Volume XI / Nomor 02 / Agustus 2020
JURNAL PENDIDIK AN Nomor 02 / Agustus 2020 V olume XI/
Nomor 02
JP
Volume XI 93 - 180Halaman Agustus 2020YogyakartaISSN 2086-9134
JURNAL PENDIDIKAN
Terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian maupun hasil kajian pustaka
di bidang pendidikan dan artikel telaah (review article).
Penanggung Jawab Minhajul Ngabidin Pemimpin Redaksi
Insan Yudanarto Ketua Penyunting
Sugiyanta
Wakil Ketua Penyunting Agus Wasisto Dwi Dosowarso
Penyunting Pelaksana Arwan Rifai
Yoko Rimy Suwastanto Dwi Widiyanti Ch.Sri Wahyu Widayati Pelaksana Tata Usaha
Sri Widayati Nur Endri Pamungkas
Maryani Hilarius Widiyarto
Ismi Mulyani Desain/Lay Out Apriantoni Eko Putranto
Alamat Penyunting dan Tata Usaha : LPMP DIY Jalan Raya Tirtomartani, Kalasan Sleman Yogyakarta 55571. Telepon. 0274 496921-Fax (0274) 497002. Alamat email:
JURNAL PENDIDIKAN mulai terbit bulan April 2010, diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto spasi ganda kurang lebih 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal Pendidikan). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas terbitnya Jurnal Pendidikan Volume XI Nomor 02/Agustus 2020. Jurnal Pendidikan merupakan sebuah wadah publikasi ilmiah hasil penelitian di bidang pendidikan hasil karya para pendidik dan tenaga kependidikan antara lain dosen, widyaiswara, pamong pelajar, pengawas, kepala sekolah, guru, dan tenaga lain di lingkungan lembaga/
sekolah. Jurnal Pendidikan diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan D.I. Yogyakarta.
Pada Jurnal Pendidikan edisi ini dimuat artikel bertema peningkatan mutu pembelajaran abad 21 melalui pengembangan bahan ajar dan penerapan model pembelajaran yang efektif dalam mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi disajikan dalam bentuk kajian kritis fenomenologis dan hasil penelitan pengembangan (R&D) maupun penelitian tindakan dalam pembelajaran di sekolah. Artikel ditulis oleh penulis dari berbagai instansi dan jenjang sekolah yang berbeda.
Harapan redaksi, Jurnal Pendidikan dapat memotivasi pendidik dan tenaga kependidikan untuk menulis dan mempublikasikan hasil penelitiannya sehingga bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan. Tetap semangat dan berkarya untuk Indonesia yang lebih baik.
Redaksi
DAFTAR ISI Editorial Daftar Isi
KREATIVITAS DALAM SIMBOL BENTUK LUKISAN ANAK USIA 6 TAHUN
Hersi Maningrum - TK Pertiwi Puro Pakualaman Yogyakarta STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS MENULIS DALAM KOMPETENSI PROFESIONAL BAGI GURU SD
Agung Sudaryono - SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TIME TOKEN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA
Devi Miswantina - SD Negeri Krembangan Panjatan Kulon Progo PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA
Trihono - SMP Negeri 1 Playen
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF COURSE REVIEW HORAY (CRH) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SOSIOLOGI PADA POKOK BAHASAN INTEGRASI SOSIAL
Lilik Suharmaji - SMA Negeri 8 Yogyakarta
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SAINS BERBASIS STEM UNTUK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HOTS) PURWARUPA KAPAL BOAT Ngadinem - Guru SMA Negeri 6 Yogyakarta
PENGGUNAAN METODE TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATERI IKATAN KIMIA
Sri Suciati - SMK Negeri 1 Sanden
“ SMART FLYER CODE” STRATEGI PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS AUGMENTED REALITY (AR) PADA MATA PELAJARAN SISTEM KOMPUTER
Sri Suharti - SMK Negeri 1 Sewon Bantul
Hal
ii iii 93 - 101
102 - 113
114 - 123
124 - 133
134 - 145
146 - 158
159 - 170
171 - 180 Volume XI/ Nomor 02/Agustus 2020
JURNAL PENDIDIKAN
ISSN 2086-9134
KREATIVITAS DALAM SIMBOL BENTUK LUKISAN ANAK USIA 6 TAHUN
Hersi Maningrum
TK Pertiwi Puro Pakualaman Yogyakarta E-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kreativitas dalam simbol bentuk lukisan pada anak. Subjek penelitian yaitu satu orang anak berusia 6 tahun.
Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif, dokumentasi, dan wawancara. Teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini yaitu: fluensi (kelancaran) dalam memunculkan ide dan gagasan yang berasal dari lingkungan sekitar, fleksibilitas (keluwesan) dengan menciptakan berbagai macam simbol bentuk, elaborasi (keterperincian) dalam mengembangkan simbol bentuk, orisinalitas (keaslian) yang dituangkan dalam menciptakan ide dan gagasan simbol bentuk sesuai dengan imajinasi dan keinginannya, dan sensitivitas (kepekaan) terhadap lingkungan yang terwujud dalam lukisan yang menggambarkan situasi yang pernah terjadi.
Kata kunci: kreativitas, simbol, lukisan anak usia 6 tahun
Abstract: This research aims to describe creativity in a symbol of the form of 6 years old. Subjects at this research is an early childhood for 6 years old. Data were collected through a participative observation, documentation, and interview. The data were analyzed use Miles and Huberman Models. The results of the research include fluency in generating ideas and ideas from the surrounding environment, flexibility in creating various kinds of shape symbols, elaboration in developing shape symbols, originality as outlined in creating ideas and ideas of shape symbols according to their imagination and desires, and sensitivity to the environment that is seen in paintings depicting situations that have occurred.
Keywords: creativity, symbols, 6 year old child painting
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dengan pesat dan memasuki jaman revolusi industri 4.0. Era ini ditandai dengan proses digitalisasi. Proses digitalisasi memudahkan manusia untuk mengakses pengetahuan, informasi, dan komunikasi.
Informasi dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dapat dicari dengan mudah dan cepat, begitu juga dengan proses komunikasi.
Komunikasi menjadi lebih efektif dan efisien dengan adanya kemajuan teknologi.
Anak usia dini pada era industri 4.0 termasuk dalam generasi alpha atau generasi Z. Generasi alpha mudah terhubung dengan teknologi dan dapat memanfaatkan sebagai media untuk memperoleh informasi maupun melakukan komunikasi secara instan.
Anak usia dini berada pada rentang usia 0-6 tahun. Pada masa ini anak mengalami perkembangan yang pesat dalam aspek fisik, kognitif, sosial-emosional, bahasa, komunikasi dan kreativitas (Hartati, 2005:
7-8).
Kreativitas merupakan kegiatan yang menghasilkan sebuah produk yang bersifat baru, bermanfaat dan dimengerti (Campbell, 1991:11). Kreativitas dapat ditunjukkan dalam sebuah hasil karya seni yang memiliki kebaruan, orisinalitas, inovasi dan keunikan.
Kreativitas bagi anak usia dini memberi kesenangan dan kepuasan pribadi karena anak diberi kebebasan berpikir kreatif dalam menuangkan imajinasinya. Kreativitas anak usia dini dapat dituangkan ke dalam berbagai aktivitas salah satunya melalui kegiatan melukis.
Peran melukis yaitu sebagai media berkreasi, berekspresi dan berkomunikasi.
Bentuk kreativitas dalam melukis yaitu memiliki kebebasan mengeksplorasi, eksperimen, berekspresi dan kebebasan emosional. Unsur kreatif menurut Parnes (dalam Nursito, 2000:31) yaitu fluensi (kelancaran) dalam menghasilkan ide untuk pemecahan masalah, fleksibilitas (keluwesan) dalam menghasilkan berbagai macam ide, orisinalitas (keaslian) atau kemampuan untuk menciptakan gagasan yang unik, elaborasi (keterperincian) yang menyatakan pengarahan ide menjadi kenyataan, dan sensitivitas (kepekaan) menangkap dan menghasilkan masalah sebagai tanggapan terhadap situasi.
Susunan kepribadian dalam teori psikoanalisis secara langsung sama dengan terjadinya proses penciptaan karya seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah alam bawah sadar yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penciptaan karya seni, yaitu
melalui proses kondensasi (penggabungan) dan pemindahan (sublimasi). Pada anak usia dini, pikiran anak dikuasai alam bawah sadar dan dituangkan dalam bentuk simbol ketika proses pemindahan ke dalam bentuk lukisan. Lukisan anak dimaknai sebagai gambar yang penuh dengan simbol sesuai gaya anak. Simbol bentuk yang dilukis oleh anak dapat dimanfaatkan untuk mengetahui taraf berpikir dan perasaan anak saat melukis. Lukisan anak sebagai simbol visual yang memiliki makna ganda tidak hanya sebagai simbol perwujudan bentuk namun merupakan keinginan yang diwujudkan dalam figur dan simbol dalam gambar (Pamadhi, 2012: 22).
Menurut Pamadhi (2008:1-26), pikiran dan perasaan anak aktif ketika proses berkarya seni. Anak usia dini belum bisa membedakan makna berpikir dan merasakan, sehingga dalam berkarya seni pikiran dan perasaan anak masih bercampur. Alam pikiran dan perasaan anak ini terungkap dalam karya rupa anak. Anak melukis bukan hanya dari apa yang dilihat, tetapi juga apa yang dia rasakan. Semua yang ada di pikiran dan perasaannya dituangkan ke dalam bentuk simbol dalam suatu lukisan.
Bentuk adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah garis atau dibatasi oleh warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur. Simbol bentuk adalah tanda atau karakteristik berupa titik, garis, bidang, dan volume yang menggambarkan suatu objek, fungsi, dan proses yang digunakan
KREATIVITAS DALAM SIMBOL - Hersi Maningrum
untuk memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Menurut Sanyoto (2009: 83) bentuk dapat dikategorikan ke dalam beberapa macam antara lain bentuk berupa titik, bentuk berupa garis, bentuk berupa gempal atau volume.
Perkembangan kognitif anak usia 3 sampai dengan 6 tahun berada pada tahap praoperasional, yaitu anak mulai menjelaskan apa yang ada di benaknya dengan kata- kata dan gambar, meningkatkan pemikiran simbolis serta mendapatkan kemampuan untuk menggambarkan secara mental sebuah objek yang tidak ada (Santrock, 2007: 49).
Usia 6 tahun termasuk dalam masa prabagan, pada masa ini anak memiliki cara yang berbeda dalam menggambarkan bentuk.
Anak sadar bahwa membuat bentuk berawal dari hubungan dengan lingkungan sekitar.
Simbol dan coretan terkontrol serta terkait dengan lingkungan sekitar anak, coretan pada masa pra bagan sebagian besar terjadi karena aktivitas kinestetik (Lowenfeld, 1982: 205)
Masa prabagan merupakan masa anak sudah mulai mengenal dirinya, diri anak sebagai pusat segalanya. Lukisan yang dibuat oleh anak akan tampak figur yang menyatakan
“aku”. Masa ini didominasi dengan rasa egosentris, yaitu ketidakmampuan membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain. Karya lukis anak usia dini merupakan ekspresi kejujuran tentang perasaan, harapan, fantasi, dan imajinasi yang dilukiskan dalam bidang datar. Lukisan anak memiliki bentuk yang unik dari aspek
bentuk, warna, goresan, dan unsur lainnya.
Anak mulai menggambar dari yang paling sederhana yaitu berupa garis menuju bentuk yang representasional dan detail sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Tinjauan seni lukis anak berdasarkan tipe lukisan terbagi menjadi 3 yaitu non- haptic, haptic, dan willing type. Tipe non- haptic (visual) merupakan tipe lukisan anak yang mempunyai ketajaman menghayati sesuatu melalui indera penglihatannya, sehingga karya gambar yang dibuatnya cenderung didasarkan pada kesamaan bentuk yang dilihat atau dihayatinya. Selanjutnya tipe haptic (nonvisual) merupakan tipe lukisan anak yang mempunyai kepekaan atau ketajaman perasaan atau mata hatinya, sehingga gambar yang dibuat cenderung didasarkan atas ekspresi atau reaksi emosionalnya dan bukan berdasarkan hasil penglihatan indera matanya. Terakhir yaitu tipe willing type yaitu tipe gambar anak yang diangkat dalam materi pokok gambar berupa harapan anak terhadap keinginan, cita-cita, atau kejadian yang akan datang.
Tinjauan lukisan anak berdasarkan kesan ruang gambar anak terbagi 3, yaitu perebahan, penumpukan, perspektif mata burung, tutup menutup, dan pengecilan.
Pertama perebahan yaitu kesan ruang yang diperoleh dengan jalan merebahkan ke dalam atau ke luar suatu benda atau objek yang digambarkan. Misalnya gambar pohon, rumah pagar di pinggir jalan oleh anak digambarkan miring atau rebah mengikuti batas jalannya. Kedua, penumpukan adalah
kesan ruang dengan ciri objek yang dekat digambar di bagian bawah bidang gambar, sedangkan objek yang letaknya semakin jauh diletakkan di bagian atas bidang gambar. Namun kesan ruangnya masih seperti ditumpuk, karena objek tersebut digambar dengan ukuran yang relatif sama besar meskipun tempatnya lebih jauh.
Ketiga, perspektif mata burung adalah kesan ruang yang dibuat atau dihasilkan seperti burung yang sedang terbang. Dengan cara ini anak seakan-akan berada di tempat yang tinggi, sehingga hasil gambarnya antara benda atau objek satu dengan benda lainnya digambarkan tidak saling tutup-menutup.
Kesan ruang gambar terasa lebih luas, sedangkan objek gambar sebagian terkesan kecil-kecil. Keempat tutup-menutup adalah kesan ruang antara objek yang satu dengan objek yang lainnya saling tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa objek yang tertutup berada pada tempat yang lebih jauh, namun dilihat dari ukurannya belum digambar semakin kecil seperti yang dilakukan dalam menggambar perspektif. Kelima, pengecilan adalah kesan ruang gambar yang dibuat berdasarkan ketentuan atau hukum perspektif, dimana objek yang dekat digambar besar dan jelas, sedangkan objek yang semakin jauh digambar semakin kecil dan tidak jelas. Contoh gambar jalan yang menjauhi pandangan mata dibuat dengan batas dua buah garis yang semakin jauh semakin menyempit atau mengecil dan akhirnya bertemu disatu titik pada garis horizon.
Perkembangan revolusi industri
dengan perkembangan kreativitas anak usia dini memiliki hubungan yang saling terkait.
Kreativitas anak dapat dilihat melalui hasil karya berupa lukisan. Lukisan anak merupakan simbol perwujudan bentuk dan keinginan yang diwujudkan dalam figur dan simbol dalam gambar (Pamadhi, 2012:
22). Kreativitas dalam simbol bentuk dan lukisan anak usia 6 tahun menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Lukisan anak usia 6 tahun yang dikaji dalam penelitian ini yaitu mengenai kreativitas dalam simbol bentuk, seperti apa fluency, flexibility, originality, elaboration, dan sensitivity yang tertuang dalam lukisan. Oleh karena itu, penelitian ini mendeskripsikan kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun, secara khusus mengetahui fluency (kelancaran), flexibility (keluwesan), originality (keaslian), elaboration (keterperincian), dan sensitivity (kepekaan).
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis studi kasus. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menginterpretasikan objek alamiah yang diteliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Sugiyono, 2010:1). Tujuan dari penelitian yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Studi kasus dalam penelitian yaitu deskripsi intensif dan analisis terhadap seorang individu tunggal.
Data yang diperoleh berasal
KREATIVITAS DALAM SIMBOL - Hersi Maningrum
dari catatan lapangan, wawancara, dan dokumentasi foto. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2019 di TK Pertiwi Puro Pakualaman. Subjek penelitian yaitu satu anak berusia 6 tahun. Sumber data diperoleh dari sekolah dan anak. Objek formal dalam penelitian yaitu kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun, sedangkan objek material dalam penelitian yaitu lukisan anak usia 6 tahun. Sumber data dalam penelitian diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, serta wawancara dengan anak.
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif yaitu peneliti sendiri. Instrumen berupa pedoman observasi, dokumentasi, dan pedoman wawancara yang digunakan untuk membantu mengumpulkan dan menganalisis data.
Observasi dilakukan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan kreativitas dalam simbol bentuk dan warna lukisan anak usia 6 tahun dilakukan dengan cara mengamati subjek dan objek penelitihan serta aktivitas yang berlangsung di dalamnya.
Observasi ini ditujukan untuk mendapatkan data sebanyak mungkin tentang kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun. Pedoman observasi yang dilakukan yaitu pengamatan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari dan pengamatan terhadap perilaku anak ketika melukis.
Dokumentasi dilakukan untuk mencari bukti-bukti penelitian yang dapat disimpan sehingga menghindari kemungkinan hilangnya data yang telah diberikan oleh narasumber. Guba dan Lincoln (dalam
Moleong, 2011: 216) menyatakan dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film, yang digunakan dalam penelitian sebagai sumber data. Dokumen dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan. Studi ini menggunakan studi kepustakaan atau analisis dokumen yang datanya diperoleh melalui sejumlah literatur kepustakaan, yang dinilai relevan dengan penelitian ini. Data-data pokok juga diperoleh melalui dokumen dan literatur lain tentang anak usia dini dan kreativitas, yang berupa video, foto, gambar, buku, dan sumber lain.
Pedoman wawancara penelitian ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengumpulkan data yang berisi catatan pertanyaan secara garis besar mengenai kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun. Data dari hasil wawancara digunakan untuk memperoleh data yang bersifat deskriptif berupa informasi dari partisipan yaitu guru dan anak. Data deskriptif ini bermanfaat sebagai pendukung dalam mengidentifikasi kreativitas dalam simbol bentuk dan warna lukisan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini selengkapnya dapat dicermati pada Tabel 1.
Teknik Pengumpulan Data
Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam waktu tertentu.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model interaktif dari Miles dan Huberman. Aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas yaitu sampai data yang dikumpulkan dirasa cukup. Kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun ditampilkan melalui hasil karya yaitu lukisan. Hasil karya lukisan anak usia 6 tahun dikumpulkan oleh peneliti kemudian diidentifikasi dan diklasifikasi berdasarkan kriteria untuk diteliti. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan dideskripsikan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan tujuan untuk mendeskripsikan kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013: 91) mengatakan bahwa aktivitas dalam menganalisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (kesimpulan/verifikasi), sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Teknik analisis data meliputi 3 langkah, yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data merupakan bagian proses analisis data yaitu memilah dan memperinci data yang telah terkumpul. Reduksi data bertujuan untuk mempertegas dan membuat lebih fokus sehingga data yang diperoleh dapat disimpulkan. Dalam penelitian ini data yang terkumpul berupa data observasi, dokumentasi (hasil karya anak) dan wawancara. Langkah dalam reduksi data yaitu identifikasi data dan klasifikasi data.
Tahap kedua yaitu penyajian data. Data yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Dengan menyajikan data maka akan memudahkan untuk memahami tentang fakta yang terjadi. Penyajian data yang digunakan
Tabel 1. Instrumen Pengumpulan Data
KREATIVITAS DALAM SIMBOL - Hersi Maningrum
yaitu dengan teks yang bersifat naratif, yaitu mendiskripsikan karya terpilih satu persatu dan diuraikan sesuai dengan tinjauan tentang tujuan penelitian. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan adalah kegiatan analisis yang difokuskan pada penafsiran data yang telah disajikan. Data yang telah diinterpretasikan dan diuraikan kemudian disimpulkan berkaitan dengan nilai kreativitas simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan yaitu adanya temuan baru. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran, hubungan kausal, hipotesis atau teori suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang didapatkan antara lain data tentang profil subjek, fakta subjek, dan lukisan karya subjek. Profil subjek meliputi biodata, sedangkan fakta subjek yaitu tentang karakteristik subjek.
Lukisan karya subjek diciptakan selama proses penelitian berlangsung. Hasil karya berjumlah 3 lukisan dan direduksi menjadi 1 lukisan. Data ditampilkan dengan cara mendeskripsikan kreativitas dalam simbol bentuk yang terkandung dalam karya.
Kegiatan anak usia dini dalam kreativitas dapat melalui melukis. Melukis bagi anak merupakan wadah untuk
menuangkan imajinasi dan ekspresi untuk berkomunikasi. Lukisan anak merupakan perwujudan dari pengalaman yang pernah dialami. Pengalaman dapat diperoleh dari lingkungan maupun teknologi yang pada saat ini mudah diakses oleh anak. Hal itu dapat menjadi pengaruh anak dalam cara memvisualisasikan bentuk ke dalam lukisan.
Tahap perkembangan anak usia 6 tahun dalam penelitian terbagi menjadi 6 aspek. Pertama aspek nilai moral dan agama, anak usia 6 tahun berada dalam tahap moralitas prakonvensional. Pada tahap ini anak akan tunduk dengan aturan-aturan dari luar dirinya. Contohnya yaitu anak tidak mau berebut mainan karena nantinya akan dimarahi, namun sebaliknya anak akan senang membantu orang tua karena merasa akan mendapat penghargaan atau hadiah.
Kedua yaitu aspek kognitif, dimana dalam aspek ini anak berada pada masa praoperasional. Masa praoperasional identik dengan egosentrisme, anak mulai mengenal dirinya sebagai pusat segalanya. Masa ini didominasi dengan rasa egosentris, yaitu ketidakmampuan membedakan perspektif diri sendiri dan orang lain.
Ketiga yaitu aspek fisik-motorik, keterampilan motorik halus anak usia 6 tahun yaitu anak sudah mampu mengontrol gerakan otot-otot tangan dan berkoordinasi antara mata dengan tangan. Hal tersebut terwujud dalam kegiatan makan, minum, berpakaian sendiri, dan kegiatan menggambar bentuk.
Perkembangan motorik halus anak akan tampak dalam goresan dalam lukisan
maupun tulisan.
Keempat yaitu aspek bahasa, kemampuan anak dalam mengkomunikasikan dengan bahasa ekspresif maupun reseptif. Anak usia 6 tahun anak mampu mengungkapkan perasaan, ide, dan pilihan kata yang sesuai ketika berkomunikasi.
Anak juga mampu menceritakan kembali apa yang telah didengar dan dilihat dengan kosakata yang lebih lengkap. Kemampuan mengekspresikan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan dapat dituangkan melalui karya lukis.
Kelima yaitu aspek sosial-emosional, dimana anak usia 6 tahun memiliki sikap yang mencerminkan perilaku sosial di antaranya sikap percaya diri, disiplin, kemandirian, toleransi, tanggung jawab, dan jujur. Dalam perkembangan emosional dapat terwujud dalam sikap keseharian bagaimana bersikap dengan orang lain. Salah satunya adalah pengendalian emosi dan ego. Emosi anak juga dapat terlihat dari lukisan yang diciptakan, karena anak menuangkan ide yang berasal dari apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan.
Keenam yaitu aspek seni, dimana anak usia 6 tahun memiliki kemampuan membuat karya seni. Karya seni dapat berupa seni musik, seni gerak, dan seni lukis. Anak menciptakan karya sesuai dengan ide dan gagasannya. Karya seni lukis anak sebagai simbol yang memiliki makna ganda tidak hanya sebagai simbol perwujudan bentuk namun merupakan keinginan yang diwujudkan dalam figur dan simbol dalam
gambar.
Tahap perkembangan seni rupa anak usia 6 tahun yaitu dalam masa prabagan.
Anak sadar bahwa membuat bentuk berawal dari hubungan dengan lingkungan sekitar.
Simbol dan coretan terkontrol serta terkait dengan lingkungan sekitar anak (Lowenfield, 1982: 205). Lukisan anak memiliki bentuk yang unik dari aspek warna, bentuk, goresan, dan unsur lainnya.
Lukisan anak usia 6 tahun di TK Pertiwi Puro Pakualaman bercerita tentang pekerjaan orang tua. Lukisan memiliki tipe realistik atau non-haptic yaitu tipe lukisan yang memiliki ketajaman dalam menghayati sesuatu melalui indera penglihatannya, sehingga karya yang diciptakan didasarkan pada kesamaan bentuk yang dilihatnya.
Karakteristik lukisan yaitu juxta position (penumpukan) yaitu kesan ruang yang dilukiskan saling menumpuk, objek yang digambar dengan ukuran yang relatif sama besar meskipun tempatnya jauh. Simbol bentuk dalam lukisan anak antara lain garis dan bentuk yang diciptakan sudah terkontrol, simbol bentuk merupakan susunan dari bidang geometris, sifat egosentris masih dominan dalam pembuatan karya.
Unsur kreativitas yang pertama yaitu fluensi atau kelancaran. Anak melukis sesuai ide dan gagasan yang dimiliki. Lukisan bertema pekerjaan orang tua. Susunan bentuk maupun objek merupakan hasil dari pengetahuan anak yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Unsur kedua yaitu fleksibilitas (keluwesan), diartikan sebagai
KREATIVITAS DALAM SIMBOL - Hersi Maningrum
kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam ide dan gagasan. Dalam lukisan, anak menuangkan ide ke dalam simbol bentuk yang bervariatif. Unsur ketiga yaitu orisinalitas (keaslian), keaslian dalam lukisan anak tampak pada keunikan simbol yang dilukis. Simbol memiliki bentuk yang berbeda dari simbol pada umumnya. Unsur keempat yaitu elaborasi (keterperincian), lukisan anak memiliki pengembangan simbol bentuk sesuai dengan imajinasinya. Unsur kelima yaitu sensitivitas (kepekaan), anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan sehingga anak dapat menuangkannya ke dalam lukisan. Hal ini tampak pada alur cerita yang ingin disampaikan anak melalui lukisannya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian kreativitas dalam simbol bentuk lukisan anak usia 6 tahun yaitu fluensi (kelancaran) dalam memunculkan ide dan gagasan yang berasal dari lingkungan sekitar, fleksibilitas (keluwesan) dengan menciptakan berbagai macam simbol bentuk, elaborasi (keterperincian) dalam mengembangkan simbol bentuk, orisinalitas (keaslian) yang dituangkan dalam menciptakan ide dan gagasan simbol bentuk sesuai dengan imajinasi dan keinginannya, dan sensitivitas (kepekaan) terhadap lingkungan yang terwujud dalam lukisan yang menggambarkan situasi yang pernah terjadi.
RUJUKAN
Campbell, David. 1986. Mengembangkan Kreativitas. Terjemahan oleh AM Mangunhardjana.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hartati, Sofia. 2005. Perkembangan Belajar pada Anak Usia Dini. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Lowenfield dan Lambert Britain. 1982.
Creative and Mental Growth. New York: Macmillan Publishing
Moleong, Lexy J.. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: Rosda.
Nursisto. 2000. Kiat Menggali Kreativitas.
Yogyakarta: Mitra Gama Widya Pamadhi, Hajar. 2012. Pendidikan Seni.
Yogyakarta: UNY Press.
Santrock, John, W. (2007). Perkembangan Anak Jilid 2. (Alih bahasa: Mila Rachmawati). Jakarta : Erlangga.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta
________. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS MENULIS DALAM KOMPETENSI PROFESIONAL BAGI GURU SD
Agung Sudaryono
SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta E-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap fenomena rendahnya aktivitas menulis guru. Aktivitas menulis adalah kemampuan guru dalam hal menyusun sebuah karya ilmiah, menulis artikel, menulis buku, dan membuat laporan penelitian yang merupakan salah satu bagian dari kompetensi profesional guru.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode fenomenologi. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi kepala sekolah di Kota Yogyakarta dengan purposive sampling. Data dianalisis menggunakan teknik outline phenomenology analysis dari Moustakas dengan beberapa tahapan yaitu validasi keakuratan informasi, melakukan transkrip data hasil wawancara, mengatur dan mempersiapkan analisis, membaca keseluruhan data, memberikan kode atau tanda pada tema yang muncul, menjelaskan tema dengan deskripsi, menghubungkan antar tema, memberikan interpretasi dan mengartikan tema dalam deskripsi. Hasil penelitian sebagai berikut: guru terlalu dibebani dengan administrasi yang sangat banyak, belum terbiasa membuat karya ilmiah, kurangnya kegiatan ilmiah, tidak adanya pendampingan dari atasan, guru melihat karya tulis sebagai karya yang luar biasa beratnya.
Kata kunci : kompetensi, karya tulis, fenomena
Abstract: This research aims at revealing the phenomenon why most teachers are reluctant to write. Writing activity is the teachers capability in compiling scientific work, writing articles, writing books, and reporting a research, which are considered as part of the teachers’ professional competences.This qualitative research used phenomenological method. The data was taken by interviewing, observing and documenting to the principals in Jogjakarta regency with a purposive sampling. The data was analyzed using outline phenomenology analysis from Moustakes with several stages: information-accuracy validation, decoding the result of interview, arranging and preparing the analysis, reading the whole data, encoding/remarking the appeared theme, describing theme, relating theme, interpreting theme in the form of description.The result of the description is as follow. Teachers are burdened and busy with too much administration work, are not used to making scientific articles, and lack of scientific activities. Besides, there is no guidance from the senior so that most teachers think that writing is something hard to do.
Keywords: phenomena, participation, paper PENDAHULUAN
Guru sebagai profesi yang bertugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik memiliki fungsi
yang sangat dominan dalam menentukan keberhasilan selama proses pembelajaran.
Untuk menyiapkan pembelajaran yang bagus, guru dituntut membuat persiapan
yang matang sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran nanti bisa menghasilkan sebuah pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan (Kemendikbud, 2017: 1).
Semua persiapan ini disusun guru dalam sebuah format administrasi yang disebut dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran bagi guru dianggap sebagai sebuah kemampuan menulis yang sangat penting, atau sebuah keharusan. Namun ternyata banyak guru yang menganggap bahwa kemampuan menulis dan membuat persiapan pembelajaran ini menjadi satu- satunya kewajiban menulis bagi guru. Hal ini tentunya tidak salah, karena memang kenyataannya banyak guru yang tahu kewajiban menulis hanyalah membuat rencana pelaksanaan pembelajaran tadi, padahal sebenarnya banyak kegiatan menulis yang harus dilakukan oleh guru berkaitan dengan kompetensi profesionalnya.
Mengacu pada Dwiningrum (2011:66) dilihat dari jenisnya partisipasi, meliputi 4 hal yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan, dan partisipasi dalam evaluasi. Teguh (2014) menulis tentang perilaku manajemen dengan partisipasi guru, managemen sangat mempengaruhi partisipasi guru dalam melakukan aktivitas kesehariannya, masih perlunya reward and punishment untuk meningkatkan kinerjanya. Penelitian- penelitian tersebut melibatkan perilaku dan tugas serta kredibilitas guru, namun dalam hal partisipasi yang berhubungan
dengan prestasi maupun kompetisi yang diselenggarakan untuk guru, masih belum banyak dilakukan. Dari kedua teori ini guru diharapkan memiliki peran aktif dalam proses tulis-menulis sebagai sumbangsih dalam dunia pendidikan. Dengan berpartisipasi dalam pelaksanaan penyusunan karya tulis ini maka secara tidak langsung guru juga akan berperan dalam pengambilan kebijakan- kebijakan oleh pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan baik birokrat seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau dinas pendidikan guna menunjang kompetensi profesionalnya sebagai guru, dan meningkatkan peranan para akademisi dalam pembimbingan bagi guru-guru yang mau menulis.
Kesempatan lomba ilmiah yang ada bagi guru belum sepenuhnya diimbangi dengan partisipasi atau keikutsertaan dan keterlibatan guru dalam penyusunan karya ilmiah bagi kepentingan pengembangan kompetensi profesional seperti yang diharapkan. Pada observasi pada sebuah kegiatan lomba inovasi pembelajaran untuk guru sekolah dasar tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya ada 4 orang guru dari Yogyakarta yang mengikuti lomba tersebut. Padahal dalam event lomba bergengsi tersebut kriteria perjurian terbagi dalam 4 kelompok bidang lomba, dengan total jumlah peserta finalis sebanyak 136 guru dari seluruh Indonesia (Kemendikbud, 2015:1-12). Empat guru dari Kota Yogyakarta itu mewakili lomba inovasi dalam bidang: 1 orang kelompok
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
Matematika dan IPA, 1 orang mewakili kelompok IPS dan PKn, dan 2 orang guru mewakili kelompok Seni, Bahasa dan Olahraga, sedangkan kelompok Muatan Lokal dan Agama pada tahun 2014 dan 2015 DIY khususnya Kota Yogyakarta belum terwakili sama sekali. Tidak berbeda jauh dengan lomba di atas, hasil observasi pada sebuah kegiatan pendidikan dan pelatihan/
diklat bagi guru-guru dalam penyusunan penelitian tindakan kelas dan karya tulis ilmiah pada 19 sampai dengan 21 Desember 2015 di SD Muhammadiyah Sapen juga menunjukkan kurangnya partisipasi guru.
Dari sekitar 60 orang peserta yang mengikuti kegiatan tersebut, pada program tindak lanjut dengan jeda waktu satu bulan hanya, ada 5 orang guru yang mengajukan proposal penelitian tindakan kelas dan 4 orang guru yang mengajukan proposal inovasi guru dalam pembelajaran.
Fenomena di lapangan, potensi dan peluang yang dimiliki guru-guru SD di Kota Yogyakarta untuk menjadi yang terbaik dalam setiap lomba karya tulis ilmiah di semua jalur sangatlah besar. Pada salah satu bentuk evaluasi kemampuan didaktik dan metodik yang dilakukan oleh pemerintah melalui uji kompetensi guru (UKG) pada tahun 2012 dan tahun 2015 yang lalu, Yogyakarta selalu menempati peringkat tertinggi dari seluruh Indonesia. Uji kompetensi guru ini memberikan gambaran pokok tentang penguasaan 4 kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki oleh guru.
Uji kompetensi guru merupakan salah satu bentuk assesment untuk melihat kemampuan
guru dalam penguasaan kompetensinya sesuai indikator yang ada. Jika hasil uji kompetensi guru tinggi maka bisa dikatakan profesionalisme guru tersebut juga bagus, dan analoginya daerah tersebut memiliki sumber daya guru dengan kompetensi yang bagus. Pada UKG tahun 2015 Daerah Istimewa Yogyakarta masih menempati rangking tertinggi rerata perolehan uji kompetensi guru dengan nilai sebesar 62,36 jauh di atas SKM (Standar Kompetensi Minimal) target uji kompetensi guru yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 55 dan jauh di atas rata-rata nasional hasil uji kompetensi guru yang hanya sebesar 53,05.
Fenomena di atas menunjukkan kondisi sebenarnya yang ada pada guru-guru SD di Kota Yogyakarta, bahwa meskipun sumber daya manusia dan sistem yang ada sangat mendukung namun ternyata aktivitas menyusun karya tulis ilmiah bagi guru masih sangat rendah. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah apakah sebenarnya yang menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi guru SD ini dalam hal menulis karya ilmiah ini. Kompetensi menulis yang merupakan bagian dari kompetensi profesional ini seharusnya sangat tinggi jika dikaitkan dengan kemampuan kompetensi pedagogik yang dimiliki. Karena sedikitnya aktivitas menulis bagi guru-guru di kota Yogyakarta berbanding terbalik dengan hasil UKG dan potensi tinggi yang dimiliki oleh guru-guru di Kota Yogyakarta. Hal inilah yang melatar belakangi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap
masalah-masalah sebenarnya yang dihadapi oleh guru dan adakah solusi yang bisa diambil untuk memecahkan fenomena ini.
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap fenomena rendahnya partisipasi guru SD di Kota Yogykarta dalam proses menulis karya ilmiah baik berupa karya tulis ilmiah, jurnal penelitian, PTK, dan menulis buku. Penelitian ini juga diharapkan dapat menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi guru SD di Kota Yogyakarta baik faktor yang menghambat maupun faktor yang mendukung partisipasi guru SD dalam menyusun sebuah karya ilmiah.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Smith dan Osborne (2007:53) menyatakan bahwa pendekatan fenomenologi digunakan untuk membawa seseorang dalam menilai partisipan terhadap sebuah pengalaman hidupnya. Pendekatan fenomenologi ini mencoba menggali pengalaman seseorang, selalu berhubungan dengan persepsi dalam menghasilkan sebuah pernyataan atau penilaian seseorang pada sebuah peristiwa atau usaha seseorang untuk menolak sebuah objek atau peristiwa yang dialaminya sendiri. Pendekatan fenomenologi ini mencoba menggali pengalaman seseorang, selalu berhubungan dengan persepsi dalam menghasilkan sebuah pernyataan atau penilaian seseorang pada sebuah peristiwa atau usaha seseorang untuk menolak sebuah objek atau peristiwa yang dialaminya sendiri.
Subjek penelitian difokuskan pada guru-guru SD dan kepala sekolah Kota Yogyakarta dan objek penelitiannya yaitu aktivitas membuat karya tulis ilmiah bagi guru. Informan penelitian ini berjumlah 15 orang terdiri dari 11 orang yang masing- masing merupakan guru kelas maupun guru mata pelajaran yang aktif dalam mengikuti lomba karya tulis dan lomba guru berprestasi. Informan lainnya 2 orang kepala sekolah, yaitu kepala sekolah yang sudah pernah menjadi kepala sekolah berprestasi hingga tingkat nasional dan 2 orang pejabat struktural yang menangani lomba-lomba karya tulis di Kota Yogyakarta. Informan atau sampel ditentukan dengan teknik non probality sampling, artinya sampel merupakan guru atau pejabat struktural yang dianggap mampu memberikan informasi data yang diperlukan dan mudah diajak berkomunikasi dan menguasai hal-hal yang akan dijadikan sebagai objek penelitian.
Selanjutnya dari data informan pertama ini akan ditentukan informan berikutnya, teknik ini lebih dikenal dengan ”Snowball Sampling Technique” (Sugiyono, 2008:219).
Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan merupakan wawancara semistruktur, karena meskipun dikembangkan panduan wawancara namun tetap dimungkinkan adanya pengembangan pendapat, ide, dan wawasan dari subjek penelitian. Instrumen wawancara divalidasi oleh expert judgment akademisi dari sebuah LPTK di Yogyakarta.
Observasi dilakukan untuk memetakan
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
dan mencari bagian-bagian dari objek penelitian yang dilakukan. Peneliti terlibat secara mendalam dengan kegiatan sehari- hari dari subjek yang diteliti atau informan yang diambil datanya. Untuk memperoleh data yang akurat dilakukan triangulasi data dengan tujuan memperoleh data yang insight atau wawasan yang sama. Hasil wawancara disandingkan dengan hasil observasi dan dokumen yang diperoleh pada saat penelitian berlangsung sehingga tidak ada bias yang lebar antar ketiga teknik pengumpulan data tersebut.
Analisis data penelitian yang dipilih sesuai jenis penelitian yaitu dengan menggunakan Outline Phenomenology Analysis dari Moustakas yang dikembangkan oleh Creswell (2009:183-190). Data penelitian kualitatif ini dianalisis dengan tahapan: 1) Validasi keakuratan informasi; 2) Melakukan transkrip data hasil wawancara;
3) Mengatur dan mempersiapkan analisis; 4) Membaca keseluruhan data; 5) Memberikan kode atau tanda pada tema yang muncul;
7) Menjelaskan tema dengan deskripsi; 8) Menghubungkan antar tema; 9) Memberikan interpretasi dan mengartikan tema dalam deskripsi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kondisi Aktivitas Menulis bagi Guru
Menulis merupakan sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Menulis merupakan bagian dari kompetensi profesional yang dimiliki guru. Hasil observasi yang dilakukan menunjukkan
bahwa aktivitas menulis ini bisa dikatakan belum menggembirakan karena banyak hal yang menjadi penghambat bagi kemajuan budaya menulis ini sendiri. Dalam sebuah diskusi dengan informan diketahui bahwa ada beberapa pembimbing karya tulis cenderung mempersulit guru yang sedang menyusun karya tulis ilmiah, dan hal ini bisa berakibat sangat negative bagi guru, karena akan rentan terhadap jual beli karya tulis.
Hal ini sudah dibuktikan pada sebuah lokasi di Kota Yogyakarta, yang menawarkan jasa pembuatan karya tulis, skripsi, bahkan tesis yang menggiurkan bagi guru, mahasiswa, dan dosen dengan harga yang cukup terjangkau.
Kondisi ini menjadi hal yang menyedihkan bagi kalangan akademis karena kemampuan menulis seharusnya mengikuti pola pikir dan kemampuan penulisnya (guru). Dalam wawancara terungkap bahwa atasan yang membimbing karya tulis cenderung tidak lebih mengetahui dan menguasai materi sehingga lebih banyak menyalahkan penulis (guru) dan kemudian melepaskan bimbingannya tersebut dalam kondisi kebingungan (Wwcr 1, Kode:23).
Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Aktivitas Menulis
Dwiningrum (2015:65) mengatakan bahwa perilaku seseorang mutlak dipengaruhi oleh faktor yang menarik perhatian seseorang untuk melakukan tindakan tersebut, pada proses aktivitas menulis ini sudah sampai tahap paling puncak yaitu self-management, dimana seorang guru memutuskan untuk berpartisipasi dalam
Tabel 1. Faktor Pendukung dan Penghambat Aktivitas Menulis
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
aktivitas menulis sebagai sebuah proses belajar untuk mengoptimalkan hasil dan hal- hal yang menjadi perhatian di komunitasnya.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan dapat dirangkum hasil wawancara yang ada. Secara rinci dapat diuraikan tentang beberapa faktor yang bisa mendukung dan menghambat aktivitas menulis ini sebagaimana dapat dicermati pada Tabel 1.
Setelah melalui serangkaian tahapan yang dianggap cukup dalam penelitian ini maka dilakukan analisis dengan metodologi yang sesuai. Dari hasil analisis tersebut didapatkan rangkuman tema yang secara struktur merupakan pokok-pokok hasil wawancara yang dilakukan dengan informan. Adapun tema-tema pokok yang sudah direduksi tersebut yaitu 1) Guru terlalu dibebani dengan administrasi yang sangat banyak; 2) Guru belum terbiasa membuat karya tulis ilmiah; 3) Kurangnya kegiatan ilmiah bagi guru yang berkaitan dengan karya tulis; 4) Tidak adanya pendampingan dari atasan atau sejawat; 5) Guru melihat karya tulis sebagai sebuah karya yang luar biasa beratnya.
Pembahasan
Analisis data yang dilakukan secara seksama telah menghasilkan tema-tema pokok berkaitan dengan fenomena lemahnya guru dalam kompetensi profesional terutama kemampuan dalam menyusun sebuah karya tulis. Tema-tema pokok tersebut dibahas sebagai berikut.
Pertama, guru terlalu dibebani dengan administrasi yang sangat banyak.
Administrasi guru sesuai dengan Permendikbud Revisi tahun 2017 yang meliputi seluruh standar pendidikan yang dituangkan dalam Buku Kerja Guru sangat banyak. Dari 4 buku kerja yang menjadi tugas guru, tidak kurang dari 27 jenis administrasi yang harus ditulis oleh guru.
Dengan kondisi seperti ini, sangat logis jika guru tidak sempat lagi membuat karya tulis untuk memenuhi kebutuhan kompetensi profesionalnya. Dalam petikan wawancara dengan Bapak H (Wwcr 5, kode; 16-18) dikatakan bahwa, kesulitan utama terletak pada best practice, karya tulis atau karya ilmiah. Dinas pendidikan sudah memberikan pelatihan dengan mengundang guru-guru dan mendatangkan ahli, mulai dari penyusunan proposal hingga tersusun sebuah karya tulis, dan harus ada pengawalan dari dinas pendidikan. Memberi pemahaman sekolah bahwa KTI itu punya manfaat sangat besar sisi kualitas di Yogyakarta lebih diutamakan daripada sisi kuantitas. Dan kesulitan itu disebabkan banyaknya beban administrasi guru. Potret utuh seorang guru dari sisi target administrasi akademik dan administrasi nonakademik inilah yang menyebabkan tidak bisa membuat sebuah karya tulis ilmiah.
Dari sekitar 27 jenis administrasi itu, ada yang bisa dikerjakan saat di awal tahun ajaran baru atau pada akhir tahun ajaran.
Namun begitu, ada juga administrasi yang harus dilakukan guru sepanjang tahun seperti jurnal mengajar, agenda kerja, daya serap, analisis butir soal, penilaian, perbaikan dan pengayaan, evaluasi diri. Hal-hal seperti
inilah yang sering membuat konsentrasi guru selalu tidak fokus untuk membuat sebuah karya tulis ataupun membuat sebuah penelitian sederhana. Hanya guru-guru dengan tekad yang kuat dan kemampuan lebih yang sanggup melakukannya.
Kedua, guru belum terbiasa membuat karya tulis ilmiah. Kebiasaan atau habituasi memang menjadi satu faktor yang penting.
Guru di Yogyakarta belum memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk berkarya dalam hal tulis menulis ini. Daerah lain seperti Jawa Tengah, banyak guru diberi kesempatan untuk mengikuti pengembangan profesi seperti pelatihan penulisan buku, pembuatan karya tulis ilmiah, penyusunan artikel jurnal dan kegiatan lain yang bisa menjadi point untuk penilaian guru (Wwcr 3, kode: 12). Di Yogyakarta, kegiatan sejenis lebih banyak diselenggarakan oleh perguruan tinggi penghasil tenaga kependidikan atau LPTK. Jarang dari instansi terkait menyelenggarakan kompetisi khusus untuk guru-guru, kecuali yang sudah dilaksanakan oleh kementerian dan sebatas melakukan seleksi saja. Pendapat lain dari Bapak H (Wwcr 5, kode:11), ada semacam lomba seperti olimpiade guru, Anugrah Konstitusi, LKTI, PTK, inovasi pembelajaran, tetapi animo dari guru sendiri jika dibandingkan dengan siswa sangat jauh, siswa sangat semangat untuk berkompetisi tetapi gurunya sangat rendah motivasi berprestasinya.
Beberapa lembaga yang menyelenggarakan kompetisi menulis untuk guru juga melakukan beberapa kerancuan
diantaranya mencampuradukkan guru semua jenjang dengan lomba yang sama. Hal ini tidak fair dan cenderung menjadikan guru untuk menghindarinya kecuali guru-guru dengan kemauan dan kemampuan yang luar biasa. Banyak guru yang membiasakan diri menulis mencari celah kompetisi dengan melihat langsung di website apakah dari kementerian atau dari lembaga-lembaga yang peduli terhadap kemampuan menulis bagi guru.
Ketiga, kurangnya kegiatan ilmiah bagi guru yang berkaitan dengan karya tulis.
Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan memberikan peluang yang luas kepada siswa untuk berkompetisi. Hampir setiap pekan ada kompetisi untuk peserta didik dari jenjang SD hingga SMA atau SMK, namun bagi guru kegiatan semacam ini sangat terbatas. Kalaupun ada, biasanya selalu berafiliasi pada kompetisi yang diadakan oleh pusat seperti Lomba Guru Berprestasi, Lomba Inovasi Pembelajaran (Inobel), Olympiade Guru Nasional (OGN). Sangat disayangkan kompetisi-kompetisi semacam itu belum dilakukan secara fair dan terbuka.
Ada beberapa prosedur yang menyebabkan guru-guru tidak peduli terhadap karya tulis.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu S (wwcr 4, kode: 18), ada di daerah lain ada yang menggunakan seleksi murni tapi juga ada yang menggunakan sistem penunjukkan tugas atau bergantian. Namun ada daerah yang menggunakan sistem kaderisasi sejak setahun sebelumnya.
Seleksi dengan model penunjukan
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
dan model kompromi sangatlah tidak kompetitif, tidak akan dihasilkan seorang guru yang benar-benar berjiwa fighter dan matang dalam bidangnya. Hal ini tentunya akan mengendurkan semangat guru-guru yang memiliki potensi bagus dalam hal tulis menulis. Model seleksi yang bagus adalah dengan seleksi terbuka yang dilakukan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua guru yang sudah memenuhi persyaratan dan mengedepankan unsur integritas yang akuntabel dan transparan.
Dengan integritas yang tinggi guru-guru akan memiliki semangat dan motivasi menulis tidak hanya sebagai prasyarat kenaikan pangkat, tetapi juga bisa diikut sertakan dalam kompetisi-kompetisi tulis menulis yang ada.
Keempat, tidak adanya pendampingan dari atasan atau sejawat.
Guru penyusun karya tulis memerlukan bimbingan dari atasan dan senior. Setelah guru memulai penelitian atau menulis, kepala sekolah wajib membimbing guru yang bersangkutan untuk menyelesaikan karya tulisnya, menyusun laporannya dan memberikan materi presentasi yang baik dan efektif. Menurut Bapak H, kesulitan utama guru terletak pada best practice, karya tulis atau karya ilmiah. Dimana best practice juga merupakan karya tulis yang berisi praktik-praktik terbaik dari program guru atau sekolah yang masuk dalam sistem sekolah dan menghasilkan output yang bagus. Dinas pendidikan dalam hal ini sudah memberikan pelatihan dengan mengundang guru-guru dan mendatangkan ahli dari UNY,
mulai dari penyusunan proposal hingga tersusun sebuah karya tulis, dan harus ada pengawalan dari dinas (wwcr 5; kode: 17).
Dalam beberapa kesempatan guru mengeluhkan adanya kesulitan yang dialami saat berkonsultasi dengan pembimbing yang ditunjuk oleh dinas, ada beberapa pembimbing yang entah karena apa justru menyulitkan peneliti (guru). Beberapa guru mata pelajaran merasa kesulitan karena tidak adanya pengawas yang relevan sehingga dilimpahkan kepada pengawas atau pembimbimg lain yang tidak kompeten atau tidak menguasai bidangnya, sehingga harus bolak-balik melakukan revisi meskipun karya tulisnya sudah sampai pusat.
Kelima, guru melihat karya tulis sebagai sebuah karya yang luar biasa beratnya, seperti menyusun skripsi atau tesis bagi mahasiswa. Karya tulis ilmiah dianggap sebagai sebuah tembok besar yang sulit ditembus karena adanya trauma berkepanjangan dari pribadi guru. Hal ini terjadi karena sejak menjadi guru, tidak dibiasakan membuat segala sesuatunya terdokumentasi dan teradministrasi secara tertib. Guru lebih sering serabutan dalam menyusun administrasinya, bahkan guru cenderung melakukan segala sesuatunya dengan spontan dan kebiasaan.
Menurut Bapak S (wwcr 2, kode:
5) penyusunan karya tulis terutama pada pendampingan karya tulis ilmiah, sebaiknya guru yang maju KTI sudah memiliki beberapa karya tulis ilmiah agar mudah menentukan karya tulis yang digunakan sebagai bahan
kenaikan pangkat atau syarat lomba. Dari pendapat ini maka guru harus menguasai berbagai genre atau jenis karya tulis dan tentunya dengan berbagai metodologi yang ada. Guru tidak boleh takut dengan sulitnya membuat karya tulis, tetapi guru harus mau melakukan kegiatan menulis untuk semua hal yang telah dilakukannya.
Banyak hal sudah dilakukan guru, baik kaitannya dengan pemilihan dan pembuatan media pembelajaran, melakukan pengelolaan kelas yang baik, memilih dan mencoba berbagai metode dan pendekatan pembelajaran, melakukan berbagai bentuk tes dan evaluasi, serta membandingkan hasil ujian atau kelulusan peserta didiknya dari tahun ke tahun. Ini semua jika ditulis oleh guru dengan bahasa yang sederhana saja sudah menjadi sebuah karya tulis. Semua guru mampu membuat karya tulis, akan tetapi banyak guru yang tidak berkemauan menulis.
Semua pembelajaran yang dilakukan guru selalu menghasilkan data yang valid.
Tinggal bagaimana mengemas semua data yang ada, bisa data hasil pengamatan sehari-hari, data dari hasil assessment, data dari hasil observasi dan interview, atau data dari portofolio siswa, serta bisa jadi data hasil eksperimen saat guru melakukan pembelajaran di kelas. Guru harus bisa melihat karya tulis sebagai sebuah bentuk administrasi yang biasa dikerjakannya, tidak perlu memikirkan hasil akhirnya, yang penting keberanian untuk menuangkan ide dan gagasan sesuai dengan data yang
tersedia maka akan menjadi sebuah karya ilmiah nyata. Untuk hasil yang baik guru perlu merujuk satu atau beberapa rekan kerja yang sudah berpengalaman dalam dunia tulis-menulis ini, sehingga pembimbing akan mudah mengarahkan jenis atau genre tulisan yang akan disusun dan juga akan mudah dalam menentukan metodologi tulisannya.
Dari pembahasan ini dapat diketahui titik temu yang menghubungkan antara fenomena rendahnya partisipasi guru SD di Kota Yogyakarta dengan kondisi realita di lapangan. Masalah fenomena rendahnya partisipasi ini disebabkan adanya berbagai kesulitan dan hambatan pada guru dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah.
Hambatan ini lebih banyak berasal dari luar diri guru sendiri. Guru yang sudah memiliki kemauan menulis terhambat oleh kewajiban dalam membuat administrasi, tidak adanya bimbingan dari atasan yang kompeten, tidak adanya wadah dalam forum ilmiah. Hambatan dari dalam diri guru berupa tidak terbiasanya membuat sebuah karya ilmiah dan ketakutan guru akan sebuah proses menulis karya ilmiah. Dengan diketahuinya sebab-sebab rendahnya partisipasi menulis guru ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk mencari solusi bagaimana cara meningkatkan partisipasi dan kuantitas karya tulis ilmiah guru SD di Kota Yogyakarta. Pihak terkait perlu duduk bersama membahas bagaimana meningkatkan kemampuan menulis guru ini.
Sehingga ke depan bisa diselaraskan antara harapan yang ada berdasar ekspektasi dari hasil UKG dan sebutan Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dengan partisipasi
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
dan prestasi guru-gurunya dalam bidang karya tulis ilmiah. Diharapkan guru-guru SD di Kota Yogyakarta memiliki hasil karya tulis yang beragam dan menjadikan barometer bagi produktivitas karya tulis di Indonesia dan cocok dengan sebutan Kota Pendidikan.
SIMPULAN
Rendahnya aktivitas menulis bagi guru-guru SD di Kota Yogyakarta merupakan salah satu realita yang terjadi pada sebuah komunitas guru-guru yang notabene memiliki kapasitas dan sumber daya manusia yang sangat bagus. Kondisi ini merupakan sebuah fenomena. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena beberapa sebab dari luar seperti guru terlalu dibebani dengan administrasi yang sangat banyak, kurangnya kegiatan ilmiah bagi guru yang berkaitan dengan karya tulis, tidak adanya pendampingan dari atasan atau sejawat, dan penyebab dari diri guru sendiri seperti belum terbiasa membuat karya tulis ilmiah dan guru melihat karya tulis sebagai sebuah karya yang luar biasa beratnya.
Dari kesimpulan di atas maka disarankan agar dinas pendidikan membentuk sebuah forum bagi guru-guru yang berminat dalam sebuah komunitas menulis, dan membentuk organisasinya lengkap dengan guru, kepala sekolah atau pengawas yang mampu dan sanggup menjadi pembimbing bagi komunitas tersebut. Membuat agenda rutin bekerja sama dengan pihak swasta atau NGO untuk mengadakan kompetisi secara rutin dan bervariasi dalam kompetisi
menulis sehingga guru memiliki motivasi dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan membuat karya tulis ilmiah. Kepada guru-guru untuk selalu membiasakan diri melakukan dokumentasi dan administrasi sederhana sehingga catatan-catatan kegiatan yang dilakukan oleh guru memiliki rekam jejak yang pasti dan bisa ditulis dalam bentuk apapun. Guru harus membiasakan membuat laporan-laporan kegiatan kemudian dikritisi, membuat inovasi baru, melakukan secara kolaboratif dan selalu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkompeten.
DAFTAR RUJUKAN
Creswell, J.W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Approaches. Los Angeles:
SAGE Publications.
Creswell, J.W. 2009. Research Design, Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Los Angeles:
SAGE Publications.
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. 2016.
Data Sekolah dan Alamat SD di Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.
Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2015.
Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan.
Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Farchan, Arief. 2011. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ford, I.R. 2012. Teacher Self-Efficacy and Its Influence on Student Motivation.
Dissertation, Claveland State University. Proquest jurnal UMI 3516080 Copyright 2012 by ProQuest LLC.
Hasbiansyah, O. 2008. Pendekatan Fenemenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. Mediator 9(1): 163- 180.
Kemendikbud. 2015. Pedoman Pemilihan Guru Sekolah Dasar Berprestasi Tingkat Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Kemendikbud.
Kemendikbud. 2016. Modul Guru Pembelajar. Bogor: PPPTK Penjas dan BK.
Kemedikbud. 2017. Pedoman Pemilihan Guru Berprestasi Tingkat Sekolah Dasar Nasional. Dirjen GTK Kemdikbud.
Kemendikbud. 2017. Pedoman Pemilihan Guru Sekolah Dasar Berprestasi Tingkat Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Kemendikbud.
Lambson, D. 2010. Novice Teachers Learning through Participation in a Teacher Study Group. Teaching and Teacher Education 26(8): 1660–
1668.
Martyn, Descombe. 2007. The Good Research Guide, for Small-Scale Research Project. New York: Mc Graw Hill Companies.
Mathew, H.O. & Hergenhahn B.R. 2011.
Pengantar Teori-teori Kepribadian.
New Jersey: Pearson Education.
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Researchs Methods. Los Angeles:
Sage Publication.
Republik Indonesia. 2003. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta.
Sadyadi, Hesti. 2014. Pengembangan Instrumen Kinerja Guru Sekolah Dasar Berbasis Tugas Pokok dan Fungsi. (https://pps.uny.ac.id).
Diakses pada tanggal 5 Januari 2020.
Schunk, D.H. 2012. Teori-teori P e m b e l a j a r a n : P e r s p e k t i f Pendidikan. New Jersey: Pearson Education.
Setyosari, Punaji. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan.
Jakarta: Kencana.
Smith, J.A. 2015. Qualitatative Psychology, a Practical Guide to Research Methode. London: Sage
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R ‘n D.
Bandung: Alfabeta.
Sumardjoko, Teguh Bambang; Sutrisno, Budi. 2014. Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Peningkatan Partisipasi Kerja Guru. Jurnal Manajemen Pendidikan 9(1): 49-56.
Turner, Scott. 2006. The Relationship Between Secondary School Teacher Perception of Student Motivation and The Effects of Teacher Professional Development on Student Motivation.
Disertation, University of Mishouri Columbia Proquest Journal.
Yazid, Muh; Jabar, Cepi Safruddin Abdul.
2013. Hubungan Mutu Guru, Kepemimpinan Kepala Sekolah, dan Status Ekonomi Guru dengan Kinerja Guru SD Kecamatan Suralaga Lombok Timur. Jurnal Prima Edukasia, Volume I Nomor 1:
Zamroni, dkk. 2014. Mutu Sekolah 94.
dan Budaya Stake Holders, Studi Fenomenologi di Sekolah Konfensional MIN Tegalasri Wlingi Kabupaten Blitar. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi 2(2).
STUDI FENOMENOLOGIS AKTIVITAS - Agung Sudaryono
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TIME TOKEN UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA
Devi Miswantina
SD Negeri Krembangan Panjatan Kulon Progo E-mail: [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD dengan penerapan model pembelajaran Time Token. Penelitian tindakan kelas ini menggunakan desain Kemmis dan Mc.Taggart dengan empat tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian yaitu 16 siswa kelas V SD Negeri Krembangan Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo. Data dikumpulkan dengan observasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Tahapan penelitian yaitu sebagai berikut : 1) mengkondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi klasikal; 2) memberi kupon bicara 30 detik pada setiap siswa; 3) memberi tugas pada siswa; 4) meminta siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu sebelum bicara; 5) memberi nilai berdasarkan rubrik penilaian. Peningkatan keterampilan berbicara siswa dapat diketahui dari persentase siswa yang telah mencapai kategori baik. Pada pra tindakan sebesar 6% menjadi 87% pada siklus I dan II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Time Token dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.
Kata kunci: model pembelajaran Time Token, berbicara, keterampilan berbicara Abstract: This classroom action research focuses to improve the speaking skills of fifth grade elementary school students by applying the Time Token learning model.
CAR design of Kemmis and Mc.Taggart is used in this study. The subjects of this study were 16 fifth grade students of Krembangan State Elementary School, Panjatan District, Kulon Progo Regency. Data were collected by observation and analyzed descriptively qualitative. The stages of the research are as follows: 1) arrange the class to carry out classical discussions; 2) give 30 seconds talk coupon to each student; 3) deliver assignments to students; 4) ask students to submit coupons first before speaking; 5) give grades based on rubrics assessment. Improved students’
speaking skills are seen from the percentage of students who have reached the good category. In pre action by 6% to 87% in cycle I and cycle II. This study concluded that the application of the Time Token model improve students’ speaking skills.
Keywords: Time Token learning model, speaking, speaking skills
PENDAHULUAN
Berbicara merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kehidupan, karena dengan berbicara seseorang mampu berkomunikasi dengan manusia yang lainnya.
Melalui aktivitas berbicara, seseorang
dapat menyampaikan keinginan, informasi, pikiran, gagasan, meyakinkan, mengajak, dan menghibur orang lain. Hal ini selaras dengan tujuan berbicara menurut Tarigan (2008: 15), yaitu: (1) memberitahukan dan melaporkan (to inform); (2) menjamu dan menghibur (to entertain); (3) membujuk,
mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade). Namun masalah yang terjadi di lapangan yaitu tidak semua siswa mempunyai kemampuan berbicara yang baik. Oleh sebab itu, pembinaan keterampilan berbicara perlu dilakukan sedini mungkin.
Keterampilan berbicara dapat memberikan keuntungan sosial maupun profesional.
Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antar individu. Sedangkan keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan. Keterampilan berbahasa lisan tersebut memudahkan siswa berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain.
Penguasaan keterampilan berbicara untuk siswa sekolah dasar juga sangat penting dikuasai siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak.
Kemampuan berpikir mereka akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, mengklarifikasikan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan.
Menurut hasil observasi kelas dan wawancara dengan guru SD Negeri Krembangan, keterampilan berbicara siswa masih tergolong rendah. Hal ini terlihat ketika proses pembelajaran siswa sulit menyampaikan informasi atau pesan secara lisan dengan baik. Siswa masih sulit mengungkapkan ide atau pendapatnya di
depan kelas. Terkadang ada beberapa siswa hanya mampu mengucapkan beberapa kalimat saja atau bahkan diam ketika diminta berbicara di depan kelas. Kebanyakan siswa masih malu saat mengungkapkan pendapatnya. Dalam hal ini, guru sebaiknya membiasakan siswa untuk berbicara dan mengungkapkan gagasan atau pendapat dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut yaitu menggunakan model pembelajaran Time Token. Model pembelajaran Time Token merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang digunakan untuk melatih keterampilan bersosialisasi dan berpartisipasi siswa.
Model pembelajaran ini menggunakan kupon berbicara selama kurang lebih 30 detik. Tujuannya yaitu untuk menghindari siswa yang mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali dan pemberian kesempatan yang sama pada siswa untuk mengemukakan ide atau pendapatnya. Model pembelajaran ini dapat memfasilitasi siswa untuk lebih aktif dan percaya diri dalam mengungkapkan pendapat. Oleh karena itu, dalam penelitian tindakan kelas ini, diterapkan model pembelajaran Time Token untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
Tujuan penelitian tindakan kelas ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri Krembangan melalui implementasi model pembelajaran Time Token.
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN - Devi Miswantina
Kajian tentang Keterampilan Berbicara Keterampilan berbicara merupakan keterampilan mereduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang (Iskandarwassid dan Dadang Suendar, 2011:241). Keterampilan berbicara membutuhkan kelengkapan alat ucap seseorang sebagai persyaratan alamiah yang memungkinkan untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan, nada, kesenyapan, dan lagu bicara. Muammar (2008: 320) berpendapat bahwa: “Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain dengan kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab, serta dengan menghilangkan masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah, dan lain-lain.”
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan kehendak, perasaan, maupun gagasan kepada orang lain secara lisan. Menurut Mudini Salamat Purba (2009:5), berbicara formal dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) diskusi;
(2) ceramah; (3) pidato; (4) wawancara;
dan (5) bercerita (dalam situasi formal).
Sedangkan berbicara informal terdiri dari
(1) bertukar pikiran; (2) percakapan; (3) penyampaian berita; (4) bertelepon; dan (5) memberi petunjuk.
Keterampilan berbicara merupakan suatu proses yang memerlukan pembiasaan secara rutin dan berkelanjutan. Menurut Kundharu Saddhono & Slamet (2012:
36), dalam belajar dan berlatih berbicara, seseorang perlu dilatih pelafalan, peng- ucapan, pengontrolan suara, pengendalian diri, pengontrolan gerak-gerik tubuh, pemilihan kata, kalimat dan intonasinya, penggunaan bahasa yang baik dan benar, serta pengaturan atau pengorganisasian ide.
Menurut Tarigan (2008:16) tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi.
Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan komunikasi untuk saling menukar pengalaman, saling menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan atau saling mengekspresikan, serta menyetujui suatu pendirian atau keyakinan. Menurut Ochs dan Winker (Tarigan, 2008:16) pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum yaitu (1) memberitahukan dan melaporkan (to inform); (2) menjamu dan menghibur (to entertain); dan (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade).
Kegiatan berbicara dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menunjang keefektifan berbicara itu sendiri. Menurut Mudini Salamat Purba (2009: 12-16), faktor kebahasaan dalam berbicara meliputi ketepatan pengucapan, penempatan tekanan/
nada/intonasi, pilihan kata (diksi), dan