• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: IRENE CRISTNA SILALAHI NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: IRENE CRISTNA SILALAHI NIM :"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN/ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

(PUTUSAN PT. PALEMBANG NOMOR: 51/PDT/2016/PT.PLG)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

IRENE CRISTNA SILALAHI NIM : 140200306

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

Irene Cristna Silalahi ***

Maraknya kasus pembakaran hutan dan lahan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap tercemar atau rusaknya lingkungan hidup, terlebih lagi ketika kebakaran tersebut terjadi di areal konsesi perusahaan. Salah satu kasusnya adalah pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di areal konsesi PT. Bumi Mekar Hijau, Palembang. Akibat dari pembakaran tersebut, terjadi kerusakan komposisi tanah gambut dan tidak hanya itu masyarakat luas bahkan negara juga menderita kerugian akibat asap pembakaran yang mengepul dan menyebar ke berbagai tempat. Munculnya teori pertanggungjawaban mutlak atau strict liability menjadi solusi dalam menjerat pelaku pembakaran hutan dan/atau lahan, ketika unsur kesalahan menjadi penghambat pelaku korporasi untuk dapat dipidana. Skripsi ini berjudul “Kedudukan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengenai Strict Liability Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perusakan Dan/Atau Pencemaran Lingkungan Hidup (Putusan Pt. Palembang Nomor: 51/Pdt/2016/Pt.Plg).”

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimana pengaturan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius dan menganalisis penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor: 51/PDT/2016/PT.PLG. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang- undangan tertulis dan literatur yang ada berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Hasil analisis atas jawaban dari permasalahan diatas Pertama bahwa asas pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak hanya dapat diterapkan dalam kasus limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) namun juga dapat diterapkan bagi kegiatan yang menimbulkan ancaman serius seperti halnya pembakaran hutan dan lahan. Kedua, menganalisis mengenai ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditemukan adanya nuansa pidana ketika dampak yang ditimbulkan akibat pembakaran hutan dan lahan adalah masyarakat luas seperti halnya pembakaran hutan yang terjadi di areal konsesi PT.Bumi Mekar Hijau.

Kata Kunci: Pembakaran Hutan Dan Lahan, Pertanggungjawaban Mutlak Atau Strict Liability, Ancaman Serius, Masyarakat

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaanNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kedudukan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengenai Strict Liability Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perusakan Dan/Atau Pencemaran Lingkungan Hidup (Putusan PT. Palembang Nomor: 51/PDT/2016/PT.PLG)” tepat pada waktunya.

Skripsi merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sekaligus merupakan pembelajaran bagi mahasiswa untuk berpikir kritis dan menuangkan berbagai ide dan pemikiran secara terstruktur, sehingga sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa bagi penulis dapat merampungan pembuatan skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah tulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Maralo Silalahi dan Ibunda Jiwa Kacaribu atas dukungan penuh yang selalu diberikan kepada penulis khususnya dalam dunia pendidikan sehingga menunjang penulis untuk menyelesaikan studi dengan baik;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

4. Ibu Liza Erwina, S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I penulis, yang telah mendukung penulis selama mengerjakan dan menuntaskan penulisan skripsi ini;

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II penulis dan sekaligus menjadi Dosen Pembimbing Tim Delegasi Mahkamah Konstitusi, yang sangat membantu penulis dalam mengerjakan dan berhasil menuntaskan penulisan skripsi serta memberikan ide-ide baru dalam penulisan skripsi ini;

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H.,M.S selaku Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut memberikan petunjuk dan bantuan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Edy Yunara, S.H.,M.Hum selaku Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut memberikan petunjuk, masukan dan bantuan dalam penulisan skripsi ini;

8. Alumni, coach, rekan-rekan dan adik-adik dari Komunitas Peradilan Semu yang turut memberikan semangat penuh dan lantunan doa bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Khususnya, Tim Delegasi Bulaksumur III (Universitas Gadjah Mada) seturut terbentuknya delegasi peradilan semu ini selama7 (tujuh) bulan, penulis mendapatkan ilham agar dapat menggali lebih dalam mengenai kasus-kasus lingkungan hidup;

(6)

memberikan wadah bagi penulis untuk menggali lebih dalam mengenai pengetahuan hukum di bidang perdata dan tata negara juga memberi warna sertakesan bagi penulis selama mengikuti perlombaan di dunia peradilan semu;

11. Dermawan Sitorus, S.H, yang merupakan senior di Komunitas Peradilan Semu dan sudah dianggap sebagai kakak kandung penulis sendiri serta turut membantu serta memotivasi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;

12. Kelompok kecil “LLUVIA GRATIAS” antara lain Lara Tisa Manurung, S.H, Iwan Putra Siregar dan Yunita Octavia Siagian yang turut mendukung dan mendampingi penulis sejak masuk ke perkuliahan hingga pada saat ini;

13. Rekan-rekan bimbingan Dr.Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum yang saling mendukung dan memotivasi pengerjaan skripsi ini;

14. Sahabat seperjuangan Deniel Perananta Sirait, Irene Manik dan Riris Fatmawati Panjaitan yang telah berbagi canda dan tawa selama 3 tahun belakangan ini, saling memberikan dukungan dan semangat selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

15. Putri Theresia Tampubolon, Sautmo Nipanta dan Silvia Pratiwi yang merupakan junior penulis di Komunitas Peradilan Semu yang turut memberikan motivasi bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

Tak ada gading yang tdak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat mampu untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh

(7)

kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Tuhan membalas budi dan ketulusan semuanya. Semga ilmu yang telah penulis peroleh selama kuliah di bangku Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat bermanfaat dalam menggapai cita-cita penulis.

Medan, 15 Februari 2018 Penulis

Irene Cristna Silalahi

(8)

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan ... 13

2. Manfaat Penulisan ... 13

D. Keaslian Penulisan ... 15

E. Tinjauan Kepustakaan ... 16

1. Pengertian Pidana, Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana ... 16

2. Pengertian Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup ... 23

3. Asas Strict Liability dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 27

F. Metode Penelitian ... 29

(9)

NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Lingkungan ... 34 B. Perkembangan Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 50 C. Kedudukan Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability

Didalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 81 D. Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013

Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidupdalam Mengukur Tindakan, Usaha dan/atau Kegiatan yang Menimbulkan Ancaman Serius Terhadap Lingkungan Hidup ... 89

BAB III PENERAPAN ASAS PERTANGGUNG JAWABAN MUTLAK ATAU ASAS STRICT LIABIITY TERHADAP PELAKU PERUSAKAN DAN/ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PALEMBANG NOMOR: 51/PDT/2016/PT.PLG

A. Posisi Kasus ... 101 1. Pertimbangan Terdahulu Pengadilan Negeri Palembang Nomor:

(10)

a. Fakta-Fakta Hukum ... 103 b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor:

24/Pdt.G/2015/PN.Plg Mengenai Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability ... 118 2. Pertimbangan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:

51/PDT/2016/PT.PLG Mengenai Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability

a. Fakta-Fakta Hukum ... 119 b. Amar Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor :

51/PDT/2016/PT.PLG Mengenai Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability ... 139 B. Analisis Putusan PengadilanTinggi Palembang Nomor:

51/Pdt/2016/Pt.Plg Mengenai Asas Pertanggung Jawaban Mutlak Atau Strict Liability ... 140

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 161 B. Saran ... 164 DAFTAR PUSTAKA ... 165

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini didera oleh fenomena perusakan lingkungan hidup.Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi bukan karena peristiwa alam, melainkan karena ulah manusia berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Maraknya peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup berimbas pada penurunan baku mutu atau kriteria baku lingkungan.yang ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Keserakahan umat manusia dan merambahnya pertumbuhan industri di Indonesia menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, baik di darat maupun udara mengakibatkan timbulnya berbagai macam petaka lingkungan seperti hujan asam, pemanasan global, berbagai macam penyakit seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), kanker, penyakit kulit, dan lain-lain.1

Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak, baik langsung atau tidak langsung bagi kehidupan mansusia. Sebagamaina disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 angka 1 bagian Ketentuan Umum bahwa:

1 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Penegakan Hukum Lingkugan & Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000,hlm. 7.

(12)

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, gaya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.2

Dari pengertian lingkungan hidup di atas, sudah nyata dan jelas bahwa lingkungan hidup terdiri atas komponen-komponen (baik benda, gaya, keadaan, tumbuhan, hewan, dan manusia dan perilakunya) yang berbaur membentuk satu- kesatuan guna menjaga kehidupan alam sebagai ruang, dan mahkluk hidup lainnya sebagai penghuni ruang tersebut. Apabila kerusakan sudah terjadi pada alam sebagai ruang atau lingkungan dari komponen-komponen lainnya, maka kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lainnya akan mengalami penurunan.

Keadaan tersebut di atas dapat disebut sebagai ancaman serius.

Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan. World Risk Report yang dirilis German Alliance for Development Works (Alliance), United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 pun menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya risiko bencana di suatu kawasan. Dengan

2

(13)

kata lain, kerusakan lingkungan hidup baik yang meliputi pencemaran dan/atau perusakan dapat memicu timbulnya bencana alam.

M. Suparmoko menyatakan lingkungan hidup sebagai barang publik (Common Property) memiliki 2 (dua) ciri utama yaitu:

1. Tidak akan ada penolakan (exclusion) terhadap pihak yang tidak bersedia membayar dalam mengkonsumsi lingkungan tersebut;

2. Lingkungan hidup sebagai Non Rivalry in Consumption bagi sumber daya lingkungan, artinya walau lingkungan telah dikonsumsi oleh orang namun volume atau jumlah sumberdaya alam dan lingkungan bagi orang lain tidak akan berkurang.3

Adanya ciri dan sifat lingkungan hidup yakni sebagai barang publik atau barang milik bersama (Common Property) dan bersifat eksternalitas4 juga menjadi alasan pengabaian dan terbengkalainya sumber daya alam dan lingkungan sebab tidak adanya pihak baik secara individu maupun secara kelompok berkenan merawat atau bahkan menjaga kelestarian alam. Sesungguhnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada bagian konsiderans secara eksplisit menyatakan bahwa:

3 M. Asri Arief, Melestarikan Alam dengan Cinta, Pustaka Bangsa Pers, Medan, 2007, hlm.

25.

4Loc.cit.

(14)

“Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”5

Berdasarkan undang-undang tersebut, maka dapat dipahami bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, serta sudah menjadi kewajiban pula bagi setiap orang untuk memelihara kemampuan lingkungan hidup agar dapat tetap dimanfaatkan untuk perlindungan dan kebutuhan manusia atau makhluk hidup lainnya, termasuk juga upaya mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pemerintah sebagai penbuat kebijakan juga memiliki kewenangan yang bersifat memaksa (represif) untuk memperbaiki alam dan lingkungan hidup melalui perangkat peraturan dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan.Misalnya saja kebijakan pemerintah untuk memperbaiki hak penguasaan sumber daya alam dan lingkungan (Property Rights) dari barang publik atau barang milik bersama (Common Property) menjadi barang privat (Private Right).6 Dengan kata lain, mengubah pemahaman bahwa alam yang sebagai barang publik namun pemeliharaan dan pelestariannya acap kali lepas tangan karena bukan milik individu, menjadi barang privat dengan harapan adanya kesadaran diri masing-masing pihak untuk memelihara, menjaga dan melestarikan alam.

5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

(15)

Berbicara mengenai subjek hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup, tidak ada bedanya dengan tindak pidana pada umumnya yakni terdiri atas:

1. Orang-perseorangan

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. mengatakan bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Hal ini dapat dilihat pada rumusan-rumusan dari tindak pidana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu dan juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.

2. Badan Hukum atau korporasi

Satjipto Rahardjo menyatakan korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptkannya itu terdiri dari “corpus” yatu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Karena badan hukum merupakan ciptaan hukum maka kematiannya juga ditentukan oleh hukum.7

Namun, problematika saat ini adalah subjek hukum berupa badan hukum atau korporasi ketika diketahui melakukan tindak pidana, acap kali mudah lepas dari jerat hukum. Dalam Negara yang menganut sistem common law yang berdasarkan pada

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm.110.

(16)

Doktrin Identifikasi, berpandangan bahwa korporasi merupakan kesatuan buatan dimana ia hanya dapat bertindak melalui orang yang mengendalikannya. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis perusahaan itu, maka mens rea para individu merupakan mens rea perusahaan itu.8

Tindak pidana yang dilakukan korporasi memang sering kali tidak tampak (kelihatan) karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.9 Tidak tampaknya tindak pidana yang dilakukan korporasi oleh karena ketentuan hukum positifnya masih kurang jelas dan dapat dimulititafsirkan serta ketidaktahuan masyarakat atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2015 merilis daftar perusahaan besar dibalik kasus pembakaran hutan dan lahan.Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional menyatakan terdapat mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan dimana pada kawasan Hutan Tanaman Indusri terdapat 5,669 (lima koma enam enam sembilan) titik api kemudian di perkebunan sawit terdapat 9,168 (sembilan koma satu enam delapan) titik api. Adapun perusahaan yang ikut terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan antara lain di Kalimantan Tengah Sinar Mas dengan 3 (tiga) anak perusahaa, Wilmar dengan 14 (empat belas) anak perusahaan. Di Riau ada Asia Pulp and Paper (APP) dengan 6 (enam) anak perusahaan,

8Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana

(17)

APRILgroup dengan 6 (enam) anak perusahaan, Simederby, First Resources dan Provident. Di Sumatera Selatan ada 8 (delapan) Sinar Mas dan anak perusahaannya, 11 (sebelas) Wilmar dan anak perusahaannya , 4 (empat) Sampoerna dan anak perusahaannya, 3 (tiga) PT.Perkebunan Nusantra, Simederby, Cargil dan Marubeni.

Kemudian di Kalimantan Barat ada 6 (enam) Sinar Mas dan anak perusahannya, 6 (enam) APRIL dan anak perusahaan.Kemudian di Jambi kembali ada 2 (dua) Sinar Mas dan anak perusahaannya dan Wilmar.

Beranjak dengan data di atas, ternyata maraknya kerusakan lingkungan hidup berupa pembakaran hutan dan lahan, juga turut memprihatinkan.Hal tersebut menunjukkan besarnya kemampuan korporasi dalam melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. J.E. Sahetapy menyatakan bahwa:

“Kejahatan korporasi ibarat penyakit kanker yang jika tidak tidak ditangani secara dini, akan merusak seluruh kerangka dan struktur serta moralitas dari suatu masyarakat.”10

Mardjono Reksodiputro menyatakan sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subyek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).11Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggung jawaban pidana dari korporasi ini.Asas utama dalam pertanggung jawaban pidana adalah harus adanya kesalahan

10J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang,1993, hlm. 26.

11Dwidja Priyatno, Op.Cit.,hlm.52.

(18)

(schuld) pada pelaku.Bagaimanakah harus dikonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi?

Pemikiran tentang kesalahan (schuld) sangat erat hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, sebab alasan seseorang dapat dipidana tidak hanya semata apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Sudarto menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan ini terdiri dari:12

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal;

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);

3. Tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Membahas mengenai pengaruh asas kesalahan (schuld) dengan pertanggung jawaban korporasi, Suprapto13 berpendapat bahwa:

“Korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat perlengkapannya.Kesalahan itu bukan individual akan tetapi kolektif karena korporasi menerima keuntungan.”

(19)

Sejalan dengan pendapat Van Bemmelen dan Remmelink berpendapat bahwa:

“Korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi kesalahan pengurus atau anggota direksi.”

Dari pendapat Suprapto, Van Bemmelen dan Remmelink tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mempertanggung jawabkan korporasi, Asas Tidak Ada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld) tetap tidak ditinggalkan.

Namun, apabila melihat realita yang terjadi pada masyarakat menunjukkan kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi maupun biaya sosial (social cost), maka dapat dikatakan tidak adil apabila korporasi tidak nyatakan bersalah secara tunggal.Disamping itu yang menjadi korban tidak hanya orang– perseorangan melainkan juga masyarakat bahkan negara.

Dalam mengatasi kerugian-kerugian yang terjadi akibat tindakan korporasi, dikembangkanlah teori pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability. Dalam asas Strict Liability, kesalahan (schuld) atau niat (mens rea) tidaklah menjadi sesuatu hal yang utama untuk menyatakan korporasi bertanggung jawab, karena pada saat suatu peristiwa timbul, ia sudah memikul suatu tanggung jawab. Dengan kata lain, berlaku asas Res Ipso Loquitur, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for it self).14

14NHT.Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, 2004, hlm.316-317.

(20)

E. Sefullah Wiradipradja menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak (no- fault liability or liability without fault) dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability.Dengan prinsip tanggung-jawab mutlak dimaksudkan tanggung-jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Dengan kata lain, tanggung jawab mutlak merupakan suatu prinsip tanggung-jawab yang memandang „kesalahan‟ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.15

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah mengakomodir mengenai asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability pada ketentuan Pasal 88 yang menyatakan:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”16

Namun, permasalahan yang timbul apakah asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability di dalam bidang hukum ini hanya sebatas tindakan, usaha, dan/atau kegiatan menggunakan, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3. Lalu, bagaimana dengan tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius seperti begitu banyak kasus pembakaran hutan dan lahan.

15Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 107-108.

16

(21)

Kasus pembakaran hutan dan lahan sebagaimana yang terjadi di areal konsesi PT.

Bumi Mekar Hijau telah mengakibatkan keresahan di masyarakat yang menjadi korban asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Tidak hanya itu, areal konsesi perusahaan tersebut berpotensi tidak dapat dimaksimalkan atau bahkan dipergunakan sebagaimana peruntukannya akibat terjadi perusakan pada tanah dari terbakarnya lahan gambut dan vegetasi yang ada diatasnya sehingga dapat menurunkan tingkat pelestarian lingkungan hidup serta menimbulkan ancaman serius dalam lingkungan maupun masyarakat yang berada disekitarnya.Terlebih lagi, ketika gugatan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Pengadilan Tingkat I ditolak oleh Majelis Hakim, menyulut emosi dari beberapa pihak yakni masyarakat, sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempersiapkan materi banding kasus pembakaran lahan tersebut. Sehingga kemudian, putusan Pengadilan Tinggi dengan Nomor: 51/Pdt/2016/Pt.Plg dikabulkan oleh Majelis Hakim. Salah satu alasan dikabulkannya gugatan banding tersebut adalah mengenai pemberlakuan asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk membahas dan menganalisis lebih dalam, bagaimana penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability terhadap tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius sebagaimana yang telah dipertimbangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:

51/PDT/2016/PT.PLG antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Melawan PT. Bumi Mekar Hijau, juga membandingkan putusan Pengadilan Negeri Palembang

(22)

terdahulu. Tidak hanya sebatas itu, penulis juga akan mengulas lebih lanjut mengenai ketentuan hukum lainnya yang mendukung pemberlakuan asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability terhadap tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius serta syarat-syarat dalam penggunaan asas ini untuk kasus pembakaran hutan dan lahan.

Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka disusun skripsi yang berjudul ” KEDUDUKAN PASAL 88 UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENGENAI STRICT LIABILITY TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN/ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (PUTUSAN PT. PALEMBANG NOMOR: 51/PDT/2016/PT.PLG).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang skripsi di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Adapun perumusan masalah yang diangkat antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius?

(23)

2. Bagaimana penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:

51/PDT/2016/PT.PLG?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui bentuk pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.

2. Mengetahui syarat pemberlakuan asas pertanggung-jawaban mutlak atau Strict Liabiity terhadap tindakan/usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Mengetahui penerapan asas pertanggung-jawaban mutlak atau Strict Liabiity berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditinjau dari Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor : 51/PDT/2016/PT.PLG.

Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara Teoritis

1) Penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi khasanah ilmu hukum baik secara materil maupun non materil mengenai

(24)

pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

2) Penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum untuk tidak ragu menerapkan pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability apabila ditemukan adanya korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

3) Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-Undang untuk menetapkan ketentuan undang- undang yang jelas, baik berupa petunjuk pelaksanaan/teknisnya mengenai pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability apabila ditemukan adanya korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

b. Secara Praktis

Penulisan skripsi diharapkan dapat memberikan pemahaman khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup baik berupa pencemaran dan perusakan lingkungan khususnya mengenai pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(25)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Kedudukan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengenai Strict Liability Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perusakan Dan/Atau Pencemaran Lingkungan Hidup (Putusan Pt. Palembang Nomor: 51/Pdt/2016/Pt.Plg)” ini, sedari awal dibuat oleh penulis melalui penelusuran terlebih dahulu terhadap berbagai judul skripsi yang telah tercatat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Kemudian, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 4 Oktober 2017 menyatakan tidak ada satu judul atau lebih yang ada kemiripan dengan judul skripsi ini. Tidak sebatas itu, penelusuran juga dilakukan melalui berbagai judul karya ilmiah dalam media internet dan sepanjang dilakukannya penelusuran belum ada pihak yang mengangkat judul tersebut sebagai karya ilmiah, tesis ataupun disertasi.Tidak dapat dipungkiri ada beberapa situs yang membahas mengenai pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability, namun dari segi substansi berbeda dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

Permasalahan dan pembahasan dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis sendiri yang didasarkan pada teori-teori, aturan hukum, penerapannya di dalam putusan Majelis Hakim melalui media cetak maupun media elektronik dan analisa penulis atas suatu putusan Majelis Hakim. Dengan demikian, sudah nyata dan jelas adanya bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

(26)

E. Tinjauan Kepustakaan

Setiap karya ilmiah tentunya memerlukan studi kepustakaan atau sering disebut dengan tinjauan keputakaan.Pada penulisan skripsi ini, penulis mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitian sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktifitas yang bersifat “trial and error”.

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana

Istilah tindak pidana atau perbuatan pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”.Dikarenakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mendefenisikan mengenai tindak pidana “strafbaar feit”, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging) sebab perbuatan merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.Pengertian tindak pidana sesungguhnya lebih luas dari kejahatan.Dikatakan lebih luas dari kejahatan, karena meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran.

Suatu peristiwa dinyatakan dapat atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang di dalam hukum positif yang berlaku bukan ditentukan

(27)

oleh pendapat umum.17 R. Tresna menyatakan perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh undang-undang dijadikan sebagai peristiwa pidana, merupakan perbuatan yang (dapat) membahayakan kepentingan umum.

Kemudian Moeljatno menyatakan, istilah perbuatan pidana atau tindak pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.selanjutnya dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal diingat bahwa larangannya itu ditujukan kepada perbuatan manusia (yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan erat.Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan) denngan orang yang menimbulkan perbuatan ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan hubungan erat itu, menurut Sudarto dipakailah istilah perbuatan pidana yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu:

1) Adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan

2) Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

17J.E.Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 135.

(28)

Moeljatno membedakan dengan tegas antara dapat dipidananya perbuatan (criminal act) dengan dapat dipidananya orang (criminal responsibility atau criminal liability).Oleh karena itu hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana.

Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggung jawaban dalam hukum pidana yaitu “Tidak Dipidana Jika Tidak Ada Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld; Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sir Rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis namun aparatur penegak hukum berpedoman pada asas ini.Adanyapertanggung jawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan batin orang yang normal (yang sehat). Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:18

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal);

(29)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak).

2. Kesalahan

Kesalahan terdiri atas 2 (dua) yakni kesengajaan (dolus) & kealpaan (culpa), yang akan dijelaskan di bawah ini:

a. Kesengajaan (Dolus/Opzet)

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh: A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa A adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian.Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.

Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu :

(30)

1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).

Menurut VOS, definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan.19 Contoh : A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia mengarahkan pistolnya kepada B.

Selanjutnya, ia menembak mati B. Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk sengaja yang paling sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut : sengaja dengan maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan , sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan.

2) Sengaja berinsyaf kepastian

Bahwa agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga. Contoh : agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B. Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C pengawal B. A

(31)

terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B.

3) Sengaja berinsyaf kemungkinan

Bahwa ada kemungkinan besar dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama.Sebagai contoh : keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart kealamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut.

Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan. Oleh hakim ditentukan bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja, yaitu sengaja dengan kemungkinan

b. Kealpaan (culpa)

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Selanjutnya, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga

(32)

sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu :

1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)

Hazewinkel Suringa menjelaskan bahwa kealpaan yang disadari terdapat bilamana antara pembuat delik dan akibat yang dapat dihindaro terdapat hubungan kesadaran yang nyata, namun ia percaya akan mampu menghindari atau mencegah akibatnya.20

2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld)

Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.

3. Alasan penghapus pidana

Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana , yaitu :

1) Alasan Pembenar; dan

(33)

Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.21

2) Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisni ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.

2. Pengertian Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana.22Untuk membahas tindak pidana lingkungan hidup tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).

21 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 148.

22 Alvi Syahrin.Op.Cit.,hlm.35.

(34)

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 97 sampai Pasal 120 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, melalui metode kontruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan adalah mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran”

dan “merusak” dengan “perusakan” memiliki substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.23Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan yang lainnya kalimat pasif.

Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup”, dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

“Masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”24

Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

23Loc.Cit.

24

(35)

1) Masuk atau dimasukkannya:

- Makhluk hidup;

- Zat;

- Energi, dan/atau

- Komponen lain ke dalam lingkungan.

2) Dilakukan oleh kegiatan manusia

3) Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sbagai unsur lingkungan hidup.”25

25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

(36)

Kemudian, istilah perusakan lingkungan hidup secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan:

“Tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”26

Adapun unsur dari pengertian “perusakan lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

1) Adanya tindakan 2) Menimbulkan:

- Perubahan langsung; atau

- Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan 3) Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka

26

(37)

15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.”27

Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.

3. Asas Strict Liability dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara jelas dan nyata mengatur mengenai asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability, yang menyatakan:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius

27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

(38)

terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”28

Penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan:

“Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.”29

Dari ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa asas pertanggung jawaban mutlak atau strict liability sudah diakui dalam hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peruntukan asas tersebut tujukan terhadap setiap orang (baik perseorangan maupun korporasi) yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya:

- Menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor);

- Menghasilkan dan/atau

28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

29

(39)

- Mengelola limbah B3, dan/atau

- Yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

Bagi pelaku yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya memenuhi kegiatan tersebut di atas, maka pelaku harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (Liability Without Fault).

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dengan skripsi ini. Upaya pengumpulan data melalui metode pengumpulan data di bawah ini:

1. Pendekatan Penelitian

Penulisan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum eksploratif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder dengan tujuan agar memberikan sedikit definisi atau penjelasan mengenai konsep suatu asas dalam bidang ilmu hukum lingkungan. Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan melihat sejauh mana penerapan asas tersebut dalam suatu peristiwa hukum melalui putusan pengadilan. Penelitian asas-asas hukum menurut Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.H merupakan penelitian hukum normative yang ditujukan untuk menemukan asas atau doktrin dalam

(40)

hukum positif yang berlaku, sehingga penelitian ini sering juga disebut studi dogmatic atau doctrinal research.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif adalah data sekunder.Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability terhadap korporasi yaitu:

a. Bahan hukum primer yaitu norma atau kaidah dasar seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: buku-buku, artikel-artikel, jurnal, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan skripsi, rancangan undang-undang.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder meliputi:

kamus, ensiklopediahukum, biografi hukum, direktori pengadilan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca dan mempelajari

(41)

dokumen seperti Putusan Pengadilan Negeri terdahulu dan Putusan Pengadilan Tinggi dengan membaca dan mempelajari putusan pengadilan yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan selanjutnya dilakukan pengolahan data. Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisa data secara kualitatif untuk diambil suatu kesimpulan sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian skripsi ini dapat terjawab.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam 5 (lima) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian masalah agar dapat lebih mudah dipahami, hingga sampai kepada suatu kesimpulan yang benar.

Adapun susunan skripsi dapat diurutkan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab yakni: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat

(42)

Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGATURAN ASAS PERTANGGUNG JAWABAN MUTLAK ATAU STRICT LIABILITY BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Bab ini menguraikan tentang pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Lingkungan, Perkembangan Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kedudukan Asas Pertanggung Jawaban Mutlak atau Strict Liability di dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup dalam Mengukur Tindakan, Usaha dan/atau Kegiatan yang Menimbulkan Ancaman Serius Terhadap Lingkungan Hidup

(43)

BAB III :PENERAPAN ASAS PERTANGGUNG JAWABAN MUTLAK ATAU ASAS STRICT LIABIITY TERHADAP PELAKU PERUSAKAN DAN/ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI PALEMBANG NOMOR:

51/PDT/2016/PT.PLG)

Bab ini menguraikan mengenai analisis penerapan asas pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability pada putusan terdahulu yakni Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 24/Pdt.G/2015/PN.Plg dan kemudian analisis penerapan pertanggung jawaban mutlak atau Strict Liability pada putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor:

51/PDT/2016/PT.PLG.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang di dalamnya dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa sumbangan saran untuk kepedulian terhadap lingkungan hidup. Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir disertakan daftar kepustakaan dan lampiran putusan terkait.

(44)

BAB II

PENGATURAN ASAS PERTANGGUNG JAWABAN MUTLAK ATAU STRICT LIABILITY BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Lingkungan

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yang disebut

”strafbaar feit” dan biasanya tindak pidana didentikkan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yaitu “delictum”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”30

Simons dan P.A.F Lamintang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.31Prof.

Mulyatno, SH menerjemahkan istilahstrafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya

30

(45)

suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.32

Dalam ilmu hukum lingkungan, terdapat ketentuan pidana yang ditujukan terhadap terhadap pelaku tindak pidana dalam lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai payung hukum (umbrella act) di bidang pengelolaan lingkungan hidup, juga telah mengakomodir ketentuan pidana bagi pelaku-pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Bab XV tentang ketentuan pidana mulai pasal 97 sampai pasal 120 undang-undang tersebut. Tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup termasuk dalam kategori kejahatan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 97 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

“Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”.33

Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan, maka perbuatan tersebut dipandang secara esensial bertentangan dengan tertib

32 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 48.

33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

(46)

hukum atau perbuatan yang bertentangan atau membahayakan kepentingan hukum.34Kejahatan yang dimaksud sebagai tindak pidana lingkungan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yakni pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.Pencemaran lingkungan hidupdapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

“Masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”35

Sedangkan, perusakan lingkungan hidup dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan:

“Tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”36

Dalam menetapkan apakah suatu lingkungan dapat dikategorikan termasuk ke dalam kondisi lingkungan yang mengalami pencemaran ataupun perusakan lingkungan hidup, maka perlu diperhatikan baku mutu maupun kriteria baku

34 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 48.

35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

36

(47)

kerusakan lingkungan hidup yang terkandung di lingkungan yang terindikasi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut. Pencemaran lingkungan ditentukan dan dapat diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Adapun Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberi defenisi baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 13 yang menyatakan:

“Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber data tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”37

Baku mutu lingkungan hidup disini meliputi beberapa hal sebagaimana dinyatakan dalam Paragraf 3 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Baku mutu lingkungan hidup meliputi:

a. baku mutu air;

b. baku mutu air limbah;

c. baku mutu air laut;

d. baku mutu udara ambien;

e. baku mutu emisi;

f. baku mutu gangguan; dan

37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

(48)

g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.” 38

Dari defenisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa baku mutu lingkungan hidup sangat diperlukan karena keberadaannya untuk dapat menetapkan kadar zat pencemar yang ada di sekitar lingkungan. Bukan berarti bahwa sama sekali tidak diperkenankan untuk membuang zat pencemar ke dalam media lingkungan hidup, namun memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke dalam media lingkungan hidup dengan persyaratan:

a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannnya.”39

Dengan kata lain, apabila tidak memenuhi baku mutu lingkungan hidup berupa kadar pencemar yang terlalu banyak, sehingga berakibat membahayakan lingkungan beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya dan ditambah lagi dengan tidak diperolehnya izin dari pihak-pihak yang bersangkutan yaitu menteri, gubernur, atau bupati/walikota untuk membuang limbah maka dapat dikategorikan sebagai pelakutindak pidana pencemar lingkungan. Untuk itu perlu ditetapkan pula batas

38 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

39

(49)

maksimum dari zat atau energi yang boleh dimasukkan ke media linngkungan (ambang batas).40

Sedangkan untuk perusakan lingkungan hidup ditentukan melalui penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang ada. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberi defenisi kriteria baku kerusakan lingkungan hidup pada ketentuan Pasal 1 angka 15 yang menyatakan:

“Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.”41

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi 2 (dua) hal yakni kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Untuk kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi beberapa hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:

“Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:42

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan

40 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 141.

41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum

Dalam hal percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme adalah suatu hal yang sudah masuk dalam ranah tindak pidana dengan maksud dan tujuan yang sudah ada

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisa Putusan Tentang Tindak Pidana Dengan Sengaja Dan Tanpa Hak Mendistribusikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan Penghinaan

Sebelum adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tugas pengawasan terhadap bank dilakukan oleh Bank Indonesia yang mana dapat menemukan adaya dugaan Tindak Pidana Perbankan

2 Tahun 2012 yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 yang pada intinya menyatakan bahwa perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh terdakwa dikatakan perbuatan pidana yang

Menimbang, bahwa oleh karena Anak mampu bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah akan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan tempat untuk menjalani pidana

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika menurut hukum pidana di indonesia, bagaimana pengatura