ABSTRAK
AFIF SAFARIYAH. Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO.
Analisis rantai nilai diperlukan untuk mengetahui aktor yang terlibat dan karakteristiknya, nilai tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam perdagangan kayu sengon rakyat. Penelitian ini menggunakan
metode snow ball sampling dengan mengikuti alur penyaluran kayu dari bahan
mentah hingga menjadi suatu produk. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh berdasarkan wawancara langsung kepada para aktor yang terlibat di setiap mata rantai dan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Analisis data berupa: identifikasi para aktor, indentifikasi karakteristik masing-masing aktor, analisis nilai tambah, identifikasi saluran pemasaran, dan besarnya volume pohon sengon yang ditebang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa aktor yang terlibat dalam perdagangan kayu sengon rakyat di Desa Sadeng adalah petani, tengkulak, industri penggergajian, dan lembaga pemerintah. Karakteristik aktor petani, tengkulak, dan industri penggergajian dibedakan berdasarkan proses kegiatan usaha yang dilakukan, komponen biaya input yang dikeluarkan, dan harga jual yang ditetapkan. Untuk karakteristik lembaga pemerintah dibedakan berdasarkan wewenangnya terkait perdagangan kayu rakyat. Besarnya nilai tambah yang terdistribusi pada masing-masing aktor bervariasi, yaitu petani sebesar 6,98%, tengkulak sebesar 15,90%, dan industri sebesar 77,12%. Hal tersebut disebabkan karena berbedanya skala usaha dan adanya diversifikasi olahan produk. Terdapat satu saluran pemasaran yang terjadi di Desa Sadeng, yaitu petani ke tengkulak ke industri penggergajian selanjutnya ke konsumen.
ABSTRACT
AFIF SAFARIYAH. Value chain of Sengon trade in Sadeng village Leuwisadeng sub-district Bogor regency. Under supervision of BRAMASTO NUGROHO.
Analysis of value chain is needed to know actors who are involved and their characteristic, added value for each actor, and marketing channel in Sengon trading. This research uses snow ball sampling method by following wood distribution line from raw material to be a product. Data used is primary data based on direct interview to the actors involved in each chain and secondary data from related institutions. Data analysis consist of: identifying the actors, identifying the character of each actors, analysis toward added value, identifying marketing channel, and the volume of Sengon production. The result of this research shows that the actors who are involved in Sengon trading in Sadeng village are farmer, middleman, sawmill, and governmental institutions. The characteristic of farmer, middleman, and sawmill are varied based on the process of bussiness activity applied, input component cost spent, and selling price specified. For the characteristic of governmental institutions is differentiated based on related policy about private woods trading. The amount of added value distributed on each actors varies, that the farmer is 6.98%, middleman is 15.90%, and sawmill is 77.12%. That is caused the distinction of bussiness scale and the diversification of product processed. There is one marketing channel in Sadeng village, that is from the farmer to middleman, then to sawmill, and the last is to consumers.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Salah satu manfaat dari hutan adalah penghasil kayu sebagai
bahan baku industri. Kayu merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak
digunakan untuk berbagai keperluan hampir di semua bidang untuk menunjang
kehidupan manusia. Keunggulan kayu mempunyai penampilan yang menarik dan
mudah diolah dalam berbagai bentuk yang disertai dengan kemajuan teknologi
yang ada menjadi faktor pendorong adanya pengembangan terhadap pemanfaatan
kayu. Dahulu umumnya kayu hanya dapat diolah dalam bentuk dan fungsi
sederhana, tetapi saat ini pemanfaatannya beranekaragam dalam bentuk dan
fungsi yang beragam pula.
Bahan baku kayu yang dihasilkan dapat berasal dari hutan rakyat yaitu
pohon berkayu yang berasal dari lahan milik rakyat. Kayu yang berasal dari hutan
rakyat merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan persediaan bahan baku
kayu, dikarenakan saat ini persediaan bahan baku kayu dari hutan alam semakin
menipis, sedangkan permintaan produk jadi yang berasal dari bahan baku kayu
semakin meningkat.
Hutan rakyat dengan produk utama kayu mempunyai peluang yang sangat
besar untuk dapat bersaing di pasar lokal, regional, nasional, maupun
internasional. Tumbuhnya industri-industri pengolahan yang banyak
memanfaatkan kayu dari hutan rakyat dapat meningkatkan export, sebagai
peluang yang harus dimanfaatkan. Kondisi tersebut mendorong pengembangan
hutan rakyat agar kebutuhan kayu dapat terpenuhi. Peningkatan penggunaan
bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari data BRIK (Badan Revitalisasi Industri
Kehutanan) tahun 2004-2006, dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang
menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%. Hal ini
menunjukan hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah
menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif (BRIK 2007, dalam
Jenis pohon yang dapat dipilih untuk dikembangkan pada hutan rakyat
adalah pohon sengon. Pohon sengon merupakan pohon yang memiliki beberapa
kelebihan, yaitu dapat dipanen pada umur 5-7 tahun setelah tanam, pengelolaan
relatif mudah, persyaratan tempat tumbuh tidak rumit, kayunya serbaguna untuk
berbagai keperluan dalam berbagai bentuk kayu olahan, permintaan pasar terus
meningkat, serta membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan.
Dalam menghasilkan suatu produk jadi yang berasal dari bahan baku kayu
rakyat, didalamnya terlibat para aktor atau stakeholder yang melakukan berbagai
kegiatan. Kegiatan yang dilakukan mulai dari menyediakan bahan baku kayu
(hutan rakyat) hingga kegiatan pengolahan bahan baku kayu yang berasal dari
hutan rakyat tersebut. Dari suatu tegakan berdiri hingga menjadi log atau balken
dan akhirnya menjadi berbagai produk yang siap untuk dipasarkan dan digunakan
oleh konsumen dalam pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya
analisis rantai nilai untuk mengetahui alur kayu yang berasal dari hutan rakyat
hingga menjadi suatu produk. Dalam hal ini akan dianalisa mengenai rantai nilai
perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat di Desa Sadeng
Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan, pada Desa Sadeng sebagian
masyarakatnya memiliki pohon sengon dan didukung dengan adanya industri
penggergajian kayu di desa tersebut, menjadikan Desa Sadeng dipilih untuk
dilakukan penelitian. Hal tersebut disebabkan karena adanya petani yang
menyediakan bahan baku hingga industri yang melakukan pengolahan bahan baku
yang berada dalam satu desa. Penelitian dilakukan untuk mengetahui alur kayu
yang berasal dari hutan rakyat hingga menjadi suatu produk jadi sebagai produk
yang dihasilkan dari desa tersebut untuk dipakai oleh konsumen dalam
pemenuhan kebutuhannya.
1.2 Tujuan Penelitian
Mengetahui aktor atau stakeholder yang terlibat dan karakteristiknya, nilai
tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini, antara lain:
1. Memberikan informasi mengenai para aktor yang terlibat dan karakteristiknya,
nilai tambah masing-masing aktor, dan saluran pemasaran yang terjadi dalam
perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat mulai dari bahan baku
hingga produk jadi yang siap pakai.
2. Memberikan informasi dalam melakukan usaha baik usaha dalam
pembangunan hutan rakyat, usaha memborong kayu, maupun usaha dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) 2.1.1 Klasifikasi Berdasarkan Botanis
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) juga dikenal dengan nama
botani Albizia moluccana Mig; Albizia falcata Backer; Albizia falcataria (L.)
Fosberg. Sengon dapat dikelompokkan ke dalam famili Leguminosae dengan
sub-famili Mimosoidae dan memiliki beberapa nama lokal. Untuk Indonesia, sengon
dikenal dengan beberapa nama sesuai dengan tempat tumbuh tanaman yang
bersangkutan. Di daerah Jawa sengon dikenal dengan nama jeungjing (Sunda) dan
sengon laut (Jawa), di daerah Maluku dikenal dengan nama sika, di daerah
Sulawesi dikenal dengan nama tedehu pute, dan di Papua dikenal dengan
bae/wahogon. Sengon juga memiliki beberapa nama di negara lain, yaitu batai
(Perancis, Jerman, Itali, USA, dan Kanada), kayu machis (Serawak-Malaysia),
dan puah (Brunei Darussalam) (Alrasyid 1993, dalam Siregar et al. 2009).
Pohon sengon tercatat sebagai salah satu pohon yang tercepat
pertumbuhannya di dunia. Pada umur 1 tahun dapat mencapai tinggi 7 m dan pada
umur 12 tahun dapat mencapai tinggi 39 m dengan diameter lebih dari 60 cm dan
tinggi cabang 10-30 m. Diameter pohon yang sudah tua dapat mencapai 1 m,
bahkan kadang lebih. Batang umumnya tidak berbanir, tumbuh lurus, dan
silindris. Pohon sengon memiliki kulit licin, berwarna abu-abu, atau
kehijau-hijauan. Tajuknya berbentuk perisai, jarang, dan selalu hijau. Pohon sengon
memiliki daun majemuk dengan panjang bisa mencapai 40 cm. Dalam satu
tangkai daun terdiri dari 15-25 daun dengan daun berbentuk lonjong (Alrasyid
1993, dalam Siregar et al. 2009).
Bunga berkelamin ganda, kelopak, dan mahkota bunga berbentuk lonceng
dan memiliki benang sari yang banyak serta kepala sari sangat kecil. Di Jawa,
biasanya tanaman sengon berbunga pada bulan Maret-Juni dan
Oktober-Desember. Pohon sengon kadang-kadang mulai berbunga sejak umur 3 tahun.
Buah polong sengon matang sekitar 2 bulan setelah pembungaan dan ketika
penyerbukannya tidak diketahui, tetapi berdasarkan bentuk bunga dapat diduga
bahwa vektornya adalah lebah dan kupu-kupu.
Sengon memiliki buah yang lurus berbentuk polong, retak di sepanjang
kedua sisinya, berisi banyak biji. Pada waktu muda, biji berwarna hijau dan ketika
sudah tua berwarna cokelat tua kekuningan. Biji sengon berbentuk pipih dengan
kulit tebal, tidak bersayap, tanpa endosperma dengan lebar 3-4 mm dan panjang
6-7 mm. Pada bagian tengah terdapat garis melingkar berwarna hijau dan cokelat.
Jumlah biji kering per kilogram berkisar 38.000-40.000 butir. Daya kecambah
rata-rata 80% dengan berat 1.000 butir sekitar 25,0-26,3 gram. Biji sengon
termasuk jenis biji yang ortodoks. Biji sengon dengan kadar air 8% yang disimpan
pada suhu 4-8°C bisa bertahan sampai 1,5 tahun tanpa penurunan viabilitas yang
berarti. Selama penyimpanan, biji sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong
plastik kedap udara.
2.1.2 Syarat Tumbuh
Sengon sangat cocok tumbuh di daerah beriklim basah dengan curah hujan
antara 1.500-4.000 mm per tahun, bahkan Filipina sampai 4.500 mm per tahun
tanpa bulan kering dengan tipe iklim A sampai B. Di Maluku, sengon tumbuh
alami di daerah bercurah hujan lebih dari 1.700 mm/tahun dengan jumlah bulan
kering 3 bulan dan termasuk tipe iklim C.
Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada jenis tanah
yang drainasenya jelek atau tanahnya tandus masih dapat tumbuh. Tanaman ini
dapat tumbuh baik pada jenis tanah regosol, alluvial, dan latosol. Tanah-tanah
tersebut bertekstur lempung berdebu dengan tingkat kemasaman agak masam
sampai netral. Pada tanah yang sangat masam pertumbuhannya kerdil. Tempat
tumbuh terbaik untuk sengon berkisar 10-800 m dpl, tetapi dapat juga tumbuh
sampai ketinggian 1.600 m dpl (Alrasyid 1993, dalam Siregar et al. 2009).
Dari hasil penelitian Sukarya (1997) diacu dalam Siregar et al. (2009)
diketahui bahwa tanaman sengon yang ditanam pada zona agroklimat sangat
sesuai (elevasi: 0-800 m dpl, curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun, bulan kering < 5
bulan, penyinaran 1.000-2.000 jam/tahun, dan RH 70-85%), memiliki panjang
diameter pori 144 µm, berat jenis kayu 0,29, kadar ekstraktif 2,73%, serta
memiliki nilai penyusutan kayu yang lebih kecil.
2.2 Hutan Rakyat
Hutan menurut Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan. Status hutan menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 dibagi
menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Definisi hutan hak menurut
undang-undang tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah. Mengacu pada definisi tersebut maka berdasarkan statusnya, hutan
rakyat termasuk dalam hutan hak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan di dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman
pemanfaatan hutan hak, bahwa hutan hak identik dengan hutan rakyat yang
berupa lahan milik atau lahan yang memiliki sertifikat ijin penggunaan lahan.
Hardjanto (2000) menyatakan bahwa hutan rakyat di Jawa pada umumnya
hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana
minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan
lahan di Jawa sangat sempit. Pengusahaan hutan rakyat di Pulau Jawa pada
umumnya memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana
petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah.
2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan
prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan
sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari
pendapatan total.
Hardjanto (2000) juga menyatakan bahwa pelaku usaha hutan rakyat
rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya, sedangkan
bukan petani adalah pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu buruh,
penyedia jasa tebang, jasa angkutan, pihak yang bergerak dalam pemasaran, dan
industri pengolah hasil hutan rakyat.
2.3 Konsep Biaya
Mulyadi (1990) diacu dalam Nugroho (2002) menyatakan biaya adalah
pengorbanan sumberdaya ekonomi yang dinyatakan dalam satuan moneter (uang),
yang telah terjadi atau akan terjadi untuk tujuan tertentu. Dengan demikian
terdapat 4 unsur pokok dalam definisi tersebut, yaitu:
1. Biaya merupakan pengorbanan sumberdaya ekonomi. Dalam proses produksi
umumnya berupa lahan, tenaga kerja, modal (tetap dan kerja), dan
manajemen/teknologi.
2. Biaya harus dapat diukur dalam satuan uang/moneter.
3. Yang telah terjadi atau potensial terjadi.
4. Untuk tujuan tertentu.
Mulyadi (1990) diacu dalam Nugroho (2002) menyatakan 5 cara
penggolongan biaya, yaitu:
1. Objek pengeluaran
Nama objek pengeluaran merupakan dasar penggolongan biaya, misalnya
biaya bahan bakar, gaji dan upah, depresiasi, asuransi, dan lain-lain.
2. Fungsi pokok dalam perusahaan
Menurut fungsi pokok dalam perusahaan, biaya dapat dibedakan ke dalam 3
jenis, yaitu: (1) Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi untuk
mengolah bahan baku menjadi produk jadi, misalnya biaya bahan baku, upah
langsung, dan overhead. (2) Biaya pemasaran adalah biaya-biaya untuk
melaksanakan kegiatan pemasaran produk, misalnya biaya iklan, promosi,
pengiriman barang, gaji karyawan bagian pemasaran, dan lain-lain. (3) Biaya
administrasi dan umum adalah biaya untuk mengkoordinasikan kegiatan
produksi dan pemasaran, misalnya gaji karyawan bagian keuangan, personalia,
3. Sesuatu yang dibiayai
Menurut sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu:
(1) Biaya langsung yaitu biaya yang secara langsung untuk membiayai suatu
kegiatan produksi, misalnya biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung,
dan lain sebagainya. (2) Biaya tak langsung yaitu biaya yang dikeluarkan untuk
mendukung produksi. Termasuk di sini adalah biaya yang dikeluarkan oleh
suatu departemen, tetapi manfaatnya dinikmati oleh lebih dari satu departemen,
misalnya biaya listrik, overhead pabrik, gaji pengawas beberapa produk, dan
lain sebagainya.
4. Jangka waktu manfaat
Menurut jangka waktu manfaatnya, biaya dapat dibedakan ke dalam 2
golongan, yaitu: (1) Pengeluaran modal (capital expenditures) yaitu biaya yang
mempunyai manfaat lebih dari satu periode produksi (turn over), misalnya
biaya pembelian alat produksi. Biaya tersebut dibebankan melalui depresiasi
dan deplesi. (2) Pengeluaran penerimaan (revenue expenditure) yaitu biaya
yang hanya mempunyai manfaat dalam satu kali periode produksi (turn over),
misalnya bahan baku, bahan penolong, dan lain-lain.
5. Perilaku terhadap perubahan volume kegiatan
Menurut perilaku terhadap perubahan volume kegiatan, biaya dapat dibedakan
ke dalam 2 jenis, yaitu: (1) Biaya tetap yaitu biaya yang jumlah totalnya tetap
dalam satuan unit waktu tertentu, tetapi akan berubah per satuan unitnya jika
volume produksi per satuan waktu tersebut berubah. Biaya ini akan terus
dikeluarkan walaupun tidak berproduksi, misalnya depresiasi, bunga modal,
pajak langsung, gaji karyawan tetap, dan lain sebagainya. (2) Biaya variabel
yaitu biaya yang per satuan unit produksinya tetap, tetapi akan berubah jumlah
totalnya jika volume produksinya berubah. Biaya ini tidak diperlukan apabila
tidak berproduksi, misalnya upah borongan, bahan baku, pemeliharaan dan
perbaikan, biaya ban untuk alat angkut, dan lain sebagainya.
2.4 Konsep Rantai Nilai
Rantai nilai merupakan suatu alat utama untuk mempelajari semua kegiatan
berinteraksi. Porter (1980) diacu dalam Gayatri (2009) menyatakan bahwa rantai
nilai sebagai alat utama untuk mengidentifikasi cara menciptakan nilai bagi
pelanggan yang lebih tinggi. Kerangka rantai nilai (value chain framework)
merupakan suatu metoda memecah rantai (chain), dari bahan mentah sampai
dengan pengguna akhir ke dalam aktivitas-aktivitas strategis yang relevan untuk
memahami perilaku biaya dan sumber-sumber diferensiasi, karena suatu aktivitas
biasanya hanya merupakan bagian dari himpunan aktivitas yang lebih besar dari
suatu sistem yang menghasilkan nilai. Setiap perusahaan terdiri dari kumpulan
aktivitas yang dilaksanakan untuk merancang, memproduksi, memasarkan,
menyerahkan, dan mendukung produk perusahaan.
Kaplinsky dan Morris (2000) diacu dalam Gayatri (2009) menggambarkan
rantai nilai dari seluruh kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau
jasa. Proses tersebut dimulai dari mendesain produk (barang atau jasa) yang akan
dihasilkan, proses menghasilkan produk, memasarkan produk, dan mendaur ulang
produk tersebut. Secara lengkap disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Rantai nilai sederhana
2.5 Konsep Nilai Tambah
Dalam industri nilai tambah berarti ukuran untuk menyatakan sumbangan
proses produksi terhadap nilai jual suatu barang. Nilai tambah tersebut dapat
dinyatakan untuk tiap meter kubik kayu bulat, setiap dolar modal, setiap orang
kerja, dan sebagainya (Widarmana 1978, dalam Tarigan 1998). Nilai tambah
menurut Gittinger (1986) diacu dalam Tarigan (1998) adalah nilai output
dikurangi input yang dibeli dari luar. Dalam tiap satuan produksi, nilai tambah
diukur dengan perbedaan antara nilai output perusahaan dan nilai seluruh input
yang dibeli dari luar perusahaan.
Nilai Tambah = Nilai Penjualan (Output) – Nilai Pembelian (Input)
2.6 Konsep Pemasaran 2.6.1 Pengertian Pemasaran
Kotler (1997) diacu dalam Munawar (2010) mendefinisikan pemasaran
adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau
kelompok dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui pembuatan dan
pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok
lainnya. Sudiyono (2002) diacu dalam Munawar (2010) mendefinisikan
pemasaran pertanian adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak
milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi
pemasaran.
2.6.2 Pelaku (lembaga) dan Saluran Pemasaran
Lembaga pemasaran adalah suatu badan atau lembaga yang berusaha dalam
bidang pemasaran, mendistribusikan barang dari produsen sampai konsumen
melalui proses perdagangan (Limbong & Sitorus 1985, dalam Munawar 2010).
Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang
terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk
digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas
memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan
waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari
orang-orang yang membutuhkan (Kotler 1997, dalam Munawar 2010).
Limbong dan Sitorus (1985) diacu dalam Munawar (2010) menyatakan
bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya
tingkat saluran. Panjangnya suatu saluran tataniaga/pemasaran akan ditentukan
oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Saluran
pemasaran tersebut meliputi:
1. Saluran non tingkat (zero level channel) adalah saluran dimana produsen atau
pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen.
2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu
perantara.
3. Saluran dua tingkat (two level channel), mencakup dua perantara.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng
Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2012.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kalkulator,
kamera, alat perekam, kuisioner, dan microsoft office excel. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
3.3 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada para aktor
(responden) yang terlibat di setiap mata rantai (petani, tengkulak, industri
penggergajian, dan lembaga pemerintah) yang dilakukan secara sengaja
berdasarkan alur perdagangan kayu sengon dalam penyalurannya, dari
menyediakan bahan baku (hutan rakyat) hingga menjadi suatu produk jadi.
Data primer yang dikumpulkan mencakup:
1. Identifikasi para aktor yang terlibat berdasarkan keterkaitan antar aktor dengan
mengikuti alur perdagangan kayu sengon dari bahan mentah hingga menjadi
suatu produk.
2. Identifikasi karakteristik masing-masing aktor yang terlibat berdasarkan proses
kegiatan usaha (petani, tengkulak, industri penggergajian) dan wewenangnya
(lembaga pemerintah).
3. Data komponen biaya input dan harga jual masing-masing aktor (petani,
tengkulak, industri penggergajian) kecuali lembaga pemerintah.
Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti kantor desa
dan kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT).
Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:
2. Data kondisi umum lokasi penelitian.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Metode Pengambilan Responden
Pengambilan responden petani dilakukan secara snow ball sampling yaitu
suatu metode dimana responden dipilih secara sengaja untuk dilakukan
wawancara atas rekomendasi yang ditunjuk oleh responden sebelumnya yang
telah diwawancarai tentang siapa saja responden lainnya yang dapat dimintai
informasi terkait penelitian yang dilakukan. Konsep metode snow ball sampling
adalah informasi yang diperoleh akan semakin banyak seiring berjalannya waktu
(proses pengambilan informasi) seperti bola salju yang menggelinding, semakin
menggelinding maka bentuk bola akan semakin besar. Teknik pengambilan
responden petani menggunakan metode snow ball sampling dilakukan dengan
kriteria responden petani pernah menebang pohon sengon dengan batas
penebangan 5 tahun terakhir.
Pengambilan responden dilakukan pada beberapa kelompok tani desa.
Terdapat empat kelompok tani di Desa Sadeng, yaitu kelompok tani Cikadu dan
kelompok tani Tunas Harapan yang berada di Dusun Cikadu dan Gunung Sereh,
kelompok tani Dukuh Manggu yang berada di Dusun Paku, dan kelompok tani
Sugih Tani yang berada di Dusun Sadeng. Jumlah total anggota tani dari empat
kelompok tani berjumlah 123 orang dengan masing-masing anggota untuk setiap
kelompok tani, yaitu kelompok tani Tunas Harapan berjumlah 38 orang,
kelompok tani Cikadu berjumlah 20 orang, kelompok tani Dukuh Manggu
berjumlah 40 orang, dan kelompok tani Sugih Tani berjumlah 25 orang.
Langkah awal pengambilan responden yang dilakukan pada masing-masing
kelompok tani adalah menemui ketua tani untuk mengetahui nama-nama petani
yang menjadi anggota dalam kelompok tani dan menggali informasi mengenai
petani yang pernah menebang pohon sengon dengan batas penebangan 5 tahun
terakhir untuk dilakukan wawancara, termasuk ketua tani itu sendiri apabila
pernah melakukan penebangan pohon sengon.
Berdasarkan informasi yang diketahui ketua tani mengenai anggota tani
yang pernah melakukan penebangan pohon sengon, maka ketua tani menunjuk
nama anggota yang ditunjuk tersebut. Selanjutnya anggota tersebut menunjuk
anggota (responden) lainnya yang juga pernah menebang pohon sengon dan
seterusnya, sehingga penunjukan responden lainnya didasarkan pada informasi
yang diketahui oleh responden yang sebelumnya telah diwawancarai mengenai
petani yang pernah menebang pohon sengon dengan batas penebangan 5 tahun
terakhir.
Pengambilan responden dilakukan selama responden yang diwawancarai
masih merekomendasikan nama responden yang berbeda untuk dilakukan
wawancara selanjutnya, sedangkan apabila responden yang diwawancarai
menyebutkan atau menunjuk nama responden yang sama artinya nama responden
yang ditunjuk tersebut merupakan responden yang sudah dilakukan wawancara
sebelumnya, maka pengambilan responden tidak bisa dilanjutkan. Diperoleh 25
orang responden petani dari 123 orang anggota yang tergabung dalam empat
kelompok tani. Banyaknya responden yang diambil untuk masing-masing
kelompok tani, yaitu untuk kelompok tani Tunas Harapan sebanyak 7 orang,
kelompok tani Cikadu sebanyak 7 orang, kelompok tani Dukuh Manggu sebanyak
8 orang, dan kelompok tani Sugih Tani sebanyak 3 orang.
Pengambilan responden tengkulak dan industri dilakukan secara sengaja
mengikuti alur kayu dalam penyalurannya. Pengambilan responden tengkulak
berdasarkan alur kayu dari petani, dengan kriteria tengkulak yang diambil
merupakan tengkulak desa dan tengkulak tersebut menjual kayunya pada industri
yang juga berada dalam satu desa. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu
produk yang berasal dari Desa Sadeng, mulai dari menyediakan bahan baku
hingga pengolahan bahan baku tersebut dengan keterlibatan aktor yang berada
dalam lingkup desa. Diperoleh 2 orang tengkulak secara sengaja berdasarkan alur
penyaluran kayu dari petani yang menjual hasil hutannya melalui tengkulak.
Selanjutnya diperoleh 2 industri hasil alur penyaluran kayu dari tengkulak,
sedangkan untuk lembaga pemerintah yang terlibat dalam perdagangan kayu
sengon rakyat ditelusuri berdasarkan alur perdagangan kayu sengon dalam
3.4.2 Analisis Rantai Nilai Perdagangan Kayu Sengon Rakyat 3.4.2.1Identifikasi Para Aktor
Identifikasi aktor sepanjang rantai nilai kayu sengon dilakukan melalui
penelusuran dan keterkaitan antar aktor. Dimulai dari petani, tengkulak, industri
penggergajian yang dilakukan secara sengaja dengan mengikuti alur perdagangan
kayu sengon dalam penyalurannya dari produsen sampai konsumen akhir (dari
bahan mentah hingga menjadi suatu produk jadi) hingga lembaga pemerintah
(kantor desa dan kantor unit pelaksana teknis) yang ikut berperan dan mempunyai
wewenang dalam perdagangan kayu rakyat.
3.4.2.2Identifikasi Karakteristik Masing-masing Aktor
Petani, tengkulak, maupun industri penggergajian mempunyai
karakteristiknya masing-masing dalam melakukan perdagangan kayu sengon baik
dalam komponen biaya input yang dikeluarkan, harga jual yang ditetapkan, dan
proses kegiatan usaha yang dilakukan, serta lembaga pemerintah yang mempunyai
wewenangnya masing-masing terkait perdagangan kayu rakyat.
3.4.2.3Analisis Nilai Tambah
Untuk mengetahui besarnya nilai tambah yang diterima masing-masing
aktor (petani, tengkulak, industri penggergajian) sepanjang rantai nilai kayu
sengon rakyat, maka dilakukan perhitungan nilai tambah pada masing-masing
aktor berdasarkan harga jual dan besarnya biaya input yang dikeluarkan menurut
Gittinger (1986) diacu dalam Tarigan (1998) yang dirumuskan sebagai berikut:
Nilai Tambah = Nilai Penjualan (Output) – Nilai Pembelian (Input)
3.4.2.4Identifikasi Saluran Pemasaran
Identifikasi saluran pemasaran yang terjadi di sepanjang rantai nilai
perdagangan kayu sengon rakyat dengan keterlibatan para aktor yang saling
terkait dalam penyalurannya. Saluran pemasaran ditelusuri dari titik produsen
sampai konsumen akhir yaitu mulai dari menyediakan bahan baku (hutan rakyat)
hingga menjadi suatu produk yang siap pakai. Rantai pemasaran tersebut
dijadikan dasar dalam menggambarkan pola saluran pemasaran yang terjadi
3.4.2.5Volume Pohon Sengon yang Ditebang
Perhitungan yang dilakukan untuk memperoleh besarnya volume pohon
sengon yang ditebang dari petani yang menjual hasil hutannya yaitu dengan
melakukan perhitungan berdasarkan penyusunan tabel volume pohon jenis sengon
di KPH Bogor Jawa Barat, dengan persamaan regresi yang digunakan menurut
Sofwan et al. (1995) diacu dalam Fajarwati (2005) yang dirumuskan sebagai
berikut:
LogVpkt = -3,8590+2,4798log d
Keterangan:
Vpkt = Volume di bawah pangkal tajuk (m³)
d = Diameter setinggi dada (cm)
Besarnya volume pohon sengon yang ditebang dari petani yang
menggunakan sendiri hasil hutannya yaitu dengan menghitung kubikasi dari
produk yang dihasilkan berdasarkan jenis produk, ukuran produk, dan banyaknya
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Berdasarkan data laporan tahunan Desa Sadeng tahun 2011, bahwa kondisi
umum Desa Sadeng adalah sebagai berikut:
4.1 Kondisi Geografis
Desa Sadeng terletak di barat wilayah Kabupaten Bogor, luas wilayah
tercatat ± 463 Ha, dengan batas-batasnya sebelah Utara Desa Banyuresmi (Kec.
Cigudeg), sebelah Selatan Desa Babakan Sadeng (Kec. Leuwisadeng), sebelah
Barat Desa Kalong II (Kec. Leuwisadeng), sebelah Timur Desa Sibanteng (Kec.
Leuwisadeng). Pada peta rupa bumi Desa Sadeng terbentang pada hamparan
bidang wilayah berada pada elevasi antara 101-500 meter diatas permukaan laut
(m dpl). Bentuk wilayah desa berupa daratan berbukit, curah hujan 2.500-3.000
mm/tahun, dan suhu rata-rata 25-30°C. Terbentang satu hulu sungai yaitu Sungai
Cikaniki umumnya lebih dominan dimanfaatkan untuk sumber pengairan, kolam,
empang, dan keperluan lain.
4.2 Administrasi Kewilayahan
Wilayah Desa Sadeng secara administrasi kewilayahan, terdiri dari 30
Rukun Tetangga (RT), 6 Rukun Warga (RW), dan 3 dusun. Ketiga dusun tersebut
diantaranya Dusun Paku, Dusun Sadeng, serta Dusun Gunung Sereh dan Cikadu.
4.3 Kondisi Demografi
Penduduk Desa Sadeng hingga akhir bulan Desember 2010 tercatat
sejumlah 11.258 jiwa, terdiri dari laki-laki 5.852 jiwa, perempuan 5.406 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga 2.640 Kepala Keluarga (KK). Dari jumlah
populasi penduduk tersebut sekitar 49% berumur antara 19-60 tahun atau
merupakan usia angkatan kerja produktif.
4.4 Kondisi Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya penduduk Desa Sadeng menunjukan profil
usaha ekonomi masyarakat di tiga bidang pekerjaan, yaitu pertanian, perdagangan,
dan buruh industri; (b) karakteristik sosial budaya relatif ada perubahan menuju
heterogen dengan banyaknya pendatang dari luar kota; (c) sosial agama penduduk
yang mayoritas muslim.
4.5 Kondisi Sosial Pendidikan
Kondisi sosial pendidikan masyarakat cenderung masih sangat rendah,
sebagaimana ditunjuk antara lain tidak tamat SD sebanyak 789 orang, tamatan SD
4.199 orang, tamatan SLTP 1.600 orang, tamatan SMA 1.610 orang, serta tamatan
diploma sampai sarjana sebanyak 255 orang.
4.6 Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi menunjukan yang menjadi petani 582 orang,
pedagang 200 orang, buruh pabrik 50 orang, wiraswasta 300 orang, dan lain-lain.
4.7 Kondisi Keamanan dan Ketertiban Umum
Bidang keamanan dan ketertiban umum sebagai etalase pertama
pemerintahan bidang ketentraman dan ketertiban umum dihadapan masyarakat
sebagai motivator dan pembina yang berhadapan langsung dengan masyarakat.
Untuk itu kinerja bidang keamanan baik dan buruknya akan berdampak pada
tingkat kepuasan masyarakat di dalam kegiatan pelayanan dan program
pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum.
Secara umum kondisi sosial politik serta ketentraman dan ketertiban di
wilayah Desa Sadeng cukup aman dan terkendali. Anggota Linmas Desa Sadeng
berjumlah 70 orang yang tersebar di setiap RT. Berkaitan dengan keamanan dan
ketertiban, pemerintah Kabupaten Bogor sudah mempunyai kantor Kesbang dan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Para Aktor
Dalam rantai nilai perdagangan kayu sengon yang berasal dari hutan rakyat,
terlibat beberapa aktor (stakeholder) untuk menghasilkan suatu produk jadi
dimulai dari kegiatan menyediakan bahan baku (hutan rakyat) sampai kegiatan
pengolahan bahan baku tersebut hingga menjadi suatu produk yang siap pakai
oleh konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Aktor yang terlibat dalam
perdagangan kayu sengon rakyat di Desa Sadeng adalah petani, tengkulak,
industri penggergajian, dan lembaga pemerintah yang berwenang.
Hardjanto (2000) menegaskan bahwa pelaku usaha hutan rakyat dibedakan
menjadi dua, yaitu petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat
adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya, sedangkan bukan
petani adalah pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu buruh,
penyedia jasa tebang, jasa angkutan, pihak yang bergerak dalam pemasaran, dan
industri pengolah hasil hutan rakyat.
5.2 Karakteristik Masing-masing Aktor
Identifikasi aktor setiap mata rantai dilakukan berdasarkan karakteristiknya
masing-masing, karena setiap aktor mempunyai karakteristik yang berbeda-beda
terutama dalam komponen biaya input yang dikeluarkan, harga jual yang
ditetapkan, proses kegiatan usaha yang dilakukan, serta wewenangnya terkait
perdagangan kayu rakyat. Adapun penjelasan mengenai karakteristik dari
masing-masing aktor, yaitu:
5.2.1 Petani
Petani hutan rakyat di Desa Sadeng merupakan petani yang mengelola
hutannya dengan sistem agroforestry, dimana hasil yang diperoleh berupa hasil
pertanian dan hasil kehutanan yang salah satunya adalah pohon sengon. Hasil
pertanian memberikan penghasilan yang lebih besar dibandingkan hasil hutannya
yang hanya sebagai penghasilan tambahan. Hal ini disebabkan petani lebih
dapat diperoleh dalam jangka waktu yang singkat dan berkala, berbeda dengan
menanam pohon yang hasilnya dapat dinikmati dalam jangka waktu yang lama.
Hasil hutan (pohon sengon) yang ditebang dapat digunakan untuk dipakai
sendiri maupun menjual hasil hutan tersebut. Dari 25 orang responden petani,
dimana sebanyak 23 responden lebih menjual hasil hutannya dalam bentuk pohon
berdiri, sedangkan 2 responden lainnya menggunakan hasil hutannya untuk
dipakai sendiri. Petani hutan rakyat perlu mengeluarkan sejumlah biaya untuk
dapat memperoleh hasil hutan, baik biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang
secara langsung maupun tidak langsung. Biaya yang dikeluarkan secara tidak
langsung maksudnya adalah waktu dan tenaga yang telah dikorbankan oleh petani
untuk dapat memperoleh hasil hutan. Waktu dan tenaga tersebut dinyatakan
sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya biaya tersebut dapat diperoleh
dengan mengkonversikan waktu ke upah yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan suatu kegiatan dikonversi dengan waktu kerja tenaga kerja
(jam/hari) dan upah tenaga kerja (Rp/hari).
5.2.1.1Biaya Input Petani
Beberapa biaya input yang dikeluarkan oleh petani, yaitu biaya pajak lahan,
biaya penyediaan alat, biaya bibit, biaya pelubangan, biaya penanaman, biaya
pupuk, biaya pembersihan lahan, biaya pemeliharaan lahan, biaya pemberantasan
hama, biaya pemasaran, biaya tebang, dan biaya angkut.
Adapun penjelasan untuk masing-masing komponen biaya input yang
dikeluarkan oleh petani, yaitu:
1. Biaya pengadaan bibit, lubang, tanam
Asal bibit pohon sengon dari 25 responden petani yang diwawancarai
berasal dari bibit cabutan, bibit hasil penyemaian (biji-bibit), bibit beli, dan bibit
yang tumbuh sendiri. Bibit cabutan yaitu bibit yang tumbuh sendiri pada lahan
karena biji yang jatuh dari pohon induknya atau biji terbawa angin yang dibiarkan
tumbuh kemudian dipindah-pindahkan agar terpelihara dengan baik, dimana
masyarakat menyebutnya dengan istilah bibit petet. Bibit cabutan diperoleh
dengan tidak mengeluarkan biaya dalam bentuk uang secara langsung, tetapi
mengorbankan waktu dan tenaga untuk dapat memperoleh sejumlah bibit tersebut.
dikeluarkan oleh petani, yang dalam perhitungannya dilakukan dengan
mengkonversikan waktu ke upah yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan suatu kegiatan dikonversi dengan waktu kerja tenaga kerja (jam/hari)
dan upah tenaga kerja (Rp/hari).
Informasi mengenai waktu kerja dan upah tenaga kerja yang diperoleh dari
masing-masing responden petani berbeda-beda. Informasi tersebut didasarkan
pada pengalaman petani apabila petani tersebut pernah menggunakan tenaga kerja
dalam pengelolaan hutannya dari upah yang pernah dibayarkan kepada tenaga
kerja, sedangkan apabila petani tersebut tidak pernah menggunakan tenaga kerja
maka informasi yang disampaikan petani didasarkan pada informasi yang
diketahui petani tersebut mengenai upah pasaran tenaga kerja di desa tersebut
maupun informasi yang diketahui dari sesama petani.
Perhitungan biaya untuk bibit hasil penyemaian yang dilakukan responden
petani, dimana bijinya berasal dari kegiatan mengumpulkan biji pada lahan hutan
adalah dengan mengkonversi waktu ke upah seperti halnya dengan perhitungan
bibit cabutan yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan biji
hingga biji tersebut bersih dari kulitnya.
Proses penyemaian dilakukan dengan cara merendam biji dengan air panas
selama beberapa menit sampai air panas tersebut dingin, namun lamanya proses
perendaman disesuaikan dengan kondisi biji. Biji hasil rendaman kemudian
dipindahkan ke polibag, dimana polibag telah terisi media (tanah, sekam, pupuk
kandang, dan pupuk kimia). Selain merendam biji dengan air panas, proses
penyemaian juga dapat dilakukan dengan membakar biji secara bersamaan dengan
rumput hasil pembersihan lahan. Tidak ada lamanya waktu untuk proses
pembakaran. Hasil pembakaran dibiarkan pada lahan hingga tumbuh semai.
Biasanya semai tumbuh setelah 2 minggu dari proses pembakaran. Selanjutnya
semai tersebut dipindahkan ke polibag yang sudah terisi media. Setelah 2 bulan,
semai yang dipindahkan ke polibag akan tumbuh menjadi bibit yang selanjutnya
bibit tersebut dipindahkan ke tanah untuk ditanam.
Dalam proses penyemaian, terdapat beberapa kegiatan lainnya yang perlu
dikonversikan ke upah selain kegiatan mengumpulkan biji, yaitu kegiatan
pembakaran pada polibag yang telah terisi media, selanjutnya memindahkan
semai yang telah menjadi bibit pada tanah. Untuk perlakuan pada benih (lamanya
benih direndam atau dibakar, dan lamanya waktu tumbuh dari benih hingga
menjadi semai selanjutnya hingga menjadi bibit yang siap tanam) tidak
dikonversikan ke upah karena tidak ada waktu dan tenaga yang dikorbankan,
namun hanya lamanya proses yang terjadi pada benih.
Perhitungan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk bibit beli yaitu dengan
mengalikan harga per satuan bibit dengan jumlah bibit yang dibeli. Harga per
satuan bibit sengon bervariasi mulai dari Rp 800/bibit hingga Rp 1.500/bibit,
sedangkan untuk bibit sengon yang tumbuh sendiri tidak ada biaya yang
dikeluarkan karena bibit hanya dibiarkan tumbuh tanpa adanya waktu atau tenaga
yang dikorbankan untuk memperoleh bibit tersebut.
Sama halnya dengan bibit cabutan dan bibit hasil penyemaian, dimana untuk
memperoleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pembuatan lubang
dan kegiatan penanaman yaitu dengan mengkonversikan waktu ke upah.
2. Biaya pemupukan
Pupuk yang digunakan dalam kegiatan pemupukan, yaitu pupuk kandang
dan pupuk kimia. Untuk pupuk kandang dapat diperoleh dengan mengambil dari
kandang sendiri maupun membeli pupuk kandang. Pupuk kandang yang diperoleh
dari kandang sendiri yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengambil pupuk
kandang untuk sejumlah pohon yang ditanam yang disesuaikan dengan takaran
pupuk untuk setiap pohon dan berapa kali pupuk diberikan, yang kemudian
dikonversikan dengan upah dan jam kerja tenaga kerja sehingga diperoleh biaya
yang dikeluarkan. Sedangkan pupuk kandang beli besarnya biaya yang
dikeluarkan yaitu dengan mengalikan harga pupuk per karung dengan jumlah
karung yang dibutuhkan untuk sejumlah pohon yang ditanam yang disesuaikan
dengan takaran pupuk dan berapa kali pemberian pupuk. Berapa kali pemberian
pupuk masing-masing petani berbeda-beda sampai pada umur pohon tertentu.
Sama halnya dengan pupuk kandang beli, besarnya biaya yang dikeluarkan
untuk pupuk kimia yaitu dengan mengalikan harga pupuk kimia per kilogram
dengan jumlah kilogram yang dibutuhkan untuk sejumlah pohon yang ditanam
kimia yang digunakan, yaitu TS, urea, dan poska. Dalam penggunaan pupuk
kimia, ada petani yang hanya menggunakan urea, urea dicampur poska, urea
dicampur TS, TS dicampur poska, maupun ketiga-tiganya dari pupuk tersebut.
Berdasarkan informasi responden petani, pupuk TS mempunyai fungsi
untuk memperkuat pohon dan mempercepat pertumbuhan pohon. Urea
mempunyai fungsi untuk penyubur daun, tetapi jika pupuk urea diberikan pada
musim kemarau akan menyebabkan daun pada pohon menjadi merah. Poska
mempunyai fungsi yang sama dengan pupuk TS, namun dalam prosesnya pupuk
poska lama untuk diserap oleh tanah dan pohon sedangkan TS lebih cepat diserap
oleh tanah dan pohon.
Penggunaan pupuk baik pupuk kandang maupun pupuk kimia didasarkan
pada masing-masing petani. Terdapat petani yang menggunakan pupuk kandang
terlebih dahulu untuk selanjutnya pupuk kimia, ada yang menggunakan pupuk
kimia terlebih dahulu selanjutnya pupuk kandang, ada yang hanya menggunakan
pupuk kandang, dan ada yang hanya menggunakan pupuk kimia. Sebagian besar
petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang ketika awal tanam untuk
selanjutnya pupuk kimia, karena pohon ketika baru ditanam belum kuat untuk
menerima rangsangan zat-zat kimia, maka untuk awal tanam lebih cocok
menggunakan pupuk kandang yang merupakan pupuk alami.
Dalam pemberian pupuk kimia maupun pupuk kandang yaitu diberikan pada
piringan pohon. Pupuk kandang perlu didiamkan terlebih dahulu kurang lebih 2
minggu di kebun atau pada lubang tanam yang telah dibuat supaya pupuk tersebut
dingin sebelum digunakan.
Biaya total yang dikeluarkan untuk pemupukan yaitu dengan menjumlahkan
biaya untuk pupuk yang digunakan (pupuk kandang maupun pupuk kimia) dengan
biaya untuk kegiatan pemberian pupuk yang dikonversikan ke upah. Petani yang
pohon sengonya tumbuh sendiri tidak ada biaya pupuk yang dikeluarkan, karena
petani hanya membiarkan pohon tumbuh.
3. Biaya pembersihan lahan
Luasan hutan rakyat untuk beberapa petani di Desa Sadeng mempunyai luas
lahan kurang dari 0,25 hektar, namun tetap dikatakan hutan rakyat karena status
hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai
dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan
karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit.
Kegiatan pembersihan lahan merupakan kegiatan penyiapan lahan untuk
kegiatan penanaman. Kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan oleh petani,
yaitu kegiatan pembersihan dari tumbuhan pengganggu seperti rumput,
alang-alang, dan semak belukar. Kegiatan pembersihan lahan dapat dilakukan secara
manual maupun secara mekanis. Kegiatan pembersihan yang dilakukan secara
manual, yaitu dengan menggunakan parang, golok, cangkul, dan kored. Besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pembersihan lahan secara manual yaitu
dengan mengkonversikan waktu ke upah berdasarkan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk dapat melakukan kegiatan tersebut untuk luas lahan total.
Sedangkan kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan secara mekanis adalah
dengan penyemprotan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan
pembersihan lahan secara mekanis yaitu biaya untuk pembelian obat semprot
(rambo, root up) yang habis dikeluarkan seluas lahan total dan lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk kegiatan penyemprotan.
Pohon sengon yang tumbuh sendiri tidak ada kegiatan pembersihan lahan
yang dilakukan, karena pohon tidak sengaja ditanam tetapi hanya dibiarkan
tumbuh. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan
pembersihan lahan seluas lahan dari masing-masing petani tergantung dari kondisi
lahan petani tersebut, yaitu kondisi lahan ringan maupun berat dan disesuaikan
juga dengan produktifitas kerja yang dicurahkan oleh orang yang melakukan
kegiatan tersebut.
4. Biaya pemeliharaan lahan
Kegiatan pemeliharaan lahan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan
pembersihan lahan. Kegiatan pemeliharaan lahan yang dilakukan, yaitu
membersihkan lahan dari rumput, menyiangi, kored (babat), dan menggemburkan
tanah. Kegiatan pemeliharaan lahan dilakukan untuk mendukung pertumbuhan
pohon yang ada pada lahan tersebut khususnya sengon untuk meningkatkan
Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pemeliharaan lahan yaitu dengan
mengkonversikan waktu ke upah berdasarkan lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk dapat melakukan kegiatan tersebut untuk luas lahan total. Lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pemeliharaan lahan seluas lahan dari
masing-masing petani tergantung dari kondisi lahan petani tersebut, yaitu kondisi
lahan ringan maupun berat, jenis kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani,
dan disesuaikan juga dengan produktifitas kerja yang dicurahkan oleh orang yang
melakukan kegiatan tersebut.
Pemeliharaan lahan juga dapat dilakukan dengan penyemprotan, maka
untuk memperoleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk penyemprotan yaitu
dengan menambahkan biaya untuk pembelian obat semprot (rambo) yang habis
dikeluarkan untuk seluas lahan total dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
kegiatan penyemprotan. Pemeliharaan dilakukan sampai pohon sengon yang
ditanam tersebut ditebang karena kondisi lahan adalah agroforestry yang secara
tidak langsung lahan terpelihara secara rutin karena petani melakukan
pemeliharaan pada tanaman pertaniannya, yang mengakibatkan sengon terpelihara
secara baik sampai pohon sengon tersebut ditebang. Seharusnya pemeliharaan
yang dilakukan pada sengon hanya untuk 1 tahun pertama.
Petani yang pohon sengonnya tumbuh sendiri dan petani tersebut tidak
melakukan pemeliharaan lahan, maka tidak ada biaya pemeliharaan lahan yang
dikeluarkan. Petani hanya membiarkan pohon tumbuh pada lahan kemudian
ditebang.
5. Biaya pemberantasan hama
Beberapa petani mengeluarkan biaya untuk melakukan penyemprotan obat
hama. Biaya yang dikeluarkan untuk obat hama, yaitu sebagai upaya
penanggulangan dan pencegahan pohon terhadap serangan hama agar
pertumbuhan pohon tidak terganggu dan dapat meningkatkan kualitas pohon.
Hanya beberapa petani yang menyemprotkan obat hama pada pohon sengonnya.
Obat hama yang digunakan petani, yaitu dalam bentuk obat hama cair dan
obat hama serbuk. Obat hama diberikan pada sejumlah pohon sengon yang
ditanam yang disesuaikan dengan takaran dan berapa kali pemberian sehingga
obat hama serbuk (antraksol). Pemberian obat hama dilakukan dengan
penyemprotan. Obat hama biasanya diberikan hanya untuk 1 tahun pertama.
Biaya total yang dikeluarkan untuk pemberantasan hama yaitu dengan
menjumlahkan biaya pembelian untuk obat hama yang digunakan (obat hama cair
maupun obat hama serbuk) dan biaya untuk kegiatan penyemprotan. Biaya yang
dikeluarkan untuk kegiatan penyemprotan yaitu dengan mengkonversikan waktu
ke upah.
6. Biaya penyediaan alat
Beberapa alat yang biasanya digunakan petani dalam mengelola hutan, yaitu
cangkul, parang (arit), kored, golok, garpu, dan semprotan. Harga alat yang
digunakan merupakan harga alat pada waktu petani membeli alat tersebut. Biaya
yang dikeluarkan untuk masing-masing alat yaitu dengan mengkonversi harga
masing-masing alat tersebut dengan hari kerja efektif (hari/tahun) sehingga
diperoleh biaya untuk masing-masing alat (Rp/tahun). Hari kerja efektif yang
ditetapkan yaitu 200 hari/tahun. Petani yang tidak melakukan pembersihan lahan
dan pemeliharaan lahan, maka tidak ada biaya penyediaan alat yang dikeluarkan.
7. Biaya pajak lahan
Bentuk lahan digolongkan menjadi dua, yaitu lahan kering (kebun) dan
lahan basah (sawah). Lokasi lahan masing-masing petani berada pada blok yang
berbeda-beda. Penggolongan blok didasarkan atas kestrategisan suatu tempat
dengan jalan yang telah ditetapkan sebelumnya. Blok dibedakan ke dalam 4 blok,
yaitu blok I, II, III, IV. Blok I merupakan blok yang strategis atau dekat dengan
jalan dan selanjutnya blok 4 merupakan blok yang jauh dari jalan.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dikenakan pada
masing-masing petani berbeda-beda. Hal tersebut disesuaikan dengan bentuk lahan petani
baik kebun maupun sawah dan blok dimana lahan tersebut berada. Besarnya
NJOP yang dikenakan untuk masing-masing blok yaitu untuk NJOP kebun untuk
blok I sebesar Rp 27.000/m²/tahun, blok II sebesar Rp 14.000/m²/tahun, blok III
sebesar Rp 10.000/m²/tahun, dan blok IV sebesar Rp 7.150/m²/tahun. Sedangkan
NJOP sawah untuk blok I sebesar Rp 36.000/m²/tahun, blok II sebesar Rp
27.000/m²/tahun, blok III sebesar Rp 20.000/m²/tahun, dan blok IV sebesar Rp
Pajak yang dikenakan pada masing-masing petani didasarkan pada NJOP
yang ditetapkan, dimana biaya pajak untuk luas lahan total yang dikenakan
kepada petani adalah dengan mengalikan luas total (m²) dengan NJOP
(Rp/m²/tahun) dan 0,11% (tarif pajak). Jika pajak yang dikenakan pada petani dari
luas total kurang dari Rp 10.000/tahun maka pajak yang dibayarkan oleh petani
bukan sebesar pajak yang dikenakan tetapi sebesar Rp 10.000/tahun, sedangkan
jika pajak yang dikenakan pada petani lebih dari Rp 10.000/tahun maka pajak
yang dibayarkan oleh petani sebesar pajak yang dikenakan tersebut. Terdapat
beberapa petani yang awalnya lahan dalam bentuk sawah berubah fungsi menjadi
kebun yang disebabkan oleh kekeringan, maka NJOP yang dibayarkan yaitu
seharga NJOP sawah karena awalnya lahan dalam bentuk sawah.
Besarnya pajak yang dibayarkan sejumlah sengon yang ditebang untuk
petani yang asal bibitnya dari pohon sengon yang tumbuh sendiri yaitu dengan
mengalikan besarnya pajak yang dibayarkan untuk luas total dengan umur sengon
saat ditebang. Hal tersebut disebabkan karena petani yang pohon sengonnya
tumbuh sendiri tetap membayar pajak seluas lahan total yang dimiliki petani,
karena pohon sengon yang tumbuh sendiri tersebut berada pada lahan dimana
petani mengeluarkan biaya atas pajak untuk lahannya, namun tidak adanya jarak
tanam sehingga tidak diketahuinya luas lahan sengon sehingga biaya pajak yang
dibayarkan sejumlah sengon yang ditebang merupakan biaya dari pajak yang
dibayarkan seluas lahan total.
8. Biaya pemasaran
Biaya pemasaran dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil hutan seperti
biaya untuk menelepon tengkulak langganan. Sebagian besar responden petani
yang menjual hasil hutan tidak mengeluarkan biaya untuk memasarkan hasil hutan
tersebut. Hal ini dikarenakan pembeli (tengkulak) yang mendatangi petani untuk
membeli pohon.
9. Biaya tebang dan biaya angkut
Besarnya biaya tebang dan biaya angkut dikeluarkan oleh petani yang
menggunakan sendiri hasil hutannya, dengan membayar biaya penebangan untuk
1 hari yang berkisar antara Rp 200.000 - Rp 250.000. Biaya tebang tersebut sudah
Sedangkan besarnya biaya angkut yang dikeluarkan yaitu dengan membayar
secara borongan untuk dapat mengangkut sejumlah kayu hasil tebangan menuju
tempat yang ditetapkan, namun ada pula petani yang mengangkut sendiri hasil
tebangannya sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengolah hasil
hutan yaitu hanya biaya untuk penebangan.
Berdasarkan penjelasan komponen biaya input petani, berikut ini adalah
besarnya biaya input yang dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil hutannya
yang disajikan pada Tabel 1 dan besarnya biaya input yang dikeluarkan oleh
petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Biaya input petani yang menjual hasil hutannya
Komponen Biaya
Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap
(Rp/m³)
Biaya Variabel (Rp/m³)
Biaya Total (Rp/m³) Pajak Lahan 54.314 54.314 Penyediaan Alat 843 843 Bibit, Lubang, Tanam 3.343 3.343 Pupuk 4.471 4.471 Pembersihan Lahan 2.558 2.558 Pemeliharaan Lahan 19.207 19.207 Hama 1.725 1.725 Pemasaran 909 909 Jumlah 55.157 32.214 87.371
Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya input dari 23 orang
responden petani yang menjual hasil hutannya, untuk perhitungannya disajikan
Tabel 2 Biaya input petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya
Komponen Biaya
Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap
(Rp/m³)
Biaya Variabel (Rp/m³)
Biaya Total (Rp/m³) Pajak Lahan 12.616 12.616 Penyediaan Alat 1.611 1.611 Bibit, Lubang, Tanam 2.778 2.778 Pupuk 431 431 Pembersihan Lahan 2.222 2.222 Pemeliharaan Lahan 17.778 17.778 Hama - - Biaya Tebang 185.738 185.738 Biaya Angkut 74.627 74.627 Jumlah 14.227 283.574 297.800
Keterangan: - = Tidak ada biaya yang dikeluarkan
Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya input dari 2 orang
responden petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya, untuk
perhitungannya disajikan pada Lampiran 8.
Komponen biaya input yang dikeluarkan oleh petani yang menjual hasil
hutannya pada dasarnya sama dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani yang
menggunakan sendiri hasil hutannya, namun yang membedakan, yaitu biaya
pemasaran, biaya tebang, dan biaya angkut. Biaya pemasaran dikeluarkan oleh
petani yang menjual hasil hutannya untuk memasarkan hasil hutan, tetapi
sebagian besar petani di Desa Sadeng tidak mengeluarkan biaya pemasaran untuk
memasarkan hasil hutannya karena pembeli hasil hutan yang mendatangi petani.
Sedangkan biaya tebang dan angkut dikeluarkan oleh petani yang menggunakan
sendiri hasil hutannya, untuk biaya tebang dan biaya angkut bagi petani yang
menjual hasil hutannya ditanggung oleh pembeli hasil hutan (tengkulak). Pohon
sengon yang ditebang oleh petani yang menggunakan sendiri hasil hutannya
diolah menjadi berbagai macam produk, seperti deplang, balok, galar, kaso, dan
papan. Produk tersebut digunakan oleh petani untuk memperbaiki rumah.
5.2.1.2Harga Jual Petani
Proses jual beli hasil hutan terjadi antara petani dan pembeli (tengkulak),
yaitu tengkulak mendatangi petani yang mempunyai pohon sengon dan
tersebut. Proses dalam kegiatan jual beli pohon, yaitu memilih pohon yang akan
dibeli, menghitung jumlahnya, dan menetapkan kesepakatan harga.
Petani menetapkan harga jualnya berdasarkan perkiraan terhadap produk
jadi yang akan diperoleh dari sejumlah pohon yang dibeli tengkulak, namun
produk jadi yang diperkirakan petani terbatas pada informasi pasar yang diketahui
petani yaitu petani hanya memperkirakan harga suatu produk yang diketahuinya
dari jenis produk tertentu. Petani juga memperkirakan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan tengkulak dari produk yang akan diperoleh, seperti biaya tebang dan
biaya angkut.
Petani akan menetapkan harga jual setelah mengurangi taksiran pendapatan
produk yang akan diperoleh dengan taksiran biaya yang dikeluarkan tengkulak.
Selanjutnya petani melakukan kesepakatan harga dengan tengkulak untuk
terjadinya proses jual beli. Dalam proses jual beli, pembeli (tengkulak) yang
biasanya menentukan harga pohon dan petani tidak dapat mempertahankan harga
jualnya karena desakan kebutuhan. Petani menerima harga jual berdasarkan
kesepakan bersama. Besarnya harga jual dari 23 orang responden petani yang
menjual hasil hutannya yaitu sebesar Rp 126.952/m³, untuk perhitungannya
disajikan pada Lampiran 9.
5.2.2 Tengkulak
Tengkulak merupakan pembeli hasil hutan dari petani dalam bentuk pohon
berdiri, untuk selanjutnya hasil hutan tersebut disalurkan ke industri pengolahan
kayu berupa hasil tebangan dalam bentuk log maupun balken. Balken merupakan
hasil tebangan yang dibuat dalam bentuk kayu persegian. Penelitian dibatasi untuk
hasil tebangan dalam bentuk balken dengan ukuran 0,1x0,2x2,8 m³, hal ini
disebabkan karena pada umumnya tengkulak mengolah hasil tebangan dalam
bentuk balken dengan ukuran tersebut.
Berikut adalah hasil tebangan dalam bentuk balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³
Gambar 2 Balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³
Perlu dikeluarkan sejumlah biaya oleh tengkulak untuk dapat mengolah
hasil hutan (pohon berdiri) menjadi hasil tebangan, baik biaya yang dikeluarkan
dalam bentuk uang secara langsung maupun tidak langsung. Biaya yang
dikeluarkan secara tidak langsung maksudnya adalah waktu dan tenaga yang telah
dikorbankan oleh tengkulak dalam menjalankan usahanya. Waktu dan tenaga
tersebut dinyatakan sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Besarnya biaya
tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk gaji yang jika dibayarkan dalam 1 bulan
dari kegiatan usaha yang dijalankan.
5.2.2.1Biaya Input Tengkulak
Beberapa biaya input yang dikeluarkan oleh tengkulak, yaitu biaya tebang,
biaya kuli angkut, biaya sewa mobil, biaya kuli muat bongkar, harga beli pohon di
petani, pemasaran, dan gaji tengkulak.
Adapun penjelasan untuk masing-masing komponen biaya input yang
dikeluarkan oleh tengkulak, yaitu:
1. Biaya harga beli pohon di petani
Harga beli pohon merupakan biaya yang dikeluarkan tengkulak sebagai
biaya bahan baku. Langkah awal tengkulak untuk menetapkan harga beli pohon di
petani adalah kemahiran tengkulak dalam menaksir pohon yang dibelinya. Sama
halnya dengan petani, tengkulak memperkirakan produk jadi yang akan diperoleh
dari sejumlah pohon yang akan dibeli dengan mempertimbangkan kondisi pohon
dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dari produk yang akan dihasilkan,
termasuk biaya ketika tengkulak mendatangi petani untuk membeli pohon dan
mempertimbangkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.
Tengkulak biasanya memperkirakan pohon untuk dibuat produk dengan
[image:32.595.221.411.85.195.2]dengan hitungan balken terlebih dahulu karena balken merupakan produk yang
ukurannya paling besar, selanjutnya apabila bagian pohon tidak cukup dibuat
balken maka dapat dibuat dengan produk yang ukurannya lebih kecil dari balken,
yaitu deplang, balok, galar.
Tengkulak telah mengetahui informasi harga produk yang akan dibayarkan
industri dari produk yang dibawanya (balken). Kemahiran menaksir pohon
merupakan modal utama tengkulak untuk memperoleh keuntungan dari usaha
yang dijalankannya (memborong kayu). Jika salah dalam melakukan penaksiran
pohon yang dibeli maka tengkulak tersebut akan rugi. Harga beli pohon di petani
dipengaruhi oleh rendemen sebesar 70% ketika pohon berdiri diolah dalam bentuk
balken.
2. Biaya tebang
Penelitian dibatasi pada balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³, sehingga biaya
tebang yang dikeluarkan merupakan biaya tebang untuk balken ukuran
0,1x0,2x2,8 m³.
3. Biaya kuli angkut (hutan-pinggir jalan)
Sama halnya dengan biaya tebang, biaya kuli angkut yang dikeluarkan
merupakan biaya untuk mengangkut balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ dari hutan ke
pinggir jalan.
4. Biaya sewa mobil (pinggir jalan-industri)
Pada umumnya, tengkulak menggunakan mobil jenis pick up untuk
mengangkut balken yang telah dikumpulkan di pinggir jalan menuju industri
penggergajian. Biaya sewa mobil yang dikeluarkan yaitu biaya sewa mobil pick
up untuk satu kali angkutan. Berikut adalah jenis mobil pick up yang digunakan
untuk mengangkut balken.
5. Biaya kuli muat bongkar (pinggir jalan-industri)
Kegiatan muat bongkar merupakan kegiatan untuk mengangkut balken dari
pinggir jalan ke atas mobil selanjutnya menurunkan kembali balken tersebut
setelah sampai di industri penggergajian. Kegiatan pengangkutan ke atas mobil
dan diturunkan kembali dilakukan oleh kuli angkut muat bongkar secara borongan
atau per team yang biasanya dilakukan oleh 2-3 orang. Upah (biaya) kuli muat
bongkar dibayarkan sesuai jenis mobil yang digunakan untuk per satu kali
angkutan sehingga tidak ada jam kerja untuk kuli muat bongkar, dan upah
dibayarkan secara borongan tidak didasarkan pada jumlah orang yang melakukan
kegiatan tersebut. Mobil pick up merupakan mobil yang umumnya digunakan
untuk mengangkut balken, maka biaya kuli muat bongkar yang dikeluarkan yaitu
biaya kuli muat bongkar untuk mobil pick up per satu kali angkutan.
6. Biaya pemasaran
Tidak ada biaya pemasaran yang dikeluarkan, karena tengkulak langsung
membawa balken hasil tebangan menuju industri langganannya.
7. Biaya untuk gaji tengkulak
Dalam menjalankan usahanya, tengkulak telah mengorbankan waktu dan
tenaganya terutama ketika mencari petani untuk membeli pohon dan ketika
melakukan pengolahan pohon berdiri menjadi hasil tebangan (balken). Waktu dan
tenaga yang dikorbankan oleh tengkulak, besarnya dapat dinyatakan dalam bentuk
gaji yang jika dibayarkan dalam 1 bulan sebagai komponen biaya yang harus
dikeluarkan oleh tengkulak dari usaha yang dijalankan. Gaji tengkulak dianggap
sebagai biaya tetap yang dikeluarkan tengkulak dari usaha yang dijalankannya,
karena biaya tersebut dinyatakan sebagai besarnya biaya yang dikeluarkan untuk 1
bulan, walaupun dalam hal ini gaji tersebut tidak dalam bentuk uang secara
langsung, namun dari waktu dan tenaga yang telah dikorbankan jika waktu dan
tenaga tersebut dibayarkan dalam bentuk gaji. Berdasarkan penjelasan komponen
biaya input tengkulak, berikut ini adalah besarnya biaya input yang dikeluarkan
Tabel 3 Biaya input tengkulak
Komponen Biaya
Biaya Input (Rp/m³) Biaya Tetap
(Rp/m³)
Biaya Variabel (Rp/m³)
Biaya Total (Rp/m³) Gaji Tengkulak 85.714 85.714 Tebang 107.143 107.143 Kuli Angkut 44.643 44.643 Sewa Mobil Pick up 30.000 30.000 Kuli Muat Bongkar Mobil Pick up 10.000 10.000 Harga Beli Pohon 132.404 132.404 Pemasaran - - Jumlah 85.714 324.189 409.904
Keterangan: - = Tidak ada biaya yang dikeluarkan
Biaya input yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya dari 2 orang
responden tengkulak, untuk perhitungannya disajikan pada Lampiran 11.
5.2.2.2Harga Jual Tengkulak
Tengkulak tidak menetapkan harga jual balken, harga jual tengkulak berasal
dari harga beli balken yang telah ditetapkan oleh industri. Industri membayar
balken yang dibawa tengkulak berdasarkan harga balken yang telah ditetapkan per
satuan balken sesuai dengan ukuran balken yang dibawa tengkulak.
Tabel 4 Harga jual tengkulak
Tengkulak
Harga Jual per satuan balken
ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ (Rp/0,056m³)
Harga Jual balken ukuran 0,1x0,2x2,8 m³ (Rp/m³)
A 29.000 517.857
D 27.000 482.143
Rata-rata 500.000
5.2.3 Industri
Industri merupakan pembeli hasil te