitatif lebih didasarkan pada tingkat kepentingan masalah yang akan di pecahkan, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan masalah terhadap implementasi program pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung program keluarga harapan (PPA-PKH) yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan dan peranan masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat seperti Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dalam pengurangan pekerja anak.

(18)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1 Bagaimana situasi kehidupan pekerja anak jalanan di kota Medan? 2 Apa yang menjadi penyebab anak bekerja di jalanan?

3 Bagaimana Implementasi program Pengurangan Pekerja Anak (PPA-PKH) di kota Medan?

4 Bagamana peran serta masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya pengurangan pekerja anak di kota Medan?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui situasi kehidupan pekerja anak jalanan di kota Medan. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab anak bekerja dijalanan.

3. Untuk mengetahui implementasi program pengurangan pekerja anak (PPA-PKH) yang dilakukan pemerintahan kota Medan.

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Manfaat Secara Ilmiah

Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.

2. Manfaat Secara Praktis

Untuk menambah pengetahuan dan informasi tentang implementasi dari program pengurangan pekerja anak yang dilakukan di kota Medan terhadap pekerja anak jalanan.

3. Manfaat Secara Akademis

Untuk memperkaya khasanah ilmiah dan memberikan kontribusi secara langsung dalam penelitian-penelitian sosial khususnya bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.6. Definisi Konsep

(20)

Adapun tujuan adanya konsep adalah untuk mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Untuk mendapatkan batasan yang jelas dalam penelitian ini, adapun konsep yang digunakan adalah

1. Implementasi kebijakan publik merupakan wujud tindakan administratif dari rumusan kebijakan yang merupakan tindakan politik sehingga memudahkan tujuan-tujuan dari kebijakan agar bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Implementasi program pengurangan pekerja anak adalah wujud tindakan nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan pengurangan pekerja anak yang dikeluarkan pemerintah yang menjadikan pekerja anak sebagai sasaran kebijakan.

2. Pekerjaan terburuk bagi anak merupakan kegiatan atau pekerjaan apapun yang menurut sifat dan jenisnya, dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap keselamatan, kesehatan fisik ataupun mental, atau perkembangan moral anak-anak.

3. Pekerja Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya lebih dari 7 jam dalam sehari untuk melakukan kegiatan ekonomi sehari-hari di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.

(21)

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, fokus masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konsep, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analis data, pengujian kredibilitas data,dan etika penelitian.

BAB IV PROGRAM PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM

PENGHAPUSAN PEKERJA ANAK

BAB V PERAN STRATEGIS MASYARAKAN DAN PUSAT KAJIAN

DAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENGHAPUSAN

PEKERJA ANAK

BAB VI Penyajian Hasil Penelitian dan Analisis Temuan

Bab ini menguraikan proses dan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan yang nantinya akan dianalisis oleh peneliti.

(22)
(23)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian (Sugiyono, 2005:55). Untuk itu perlu disusun suatu kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan dari mana sudut masalah tersebut disorot. Dalam penelitian kualitatif, teori yang diajukan memang bukanlah sebagai jawaban terhadap fenomena yang diangkat melainkan lebih sebagai perspektif. Adapun yang menjadi kerangka dasar dalam penelitian ini adalah:

2.1 Implementasi Kebijakan

2.1.1 Implementasi Kebijakan Anak

(24)

perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Dari penjelasan tersebut implementasi merupakan wujud tindakan administratif yang sebelumnya merupakan rumusan kebijakan berupa tindakan politik sehingga membentuk kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan dari kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan, organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah yang menempatkan program kedalam tujuan kebijakan, dan penerapan, yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya (Tangkilisan, 2003:18)

Sedangkan kebijakan publik adalah hal-hal yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Fredrickson dan Hart di dalam (Tangkilisan, 2003:19) mengatakan Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah di dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang di inginkan.

(25)

mungkin terjadi. Oleh karena itu, kebijakan yang sangat baik sekalipun jika diimplementasikan buruk akan gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya.

Kebijakan anak di Indonesia memerlukan kerangka hukum yang kuat untuk mencegah dan menangani kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak. Kerangka hukum tersebut harus menunjuk lembaga pemerintah dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas terhadap penanganan dan penyediaan layanan perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan untuk memastikan keselarasan peraturan daerah (perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir 500 kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk menetapkan peraturannya sendiri.

(26)

Mengatasi permasalahan anak diperlukan kebijakan yang isinya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Menurut Jones kebijakan yang disusun harus menguraikan beberapa isi, yaitu tujuan, rencana, program, keputusan dan efek.

a. Tujuan yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah tujuan tetapi hanyalah sekedar keinginan, setiap orang pastinya boleh menginginkan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara keinginan hanya diperhitungkan bila ada usaha untuk mencapainya.

b. Rencana atau proposal merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya.

c. Program merupakan cara tertentu yang telah mendapatkan persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud

d. Keputusan merupakan tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

e. Efek atau dampak merupakan akibat yang timbul dari suatu program di dalam masyarakat (Zainal Abidin, 22:21).

2.1.2 Model-Model Kebijakan Penangulangan Pekerja Anak Jalanan

Model-model pendekatan penanggulangan Pekerja anak jalanan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah:

1 Child based services yaitu model pendekatan yang menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan

2 Institutional based services yaitu model pendekatan berbasis panti sosial 3 Family based services yaitu model pendekatan yang menjadikan keluarga

sebagai basis dan sasaran utama pelayanan

4 Community based services yaitu model pendekatan menempatkan masyarakat sebagai pusat pelayanan

5 Location based services/street based services yaitu model pendekatan yang memberikan pelayanan pada lokasi anak yang mengalami masalah

6 Half- way house services yaitu model pendekatan semi panti sosial

(27)

2.1.3 Perspektif Implementasi Kebijakan

Menurut George Edward di dalam (Tangkilisan, 2003) implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach. Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni:

1. faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan,

2. faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan?

Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi

1. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga mengurangi distorsi implementasi.

2. Sumberdaya

(28)

tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4. Stuktur birokrasi

Stuktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standard (SOP) yang menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak.

2.1.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan

(29)

kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik.

Proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.

(30)

2.2 Pekerja Anak Jalanan

2.2.1 Pengertian Anak Jalanan

Istilah anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan di jalanan, Istilah anak jalanan pertama kali di perkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan. Anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau kriminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent, istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, sedangkan istilah bekerja di jalanan adalah istilah bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga (Misran Lubis dkk, 2011:5).

(31)

mereka, baik itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah.

Aktivitas yang dilakukan anak jalanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu, parkir mobil, kernet, ojek payung, pekerja seks hingga berkeliaran tidak tentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di tempet-tempat atau pusat keramaian misalnya, terminal, stasiun, perempatan jalan, pelabuhan, tempet hiburan Plaza, dan sebagainya (Bagong Suyanto, 2003:185)

2.2.2 Pengelompokkan Anak di Jalanan

Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok (Bagong Suyanto, 2003:185) yaitu: Pertama, Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka untuk membantu ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

(32)

menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan buruk, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah menjalani kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

2.2.3. Karakteristik Pekerja Anak Jalanan

(33)

Ada perbedaan karakteristik antara anak yang bekerja dijalanan dan anak yang hidup di jalanan, perbedaan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut,

Tabel II.1

Karakteristik Umum Pekerja Anak jalanan dan Anak yang Hidup di Jalanan

Pekerja Anak Jalanan Anak yang Hidup di Jalanan

Waktu berada di jalan 7-12 jam Waktu dijalan 24 jam Masih memiliki hubungan dengan

keluarga

Putus hubungan dengan keluarga

Tinggal bersama orang tua atau mengontrak bersama teman-teman

Tempat tinggal dijalan, menggunakan semua fasilitas yang ada di jalanan

Sebagian kecil masih bersekolah dan sebagian besar putus sekolah

Putus sekolah

Masih saling mengontrol satu dengan lainnya sesama pekerja anak maupun masyarakat setempat

Tidak serius bekerja, jika memiliki uang lebih digunakan untuk berjudi, merokok, atau kencan dengan teman wanita yang berfrofesi sebagai PSK

Lari dari rumah karena keinginan pribadinya tidak terpenuhi, keluarga berantakan atau sering mendapatkan tindakan kekerasan di rumah

Kedua orang tua meninggal/tidak ada saudara yang mengurus

(34)

2.3. Pengertian Kota Layak Anak

Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2005 melalui kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.

Kota Layak Anak juga sering disebut juga Kota Ramah Anak, kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama untuk menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak (Hamid Patilima, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia).

Kota Ramah Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak :

1 Keputusannya mempengaruhi kotanya

2 Mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan 3 Dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial 4 Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan

5 Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik

6 Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah 7 Aman berada di jalanan

(35)

9 Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan 10 Hidup di lingkungan yang bebas polusi

11 Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial

(36)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat suatu penjelasan, gambaran atau lukisan sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta fenomena yang diselidiki. Analisis dilakukan terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi.

Menurut Lexy J. Moleong (2005:4) Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Dilakukan dengan cara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang khusus dan alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

(37)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kantor Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, dan beberapa titik lokasi di kota Medan yang dijadikan anak sebagai tempat untuk beraktivitas sebagai pekerja anak jalanan yaitu, sekitar terminal terpadu Amplas dan terminal Pinang Baris.

3.3 Infoman Penelitian

Dalam Penelitian Kualitatif, tidak menggunakan istilah populasi dan sampel seperti dalam penelitian kuantitaif. Dalam penelitian kualitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitatif dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi tersebut (Sugiyono, 2008:297).

Menurut Burhan Bungin (2007:108), informan merupakan orang yang meguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan informan kunci (key informan), informan biasa, dan informan tambahan. Informan dalam penelitian ini, yaitu :

1 Informan kunci, yaitu Dinas Sosial dan tenaga kerja Kota Medan 2 Informan utama, yaitu pekerja anak jalanan di Kota Medan

(38)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1 Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang diperoleh melalui :

1.1 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari key informan yang berkaitan dengan program pengurangan pekerja anak yang bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang memilikli kedudukan tertentu karena dianggap dapat menjawab segala sesuatu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.

Peneliti mengunakan cara wawancara tidak terencana atau unstan- dardized interview atau wawancara tidak terstruktur. Mallinowski dalam (Burhan Bugin, 2001;134) menunjukkan sangat pentingnya wawancara tidak tersetruktur dalam melakukan penelitian di lapangan dibandingkan wawancara berstruktur yang memiliki dua kelemahan yang diistilahkan capital offense. Selain itu, esensi interaksi dalam wawancara lebih berfungsi untuk mencari pemahaman dibanding menjelaskan, maka lebih tepat mengunakan wawancara tidak berstruktur.

(39)

Peneliti tidak percaya dengan begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan mencari pembuktian selanjutnya. Itulah sebabnya pengecekan dilakukan silih berganti dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan, atau dari informan yang satu ke informan lainnya.

Wawancara dilakukan terhadap Key informan yaitu Ibu Dra. Akrida (kepala bidang pengawasan Ketenagakerjaan). Adapun wawancara dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu tanggal 12 Maret 2014, tanggal 26 Maret 2012, dan tanggal 25 April 2014. Wawancara juga dilakukan kepada Bapak Timbul Tampubolon (bagian bina program) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan pada tanggal 26 Maret 2014 mengenai program Penghapusan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung Progran Keluarga Harapan (PPA-PKH) sebagai program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang di laksanakan oleh pemerintah kota Medan.

1.2 Focus Group Discussion (FGD)

(40)

metode kualitatif lainnya (direct observation, indepth interview, dsb) FGD berupaya menjawab jenis-jenis pertanyaan how-and why (Irwanto, 1988:1).

Focus Group Discussion (FGD) dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh pekerja anak jalanan di kota Medan dan manfaat yang diperoleh memalui program-program penghapusan pekerja anak yang selama ini dilakukan pemerintah kota Medan, sehingga dapat dilihat dan dianalisis seberapa efektif pengimplementasian dari program tersebut. Focus Group Discussion (FGD) digunakan sebagai proses pengumpulan data dalam penelitian ini karena dianggap lebih efektif, dengan situasi keakraban antara peneliti dan informan diharapkan memudahkan proses pengumpulan data.

Pengumpulan data dalam FGD dilakukan dengan menggunakan beberapa pertayaan dan juga teknik yang memudahkan anak memahami permasalahan. Teknik-teknik yang digunakan adalah

1 Diagram Venn

(41)

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (PBPTA) di kota Medan.

Gambar III.1 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak PKPA terminal Pinang Baris saat menggunakan teknik Diagram Venn

Diagram venn digunakan dengan cara menyusun beberapa lingkaran dengan salah satu pusat lingkaran menggambarkan pekerja anak jalanan, dan beberapa lingkaran lainnya yang berukuran berbeda yang nantinya akan disusun untuk menggambarkan seberapa penting dan sering pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan terhadap mereka.

(42)

lingkaran seperti bermain dan untuk mengatasi beberapa anak yang tidak mengerti menulis atau membaca.

2 Menunjukkan photo berkaitan dengan permasalahan

Gambar III.2 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak Jalanan terminal Pinang Baris dengan menggunakan teknik penggunaan photo.

(43)

Kelompok sasaran dalam penelitian ini adalah pekerja anak jalanan yang berada di kota Medan. Oleh karena itu, FGD dilakukan terhadap anak jalanan yang bekerja disekitar terminal Pinang Baris yang selama ini menjadi salah satu wilayah yang memiliki jumlah pekerja anak terbanyak di Kota Medan. Pemilihan tempat FGD di terminal Pinang Baris untuk memenuhi kriteria pekerja anak jalanan yang dikelompokkan sebagai childdren on the street, children of the street, dan Children from families of the street.

Peneliti dibantu oleh Sanggar Kreativitas Anak Jalanan Pusat Kajian Perlindungan Anak (SKA PKPA) yang berlokasi di Jalan TB. Simatupang Gg. Rambutan Nomor 2 (Pinang Baris) Medan, yang selama ini memfasilitasi anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak di sekitar terminal Pinang Baris Medan. Anak yang diikutsertakan dalam proses FGD adalah mereka yang digolongkan sebagai pekerja anak yang paling beresiko mendapatkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dengan rata-rata bekerja selama 7 jam setiap harinya.

Tabel III.1

Data Informan Focus Group Discussiom (FGD) Pekerja Anak Jalanan

NO NAMA UMUR PPEKERJAAN DI JALANAN

1 Rizky 15 thn Mengantar papan bunga/penyapu angkot 2 M. Sholeh 13 thn Menyapu angkot

(44)

7 Samuel 13 thn Menyapu angkot 8 Adit 8 thn Menyapu angkot 9 Zakaria 10 thn Menyapu angkot 10 Umar 13 thn Menyapu angkot 11 Roni 12 thn Menyapu angkot Sumber: Focused Group Discussion, 5 Maret 2014

Tabel III.2

Tim Pelaksanaan FGD

1 orang moderator Sebagai fasilitator diskusi

2 orang pencatat proses Orang yang tekun mengamati proses FGD, dan membantu moderator

1 orang mendokumentasikan proses

1 orang sebagai penghubung peserta

Yaitu koordinator SKA-PKPA bapak Ali

2 orang bloker mencegah pengaruh-pengaruh negatif seperti anak-anak yang tidak fokus dalam diskusi.

Logistik dilakukan bersama-sama sebelum FGD Sumber: Focused Group Discussion, 5 Maret 2014

Pelaksanaan Focused Group Discussion (FGD) dibagi menjadi 4 (empat) topik utama, yaitu :

1 Penyebab anak turun kejalan untuk bekerja.

Teknik yang digunakan adalah dengan memberikan pertayaan yaitu kenapa memilih turun ke jalan sebagai pekerja anak?. pertanyaan diberikan kepada setiap anak.

(45)

Teknik yang digunakan juga dengan memberikan beberapa pertayaan yang sama kepada setiap anak seperti :

a. Bahaya seperti apa yang paling sering pekerja anak hadapi saat menjadi pekerja anak di jalanan?

b. Bentuk tindakan kekerasan oleh orang dewasa yang sering dihadapi? c. Bagamana persahabatan di dalam komunitas pekerja anak?

3 Pihak-pihak yang sering memperhatikan pekerja anak jalanan ditunjukkan melalui hasil Diagram venn.

4 Seberapa jauh Pekerja Anak mengenal Pemerintah dengan menggunakan teknik penggunaan photo.

(46)

1.3 Metode observasi

Obsevasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan dilapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Observasi (Burhan Bungin, 2008:115) adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi di beberapa tempat yang menjadi titik berkumpulnya pekerja anak jalanan di kota Medan, yaitu terminal Amplas, dan terminal Pinang Baris. Observasi yang dilakukan merupakan observasi non partisipasi dimana peneliti tidak melibatkan secara langsung dirinya sebagai kelompok yang diteliti. Peneliti secara pribadi mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek, peneliti juga terlebih dahulu menguasai ilmu tentang objek secara umum dari apa yang hendak diamati terutama melalui FGD (Burhan Bungin, 2008:116,117)

Teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observasi perlu melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. (Margono, 2007:159)

(47)

ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga. Melalui pengamatan dilapangan, peneliti ingin memperoleh kesan-kesan pribadi dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti, sehingga peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial untuk mendapatkan pandangan yang holistik atau menyeluruh.

2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang di peroleh dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki hubungan dengan masalah yang di teliti.

b. Studi dokumentasi, yaitu pengumpulan data yang di peroleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut masalah yang di teliti dengan instansi terkait.

3.5 Teknik Analisis Data

(48)

menyusun dalam satu satuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya dan memeriksa keabsahan dan serta menafsirkannya dengan analisis dengan kemampuan nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

Miles dan Huberman dalam (Sugiyono, 2009:246) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Dalam melakukan analisis data, ada langkah-langkah yang dilakukan, yaitu:

1. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Penarikan kesimpulan

(49)

3.6 Pengujian Kredibilitas Data

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti yang merupakan hal dominan dalam penelitian kualitatif. alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi partisipasi), sumber data kualitatif yang kurang kredible akan mengurangi hasil akurasi penelitian (Burhan Bungin, 2008:253).

Sehubungan dengan itu Moleong mencoba membangun teknik pengujian keabsahan yang ia beri nama teknik pemeriksaan yaitu :

1. Perpanjangan keikutsertaan 2. Menemukan siklus kesamaan data 3. Ketekunan pengamatan

4. Triangulasi Peneliti, Metode, Teori, dan Sumber Data 5. Pengecekan melalui diskusi

6. Kajian kasus negatif 7. Pengecekan anggota tim 8. Kecukupan referensi 9. Uraian rinci

10. Auditing

(50)

triangulasi metode, teori, dan sumber data, dan pengecekkan melalui diskusi yang dilakukan terhadap staf Pusat Kajian dan Perlindungan Anak yaitu Ibu Rosmalinda, Bapak Mahlil Lubis. Serta

3.7 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti tetap berpedoman terhadap etika

penelitian. Etika penelitian adalah prinsip-prinsip etik dalam pengelolahan penelitian mulai dari penetapan topik dan masalah sampai penyajian hasil penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian, etika penelitian digunakan pada setiap tahap penelitian.

Dalam penyusunan proposal, peneliti mencari refrensi buku guna melengkapi teori yang akan peneliti bawa dalam penelitian dan penulisannya dengan jujur. Peneliti juga mencari tahu masalah dalam keganjalan yang ada di lembaga yang peneliti teliti melalui internet. Setelah mendapat hal-hal yang ingin dicari tahu kebenarannya, peneliti kemudian meminta izin penelitian ke lembaga yang akan peneliti teliti, yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Medan dan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA).

(51)
(52)

41

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 KOTA MEDAN

Sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan di Indonesia, yang memiliki kedudukan, fungsi, dan peranan strategis sebagai pintu gerbang utama bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan secara regional atau internasional di kawasan barat Indonesia, kota Medan secara administratif pemerintahan saat ini terdiri dari 21 Kecamatan dengan 151 Kelurahan, yang terbagi atas 2.001 lingkungan. Berdasarkan batas wilayah administratif, kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisi secara ekonomi regional kota Medan sangat penting karena berada dalam wilayah hinterland dengan basis ekonomi sumberdaya alam yang relatif besar dan beragam, serta dukungan kepelabuhanan (LAKIP Kota Medan, 2012:11).

Pemerintahan kota Medan terdiri dari organisasi dan satuan kerja perangkat daerah, yang menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi, serta membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas kepala daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan dan Kelurahan.

(53)

memberikan inspirasi dan mengarahkan semua pihak (stakeholder) untuk bergerak dalam satu arah dan tujuan pembangunan kota, sehingga merupakan acuan dan pedoman bagi perumusan dan penetapan tujuan di masa depan. Visi juga merupakan sumber inspirasi bagi formulasi dan implementasi kebijakan serta pengembangan program pembangunan kota dalam jangka pendek dan menengah kota Medan yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan penting dalam pembangunan baik dalam skala lokal maupun regional. berdasarkan kekuatan, potensi, tantangan, dan masalah serta harapan wujud pembangunan kota lima tahun ke depan, visi pembangunan kota Medan adalah: ”Kota Medan Menjadi Kota Metropolitan yang Berdaya Saing, Nyaman, Peduli, dan Sejahtera” (LAKIP Kota Medan, 2012:29).

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan kota yang ditetapkan dan sekaligus mempertegas tugas, fungsi dan tanggungjawab seluruh pelaku pembangunan, baik oleh penyelenggara pemerintahan daerah maupun masyarakat selama lima tahun ke depan, maka misi yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabel.

2. Meningkatkan penataan prasarana dan sarana perkotaan yang serasi dan seimbang untuk semua kawasan kota.

(54)

4. Mewujudkan penataan lingkungan perkotaan yang bersih, sehat, nyaman, dan religius.

5. Meningkatkan kualitas masyarakat kota (LAKIP Kota Medan, 2012:30).

Laju pertumbuhan penduduk kota Medan dari tahun 2005 menunjukkan trend menurun atau perlambatan pertambahan penduduk. Penurunan laju pertumbuhan penduduk antara lain didorong oleh pelaksanaan pengendalian penduduk melalui program keluarga berencana, dan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya norma keluarga kecil sejahtera (LAKIP kota Medan, 2012:12,13).

Jumlah penduduk kota Medan pada akhir tahun 2011 mencapai 2,117.224 jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,1% per tahun, jika dibandingkan dengan sensus penduduk 2010, terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.614 jiwa dengan luas wilayah kota Medan mencapai 265,10 km². sehingga kota Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi (Medan dalam Angka, 2012:39)

(55)

Tabel IV.1

Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin tahun 2011

Golongan Umur

Laki-Laki Perempuan

Jiwa Persen Jiwa Persen

0-5 116.566 11,14 109.775 10,25

6-12 138.064 13.19 128.672 12.02

13-15 58.709 5.61 57.367 5.36

16-18 61.303 5.86 64.336 6.01

Sumber: Medan dalam Angka, 2012:48

Penduduk kota Medan memiliki ciri keragaman (pluralitas) baik dari agama, suku etnis, budaya dan adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter penduduk kota Medan yang bersifat terbuka dan dinamis. Perkembangan kependudukan kota Medan pada saat ini juga ditandai oleh proses transisi demografi, yaitu proses penurunan tingkat kesuburan sampai terciptanya jumlah penduduk yang stabil. Penurunan tingkat kelahiran antara lain disebabkan oleh perubahan pola fikir dan perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, perbaikan gizi dan status kesehatan juga mempengaruhi penurunan tingkat kematian. Pada akhir proses transisi demografi, tingkat kelahiran dan kematian tidak banyak berubah sehingga jumlah penduduk cenderung tidak berubah, kecuali adanya migrasi.

(56)

fenomena penglaju di kota Medan, menyebabkan jumlah penduduk pada siang hari lebih banyak, yaitu sekitar 2,5 juta jiwa dibandingkan jumlah penduduk pada malam hari yang diperkirakan sekitar 2,1 juta jiwa. Penyebab utama fenomena penglaju di kota Medan adalah adanya pandangan bahwa,

1. Bekerja di kota lebih bergengsi

2. lebih mudah mencari pekerjaan di kota

3. tidak ada lagi yang dapat dikerjakan (diolah) di daerah asalnya, dan

4. upaya mencari nafkah yang lebih baik. Dengan demikian, besarnya dorongan untuk menjadi penglaju tentunya berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan pelayanan umum yang harus disediakan secara keseluruhan

4.1.1 SITUASI PEKERJA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

Jalanan merupakan tempat yang berbahaya bagi anak, terutama untuk perkembangan moral anak. Kehidupan yang keras diperkotaan memaksa anak-anak jalanan melakukan berbagai pekerjaan di sektor informal untuk bertahan hidup, baik yang legal maupun yang ilegal dimata hukum. Pekerjaan yang biasa mereka lakukan adalah bekerja sebagai penyapu angkot, pedagang asongan, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas, mengamen, dan sebagian dari mereka terlibat pada jenis pekerjaan yang kriminal seperti mengompas dan mencuri (Bagong Suyanto, 2003:185).

(57)

pekerja anak, baik pekerja anak yang berada di kota Medan maupun yang datang dari luar kota Medan. Namun, populasi pekerja anak sangat sulit didapatkan karena tidak adanya data yang akurat berkaitan dengan populasi anak jalanan di kota Medan. Kesulitan tersebut lebih dikarenakan adanya mobilitas anak dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan tidak memiliki jam aktifitas yang sama (Misran Lubis dkk, 2010:15).

Menurut Dinas Sosial provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 terdapat 663 anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak bekerja di kota Medan, pendataan PKPA tahun 2010 di kota Medan terdapat 420 anak jalanan baik yang bekerja maupun tidak bekerja, sementara lembaga swadaya masyarakat Madya Insani yang pada tahun 2009 telah melakukan perhitungan cepat populasi anak jalanan diseluruh kota Medan telah mendata 800-900 anak jalanan dari 21 Kecamatan yang aktif bekerja dan belum termasuk anak-anak yang bekerja paruh waktu (Misran Lubis dkk, 2011;15)

Tabel IV,2

8 Kecamatan dengan Jumlah Pekerja Anak Tertinggi

NO Kecamatan Jumlah Pekerja Anak

1 Medan Johor 57 anak

2 Medan Amplas 81 anak

3 Medan Kota 94 anak

(58)

7 Medan Barat 53 anak 8 Medan Belawan 61 anak

Sumber:

Kecamatan Belawan pekerja anak terdapat di pelabuhan terbesar untuk wilayah pantai timur Indonesia. Sedangkan pekerja anak di kota Medan lebih banyak berasal dari daerah pinggiran kota yang bekerja di pusat-pusat keramaian di inti kota Medan seperti persimpangan jalan, pasar, dan terminal bus. Berdasarkan data diatas persebaran pekerja anak di kota medan dapat disimpulkan hampir merata di setiap kecamatan walaupun hanya ada 8 kecamatan yang memiliki jumlah pekerja anak jalanan diatas 50 anak.

Tempat berkumpulnya pekerja anak jalanan di kota Medan terkosentrasi di dua terminal terpadu di kota Medan yaitu terminal Pinang Baris dan terminal Amplas. Terminal Terpadu Pinang Baris (TTPB) adalah salah satu terminal terpadu perhubungan darat terbesar di kota Medan. Terminal ini khusus menampung bus-bus antar provinsi dan dalam provinsi yang masuk ke kota Medan dari sebelah barat, terutama bus-bus dari provinsi Aceh, kota Brandan, kota Binjai, kota Stabat, Brastagi dan sekitarnya.

(59)

sebagai lokasi kerja anak jalanan dan sekaligus kawasan tempat tinggal pekerja anak jalanan.

Secara umum gambaran situasi pekerja anak di kota Medan dapat dilihat di sekitar terminal Pinang Baris dan Terminal Amplas. Jalanan merupakan tempat yang berbahaya bagi anak, terutama untuk perkembangan moral anak. Kehidupan yang keras diperkotaan memaksa anak-anak jalanan melakukan berbagai pekerjaan di sektor informal untuk bertahan hidup, baik yang legal maupun yang ilegal dimata hukum. Pekerjaan yang biasa mereka lakukan adalah bekerja sebagai penyapu angkot, pedagang asongan, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas, mengamen, dan sebagian dari mereka terlibat pada jenis pekerjaan yang kriminal seperti mengompas dan mencuri. Di bawah ini adalah data jenis pekerjaan utama pekerja anak jalanan berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak pada tahun 2010.

Tabel IV.3

Jenis Pekerjaan Anak Jalanan

NO Pekerjaan Anak Laki-laki Perempuan Total %

1 Pengamen 78 29 107 48

2 Tukang Sapu 54 3 57 26

3 Doorsmeer 2 0 2 1

4 Pedagang Asongan 17 7 24 11

(60)

6 Pengemis 6 2 8 4

7 Tukang Semir 2 1 3 1

8 Tidak Tetap 3 2 5 2

Jumlah 175 47 222 100

Sumber: Misran Lubis dkk, 2011:17

Dalam penelitian yang dilakukan PKPA tahun 2010 tersebut jumlah terbesar pekerja anak jalanan adalah pengamen. Anak jalanan laki-laki dan anak jalanan perempuan lebih memilih mengamen sebagai pekerjaan utama mereka dalam mencari uang. Resiko dari pekerjaan yang mereka lakukan di sektor informal sangat tinggi terutama adanya eksploitasi terhadap mereka. Bagi anak-anak yang tidak sekolah mereka dapat berada di jalanan selama 24 jam, sementara anak-anak yang bersekolah pada umumnya berada di jalanan selama 7-8 jam setiap harinya.

Jam kerja anak yang sangat variatif yaitu sebanyak 53% anak jalanan bekerja antara 5-11 jam setiap harinya, 22% bekerja antara 12-24 jam, 23% bekerja dibawah 4 jam setiap harinya, dan 3 % anak yang tidak jelas jam kerjanya. Kelompok anak yang bekerja selama 12-24 jam dalam seharinya sebanyak 22% menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok pekerja anak jalanan lainnya. Mereka gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks, dan ngelem (Misran Lubis dkk. 2011:18).

(61)

waktu lebih dari 7 jam per hari untuk bekerja. Seorang pekerja anak jalanan yang bersekolah misalnya, mereka harus bekerja setelah pulang sekolah sekitar pukul 01.00 siang hari, jika mereka melakukan pekerjaan mulai dari pukul 02.00 setiap harinya, maka mereka akan pulang kerumah pada pukul 09.00 malam hari. Keterlibatan mereka sebagai pekerja anak jalanan dengan jam kerja yang cukup panjang tersebut akan menghilangkan minat anak pada dunia pendidikan.

Gambar IV.1 Pekerja Anak Jalanan di Simpang Terminal Amplas Sedang Membersihkan

Angkutan Kota (Sumber: Observasi, 3 Juni 2014)

(62)

mendapatkan makian dari sopir Angkutan Kota karena dituduh telah mencuri di dalam Angkutan Kota saat membersihkan Angkutan Kota, barang yang sering disangkakan mereka telah mencurinya adalah flashdisk (Focused Group Discussion, 5 Maret 2014).

Perlakuan yang buruk terhadap mereka selain dalam bentuk kata-kata yang kasar juga ada kekerasan fisik seperti pukulan dan lainnya. Kekerasan fisik pernah dialami Sholeh, pekerja anak yang berusia 13 tahun di terminal Pinang Baris tersebut pernah mengalami tindakan kekerasan oleh supir bus saat dirinya menawarkan untuk menyapu bus. Tanpa disadarinya supir bus tersebut menendangnya dan memukulnya. Kehadiranya dianggap sebagai ancaman terhadap mereka, padahal Sholeh hanya ingin menawarkan jasanya untuk mendapatkan uang yang tidak terlalu besar (Focused Group Discussion, 5 Maret 2014)

(63)

Tantangan kehidupan yang berbeda seperti dengan kehidupan yang normatif di masyarakat menjadikan sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat. Prilaku mereka merupakan konsekuensi dari stigma sosial tersebut dan keterasingan mereka di dalam masyarakat. Stigma negatif yang muncul terhadap pekerja anak jalanan mengakibatkan banyak anak jalanan yang terjerumus dalam tindakan yang salah, seperti prilaku menyimpang yang populer di kalangan anak-anak jalanan yaitu “ngelem” (menghisap lem), istilah tersebut sangat dekat dengan mereka anak-anak jalanan. Dengan ngelem mereka bisa menahan lapar, meringankan penderitaan, menghilangkan persoalan dan membuat pikiran tenang.

Ada tiga tipe anak jalanan jika dilihat dari kegiatannya yaitu:

1 Mereka anak-anak yang berada di jalanan hanya untuk mencari kebebasan dengan kegiatan seperti mengelem, mengompas, dan seks.

2 Mereka anak-anak yang berada dijalanan karena mencari sesuap nasi dengan melakukan kegiatan ekonomi seperti mengamen, menyapu angkot, pedagang asongan, dan lainnya.

(64)

Rizky (15 tahun) dirinya menolak jika mereka dekat dengan kegiatan “ngelem”, menurut Rizky mereka berbeda dengan anak-anak jalanan lainnya yang identik dengan kegiatan ngelem. Kegiatan tersebut sering dilakukan oleh anak-anak “Punk” di jalanan. Selama ini dia bersama 10 teman lainnya tidak pernah melakukan hal tersebut, kami hanya melakukan kegiatan bekerja di jalanan dan tidak semua anak jalanan adalah pekerja anak jalanan (Focused Group Discussion, 5 Maret 2014).

(65)

Gambar IV.2Pekerja Anak Jalanan Sedang Mencari Angkutan Umum untuk Dibersihkan

(Sumber: Observasi, 3 Juni 2014)

(66)

4.1.2 PENYEBAB ANAK BEKERJA DI JALANAN

Adanya peluang untuk mendapatkan uang di jalanan dikarenakan arus perputaran uang yang cukup tinggi terutama di sekitar terminal yang menjadi tempat berkumpulnya pengguna transportasi umum untuk berpergian. Setiap harinya orang yang berstatus sebagai pengguna transportasi umum akan mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk pembayaran biaya transportasi. Demikian juga supir angkutan yang hilir mudik, mereka akan mengeluarkan sebagian penghasilannya untuk membeli rokok, minuman atau makanan.

(67)

Gambar IV.3

Faktor Terbesar yang Mendorong Anak Menjadi Pekerja Anak Jalnan

Internal

Eksternal

Kondisi kehidupan keluarga yang tergolong miskin atau sangat miskin menjadikan alasan sehingga dengan mudah anak akan dimanfaatkan oleh keluarganya untuk ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Kemiskinan menjadi faktor terbesar kenapa mereka menjadi pekerja anak jalanan. Penghasilan orang tua yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) jauh lebih kecil dibandingkan jumlah kebutuhan yang di perlukan secara tidak langsung memaksa anak untuk mencari penghasilan baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk membantu orang tua.

Dari pengakuan Rizky (pekerja anak jalanan) yang berusia 15 tahun, ia melakukan pekerjaan sebagai pembersih bus pada siang hari setelah pulang dari sekolah, dan bekerja sebagai pengantar papan bunga pada malam hari yang biasanya dia lakukan setiap akhir pekan. Pekerjaan ini dia lakukan karena orang tuanya tidak mampu membiayai uang sekolah dan kehidupan sehari-hari.

Ibunya yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian dengan penghasilan yang tidak tetap menjadikan dirinya sebagai tulang punggung ekonomi

- Kemiskinan - Ketidakharmonis

an Keluarga

- Ajakan Teman

(68)

keluarga bersama dengan saudaranya. Dalam sebulan Rizky hanya mampu mengumpulkan uang sebesar Rp 600.000,- yang dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan membayar uang sekolahnya, penghasilan tersebut sangat kurang dari Upah Minimun Regional (UMR) yang ditetapkan oleh pemerintah kota Medan, apalagi tahun ini dirinya sedang menghadapi Ujian Nasional (UN), diakuinya Ujian Nasional memberikan beban biaya yang lebih baginya apalagi Rizky juga harus mengatur waktu bekerjanya untuk bisa memfokuskan persiapan menghadapi UN.

Membantu ekonomi keluarga juga dilakukan teman-teman Rizky yang juga sebagai pembarsih Angkutan Kota. Jika lagi beruntung dengan bekerja selama 7 (tujuh) jam setiap harinya mereka (pekerja anak jalanan) mampu memberikan penghasilannya kepada orang tua sebesar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp.30.000,-. Jumlah uang tersebut mereka dapatkan dengan membersihkan sekitar 20 mini bus/angkutan kota setiap harinya dengan bayaran Rp. 2.000,- per angkutan kota. Kehidupan ekonomi keluarga yang kekurangan menyebabkan mereka tidak pernah diberikan uang jajan. Oleh karena itu, sisa uang yang mereka dapatkan dari hasil bekerja yang sebagian untuk orang tua menjadi uang jajan mereka sehari-hari, jika dalam sehari mereka tidak bekerja maka tidak ada uang jajan yang mereka dapatkan.

(69)

bersekolah karena masih ingin membantu ibu bekerja” (Focused Group Discussion, 5 Maret 2014)

Roni adalah seorang anak berusia 12 tahun yang bekerja sebagai penyapu angkutan kota, dengan usianya yang masih anak-anak dia sudah harus memikirkan ekonomi keluarganya. Roni bersama ibunya yang telah bercerai dengan ayahnya hanya tinggal berdua dirumah kontrakkan yang kecil. Ibunya bekerja sebagai penjual pakaian bekas (monja) yang tidak mampu membiayai uang sekolah jika Roni bersekolah.

Salah satu bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya (bondage) adalah adanya paksaan dari orang tua kepada anaknya untuk mencari uang. Eksploitasi secara tidak langsung hampir dialami setiap anak, mereka tidak disuruh oleh orang tua bekerja tetapi orang tua selalu menerima jika anaknya memberikan sebagian hasil mereka dari bekerja sebagai pekerja anak jalanan.

Eksploitasi orang tua juga dapat dilakukan secara langsung seperti yang dialami Roni walaupun tidak adanya batasan terhadap jumlah uang yang harus diberikan tetapi ada keharusan, yang harus diserahkan kepada keluarga (sistem setoran). Sistem ini terbentuk karena kondisi ekonomi keluarga, kemiskinan menyebabkan anak-anak tersebut berada dijalanan hanya untuk sekedar mencari uang jajan maupun untuk hal yang lebih besar yaitu untuk membantu ekonomi keluaraga.

Gambar

Gambar III.1 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak PKPA terminal Pinang Baris saat menggunakan teknik Diagram Venn
Gambar III.2 Focused Group Discussion, 5 Maret 2014 di Sanggar Kreativitas Anak Jalanan terminal Pinang Baris dengan menggunakan teknik penggunaan photo
Tabel III.1
Tabel III.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

To solve the first problem, some literary reviews concerning with the theory of character and characterization are conducted to find out the main characters’ character

Berdasarkan hasil regresi linier di atas maka dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan variabel X (penggunaan sarana penelusuran OPAC) 1% maka variabel Y

Penelitian saya di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli serdang pertama kali yang saya jumpai adalah pemilik usaha yaitu Ibu Sofi pada hari Sabtu 04 Mei

Pengaruh pemberian rebusan daun Kersen (Muntingia Callabura L.) (Muntingia Callabura L.) terhadap regulasi kadar glukosa darah pada mencit (mus Musculus) dengan

Dari hasil perhitungan mulai dari tabel 4.35-4.37 diatas dapat dilihat kemampuan merek Bogasari Flour Mills lain dalam merebut pelanggan merek lain adalah 8% dari 43.99% pangsa

Hubungan Antara Persepsi Keluarga tentang Gangguan Jiwa dengan Penerimaan Keluarga Pasien Gangguan Jiwa di Unit Rawat Jalan RS Grhasia Yogyakarta Program Studi S1 Ilmu

“Twelfth century?” Blair leaned back, took a good, long look at him, with all the interest but none of the amusement she’d shown when studying Hoyt.. “You’ve got nearly a

A long running and sustainable community-based landslide monitoring and early warning system (EWS) has been developed in Indonesia, with establishment of collaboration among the