• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, daerah tumbuh (habitat), sistematika tumbuhan, nama daerah dan nama asing, kegunaan tumbuhan dan kandungan kimia.

2.1.1 Morfologi tumbuhan

Ketepeng merupakan perdu tegak, berumur 1-2 tahun, cabang banyak, batang muda berwarna hijau. Tinggi mencapai 3 meter. Daun majemuk menyirip genap, tangkai daun panjang, terdiri dari 5-12 pasang anak daun. Anak daun bulat panjang ada pula yang bulat telur. Panjang daun 3-15 cm, lebar 2,5-9 cm. Tangkai pendek 1-2 cm, warna hijau, pangkal dan ujung daun tumpul, tepi daun rata, bau langu. Bunga tersusun dalam tandan yang panjang, tumbuh dari ujung cabang, mahkota bunga berwarna kuning, jumlah tandan bunga 3-8 buah. Buah polong, panjang 10-20 cm, lebar 12-15 mm, segi empat, bersayap. Buah muda warna hijau, buah matang hitam dan pecah. Biji terdapat dalam buah, berjumlah 50-70, warna coklat muda, bentuk bulat telur pipih, meruncing di bagian pangkal. Tumbuhan ini berkembangbiak dengan biji (Djauhariya dan Hernani, 2004).

2.1.2 Habitat

(2)

permukaan laut. Tumbuhan ini merupakan gulma pada tanaman seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit (Djauhariya dan Hernani, 2004).

2.1.3 Sistematika tumbuhan

Menurut Santoso dan Didik (2000), klasifikasi tumbuhan ketepeng adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Fabales

Familia : Leguminosae Genus : Senna

Spesies : Senna alata (L.) Roxb. Sinonim : Cassia alata L.

2.1.4 Nama daerah dan nama asing

Tumbuhan ketepeng di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah,

(3)

2.1.5 Kegunaan

Secara tradisional, daun ketepeng digunakan untuk obat kudis, menghilangkan rasa gatal di kulit (sebagai obat luar), obat sariawan dan obat malaria (diminum). Berdasarkan aktivitas biologis yang telah diteliti, kulit kayu tumbuhan ini berpotensi sebagai pencahar (Santoso dan Didik, 2000).

2.1.6 Kandungan kimia

Kandungan aktif tumbuhan ketepeng yang telah diketahui antara lain glikosida, flavonoid, tanin, triterpenoid/steroid, saponin dan turunan antrakinon seperti krisarobin glukosida, krisofanol, asam krisofanat rein serta aloe-emodina (Hariana, 2005).

2.2Uraian Golongan Senyawa Kimia Daun Ketepeng

Senyawa kimia yang terdapat pada daun ketepeng meliputi glikosida, flavonoid, tanin, triterpenoid/steroid dan saponin.

2.2.1 Glikosida

Glikosida adalah suatu senyawa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan bagian gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula disebut aglikon. Gula yang dihasilkan biasanya adalah glukosa, ramnosa, dan lain sebagainya. Jika bagian gulanya adalah glukosa maka disebut glukosida, sedangkan jika bagian gulanya selain glukosa disebut glikosida (Robinson, 1995).

Berdasarkan hubungan ikatan antara glikon dan aglikonnya, glikosida dibagi (Robinson, 1995):

(4)

b. S-glikosida, yaitu senyawa glikosida yang ikatan antara glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom S. Contoh: Sinigrin.

c. N-glikosida, yaitu senyawa glikosida yang ikatan antara glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom N. Contoh: Adenosine.

d. C-glikosida, yaitu senyawa glikosida yang ikatan antara glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom C. Contoh: Barbaloin.

2.2.2 Flavonoid

Flavonoid mengandung lima belas atom karbon dalam inti dasarnya mempunyai struktur C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga atom karbon yang merupakan rantai alifatik. Menurut perkiraan, kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya. Sebagian besar tanin berasal dari flavonoid sehingga merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar (Markham, 1988).

Flavonoid mencakup banyak pigmen dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Flavonoid mempunyai banyak fungsi dalam tubuh tumbuhan. Beberapa fungsi utamanya adalah untuk tumbuhan yaitu pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus dan anti serangga (Robinson, 1995).

2.2.3 Tanin

(5)

Berdasarkan identitas inti fenolit dan cara pembentukannya, tanin dibagi menjadi tiga yaitu tanin yang terhidrolisis, tanin yang terkondensasi dan tanin kompleks (Trease dan Evans, 1983).

a. Tanin terhidrolisis (hydrosable tannin)

Tanin jenis ini biasanya berikatan pada karbohidrat dengan membentuk jembatan oksigen dan dapat dihidrolisis menggunakan asam sulfat atau asam klorida ataupun dengan enzim. Prekursor pembentukan tanin ini adalah asam fenolit (asam galat, asam elagit), residu glukosa, serta antara asam fenolit dan glukosa ada ikatan ester.

b. Tanin terkondensasi (condesed tannins)

Tanin terkondensasi biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi terkondensasi menghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer flavanoida yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari tanin ini adalah Proanthocyanidin yang merupakan polimer dari flavanoida yang dihubungkan melalui C8 dengan C4. Prekursor pembentukan tanin ini adalah flavanoida, katekin, flavonol-3-4-diol.

c. Tanin kompleks (complex tannin)

Tanin kompleks merupakan campuran antara tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Contoh tumbuhan yang mengandung tanin kompleks adalah teh, kuercus, dan castanea. Ada dua tipe dari tanin kompleks, yaitu true tannin (berat molekul 1000-5000) dan pseudo tannin (berat molekul kurang dari 1000).

2.2.4 Triterpenoid/steroid

(6)

yaitu skualen. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks, kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau karboksilat (Harbone, 1987). Triterpenoid merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan optis aktif, yang dibagi atas empat kelompok senyawa yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Sebagian senyawa triterpenoid juga merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat, yang berkhasiat sebagai anti diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit kerusakan hati dan malaria (Robinson, 1995).

Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa (digunakan sebagai hormon kelamin, asam empedu), tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987).

Gambar 2.1. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas:

a. Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan, misalnya kolesterol.

b. Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan, misalnya sitosterol dan stigmasterol.

(7)

d. Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya spongesterol.

2.2.5 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpenoida dan sterol. Senyawa golongan ini banyak terdapat pada tumbuhan tinggi, merupakan senyawa dengan rasa yang pahit dan mampu membentuk larutan koloidal dalam air serta menghasilkan busa jika dikocok dalam air. Aglikon dari saponin sering disebut sebagai sapogenin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun dan dapat diuji berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau pada waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin pada tumbuhan tersebut (Harbone, 1987).

2.2.6 Antrakinon

Antrakinon merupakan aglikon dari glikosida yang termasuk dalam

kategori turunan antrasena. Sebagian besar antrakinon dalam tumbuhan terikat

dengan glikosida dan disebut sebagai glikosida antrakinon, misalnya rhein

8-O-glukosida dan aloin (C-8-O-glukosida). Gula yang paling umum terikat dengan

antrakinon adalah glukosa dan rhamnosa. Glikosida antrakinon adalah zat

berwarna dan digunakan sebagai pencahar karena dapat meningkatkan aksi

peristaltik usus besar. Penggunaan obat-obatan yang mengandung antrakinon

dibatasi hanya untuk pengobatan jangka pendek (sembelit), karena penggunaan

jangka panjang dapat menyebabkan tumor usus. Antrakinon ditemukan secara

(8)

Rubiaceae dan Fabaceae serta dapat diisolasi dari mikroorganisme, misalnya

Penicillium dan Aspergillus (Sarker dan Nahar, 2007).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan zat aktif yang terdapat dalam tumbuhan dengan pelarut yang sesuai, sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Ditjen POM RI, 1995).

Metode ekstraksi menurut Handa, dkk (2008) ada beberapa cara, yaitu: 1. Maserasi

Maserasi adalah suatu proses penarikan zat aktif dari simplisia dengan cara merendam simplisia dalam sejumlah besar pelarut dalam suatu wadah tertutup dan didiamkan minimal 3 hari pada temperatur kamar dengan beberapa kali pengadukan, lalu disaring atau pun didekantasi.

2. Infusi

Infusi adalah proses penyarian zat aktif dari simplisia dengan menggunakan air dingin atau pun air mendidih dalam waktu yang relatif singkat. 3. Digesti

Digesti adalah proses penyarian secara maserasi dengan pengadukan pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar.

(9)

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan cara merebus simplisia menggunakan pelarut air, kemudian didinginkan dan disaring. Proses ini cocok digunakan untuk senyawa-senyawa yang larut dalam air dan tahan pemanasan. 5. Perkolasi

Perkolasi adalah suatu cara penyarian simplisia menggunakan perkolator. Simplisia dibasahi dengan cairan penyari lalu didiamkan selama 4 jam, kemudian ditambahkan lagi cairan penyari dan didiamkan selama 24 jam. Outler perkolator dibuka sehingga cairan yang terkandung di dalamnya dapat menetes perlahan secara terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

6. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.

2.4 Radikal Bebas

(10)

reaksi oksidasi reduksi. Penambahan elektron pada orbital molekul oksigen pada keadaan dasar (ground state) menyebabkan oksigen tereduksi, membentuk radikal bebas. Contoh senyawa oksigen reaktif adalah anion superoksida, oksigen triplet, radikal perhidroksil, radikal hidroksil, dan sebagainya (Kosasih, dkk., 2004).

Reaksi oksidasi yang melibatkan spesies oksigen reaktif tidak hanya berkaitan dengan kerusakan mutu produk pangan, namun reaksi oksidasi yang terjadi pada berbagai organ dan cairan tubuh juga berkaitan dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti aterosklerosis, kanker dan liver. Target utama radikal bebas didalam tubuh adalah protein, asam lemak tidak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat, terutama membran lipid bilayer karena muatan asam lemaknya yang tinggi menyebabkan membran sangat rentan terhadap radikal bebas. Berbagai kemungkinan dapat terjadi sebagai akibat kerja radikal bebas, misalnya gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel, molekul termodifikasi yang tidak dapat dikenali oleh sistem imun, dan bahkan mutasi. Semua gangguan tersebut dapat memicu munculnya berbagai penyakit (Kosasih, dkk., 2004).

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).

(11)

C, vitamin A dan beta karoten), ataupun senyawa lain (misalnya flavonoid, tanin, antrakinon, albumin, bilirubin, seruloplasmin dan lain-lain). Antioksidan enzimatis merupkan pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif pada sel (Winarsi, 2007). Penggunaan senyawa antioksidan semakin berkembang, baik untuk makanan maupun untuk pengobatan seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang aktivitas radikal bebas yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Julyasih, dkk., 2009).

Berdasarkan fungsinya, menurut Kumalaningsih (2006) antioksidan dapat dibedakan menjadi 5, yaitu:

a. Antioksidan primer

Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena ia dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sempat bereaksi. Antioksidan primer yang ada dalam tubuh yang sangat terkenal adalah enzim superoksida dismutase (SOD). b. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh yang populer dari antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C dan beta karoten.

c. Antioksidan tersier

(12)

d. Oxygen scavenger

Antioksidan yang termasuk oxygen scavenger mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya: vitamin C.

e. Chelators atau sequesstrants

Antioksidan ini mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam sitrat dan asam amino.

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi lemak. Oksidasi lemak menurut Antolovich, dkk., (2002) terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

a. Inisiasi: LH + R* → L* + RH

Dimana LH merupakan molekul substrat, contohnya lipid, dan R* merupakan radikal pengoksidasi. Oksidasi lipid menghasilkan radikal asam lemak yang sangat reaktif (L*) yang dapat dengan cepat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil lipid (LOO*) yang memiliki efek sangat berbahaya bagi tubuh. b. Propagasi: L* + O2→ LOO*

LOO* + LH → L* + LOOH

Radikal peroksil adalah pembawa rantai yang dapat mengoksidasi lipid lebih jauh, menghasilkan hidroperoksid lipid (LOOH).

c. Branching: LOOH → LO* + HO* 2LOOH → LOO* + LO* + H2O

Pemecahan dari hidroperoksid lipid melibatkan katalis ion logam transisi. Tahap ini akan menghasilkan peroksil lipid dan alkoksi lipid radikal.

(13)

LO* + LOO* → produk non radikal

Reaksi terminasi mencakup penggabungan radikal-radikal membentuk produk non radikal.

Antioksidan yang ada di dalam tubuh yang sangat terkenal adalah enzim superoksida dismustase. Enzim ini sangat penting sekali karena dapat melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas. Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium. Berdasarkan jenisnya antioksidan dapat dibedakan menjadi dua yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik (Kumalaningsih, 2006).

2.5.1 Antioksidan alami

Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat bioaktif ini bekerja secara sinergis meliputi mekanisme enzim detoksifikasi, peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan, antibakteri serta efek antivirus (Silalahi, 2006).

Salah satu antioksidan alami yang berperan sebagai antioksidan adalah flavonoid. Senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil yang dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas (Silalahi, 2006).

2.5.2 Antioksidan sintetik

(14)

(propil galat) dan TBHQ (tert-butylhydoxyquinoline). BHA dan BHT sangat efektif untuk lemak hewan, sedangkan PG selain untuk lemak hewan juga baik untuk minyak nabati walaupun senyawa ini menimbulkan perubahan warna jika terdapat besi dan air. Senyawa ini mempunyai kelarutan yang lebih baik serta stabil pada suhu tinggi dan sedikit menguap dibandingkan dengan BHA dan BHT. Saat ini banyak negara yang tidak mengizinkan penggunaan BHA dan BHT, karena pada percobaan, pemberian dalam dosis tinggi BHA dan BHT menimbulkan efek teratogenik pada tikus (Julyasih, dkk., 2009).

2.6 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan komponen cuplikan yang komponen-komponennya terdistribusi antara dua fase, salah satunya diam dan yang lainnya bergerak. Fase diam dapat berupa bahan padat atau porus dalam bentuk molekul kecil atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan yang dapat dengan mudah mengalir pada fase diam (Rohman, 2009).

(15)

2.6.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik (Rohman, 2009).

Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam yang umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kieselgur (tanah diatom) dan selulosa (Saifudin, 2014).

Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal ataupun campuran pelarut dengan susunan tertentu Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya dalam pengembang dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan (Hahn-Deinstrop, 2007).

Menurut Hahn-Deinstrop (2007), cara mengamati bercak pada KLT dapat digolongkan menjadi dua:

(16)

b. Cara ke dua, menggunakan lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm untuk melihat fluoresensi.

Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor).

Rf= Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal

Angka Rf memiliki interval antara 0,00 hingga 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai antara 0 - 100. Jika keadaan luar misalnya sifat penjerap yang agak menyimpang maka profil kromatogram juga akan menyimpang, yang secara umum ditunjukkan dengan angka Rf lebih rendah atau lebih tinggi, maka sistem pelarut harus diganti dengan yang lebih sesuai. Jika angka hRf lebih tinggi dari hRf yang dinyatakan, kepolaran pelarut harus dikurangi, jika hRf lebih rendah maka komponen polar pelarut harus dinaikkan (Hahn-Deinstrop, 2007).

2.6.2 Kromatografi kertas

Kromatografi kertas (KKt) adalah teknik kromatografi tertua yang digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam analit. Perbedaan utama KKt dengan teknik kromatografi yang lain yaitu penggunaan sehelai kertas sebagai penjerap atau fase diam. Campuran yang akan dipisahkan, ditotolkan pada bagian bawah kertas, kemudian ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama proses elusi (Raaman, 2006).

(17)

a. Teknik menurun, yaitu pengembangan kromatogram dilakukan dengan cara membiarkan pelarut turun mengaliri kertas yang digantung secara vertikal dengan titik penotolan pada bagian atas kertas.

b. Teknik menaik, yaitu pengembangan kromatogram dilakukan dengan cara membiarkan pelarut bergerak naik mengaliri kertas yang dimasukkan ke dalam bejana tertutup dengan posisi titik penotolan berada di bawah.

c. Teknik dua dimensi, yaitu kromatografi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah pemisahan substansi yang memiliki Rf yang berdekatan dengan memutar letak kertas 90o.

Noda dengan warna yang berbeda akan terlihat setelah dielusi dengan pengembang tertentu dan jika noda tidak terlalu jelas dapat divisualisasikan dengan memanaskan kertas dalam oven terlebih dahulu. Kertas juga dapat disemprot dengan penampak bercak spesifik atau divisualisasikan dengan sinar ultraviolet (Shah dan Seth, 2010).

2.7 Metode Pemerangkapan Radikal Bebas DPPH

(18)

kemampuan dari berbagai senyawa dalam memerangkap radikal bebas dan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan (Marinova, 2011).

DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Senyawa ini bersifat stabil karena resonansi yang dialaminya. Resonansi DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Resonansi DPPH

Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, 519 nm dan 520 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004).

(19)

berpotensi sebagai antioksidan. Reaksi DPPH dengan atom H netral yang berasal dari senyawa antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Reaksi antara DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau Efficient Concentration (EC50) atau Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan sebesar 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi akan memiliki harga EC50 atau IC50 yang rendah. Metode ini akan memberikan hasil yang baik dengan menggunakan pelarut metanol atau etanol karena kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH (Molyneux, 2004).

2.8 Spektrofotometer UV-Visibel

(20)

Menurut Gandjar dan Abdul (2007), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometer ultraviolet dan sinar tampak yaitu:

a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis

Cara yang digunakan adalah dengan merubahnya menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu sehingga dapat menyerap sinar UV-Vis. b. Waktu kerja (operating time)

Tujuannya ialah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dan absorbansi larutan.

c. Pemilihan panjang gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal.

d. Pembuatan kurva kalibrasi

Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi kemudian absorbansi tiap konsentrasi diukur lalu dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi.

e. Pembacaan absorbansi sampel

Gambar

Gambar 2.1. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya
Gambar 2.2 Resonansi DPPH
Gambar 2.3 Reaksi antara DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan

Referensi

Dokumen terkait

Menu ini bisa anda gunakan untuk mempercepat proses input data, Jika anda sudah memiliki list data siswa / data pegawai, anda bisa mengimport langsung ke aplikasi dengan

Katering untuk Jamaah Haji Embarkasi Surabaya Tahun 1433 H / 2012 M pada pukul.

Menetapkan : KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN SOSIALISASI PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR

Pada hari ini, Kami tanggal dua puluh lima bulan Oktober tahun duaribu dua belas, kami yang bertanda tangan dibawah ini panitia/kelompok kerja, telah melaksanakan penjelasan

[r]

MADRASAH ALIYAH APBNP – 2012”, tidak sesuai dengan nama paket pekerjan. Mohon penambahan,, DASAR yang digunakan pada SPESIFIKASI TEKNIS perlu ditambah; 2.1 Perka LKPP No. 6

NIP : 196003081985021001 Email :agus_wiwied@yahoo.com Unit Kerja :Fakultas Bahasa dan Seni Status :Dosen..

Membawa semua dokumen ASLI sesuai SCAN DOKUMEN yang diupload pada tahap Pemasukan dokumen penawaran serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam dokumen