• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

AFIF SAFARIYAH. Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO.

Analisis rantai nilai diperlukan untuk mengetahui aktor yang terlibat dan karakteristiknya, nilai tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam perdagangan kayu sengon rakyat. Penelitian ini menggunakan

metode snow ball sampling dengan mengikuti alur penyaluran kayu dari bahan

mentah hingga menjadi suatu produk. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh berdasarkan wawancara langsung kepada para aktor yang terlibat di setiap mata rantai dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Analisis data berupa: identifikasi para aktor, indentifikasi karakteristik masing-masing aktor, analisis nilai tambah, identifikasi saluran pemasaran, dan besarnya volume pohon sengon yang ditebang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa aktor yang terlibat dalam perdagangan kayu sengon rakyat di Desa Sadeng adalah petani, tengkulak, industri penggergajian, dan lembaga pemerintah. Karakteristik aktor petani, tengkulak, dan industri penggergajian dibedakan berdasarkan proses kegiatan usaha yang dilakukan, komponen biaya input yang dikeluarkan, dan harga jual yang ditetapkan. Untuk karakteristik lembaga pemerintah dibedakan berdasarkan wewenangnya terkait perdagangan kayu rakyat. Besarnya nilai tambah yang terdistribusi pada masing-masing aktor bervariasi, yaitu petani sebesar 6,98%, tengkulak sebesar 15,90%, dan industri sebesar 77,12%. Hal tersebut disebabkan karena berbedanya skala usaha dan adanya diversifikasi olahan produk. Terdapat satu saluran pemasaran yang terjadi di Desa Sadeng, yaitu petani ke tengkulak ke industri penggergajian selanjutnya ke konsumen.

(2)

ABSTRACT

AFIF SAFARIYAH. Value chain of Sengon trade in Sadeng village Leuwisadeng sub-district Bogor regency. Under supervision of BRAMASTO NUGROHO.

Analysis of value chain is needed to know actors who are involved and their characteristic, added value for each actor, and marketing channel in Sengon trading. This research uses snow ball sampling method by following wood distribution line from raw material to be a product. Data used is primary data based on direct interview to the actors involved in each chain and secondary data from related institutions. Data analysis consist of: identifying the actors, identifying the character of each actors, analysis toward added value, identifying marketing channel, and the volume of Sengon production. The result of this research shows that the actors who are involved in Sengon trading in Sadeng village are farmer, middleman, sawmill, and governmental institutions. The characteristic of farmer, middleman, and sawmill are varied based on the process of bussiness activity applied, input component cost spent, and selling price specified. For the characteristic of governmental institutions is differentiated based on related policy about private woods trading. The amount of added value distributed on each actors varies, that the farmer is 6.98%, middleman is 15.90%, and sawmill is 77.12%. That is caused the distinction of bussiness scale and the diversification of product processed. There is one marketing channel in Sadeng village, that is from the farmer to middleman, then to sawmill, and the last is to consumers.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk memenuhi

kebutuhan manusia. Salah satu manfaat dari hutan adalah penghasil kayu sebagai

bahan baku industri. Kayu merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak

digunakan untuk berbagai keperluan hampir di semua bidang untuk menunjang

kehidupan manusia. Keunggulan kayu mempunyai penampilan yang menarik dan

mudah diolah dalam berbagai bentuk yang disertai dengan kemajuan teknologi

yang ada menjadi faktor pendorong adanya pengembangan terhadap pemanfaatan

kayu. Dahulu umumnya kayu hanya dapat diolah dalam bentuk dan fungsi

sederhana, tetapi saat ini pemanfaatannya beranekaragam dalam bentuk dan

fungsi yang beragam pula.

Bahan baku kayu yang dihasilkan dapat berasal dari hutan rakyat yaitu

pohon berkayu yang berasal dari lahan milik rakyat. Kayu yang berasal dari hutan

rakyat merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan persediaan bahan baku

kayu, dikarenakan saat ini persediaan bahan baku kayu dari hutan alam semakin

menipis, sedangkan permintaan produk jadi yang berasal dari bahan baku kayu

semakin meningkat.

Hutan rakyat dengan produk utama kayu mempunyai peluang yang sangat

besar untuk dapat bersaing di pasar lokal, regional, nasional, maupun

internasional. Tumbuhnya industri-industri pengolahan yang banyak

memanfaatkan kayu dari hutan rakyat dapat meningkatkan export, sebagai

peluang yang harus dimanfaatkan. Kondisi tersebut mendorong pengembangan

hutan rakyat agar kebutuhan kayu dapat terpenuhi. Peningkatan penggunaan

bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari data BRIK (Badan Revitalisasi Industri

Kehutanan) tahun 2004-2006, dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang

menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%. Hal ini

menunjukan hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah

menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif (BRIK 2007, dalam

(4)

Jenis pohon yang dapat dipilih untuk dikembangkan pada hutan rakyat

adalah pohon sengon. Pohon sengon merupakan pohon yang memiliki beberapa

kelebihan, yaitu dapat dipanen pada umur 5-7 tahun setelah tanam, pengelolaan

relatif mudah, persyaratan tempat tumbuh tidak rumit, kayunya serbaguna untuk

berbagai keperluan dalam berbagai bentuk kayu olahan, permintaan pasar terus

meningkat, serta membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan.

Dalam menghasilkan suatu produk jadi yang berasal dari bahan baku kayu

rakyat, didalamnya terlibat para aktor atau stakeholder yang melakukan berbagai

kegiatan. Kegiatan yang dilakukan mulai dari menyediakan bahan baku kayu

(hutan rakyat) hingga kegiatan pengolahan bahan baku kayu yang berasal dari

hutan rakyat tersebut. Dari suatu tegakan berdiri hingga menjadi log atau balken

dan akhirnya menjadi berbagai produk yang siap untuk dipasarkan dan digunakan

oleh konsumen dalam pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya

analisis rantai nilai untuk mengetahui alur kayu yang berasal dari hutan rakyat

hingga menjadi suatu produk. Dalam hal ini akan dianalisa mengenai rantai nilai

perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat di Desa Sadeng

Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor.

Berdasarkan survey yang telah dilakukan, pada Desa Sadeng sebagian

masyarakatnya memiliki pohon sengon dan didukung dengan adanya industri

penggergajian kayu di desa tersebut, menjadikan Desa Sadeng dipilih untuk

dilakukan penelitian. Hal tersebut disebabkan karena adanya petani yang

menyediakan bahan baku hingga industri yang melakukan pengolahan bahan baku

yang berada dalam satu desa. Penelitian dilakukan untuk mengetahui alur kayu

yang berasal dari hutan rakyat hingga menjadi suatu produk jadi sebagai produk

yang dihasilkan dari desa tersebut untuk dipakai oleh konsumen dalam

pemenuhan kebutuhannya.

1.2 Tujuan Penelitian

Mengetahui aktor atau stakeholder yang terlibat dan karakteristiknya, nilai

tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam

(5)

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini, antara lain:

1. Memberikan informasi mengenai para aktor yang terlibat dan karakteristiknya,

nilai tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam

perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat mulai dari bahan baku

hingga produk jadi yang siap pakai.

2. Memberikan informasi dalam melakukan usaha baik usaha dalam

pembangunan hutan rakyat, usaha memborong kayu, maupun usaha dalam

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) 2.1.1 Klasifikasi Berdasarkan Botanis

Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) juga dikenal dengan nama

botani Albizia moluccana Mig; Albizia falcata Backer; Albizia falcataria (L.)

Fosberg. Sengon dapat dikelompokkan ke dalam famili Leguminosae dengan

sub-famili Mimosoidae dan memiliki beberapa nama lokal. Untuk Indonesia, sengon

dikenal dengan beberapa nama sesuai dengan tempat tumbuh tanaman yang

bersangkutan. Di daerah Jawa sengon dikenal dengan nama jeungjing (Sunda) dan

sengon laut (Jawa), di daerah Maluku dikenal dengan nama sika, di daerah

Sulawesi dikenal dengan nama tedehu pute, dan di Papua dikenal dengan

bae/wahogon. Sengon juga memiliki beberapa nama di negara lain, yaitu batai

(Perancis, Jerman, Itali, USA, dan Kanada), kayu machis (Serawak-Malaysia),

dan puah (Brunei Darussalam) (Alrasyid 1993, dalam Siregar et al. 2009).

Pohon sengon tercatat sebagai salah satu pohon yang tercepat

pertumbuhannya di dunia. Pada umur 1 tahun dapat mencapai tinggi 7 m dan pada

umur 12 tahun dapat mencapai tinggi 39 m dengan diameter lebih dari 60 cm dan

tinggi cabang 10-30 m. Diameter pohon yang sudah tua dapat mencapai 1 m,

bahkan kadang lebih. Batang umumnya tidak berbanir, tumbuh lurus, dan

silindris. Pohon sengon memiliki kulit licin, berwarna abu-abu, atau

kehijau-hijauan. Tajuknya berbentuk perisai, jarang, dan selalu hijau. Pohon sengon

memiliki daun majemuk dengan panjang bisa mencapai 40 cm. Dalam satu

tangkai daun terdiri dari 15-25 daun dengan daun berbentuk lonjong (Alrasyid

1993, dalam Siregar et al. 2009).

Bunga berkelamin ganda, kelopak, dan mahkota bunga berbentuk lonceng

dan memiliki benang sari yang banyak serta kepala sari sangat kecil. Di Jawa,

biasanya tanaman sengon berbunga pada bulan Maret-Juni dan

Oktober-Desember. Pohon sengon kadang-kadang mulai berbunga sejak umur 3 tahun.

Buah polong sengon matang sekitar 2 bulan setelah pembungaan dan ketika

(7)

penyerbukannya tidak diketahui, tetapi berdasarkan bentuk bunga dapat diduga

bahwa vektornya adalah lebah dan kupu-kupu.

Sengon memiliki buah yang lurus berbentuk polong, retak di sepanjang

kedua sisinya, berisi banyak biji. Pada waktu muda, biji berwarna hijau dan ketika

sudah tua berwarna cokelat tua kekuningan. Biji sengon berbentuk pipih dengan

kulit tebal, tidak bersayap, tanpa endosperma dengan lebar 3-4 mm dan panjang

6-7 mm. Pada bagian tengah terdapat garis melingkar berwarna hijau dan cokelat.

Jumlah biji kering per kilogram berkisar 38.000-40.000 butir. Daya kecambah

rata-rata 80% dengan berat 1.000 butir sekitar 25,0-26,3 gram. Biji sengon

termasuk jenis biji yang ortodoks. Biji sengon dengan kadar air 8% yang disimpan

pada suhu 4-8°C bisa bertahan sampai 1,5 tahun tanpa penurunan viabilitas yang

berarti. Selama penyimpanan, biji sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong

plastik kedap udara.

2.1.2 Syarat Tumbuh

Sengon sangat cocok tumbuh di daerah beriklim basah dengan curah hujan

antara 1.500-4.000 mm per tahun, bahkan Filipina sampai 4.500 mm per tahun

tanpa bulan kering dengan tipe iklim A sampai B. Di Maluku, sengon tumbuh

alami di daerah bercurah hujan lebih dari 1.700 mm/tahun dengan jumlah bulan

kering 3 bulan dan termasuk tipe iklim C.

Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada jenis tanah

yang drainasenya jelek atau tanahnya tandus masih dapat tumbuh. Tanaman ini

dapat tumbuh baik pada jenis tanah regosol, alluvial, dan latosol. Tanah-tanah

tersebut bertekstur lempung berdebu dengan tingkat kemasaman agak masam

sampai netral. Pada tanah yang sangat masam pertumbuhannya kerdil. Tempat

tumbuh terbaik untuk sengon berkisar 10-800 m dpl, tetapi dapat juga tumbuh

sampai ketinggian 1.600 m dpl (Alrasyid 1993, dalam Siregar et al. 2009).

Dari hasil penelitian Sukarya (1997) diacu dalam Siregar et al. (2009)

diketahui bahwa tanaman sengon yang ditanam pada zona agroklimat sangat

sesuai (elevasi: 0-800 m dpl, curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun, bulan kering < 5

bulan, penyinaran 1.000-2.000 jam/tahun, dan RH 70-85%), memiliki panjang

(8)

diameter pori 144 µm, berat jenis kayu 0,29, kadar ekstraktif 2,73%, serta

memiliki nilai penyusutan kayu yang lebih kecil.

2.2 Hutan Rakyat

Hutan menurut Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang

kehutanan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat

dipisahkan. Status hutan menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 dibagi

menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Definisi hutan hak menurut

undang-undang tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak

atas tanah. Mengacu pada definisi tersebut maka berdasarkan statusnya, hutan

rakyat termasuk dalam hutan hak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan di dalam

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman

pemanfaatan hutan hak, bahwa hutan hak identik dengan hutan rakyat yang

berupa lahan milik atau lahan yang memiliki sertifikat ijin penggunaan lahan.

Hardjanto (2000) menyatakan bahwa hutan rakyat di Jawa pada umumnya

hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana

minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan

lahan di Jawa sangat sempit. Pengusahaan hutan rakyat di Pulau Jawa pada

umumnya memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana

petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan

prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang

diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan

sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari

pendapatan total.

Hardjanto (2000) juga menyatakan bahwa pelaku usaha hutan rakyat

(9)

rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya, sedangkan

bukan petani adalah pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu buruh,

penyedia jasa tebang, jasa angkutan, pihak yang bergerak dalam pemasaran, dan

industri pengolah hasil hutan rakyat.

2.3 Konsep Biaya

Mulyadi (1990) diacu dalam Nugroho (2002) menyatakan biaya adalah

pengorbanan sumberdaya ekonomi yang dinyatakan dalam satuan moneter (uang),

yang telah terjadi atau akan terjadi untuk tujuan tertentu. Dengan demikian

terdapat 4 unsur pokok dalam definisi tersebut, yaitu:

1. Biaya merupakan pengorbanan sumberdaya ekonomi. Dalam proses produksi

umumnya berupa lahan, tenaga kerja, modal (tetap dan kerja), dan

manajemen/teknologi.

2. Biaya harus dapat diukur dalam satuan uang/moneter.

3. Yang telah terjadi atau potensial terjadi.

4. Untuk tujuan tertentu.

Mulyadi (1990) diacu dalam Nugroho (2002) menyatakan 5 cara

penggolongan biaya, yaitu:

1. Objek pengeluaran

Nama objek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya, misalnya

biaya bahan bakar, gaji dan upah, depresiasi, asuransi, dan lain-lain.

2. Fungsi pokok dalam perusahaan

Menurut fungsi pokok dalam perusahaan, biaya dapat dibedakan ke dalam 3

jenis, yaitu: (1) Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi untuk

mengolah bahan baku menjadi produk jadi, misalnya biaya bahan baku, upah

langsung, dan overhead. (2) Biaya pemasaran adalah biaya-biaya untuk

melaksanakan kegiatan pemasaran produk, misalnya biaya iklan, promosi,

pengiriman barang, gaji karyawan bagian pemasaran, dan lain-lain. (3) Biaya

administrasi dan umum adalah biaya untuk mengkoordinasikan kegiatan

produksi dan pemasaran, misalnya gaji karyawan bagian keuangan, personalia,

(10)

3. Sesuatu yang dibiayai

Menurut sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu:

(1) Biaya langsung yaitu biaya yang secara langsung untuk membiayai suatu

kegiatan produksi, misalnya biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung,

dan lain sebagainya. (2) Biaya tak langsung yaitu biaya yang dikeluarkan untuk

mendukung produksi. Termasuk di sini adalah biaya yang dikeluarkan oleh

suatu departemen, tetapi manfaatnya dinikmati oleh lebih dari satu departemen,

misalnya biaya listrik, overhead pabrik, gaji pengawas beberapa produk, dan

lain sebagainya.

4. Jangka waktu manfaat

Menurut jangka waktu manfaatnya, biaya dapat dibedakan ke dalam 2

golongan, yaitu: (1) Pengeluaran modal (capital expenditures) yaitu biaya yang

mempunyai manfaat lebih dari satu periode produksi (turn over), misalnya

biaya pembelian alat produksi. Biaya tersebut dibebankan melalui depresiasi

dan deplesi. (2) Pengeluaran penerimaan (revenue expenditure) yaitu biaya

yang hanya mempunyai manfaat dalam satu kali periode produksi (turn over),

misalnya bahan baku, bahan penolong, dan lain-lain.

5. Perilaku terhadap perubahan volume kegiatan

Menurut perilaku terhadap perubahan volume kegiatan, biaya dapat dibedakan

ke dalam 2 jenis, yaitu: (1) Biaya tetap yaitu biaya yang jumlah totalnya tetap

dalam satuan unit waktu tertentu, tetapi akan berubah per satuan unitnya jika

volume produksi per satuan waktu tersebut berubah. Biaya ini akan terus

dikeluarkan walaupun tidak berproduksi, misalnya depresiasi, bunga modal,

pajak langsung, gaji karyawan tetap, dan lain sebagainya. (2) Biaya variabel

yaitu biaya yang per satuan unit produksinya tetap, tetapi akan berubah jumlah

totalnya jika volume produksinya berubah. Biaya ini tidak diperlukan apabila

tidak berproduksi, misalnya upah borongan, bahan baku, pemeliharaan dan

perbaikan, biaya ban untuk alat angkut, dan lain sebagainya.

2.4 Konsep Rantai Nilai

Rantai nilai merupakan suatu alat utama untuk mempelajari semua kegiatan

(11)

berinteraksi. Porter (1980) diacu dalam Gayatri (2009) menyatakan bahwa rantai

nilai sebagai alat utama untuk mengidentifikasi cara menciptakan nilai bagi

pelanggan yang lebih tinggi. Kerangka rantai nilai (value chain framework)

merupakan suatu metoda memecah rantai (chain), dari bahan mentah sampai

dengan pengguna akhir ke dalam aktivitas-aktivitas strategis yang relevan untuk

memahami perilaku biaya dan sumber-sumber diferensiasi, karena suatu aktivitas

biasanya hanya merupakan bagian dari himpunan aktivitas yang lebih besar dari

suatu sistem yang menghasilkan nilai. Setiap perusahaan terdiri dari kumpulan

aktivitas yang dilaksanakan untuk merancang, memproduksi, memasarkan,

menyerahkan, dan mendukung produk perusahaan.

Kaplinsky dan Morris (2000) diacu dalam Gayatri (2009) menggambarkan

rantai nilai dari seluruh kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau

jasa. Proses tersebut dimulai dari mendesain produk (barang atau jasa) yang akan

dihasilkan, proses menghasilkan produk, memasarkan produk, dan mendaur ulang

produk tersebut. Secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Rantai nilai sederhana

2.5 Konsep Nilai Tambah

Dalam industri nilai tambah berarti ukuran untuk menyatakan sumbangan

proses produksi terhadap nilai jual suatu barang. Nilai tambah tersebut dapat

dinyatakan untuk tiap meter kubik kayu bulat, setiap dolar modal, setiap orang

kerja, dan sebagainya (Widarmana 1978, dalam Tarigan 1998). Nilai tambah

menurut Gittinger (1986) diacu dalam Tarigan (1998) adalah nilai output

dikurangi input yang dibeli dari luar. Dalam tiap satuan produksi, nilai tambah

diukur dengan perbedaan antara nilai output perusahaan dan nilai seluruh input

yang dibeli dari luar perusahaan.

Nilai Tambah = Nilai Penjualan (Output) – Nilai Pembelian (Input)

(12)

2.6 Konsep Pemasaran 2.6.1 Pengertian Pemasaran

Kotler (1997) diacu dalam Munawar (2010) mendefinisikan pemasaran

adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau

kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui pembuatan dan

pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok

lainnya. Sudiyono (2002) diacu dalam Munawar (2010) mendefinisikan

pemasaran pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak

milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi

pemasaran.

2.6.2 Pelaku (lembaga) dan Saluran Pemasaran

Lembaga pemasaran adalah suatu badan atau lembaga yang berusaha dalam

bidang pemasaran, mendistribusikan barang dari produsen sampai konsumen

melalui proses perdagangan (Limbong & Sitorus 1985, dalam Munawar 2010).

Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang

terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk

digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas

memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan

waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari

orang-orang yang membutuhkan (Kotler 1997, dalam Munawar 2010).

Limbong dan Sitorus (1985) diacu dalam Munawar (2010) menyatakan

bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya

tingkat saluran. Panjangnya suatu saluran tataniaga/pemasaran akan ditentukan

oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Saluran

pemasaran tersebut meliputi:

1. Saluran non tingkat (zero level channel) adalah saluran dimana produsen atau

pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen.

2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu

perantara.

3. Saluran dua tingkat (two level channel), mencakup dua perantara.

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng

Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kalkulator,

kamera, alat perekam, kuisioner, dan microsoft office excel. Bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

3.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada para aktor

(responden) yang terlibat di setiap mata rantai (petani, tengkulak, industri

penggergajian, dan lembaga pemerintah) yang dilakukan secara sengaja

berdasarkan alur perdagangan kayu sengon dalam penyalurannya, dari

menyediakan bahan baku (hutan rakyat) hingga menjadi suatu produk jadi.

Data primer yang dikumpulkan mencakup:

1. Identifikasi para aktor yang terlibat berdasarkan keterkaitan antar aktor dengan

mengikuti alur perdagangan kayu sengon dari bahan mentah hingga menjadi

suatu produk.

2. Identifikasi karakteristik masing-masing aktor yang terlibat berdasarkan proses

kegiatan usaha (petani, tengkulak, industri penggergajian) dan wewenangnya

(lembaga pemerintah).

3. Data komponen biaya input dan harga jual masing-masing aktor (petani,

tengkulak, industri penggergajian) kecuali lembaga pemerintah.

Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti kantor desa

dan kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT).

Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:

(14)

2. Data kondisi umum lokasi penelitian.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Metode Pengambilan Responden

Pengambilan responden petani dilakukan secara snow ball sampling yaitu

suatu metode dimana responden dipilih secara sengaja untuk dilakukan

wawancara atas rekomendasi yang ditunjuk oleh responden sebelumnya yang

telah diwawancarai tentang siapa saja responden lainnya yang dapat dimintai

informasi terkait penelitian yang dilakukan. Konsep metode snow ball sampling

adalah informasi yang diperoleh akan semakin banyak seiring berjalannya waktu

(proses pengambilan informasi) seperti bola salju yang menggelinding, semakin

menggelinding maka bentuk bola akan semakin besar. Teknik pengambilan

responden petani menggunakan metode snow ball sampling dilakukan dengan

kriteria responden petani pernah menebang pohon sengon dengan batas

penebangan 5 tahun terakhir.

Pengambilan responden dilakukan pada beberapa kelompok tani desa.

Terdapat empat kelompok tani di Desa Sadeng, yaitu kelompok tani Cikadu dan

kelompok tani Tunas Harapan yang berada di Dusun Cikadu dan Gunung Sereh,

kelompok tani Dukuh Manggu yang berada di Dusun Paku, dan kelompok tani

Sugih Tani yang berada di Dusun Sadeng. Jumlah total anggota tani dari empat

kelompok tani berjumlah 123 orang dengan masing-masing anggota untuk setiap

kelompok tani, yaitu kelompok tani Tunas Harapan berjumlah 38 orang,

kelompok tani Cikadu berjumlah 20 orang, kelompok tani Dukuh Manggu

berjumlah 40 orang, dan kelompok tani Sugih Tani berjumlah 25 orang.

Langkah awal pengambilan responden yang dilakukan pada masing-masing

kelompok tani adalah menemui ketua tani untuk mengetahui nama-nama petani

yang menjadi anggota dalam kelompok tani dan menggali informasi mengenai

petani yang pernah menebang pohon sengon dengan batas penebangan 5 tahun

terakhir untuk dilakukan wawancara, termasuk ketua tani itu sendiri apabila

pernah melakukan penebangan pohon sengon.

Berdasarkan informasi yang diketahui ketua tani mengenai anggota tani

yang pernah melakukan penebangan pohon sengon, maka ketua tani menunjuk

(15)

nama anggota yang ditunjuk tersebut. Selanjutnya anggota tersebut menunjuk

anggota (responden) lainnya yang juga pernah menebang pohon sengon dan

seterusnya, sehingga penunjukan responden lainnya didasarkan pada informasi

yang diketahui oleh responden yang sebelumnya telah diwawancarai mengenai

petani yang pernah menebang pohon sengon dengan batas penebangan 5 tahun

terakhir.

Pengambilan responden dilakukan selama responden yang diwawancarai

masih merekomendasikan nama responden yang berbeda untuk dilakukan

wawancara selanjutnya, sedangkan apabila responden yang diwawancarai

menyebutkan atau menunjuk nama responden yang sama artinya nama responden

yang ditunjuk tersebut merupakan responden yang sudah dilakukan wawancara

sebelumnya, maka pengambilan responden tidak bisa dilanjutkan. Diperoleh 25

orang responden petani dari 123 orang anggota yang tergabung dalam empat

kelompok tani. Banyaknya responden yang diambil untuk masing-masing

kelompok tani, yaitu untuk kelompok tani Tunas Harapan sebanyak 7 orang,

kelompok tani Cikadu sebanyak 7 orang, kelompok tani Dukuh Manggu sebanyak

8 orang, dan kelompok tani Sugih Tani sebanyak 3 orang.

Pengambilan responden tengkulak dan industri dilakukan secara sengaja

mengikuti alur kayu dalam penyalurannya. Pengambilan responden tengkulak

berdasarkan alur kayu dari petani, dengan kriteria tengkulak yang diambil

merupakan tengkulak desa dan tengkulak tersebut menjual kayunya pada industri

yang juga berada dalam satu desa. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu

produk yang berasal dari Desa Sadeng, mulai dari menyediakan bahan baku

hingga pengolahan bahan baku tersebut dengan keterlibatan aktor yang berada

dalam lingkup desa. Diperoleh 2 orang tengkulak secara sengaja berdasarkan alur

penyaluran kayu dari petani yang menjual hasil hutannya melalui tengkulak.

Selanjutnya diperoleh 2 industri hasil alur penyaluran kayu dari tengkulak,

sedangkan untuk lembaga pemerintah yang terlibat dalam perdagangan kayu

sengon rakyat ditelusuri berdasarkan alur perdagangan kayu sengon dalam

(16)

3.4.2 Analisis Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat 3.4.2.1Identifikasi Para Aktor

Identifikasi aktor sepanjang rantai nilai kayu sengon dilakukan melalui

penelusuran dan keterkaitan antar aktor. Dimulai dari petani, tengkulak, industri

penggergajian yang dilakukan secara sengaja dengan mengikuti alur perdagangan

kayu sengon dalam penyalurannya dari produsen sampai konsumen akhir (dari

bahan mentah hingga menjadi suatu produk jadi) hingga lembaga pemerintah

(kantor desa dan kantor unit pelaksana teknis) yang ikut berperan dan mempunyai

wewenang dalam perdagangan kayu rakyat.

3.4.2.2Identifikasi Karakteristik Masing-masing Aktor

Petani, tengkulak, maupun industri penggergajian mempunyai

karakteristiknya masing-masing dalam melakukan perdagangan kayu sengon baik

dalam komponen biaya input yang dikeluarkan, harga jual yang ditetapkan, dan

proses kegiatan usaha yang dilakukan, serta lembaga pemerintah yang mempunyai

wewenangnya masing-masing terkait perdagangan kayu rakyat.

3.4.2.3Analisis Nilai Tambah

Untuk mengetahui besarnya nilai tambah yang diterima masing-masing

aktor (petani, tengkulak, industri penggergajian) sepanjang rantai nilai kayu

sengon rakyat, maka dilakukan perhitungan nilai tambah pada masing-masing

aktor berdasarkan harga jual dan besarnya biaya input yang dikeluarkan menurut

Gittinger (1986) diacu dalam Tarigan (1998) yang dirumuskan sebagai berikut:

Nilai Tambah = Nilai Penjualan (Output) – Nilai Pembelian (Input)

3.4.2.4Identifikasi Saluran Pemasaran

Identifikasi saluran pemasaran yang terjadi di sepanjang rantai nilai

perdagangan kayu sengon rakyat dengan keterlibatan para aktor yang saling

terkait dalam penyalurannya. Saluran pemasaran ditelusuri dari titik produsen

sampai konsumen akhir yaitu mulai dari menyediakan bahan baku (hutan rakyat)

hingga menjadi suatu produk yang siap pakai. Rantai pemasaran tersebut

dijadikan dasar dalam menggambarkan pola saluran pemasaran yang terjadi

(17)

3.4.2.5Volume Pohon Sengon yang Ditebang

Perhitungan yang dilakukan untuk memperoleh besarnya volume pohon

sengon yang ditebang dari petani yang menjual hasil hutannya yaitu dengan

melakukan perhitungan berdasarkan penyusunan tabel volume pohon jenis sengon

di KPH Bogor Jawa Barat, dengan persamaan regresi yang digunakan menurut

Sofwan et al. (1995) diacu dalam Fajarwati (2005) yang dirumuskan sebagai

berikut:

LogVpkt = -3,8590+2,4798log d

Keterangan:

Vpkt = Volume di bawah pangkal tajuk (m³)

d = Diameter setinggi dada (cm)

Besarnya volume pohon sengon yang ditebang dari petani yang

menggunakan sendiri hasil hutannya yaitu dengan menghitung kubikasi dari

produk yang dihasilkan berdasarkan jenis produk, ukuran produk, dan banyaknya

(18)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Berdasarkan data laporan tahunan Desa Sadeng tahun 2011, bahwa kondisi

umum Desa Sadeng adalah sebagai berikut:

4.1 Kondisi Geografis

Desa Sadeng terletak di barat wilayah Kabupaten Bogor, luas wilayah

tercatat ± 463 Ha, dengan batas-batasnya sebelah Utara Desa Banyuresmi (Kec.

Cigudeg), sebelah Selatan Desa Babakan Sadeng (Kec. Leuwisadeng), sebelah

Barat Desa Kalong II (Kec. Leuwisadeng), sebelah Timur Desa Sibanteng (Kec.

Leuwisadeng). Pada peta rupa bumi Desa Sadeng terbentang pada hamparan

bidang wilayah berada pada elevasi antara 101-500 meter diatas permukaan laut

(m dpl). Bentuk wilayah desa berupa daratan berbukit, curah hujan 2.500-3.000

mm/tahun, dan suhu rata-rata 25-30°C. Terbentang satu hulu sungai yaitu Sungai

Cikaniki umumnya lebih dominan dimanfaatkan untuk sumber pengairan, kolam,

empang, dan keperluan lain.

4.2 Administrasi Kewilayahan

Wilayah Desa Sadeng secara administrasi kewilayahan, terdiri dari 30

Rukun Tetangga (RT), 6 Rukun Warga (RW), dan 3 dusun. Ketiga dusun tersebut

diantaranya Dusun Paku, Dusun Sadeng, serta Dusun Gunung Sereh dan Cikadu.

4.3 Kondisi Demografi

Penduduk Desa Sadeng hingga akhir bulan Desember 2010 tercatat

sejumlah 11.258 jiwa, terdiri dari laki-laki 5.852 jiwa, perempuan 5.406 jiwa

dengan jumlah kepala keluarga 2.640 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah

populasi penduduk tersebut sekitar 49% berumur antara 19-60 tahun atau

merupakan usia angkatan kerja produktif.

4.4 Kondisi Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya penduduk Desa Sadeng menunjukan profil

(19)

usaha ekonomi masyarakat di tiga bidang pekerjaan, yaitu pertanian, perdagangan,

dan buruh industri; (b) karakteristik sosial budaya relatif ada perubahan menuju

heterogen dengan banyaknya pendatang dari luar kota; (c) sosial agama penduduk

yang mayoritas muslim.

4.5 Kondisi Sosial Pendidikan

Kondisi sosial pendidikan masyarakat cenderung masih sangat rendah,

sebagaimana ditunjuk antara lain tidak tamat SD sebanyak 789 orang, tamatan SD

4.199 orang, tamatan SLTP 1.600 orang, tamatan SMA 1.610 orang, serta tamatan

diploma sampai sarjana sebanyak 255 orang.

4.6 Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi menunjukan yang menjadi petani 582 orang,

pedagang 200 orang, buruh pabrik 50 orang, wiraswasta 300 orang, dan lain-lain.

4.7 Kondisi Keamanan dan Ketertiban Umum

Bidang keamanan dan ketertiban umum sebagai etalase pertama

pemerintahan bidang ketentraman dan ketertiban umum dihadapan masyarakat

sebagai motivator dan pembina yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Untuk itu kinerja bidang keamanan baik dan buruknya akan berdampak pada

tingkat kepuasan masyarakat di dalam kegiatan pelayanan dan program

pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum.

Secara umum kondisi sosial politik serta ketentraman dan ketertiban di

wilayah Desa Sadeng cukup aman dan terkendali. Anggota Linmas Desa Sadeng

berjumlah 70 orang yang tersebar di setiap RT. Berkaitan dengan keamanan dan

ketertiban, pemerintah Kabupaten Bogor sudah mempunyai kantor Kesbang dan

(20)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Para Aktor

Dalam rantai nilai perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat,

terlibat beberapa aktor (stakeholder) untuk menghasilkan suatu produk jadi

dimulai dari kegiatan menyediakan bahan baku (hutan rakyat) sampai kegiatan

pengolahan bahan baku tersebut hingga menjadi suatu produk yang siap pakai

oleh konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Aktor yang terlibat dalam

perdagangan kayu sengon rakyat di Desa Sadeng adalah petani, tengkulak,

industri penggergajian, dan lembaga pemerintah yang berwenang.

Hardjanto (2000) menegaskan bahwa pelaku usaha hutan rakyat dibedakan

menjadi dua, yaitu petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat

adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya, sedangkan bukan

petani adalah pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu buruh,

penyedia jasa tebang, jasa angkutan, pihak yang bergerak dalam pemasaran, dan

industri pengolah hasil hutan rakyat.

5.2 Karakteristik Masing-masing Aktor

Identifikasi aktor setiap mata rantai dilakukan berdasarkan karakteristiknya

masing-masing, karena setiap aktor mempunyai karakteristik yang berbeda-beda

terutama dalam komponen biaya input yang dikeluarkan, harga jual yang

ditetapkan, proses kegiatan usaha yang dilakukan, serta wewenangnya terkait

perdagangan kayu rakyat. Adapun penjelasan mengenai karakteristik dari

masing-masing aktor, yaitu:

5.2.1 Petani

Petani hutan rakyat di Desa Sadeng merupakan petani yang mengelola

hutannya dengan sistem agroforestry, dimana hasil yang diperoleh berupa hasil

pertanian dan hasil kehutanan yang salah satunya adalah pohon sengon. Hasil

pertanian memberikan penghasilan yang lebih besar dibandingkan hasil hutannya

yang hanya sebagai penghasilan tambahan. Hal ini disebabkan petani lebih

(21)

dapat diperoleh dalam jangka waktu yang singkat dan berkala, berbeda dengan

menanam pohon yang hasilnya dapat dinikmati dalam jangka waktu yang lama.

Hasil hutan (pohon sengon) yang ditebang dapat digunakan untuk dipakai

sendiri maupun menjual hasil hutan tersebut. Dari 25 orang responden petani,

dimana sebanyak 23 responden lebih menjual hasil hutannya dalam bentuk pohon

berdiri, sedangkan 2 responden lainnya menggunakan hasil hutannya untuk

dipakai sendiri. Petani hutan rakyat perlu mengeluarkan sejumlah biaya untuk

dapat memperoleh hasil hutan, baik biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang

secara langsung maupun tidak langsung. Biaya yang dikeluarkan secara tidak

langsung maksudnya adalah waktu dan tenaga yang telah dikorbankan oleh petani

untuk dapat memperoleh hasil hutan. Waktu dan tenaga tersebut dinyatakan

sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya biaya tersebut dapat diperoleh

dengan mengkonversikan waktu ke upah yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan

untuk melakukan suatu kegiatan dikonversi dengan waktu kerja tenaga kerja

(jam/hari) dan upah tenaga kerja (Rp/hari).

5.2.1.1Biaya Input Petani

Beberapa biaya input yang dikeluarkan oleh petani, yaitu biaya pajak lahan,

biaya penyediaan alat, biaya bibit, biaya pelubangan, biaya penanaman, biaya

pupuk, biaya pembersihan lahan, biaya pemeliharaan lahan, biaya pemberantasan

hama, biaya pemasaran, biaya tebang, dan biaya angkut.

Adapun penjelasan untuk masing-masing komponen biaya input yang

dikeluarkan oleh petani, yaitu:

1. Biaya pengadaan bibit, lubang, tanam

Asal bibit pohon sengon dari 25 responden petani yang diwawancarai

berasal dari bibit cabutan, bibit hasil penyemaian (biji-bibit), bibit beli, dan bibit

yang tumbuh sendiri. Bibit cabutan yaitu bibit yang tumbuh sendiri pada lahan

karena biji yang jatuh dari pohon induknya atau biji terbawa angin yang dibiarkan

tumbuh kemudian dipindah-pindahkan agar terpelihara dengan baik, dimana

masyarakat menyebutnya dengan istilah bibit petet. Bibit cabutan diperoleh

dengan tidak mengeluarkan biaya dalam bentuk uang secara langsung, tetapi

mengorbankan waktu dan tenaga untuk dapat memperoleh sejumlah bibit tersebut.

(22)

dikeluarkan oleh petani, yang dalam perhitungannya dilakukan dengan

mengkonversikan waktu ke upah yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan suatu kegiatan dikonversi dengan waktu kerja tenaga kerja (jam/hari)

dan upah tenaga kerja (Rp/hari).

Informasi mengenai waktu kerja dan upah tenaga kerja yang diperoleh dari

masing-masing responden petani berbeda-beda. Informasi tersebut didasarkan

pada pengalaman petani apabila petani tersebut pernah menggunakan tenaga kerja

dalam pengelolaan hutannya dari upah yang pernah dibayarkan kepada tenaga

kerja, sedangkan apabila petani tersebut tidak pernah menggunakan tenaga kerja

maka informasi yang disampaikan petani didasarkan pada informasi yang

diketahui petani tersebut mengenai upah pasaran tenaga kerja di desa tersebut

maupun informasi yang diketahui dari sesama petani.

Perhitungan biaya untuk bibit hasil penyemaian yang dilakukan responden

petani, dimana bijinya berasal dari kegiatan mengumpulkan biji pada lahan hutan

adalah dengan mengkonversi waktu ke upah seperti halnya dengan perhitungan

bibit cabutan yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan biji

hingga biji tersebut bersih dari kulitnya.

Proses penyemaian dilakukan dengan cara merendam biji dengan air panas

selama beberapa menit sampai air panas tersebut dingin, namun lamanya proses

perendaman disesuaikan dengan kondisi biji. Biji hasil rendaman kemudian

dipindahkan ke polibag, dimana polibag telah terisi media (tanah, sekam, pupuk

kandang, dan pupuk kimia). Selain merendam biji dengan air panas, proses

penyemaian juga dapat dilakukan dengan membakar biji secara bersamaan dengan

rumput hasil pembersihan lahan. Tidak ada lamanya waktu untuk proses

pembakaran. Hasil pembakaran dibiarkan pada lahan hingga tumbuh semai.

Biasanya semai tumbuh setelah 2 minggu dari proses pembakaran. Selanjutnya

semai tersebut dipindahkan ke polibag yang sudah terisi media. Setelah 2 bulan,

semai yang dipindahkan ke polibag akan tumbuh menjadi bibit yang selanjutnya

bibit tersebut dipindahkan ke tanah untuk ditanam.

Dalam proses penyemaian, terdapat beberapa kegiatan lainnya yang perlu

dikonversikan ke upah selain kegiatan mengumpulkan biji, yaitu kegiatan

(23)

pembakaran pada polibag yang telah terisi media, selanjutnya memindahkan

semai yang telah menjadi bibit pada tanah. Untuk perlakuan pada benih (lamanya

benih direndam atau dibakar, dan lamanya waktu tumbuh dari benih hingga

menjadi semai selanjutnya hingga menjadi bibit yang siap tanam) tidak

dikonversikan ke upah karena tidak ada waktu dan tenaga yang dikorbankan,

namun hanya lamanya proses yang terjadi pada benih.

Perhitungan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk bibit beli yaitu dengan

mengalikan harga per satuan bibit dengan jumlah bibit yang dibeli. Harga per

satuan bibit sengon bervariasi mulai dari Rp 800/bibit hingga Rp 1.500/bibit,

sedangkan untuk bibit sengon yang tumbuh sendiri tidak ada biaya yang

dikeluarkan karena bibit hanya dibiarkan tumbuh tanpa adanya waktu atau tenaga

yang dikorbankan untuk memperoleh bibit tersebut.

Sama halnya dengan bibit cabutan dan bibit hasil penyemaian, dimana untuk

memperoleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pembuatan lubang

dan kegiatan penanaman yaitu dengan mengkonversikan waktu ke upah.

2. Biaya pemupukan

Pupuk yang digunakan dalam kegiatan pemupukan, yaitu pupuk kandang

dan pupuk kimia. Untuk pupuk kandang dapat diperoleh dengan mengambil dari

kandang sendiri maupun membeli pupuk kandang. Pupuk kandang yang diperoleh

dari kandang sendiri yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengambil pupuk

kandang untuk sejumlah pohon yang ditanam yang disesuaikan dengan takaran

pupuk untuk setiap pohon dan berapa kali pupuk diberikan, yang kemudian

dikonversikan dengan upah dan jam kerja tenaga kerja sehingga diperoleh biaya

yang dikeluarkan. Sedangkan pupuk kandang beli besarnya biaya yang

dikeluarkan yaitu dengan mengalikan harga pupuk per karung dengan jumlah

karung yang dibutuhkan untuk sejumlah pohon yang ditanam yang disesuaikan

dengan takaran pupuk dan berapa kali pemberian pupuk. Berapa kali pemberian

pupuk masing-masing petani berbeda-beda sampai pada umur pohon tertentu.

Sama halnya dengan pupuk kandang beli, besarnya biaya yang dikeluarkan

untuk pupuk kimia yaitu dengan mengalikan harga pupuk kimia per kilogram

dengan jumlah kilogram yang dibutuhkan untuk sejumlah pohon yang ditanam

(24)

kimia yang digunakan, yaitu TS, urea, dan poska. Dalam penggunaan pupuk

kimia, ada petani yang hanya menggunakan urea, urea dicampur poska, urea

dicampur TS, TS dicampur poska, maupun ketiga-tiganya dari pupuk tersebut.

Berdasarkan informasi responden petani, pupuk TS mempunyai fungsi

untuk memperkuat pohon dan mempercepat pertumbuhan pohon. Urea

mempunyai fungsi untuk penyubur daun, tetapi jika pupuk urea diberikan pada

musim kemarau akan menyebabkan daun pada pohon menjadi merah. Poska

mempunyai fungsi yang sama dengan pupuk TS, namun dalam prosesnya pupuk

poska lama untuk diserap oleh tanah dan pohon sedangkan TS lebih cepat diserap

oleh tanah dan pohon.

Penggunaan pupuk baik pupuk kandang maupun pupuk kimia didasarkan

pada masing-masing petani. Terdapat petani yang menggunakan pupuk kandang

terlebih dahulu untuk selanjutnya pupuk kimia, ada yang menggunakan pupuk

kimia terlebih dahulu selanjutnya pupuk kandang, ada yang hanya menggunakan

pupuk kandang, dan ada yang hanya menggunakan pupuk kimia. Sebagian besar

petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang ketika awal tanam untuk

selanjutnya pupuk kimia, karena pohon ketika baru ditanam belum kuat untuk

menerima rangsangan zat-zat kimia, maka untuk awal tanam lebih cocok

menggunakan pupuk kandang yang merupakan pupuk alami.

Dalam pemberian pupuk kimia maupun pupuk kandang yaitu diberikan pada

piringan pohon. Pupuk kandang perlu didiamkan terlebih dahulu kurang lebih 2

minggu di kebun atau pada lubang tanam yang telah dibuat supaya pupuk tersebut

dingin sebelum digunakan.

Biaya total yang dikeluarkan untuk pemupukan yaitu dengan menjumlahkan

biaya untuk pupuk yang digunakan (pupuk kandang maupun pupuk kimia) dengan

biaya untuk kegiatan pemberian pupuk yang dikonversikan ke upah. Petani yang

pohon sengonya tumbuh sendiri tidak ada biaya pupuk yang dikeluarkan, karena

petani hanya membiarkan pohon tumbuh.

3. Biaya pembersihan lahan

Luasan hutan rakyat untuk beberapa petani di Desa Sadeng mempunyai luas

lahan kurang dari 0,25 hektar, namun tetap dikatakan hutan rakyat karena status

(25)

hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai

dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan

karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit.

Kegiatan pembersihan lahan merupakan kegiatan penyiapan lahan untuk

kegiatan penanaman. Kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan oleh petani,

yaitu kegiatan pembersihan dari tumbuhan pengganggu seperti rumput,

alang-alang, dan semak belukar. Kegiatan pembersihan lahan dapat dilakukan secara

manual maupun secara mekanis. Kegiatan pembersihan yang dilakukan secara

manual, yaitu dengan menggunakan parang, golok, cangkul, dan kored. Besarnya

biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pembersihan lahan secara manual yaitu

dengan mengkonversikan waktu ke upah berdasarkan lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk dapat melakukan kegiatan tersebut untuk luas lahan total.

Sedangkan kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan secara mekanis adalah

dengan penyemprotan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan

pembersihan lahan secara mekanis yaitu biaya untuk pembelian obat semprot

(rambo, root up) yang habis dikeluarkan seluas lahan total dan lamanya waktu

yang dibutuhkan untuk kegiatan penyemprotan.

Pohon sengon yang tumbuh sendiri tidak ada kegiatan pembersihan lahan

yang dilakukan, karena pohon tidak sengaja ditanam tetapi hanya dibiarkan

tumbuh. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan

pembersihan lahan seluas lahan dari masing-masing petani tergantung dari kondisi

lahan petani tersebut, yaitu kondisi lahan ringan maupun berat dan disesuaikan

juga dengan produktifitas kerja yang dicurahkan oleh orang yang melakukan

kegiatan tersebut.

4. Biaya pemeliharaan lahan

Kegiatan pemeliharaan lahan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan

pembersihan lahan. Kegiatan pemeliharaan lahan yang dilakukan, yaitu

membersihkan lahan dari rumput, menyiangi, kored (babat), dan menggemburkan

tanah. Kegiatan pemeliharaan lahan dilakukan untuk mendukung pertumbuhan

pohon yang ada pada lahan tersebut khususnya sengon untuk meningkatkan

(26)

Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemeliharaan lahan yaitu dengan

mengkonversikan waktu ke upah berdasarkan lamanya waktu yang dibutuhkan

untuk dapat melakukan kegiatan tersebut untuk luas lahan total. Lamanya waktu

yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pemeliharaan lahan seluas lahan dari

masing-masing petani tergantung dari kondisi lahan petani tersebut, yaitu kondisi

lahan ringan maupun berat, jenis kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani,

dan disesuaikan juga dengan produktifitas kerja yang dicurahkan oleh orang yang

melakukan kegiatan tersebut.

Pemeliharaan lahan juga dapat dilakukan dengan penyemprotan, maka

untuk memperoleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk penyemprotan yaitu

dengan menambahkan biaya untuk pembelian obat semprot (rambo) yang habis

dikeluarkan untuk seluas lahan total dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

kegiatan penyemprotan. Pemeliharaan dilakukan sampai pohon sengon yang

ditanam tersebut ditebang karena kondisi lahan adalah agroforestry yang secara

tidak langsung lahan terpelihara secara rutin karena petani melakukan

pemeliharaan pada tanaman pertaniannya, yang mengakibatkan sengon terpelihara

secara baik sampai pohon sengon tersebut ditebang. Seharusnya pemeliharaan

yang dilakukan pada sengon hanya untuk 1 tahun pertama.

Petani yang pohon sengonnya tumbuh sendiri dan petani tersebut tidak

melakukan pemeliharaan lahan, maka tidak ada biaya pemeliharaan lahan yang

dikeluarkan. Petani hanya membiarkan pohon tumbuh pada lahan kemudian

ditebang.

5. Biaya pemberantasan hama

Beberapa petani mengeluarkan biaya untuk melakukan penyemprotan obat

hama. Biaya yang dikeluarkan untuk obat hama, yaitu sebagai upaya

penanggulangan dan pencegahan pohon terhadap serangan hama agar

pertumbuhan pohon tidak terganggu dan dapat meningkatkan kualitas pohon.

Hanya beberapa petani yang menyemprotkan obat hama pada pohon sengonnya.

Obat hama yang digunakan petani, yaitu dalam bentuk obat hama cair dan

obat hama serbuk. Obat hama diberikan pada sejumlah pohon sengon yang

ditanam yang disesuaikan dengan takaran dan berapa kali pemberian sehingga

(27)

obat hama serbuk (antraksol). Pemberian obat hama dilakukan dengan

penyemprotan. Obat hama biasanya diberikan hanya untuk 1 tahun pertama.

Biaya total yang dikeluarkan untuk pemberantasan hama yaitu dengan

menjumlahkan biaya pembelian untuk obat hama yang digunakan (obat hama cair

maupun obat hama serbuk) dan biaya untuk kegiatan penyemprotan. Biaya yang

dikeluarkan untuk kegiatan penyemprotan yaitu dengan mengkonversikan waktu

ke upah.

6. Biaya penyediaan alat

Beberapa alat yang biasanya digunakan petani dalam mengelola hutan, yaitu

cangkul, parang (arit), kored, golok, garpu, dan semprotan. Harga alat yang

digunakan merupakan harga alat pada waktu petani membeli alat tersebut. Biaya

yang dikeluarkan untuk masing-masing alat yaitu dengan mengkonversi harga

masing-masing alat tersebut dengan hari kerja efektif (hari/tahun) sehingga

diperoleh biaya untuk masing-masing alat (Rp/tahun). Hari kerja efektif yang

ditetapkan yaitu 200 hari/tahun. Petani yang tidak melakukan pembersihan lahan

dan pemeliharaan lahan, maka tidak ada biaya penyediaan alat yang dikeluarkan.

7. Biaya pajak lahan

Bentuk lahan digolongkan menjadi dua, yaitu lahan kering (kebun) dan

lahan basah (sawah). Lokasi lahan masing-masing petani berada pada blok yang

berbeda-beda. Penggolongan blok didasarkan atas kestrategisan suatu tempat

dengan jalan yang telah ditetapkan sebelumnya. Blok dibedakan ke dalam 4 blok,

yaitu blok I, II, III, IV. Blok I merupakan blok yang strategis atau dekat dengan

jalan dan selanjutnya blok 4 merupakan blok yang jauh dari jalan.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dikenakan pada

masing-masing petani berbeda-beda. Hal tersebut disesuaikan dengan bentuk lahan petani

baik kebun maupun sawah dan blok dimana lahan tersebut berada. Besarnya

NJOP yang dikenakan untuk masing-masing blok yaitu untuk NJOP kebun untuk

blok I sebesar Rp 27.000/m²/tahun, blok II sebesar Rp 14.000/m²/tahun, blok III

sebesar Rp 10.000/m²/tahun, dan blok IV sebesar Rp 7.150/m²/tahun. Sedangkan

NJOP sawah untuk blok I sebesar Rp 36.000/m²/tahun, blok II sebesar Rp

27.000/m²/tahun, blok III sebesar Rp 20.000/m²/tahun, dan blok IV sebesar Rp

(28)

Pajak yang dikenakan pada masing-masing petani didasarkan pada NJOP

yang ditetapkan, dimana biaya pajak untuk luas lahan total yang dikenakan

kepada petani adalah dengan mengalikan luas total (m²) dengan NJOP

(Rp/m²/tahun) dan 0,11% (tarif pajak). Jika pajak yang dikenakan pada petani dari

luas total kurang dari Rp 10.000/tahun maka pajak yang dibayarkan oleh petani

bukan sebesar pajak yang dikenakan tetapi sebesar Rp 10.000/tahun, sedangkan

jika pajak yang dikenakan pada petani lebih dari Rp 10.000/tahun maka pajak

yang dibayarkan oleh petani sebesar pajak yang dikenakan tersebut. Terdapat

beberapa petani yang awalnya lahan dalam bentuk sawah berubah fungsi menjadi

kebun yang disebabkan oleh kekeringan, maka NJOP yang dibayarkan yaitu

seharga NJOP sawah karena awalnya lahan dalam bentuk sawah.

Besarnya pajak yang dibayarkan sejumlah sengon yang ditebang untuk

petani yang asal bibitnya dari pohon sengon yang tumbuh sendiri yaitu dengan

mengalikan besarnya pajak yang dibayarkan untuk luas total dengan umur sengon

saat ditebang. Hal tersebut disebabkan karena petani yang pohon sengonnya

tumbuh sendiri tetap membayar pajak seluas lahan total yang dimiliki petani,

karena pohon sengon yang tumbuh sendiri tersebut berada pada lahan dimana

petani mengeluarkan biaya atas pajak untuk lahannya, namun tidak adanya jarak

tanam sehingga tidak diketahuinya luas lahan sengon sehingga biaya pajak yang

dibayarkan sejumlah sengon yang ditebang merupakan biaya dari pajak yang

dibayarkan seluas lahan total.

8. Biaya pemasaran

Biaya pemasaran dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil hutan seperti

biaya untuk menelepon tengkulak langganan. Sebagian besar responden petani

yang menjual hasil hutan tidak mengeluarkan biaya untuk memasarkan hasil hutan

tersebut. Hal ini dikarenakan pembeli (tengkulak) yang mendatangi petani untuk

membeli pohon.

9. Biaya tebang dan biaya angkut

Besarnya biaya tebang dan biaya angkut dikeluarkan oleh petani yang

menggunakan sendiri hasil hutannya, dengan membayar biaya penebangan untuk

1 hari yang berkisar antara Rp 200.000 - Rp 250.000. Biaya tebang tersebut sudah

(29)

Sedangkan besarnya biaya angkut yang dikeluarkan yaitu dengan membayar

secara borongan untuk dapat mengangkut sejumlah kayu hasil tebangan menuju

tempat yang ditetapkan, namun ada pula petani yang mengangkut sendiri hasil

tebangannya sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengolah hasil

hutan yaitu hanya biaya untuk penebangan.

Berdasarkan penjelasan komponen biaya input petani, berikut ini adalah

besarnya biaya input yang dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil hutannya

yang disajikan pada Tabel 1 dan besarnya biaya input yang dikeluarkan oleh

petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Biaya input petani yang menjual hasil hutannya

Komponen Biaya

Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap

(Rp/m³)

Biaya Variabel (Rp/m³)

Biaya Total (Rp/m³) Pajak Lahan 54.314 54.314 Penyediaan Alat 843 843 Bibit, Lubang, Tanam 3.343 3.343 Pupuk 4.471 4.471 Pembersihan Lahan 2.558 2.558 Pemeliharaan Lahan 19.207 19.207 Hama 1.725 1.725 Pemasaran 909 909 Jumlah 55.157 32.214 87.371

Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya input dari 23 orang

responden petani yang menjual hasil hutannya, untuk perhitungannya disajikan

(30)
[image:30.595.112.511.101.292.2]

Tabel 2 Biaya input petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya

Komponen Biaya

Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap

(Rp/m³)

Biaya Variabel (Rp/m³)

Biaya Total (Rp/m³) Pajak Lahan 12.616 12.616 Penyediaan Alat 1.611 1.611 Bibit, Lubang, Tanam 2.778 2.778 Pupuk 431 431 Pembersihan Lahan 2.222 2.222 Pemeliharaan Lahan 17.778 17.778 Hama - - Biaya Tebang 185.738 185.738 Biaya Angkut 74.627 74.627 Jumlah 14.227 283.574 297.800

Keterangan: - = Tidak ada biaya yang dikeluarkan

Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya input dari 2 orang

responden petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya, untuk

perhitungannya disajikan pada Lampiran 8.

Komponen biaya input yang dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil

hutannya pada dasarnya sama dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani yang

menggunakan sendiri hasil hutannya, namun yang membedakan, yaitu biaya

pemasaran, biaya tebang, dan biaya angkut. Biaya pemasaran dikeluarkan oleh

petani yang menjual hasil hutannya untuk memasarkan hasil hutan, tetapi

sebagian besar petani di Desa Sadeng tidak mengeluarkan biaya pemasaran untuk

memasarkan hasil hutannya karena pembeli hasil hutan yang mendatangi petani.

Sedangkan biaya tebang dan angkut dikeluarkan oleh petani yang menggunakan

sendiri hasil hutannya, untuk biaya tebang dan biaya angkut bagi petani yang

menjual hasil hutannya ditanggung oleh pembeli hasil hutan (tengkulak). Pohon

sengon yang ditebang oleh petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya

diolah menjadi berbagai macam produk, seperti deplang, balok, galar, kaso, dan

papan. Produk tersebut digunakan oleh petani untuk memperbaiki rumah.

5.2.1.2Harga Jual Petani

Proses jual beli hasil hutan terjadi antara petani dan pembeli (tengkulak),

yaitu tengkulak mendatangi petani yang mempunyai pohon sengon dan

(31)

tersebut. Proses dalam kegiatan jual beli pohon, yaitu memilih pohon yang akan

dibeli, menghitung jumlahnya, dan menetapkan kesepakatan harga.

Petani menetapkan harga jualnya berdasarkan perkiraan terhadap produk

jadi yang akan diperoleh dari sejumlah pohon yang dibeli tengkulak, namun

produk jadi yang diperkirakan petani terbatas pada informasi pasar yang diketahui

petani yaitu petani hanya memperkirakan harga suatu produk yang diketahuinya

dari jenis produk tertentu. Petani juga memperkirakan besarnya biaya yang harus

dikeluarkan tengkulak dari produk yang akan diperoleh, seperti biaya tebang dan

biaya angkut.

Petani akan menetapkan harga jual setelah mengurangi taksiran pendapatan

produk yang akan diperoleh dengan taksiran biaya yang dikeluarkan tengkulak.

Selanjutnya petani melakukan kesepakatan harga dengan tengkulak untuk

terjadinya proses jual beli. Dalam proses jual beli, pembeli (tengkulak) yang

biasanya menentukan harga pohon dan petani tidak dapat mempertahankan harga

jualnya karena desakan kebutuhan. Petani menerima harga jual berdasarkan

kesepakan bersama. Besarnya harga jual dari 23 orang responden petani yang

menjual hasil hutannya yaitu sebesar Rp 126.952/m³, untuk perhitungannya

disajikan pada Lampiran 9.

5.2.2 Tengkulak

Tengkulak merupakan pembeli hasil hutan dari petani dalam bentuk pohon

berdiri, untuk selanjutnya hasil hutan tersebut disalurkan ke industri pengolahan

kayu berupa hasil tebangan dalam bentuk log maupun balken. Balken merupakan

hasil tebangan yang dibuat dalam bentuk kayu persegian. Penelitian dibatasi untuk

hasil tebangan dalam bentuk balken dengan ukuran 0,1x0,2x2,8 m³, hal ini

disebabkan karena pada umumnya tengkulak mengolah hasil tebangan dalam

bentuk balken dengan ukuran tersebut.

Berikut adalah hasil tebangan dalam bentuk balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³

(32)

Gambar 2 Balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³

Perlu dikeluarkan sejumlah biaya oleh tengkulak untuk dapat mengolah

hasil hutan (pohon berdiri) menjadi hasil tebangan, baik biaya yang dikeluarkan

dalam bentuk uang secara langsung maupun tidak langsung. Biaya yang

dikeluarkan secara tidak langsung maksudnya adalah waktu dan tenaga yang telah

dikorbankan oleh tengkulak dalam menjalankan usahanya. Waktu dan tenaga

tersebut dinyatakan sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya biaya

tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk gaji yang jika dibayarkan dalam 1 bulan

dari kegiatan usaha yang dijalankan.

5.2.2.1Biaya Input Tengkulak

Beberapa biaya input yang dikeluarkan oleh tengkulak, yaitu biaya tebang,

biaya kuli angkut, biaya sewa mobil, biaya kuli muat bongkar, harga beli pohon di

petani, pemasaran, dan gaji tengkulak.

Adapun penjelasan untuk masing-masing komponen biaya input yang

dikeluarkan oleh tengkulak, yaitu:

1. Biaya harga beli pohon di petani

Harga beli pohon merupakan biaya yang dikeluarkan tengkulak sebagai

biaya bahan baku. Langkah awal tengkulak untuk menetapkan harga beli pohon di

petani adalah kemahiran tengkulak dalam menaksir pohon yang dibelinya. Sama

halnya dengan petani, tengkulak memperkirakan produk jadi yang akan diperoleh

dari sejumlah pohon yang akan dibeli dengan mempertimbangkan kondisi pohon

dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dari produk yang akan dihasilkan,

termasuk biaya ketika tengkulak mendatangi petani untuk membeli pohon dan

mempertimbangkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.

Tengkulak biasanya memperkirakan pohon untuk dibuat produk dengan

[image:32.595.221.411.85.195.2]
(33)

dengan hitungan balken terlebih dahulu karena balken merupakan produk yang

ukurannya paling besar, selanjutnya apabila bagian pohon tidak cukup dibuat

balken maka dapat dibuat dengan produk yang ukurannya lebih kecil dari balken,

yaitu deplang, balok, galar.

Tengkulak telah mengetahui informasi harga produk yang akan dibayarkan

industri dari produk yang dibawanya (balken). Kemahiran menaksir pohon

merupakan modal utama tengkulak untuk memperoleh keuntungan dari usaha

yang dijalankannya (memborong kayu). Jika salah dalam melakukan penaksiran

pohon yang dibeli maka tengkulak tersebut akan rugi. Harga beli pohon di petani

dipengaruhi oleh rendemen sebesar 70% ketika pohon berdiri diolah dalam bentuk

balken.

2. Biaya tebang

Penelitian dibatasi pada balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³, sehingga biaya

tebang yang dikeluarkan merupakan biaya tebang untuk balken ukuran

0,1x0,2x2,8 m³.

3. Biaya kuli angkut (hutan-pinggir jalan)

Sama halnya dengan biaya tebang, biaya kuli angkut yang dikeluarkan

merupakan biaya untuk mengangkut balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ dari hutan ke

pinggir jalan.

4. Biaya sewa mobil (pinggir jalan-industri)

Pada umumnya, tengkulak menggunakan mobil jenis pick up untuk

mengangkut balken yang telah dikumpulkan di pinggir jalan menuju industri

penggergajian. Biaya sewa mobil yang dikeluarkan yaitu biaya sewa mobil pick

up untuk satu kali angkutan. Berikut adalah jenis mobil pick up yang digunakan

untuk mengangkut balken.

(34)

5. Biaya kuli muat bongkar (pinggir jalan-industri)

Kegiatan muat bongkar merupakan kegiatan untuk mengangkut balken dari

pinggir jalan ke atas mobil selanjutnya menurunkan kembali balken tersebut

setelah sampai di industri penggergajian. Kegiatan pengangkutan ke atas mobil

dan diturunkan kembali dilakukan oleh kuli angkut muat bongkar secara borongan

atau per team yang biasanya dilakukan oleh 2-3 orang. Upah (biaya) kuli muat

bongkar dibayarkan sesuai jenis mobil yang digunakan untuk per satu kali

angkutan sehingga tidak ada jam kerja untuk kuli muat bongkar, dan upah

dibayarkan secara borongan tidak didasarkan pada jumlah orang yang melakukan

kegiatan tersebut. Mobil pick up merupakan mobil yang umumnya digunakan

untuk mengangkut balken, maka biaya kuli muat bongkar yang dikeluarkan yaitu

biaya kuli muat bongkar untuk mobil pick up per satu kali angkutan.

6. Biaya pemasaran

Tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan, karena tengkulak langsung

membawa balken hasil tebangan menuju industri langganannya.

7. Biaya untuk gaji tengkulak

Dalam menjalankan usahanya, tengkulak telah mengorbankan waktu dan

tenaganya terutama ketika mencari petani untuk membeli pohon dan ketika

melakukan pengolahan pohon berdiri menjadi hasil tebangan (balken). Waktu dan

tenaga yang dikorbankan oleh tengkulak, besarnya dapat dinyatakan dalam bentuk

gaji yang jika dibayarkan dalam 1 bulan sebagai komponen biaya yang harus

dikeluarkan oleh tengkulak dari usaha yang dijalankan. Gaji tengkulak dianggap

sebagai biaya tetap yang dikeluarkan tengkulak dari usaha yang dijalankannya,

karena biaya tersebut dinyatakan sebagai besarnya biaya yang dikeluarkan untuk 1

bulan, walaupun dalam hal ini gaji tersebut tidak dalam bentuk uang secara

langsung, namun dari waktu dan tenaga yang telah dikorbankan jika waktu dan

tenaga tersebut dibayarkan dalam bentuk gaji. Berdasarkan penjelasan komponen

biaya input tengkulak, berikut ini adalah besarnya biaya input yang dikeluarkan

(35)

Tabel 3 Biaya input tengkulak

Komponen Biaya

Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap

(Rp/m³)

Biaya Variabel (Rp/m³)

Biaya Total (Rp/m³) Gaji Tengkulak 85.714 85.714 Tebang 107.143 107.143 Kuli Angkut 44.643 44.643 Sewa Mobil Pick up 30.000 30.000 Kuli Muat Bongkar Mobil Pick up 10.000 10.000 Harga Beli Pohon 132.404 132.404 Pemasaran - - Jumlah 85.714 324.189 409.904

Keterangan: - = Tidak ada biaya yang dikeluarkan

Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya dari 2 orang

responden tengkulak, untuk perhitungannya disajikan pada Lampiran 11.

5.2.2.2Harga Jual Tengkulak

Tengkulak tidak menetapkan harga jual balken, harga jual tengkulak berasal

dari harga beli balken yang telah ditetapkan oleh industri. Industri membayar

balken yang dibawa tengkulak berdasarkan harga balken yang telah ditetapkan per

satuan balken sesuai dengan ukuran balken yang dibawa tengkulak.

Tabel 4 Harga jual tengkulak

Tengkulak

Harga Jual per satuan balken

ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ (Rp/0,056m³)

Harga Jual balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ (Rp/m³)

A 29.000 517.857

D 27.000 482.143

Rata-rata 500.000

5.2.3 Industri

Industri merupakan pembeli hasil te

Gambar

Tabel 1  Biaya input petani yang menjual hasil hutannya
Tabel 2  Biaya input petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya
Gambar 2  Balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³
Gambar 4  Papan ukuran 0,015x0,18x2,8 m³
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data harga jagung pada berbagai tingkat distribusi diketahui bahwa harga yang paling bervariasi adalah harga dari petani kepada tengkulak dengan nilai

Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan petani dengan nilai konstan tidak

Tabel 21 juga menunjukan bahwa komponen biaya variabel menyumbang pengeluaran terbesar dalam industri pengolahan susu kambing menjadi snack candy Ghonam Milk yaitu

getah karet rakyat, kontribusi masing-masing komponen biaya produksi karet rakyat terhadap harga pokok karet rakyat, efisiensi biaya produksi karet rakyat, jumlah produksi dan

Komponen biaya variabel yang dikeluarkan petani pada dalam usahatani pembibitan pre nursery kelapa sawit antara lain biaya, benih, polybag, pupuk, pestisida, tanah

Rincian biaya untuk pemasaran jagung untuk saluran dua yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer, dimana harga jagung pada tingkat

Perhitungan kalkulasi biaya, dapat dilihat bahwa petani tidak mendapatkan nilai tambah tapi minus dari usaha mereka, hasil yang diperoleh petani ini tidak

Perhitungan kalkulasi biaya, dapat dilihat bahwa petani tidak mendapatkan nilai tambah tapi minus dari usaha mereka, hasil yang diperoleh petani ini tidak