Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)
Teks penuh
Gambar
Garis besar
Dokumen terkait
Berdasarkan struktur pasar tersebut akan membentuk pola perilaku pasar seperti kegiatan penjualan dan pembelian yang melibatkan lembaga tataniaga, sistem penentuan
Marjin tataniaga dapat juga didefinisikan sebagai nilai tambah yang diberikan oleh lembaga-lembaga tataniaga dari tingkat produsen hingga konsumen akhir karena dalam penyaluran
Saluran tataniaga III merupakan saluran yang memiliki marjin tataniaga terbesar karena lembaga tataniaga yang terlibat cukup banyak, perlakuan yang dilakukan setiap
Margin sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin ataniaga yang dihitung dalam penelitian
Hasil pengamatan pada baglog lain (bukan baglog amatan) menunjukkan bahwa dari 1 rak baglog berumur 5 bulan, hanya 2 baglog yang masih dapat menghasilkan jamur tiram dengan
1) Pelaku usaha pembuatan log jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan akan melakukan pengembangan usaha jamur tiram putih
Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dari petani langsung dengan harga Rp 27.632,00/kg pada saluran II dan dari pedagang pengumpul dengan
Penelitian ini dilakukan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung dengan dasar pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra