• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Prestasi Belajar Matematika

a. Prestasi

Belajar merupakan suatu proses. Proses itu dikatakan berhasil jika tujuan belajar telah dicapai. Tercapainya tujuan belajar dapat diketahui dari hasil tes yang diberikan guru kepada siswa setelah proses pembelajaran berakhir. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar yang telah dilakukan, dapat diketahui dari prestasi belajar yang diperoleh. Maka prestasi belajar menjadi sangat penting dalam suatu kegiatan pembelajaran.

Untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran, seorang pendidik menggunakan alat evaluasi sebagai alat pengukur.

Dengan demikian seorang pendidik mengetahui prestasi yang telah dicapai oleh peserta didik. Winkel (1996 : 391) menyatakan bahwa prestasi adalah bukti usaha yang telah dicapai. Di dalam pengertian ini prestasi merupakan suatu usaha yang telah dilaksanakan menurut batas kemampuan dari pelaksanaan usaha tersebut. Prestasi merupakan akhir dari suatu yang melalui proses pendidikan dan latihan tertentu yang telah dicapainya.

Menurut Bloom (Suprijono, 2009: 6), prestasi belajar seorang peserta didik mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.

Prestasi belajar dapat didefinisikan sebagai tingkat pemahaman dan penguasaan pengetahuan atau keterampilan terhadap suatu konsep atau materi tertentu. Azwar (1999: 64) menyatakan bahwa prestasi belajar dapat dilihat dari indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, dan semacamnya.

b. Belajar

(2)

Pengetahuan atau ilmu merupakan suatu hal yang selalu dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan akan pengetahuan akan selalu meningkat, karena manusia selalu ingin meningkatkan harga diri dan kemampuannya. Untuk meningkatkan pengetahuannya, manusia perlu belajar.

Dalam teori konstruktivisme, hal utama dalam belajar adalah keaktifan individu dalam membangun pengetahuannya. Belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman-pangalaman yang telah dimiliki sebelumnya.

Galserfeld, Bettencourt, dan Matthews (Irwantoro & Suryana, 2016: 69) mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri.

Piaget dalam Suparno (1997:35) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut, pebelajar setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh karena itu, belajar merupakan proses terus-menerus, tidak berkesudahan.

Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian dalam Suparno(1997:53), belajar yang bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pebelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pebelajar.

Menurut Sulhan (2006: 5), belajar adalah proses penambahan pengetahuan. Sedangkan menurut Mudjiman (2006: 10), belajar adalah proses menginternali, membentuk kembali, atau membentuk pengetahuan baru. Pembentukan pengetahuan baru ini dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Pengetahuan dan

(3)

pengalaman yang lama digunakan untuk menginterpretasikan informasi dan fakta baru dari luar, sehingga tercipta pengetahuan baru.

Dari beberapa pendapat tentang belajar dan hakekat matematika di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah keaktifan individu dalam membangun pengetahuannya yang tersusun dari konsep- konsep abstrak secara hirarkis.

c. Hakekat Matematika

Menurut Huda M (1998:3), simbolisasi dalam matematika menjamin adanya komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya sehingga matematika itu konsepnya tersusun secara hierarki. Sedangkan James dan James (Suherman, 2001: 18) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri.

Wulandari (2017), “ mathematics is one of the subject were considered to have a significant role because math can improve the knowledge of student in a logical thinking, rational, critical, thorought, effective and eficient”. Pendapat itu dapat diartikan sebagai matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap memiliki peran penting, karena matematika dapat meningkatkan pengetahuan siswa pada pemikiran logis, rational, berpikir kritis, ketelitian secara efektive dan efisien.

Matematika dapat memberikan kemampuan untuk berfikir logis dalam memecahkan masalah, memberikan keterampilan tinggi dalam berfikir logis, sistematis, dan kreatif untuk memecahkan masalah.

(Handayani , 2014).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika yang mempelajari tentang bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu

(4)

dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Hal inilah yang membedakan ilmu matematika dengan ilmu yang lain.

Berdasarkan pengertian prestasi dan belajar matematika, dapat disimpulkan prestasi belajar matematika adalah penilaian hasil usaha yang diperoleh dari proses pemahaman atau penguasaan pengetahuan suatu konsep atau materi matematika,berupa hasil tes yang diukur setelah konsep atau materi diberikan yang dinyatakan dalam simbol angka, huruf maupun kalimat yang dicapai oleh setiap anak didik dalam periode tertentu.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Menurut Winkel (1986), ada 4 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor dari pihak murid, dari pihak guru, sekolah sebagai sistem sosial dan sekolah sebagai institusi. Pada pihak murid ada 5 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, yaitu :

a. Taraf Intelegensi (Kemampuan Belajar)

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, taraf intelegensi memiliki peranan yang sangat besar dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar.

b. Motivasi Belajar

Motivasi belajar merupakan faktor psikologis yang tidak bersifat intelektual. Peranannya dalam belajar adalah menumbuhkan semangat belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar dan akan berpengaruh kuat terhadap prestasi belajarnya.

c. Perasaan, Sikap, Minat

Perasaan merupakan faktor psikis yang dapat menumbuhkan semangat belajar. Perasaan yang senang akan menimbulkan minat dan sikap yang positif. Perasaan yang tidak senang akan menghambat belajar.

(5)

Dengan demikian, perasaan, sikap dan minat sangat erat kaitannya dengan prestasi belajar siswa.

d. Keadaan Sosio Ekonomis dan Sosio Kultural

Keadaan sosio ekonomis maupun keadaan sosio kultural siswa dapat mengakibatkan siswa berada dalam kondisi tertentu. Kondisi siswa ini dapat mempengaruhi belajar siswa, dapat berpengaruh positif atau negatif, sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa.

e. Keadaan Fisik dan Keadaan Psikis

Keadaan fisik dan keadaan psikis siswa menyebabkan kondisi psikologis berada dalam kondisi tertentu. Kondisi inilah yang mempengaruhi belajar siswa dan sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar pada pihak guru adalah sikap dan sifat guru. Sifat dan sikap yang dapat diterima siswa dengan baik, akan dapat meningkatkan semangat belajar sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Selain itu, gaya mengajar juga memiliki peranan kuat dalam prestasi belajar siswa.

Pada pihak sekolah, ada peranan sekolah. Peranan sekolah dalam sistem sosial, perlu diperhatikan interaksi sosial antara guru dengan siswa maupun interaksi sosial antar siswa sendiri. Dalam peranannya sebagai institusi, sekolah menerapkan peraturan-peraturan sekolah. Adanya interaksi sosial dan peraturan- peraturan di sekolah akan mempengaruhi belajar siswa, sehingga berpengaruh pula terhadap prestasi belajarnya.

Menurut Ngalim Purwanto (1986:101), terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor individual dan faktor sosial. Faktor- faktor yang termasuk dalam faktor individual adalah kematangan, latihan, motivasi, kecerdasan dan faktor pribadi. Sedangkan faktor sosial antara lain adalah faktor keluarga, guru, cara mengajar, alat yang digunakan untuk mengajar, lingkungan, kesempatan dan motivasi sosial.

Berdasarkan uraian di atas, ada 2 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal siswa antar lain berupa

(6)

kemampuan siswa, motivasi belajar siswa, serta minat. Faktor eksternal siswa berupa interaksi guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar.

Dalam penelitian ini faktor internal yang akan dibahas adalah Adversity Quotient siswa terhadap pelajaran matematika, sedangkan faktor eksternalnya adalah model pembelajaran.

3. Adversity Quotient

Stoltz (Martin 2003:101) mengartikan Adversity Quotient sebagai,

“kemampuan bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya”. Stoltz berpendapat bahwa IQ saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Hal ini karena ada orang yang kecerdasan intelektualnya tinggi (IQ- nya tinggi) sekaligus kemampuan bergaul dan komunikasinya mengesankan (EQ- nya tinggi), tetapi ternyata gagal. Menurut Stoltz, hal ini terjadi karena rendahnya Adversity Quotient (AQ). Baginya, AQ mendasari semua segi kesuksesan.

Senada dengan pernyataan Stoltz, Hema and Gupta (2015) menyatakan berikut.

In the past few decades, much attention was given to Intelligence quotient and Emotional quotient, which were believed to be determinants of success and excellent performance in higher education and professional studies. Previous studies in Adversity Quotient (AQ) revealed that some individuals possess a high IQ and all the components of EQ, yet they fail to be successful. Hence, we can understand that, neither IQ nor EQ found to determine one‟s success, although both play a role. Therefore, it is unanswered yet that how some people endure while some may be equally brilliant and well-adjusted may fail and quit. Thus, here comes a new concept, which is AQ, which is the lifelong ascendant to every individual.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, banyak perhatian diberikan kepada kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, yang diyakini menjadi penentu keberhasilan dan kinerja yang sangat baik dalam pendidikan tinggi dan studi profesional, Studi sebelumnya pada adversity quotient terungkap bahwa beberapa individu memiliki IQ tinggi dan semua komponen EQ, namun mereka gagal menjadi sukses. Karenanya, kita dapat memahami bahwa, baik IQ maupun EQ tidak menentukan keberhasilan seseorang, meskipun keduanya memainkan peran. Kemudian muncul konsep baru yaitu AQ yang membawa pengaruh seumur hidup bagi setiap individu.

(7)

Menurut Espanola (2016: 61) “Adversity Quotient (AQ) is the ability to surmount life’s adversities, whether academic, career or personal-social in nature”. Menurutnya, AQ merupakan kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, apakah akademik, karier atau soaial pribadi di alam . Sejalan dengan itu Dina dan Amin (2018 ) menyatakan bahwa “Adversity quotient is an intelligence to cope with difficulties, in addition, adversity quotient can be called as the inteligence to change difficulty to be an opportunity”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa adversity Quotient adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan, disebut juga kecerdasan untuk mengubah kesulitan menjadi peluang.

Mary Josephine (2015: 1) menyatakan “The common thinking of the people of long ago is that one’s intelligence quotient can foretell his success in his field of endeavor. The higher the intelligence quotient, the higher is the success expectation from an individual. However, researches recently have shown that measurement of adversity quotient (AQ) is a better index in measuring success.” Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sejak dulu orang berpikir bahwa kecerdasan intelegent dapat untuk meramalkan kesuksesan orang di bidangnya. Semakin tinggi kecerdasan intelektualnya, makin tinggi harapan sukses seseorang. Namun penelitian akhir-akhir ini menunjukkan pengukuran kemaknaan adversity lebih baik dalam mengukur keberhasilan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dwihastuti (2018), “Adversity Quotient (AQ) is the ability to surmount life's adversities, whether academic, career or personal-social in nature.". Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa AQ adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, baik akademik, karir pribadi maupun karier sosial.

Martin (2003: 101) menjelaskan, salah satu kajian yang menarik dari Paul Stoltz adalah membedakan tiga jenis manusia dilihat dari responnya terhadap dorongan naluriah untuk menghadapi tantangan, yaitu para quitters adalah orang yang menolak untuk menerima tantangan dan menolak untuk mendaki, para champers yang merasa sudah puas dengan apa yang mereka capai, lantas berhenti dan para climbers yakni orang yang diibaratkan memiliki energi yang terus menerus berani untuk melakukan pandakian tanpa memperhatikan kesulitan yang dihadapi.

(8)

Lebih jauh Paul Stoltz membagi AQ dalam empat komponen utama yang menjadi dimensi utama penentu kecerdasan AQ, dan di sebut dengan CO2RE, yaitu:

1. Control ( Kendali)

Seberapa jauh seseorang merasa memiliki kontrol atas suatu peristiwa kesulitan yang terjadi. Orang yang ber-AQ tinggi akan merasa memiliki kendali atas apa yang terjadi dan percaya bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi yang sulit.

2. Origin ( Asal-usul ) dan Ownership ( kepemilikan)

Sejauh mana seseorang menyalahkan dirinya, atau sejauh mana seseorang menyalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan dan sejauh mana seseorang mengakui kesulitan-kesulitan tersebut.

Orang dengan AQ rendah, menyalahkan dirinya secara destruktif dan memberikan label yang negatif atas ketidakmampuan dirinya menghadapi kesulitan. Akibatnya orang ini lumpuh oleh rasa bersalah yang berlebihan dan tidak melakukan tindakan apapun.

3. Reach ( Jangkauan )

Sejauh mana seseorang membiarkan suatu kesulitan menjangkau sisi- sisi kehidupan yang lain. Bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya.

4. Endurance ( Ketahanan )

Seberapa lama kesulitan akan berlangsung. Orang-orang dengan AQ rendah dengan gampang akan melihat masalah dari sudut yang pesimis, melihat bahwa segalanya tidak akan pernah membaik dan dirinya akan selalu gagal. Makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya (makin tangguh ).

Dalam pengembangannya, Paul Stoltz merumuskan tehnik untuk membangun AQ, yang disebut dalam rangkaian LEAD ( Listen-Explore- Analyze-Do).

Menurutnya, orang harus belajar listen atau mendengar mengenai respon- responnya sendiri, kemudian melakukan explore atau eksplorasi terhadap hal-hal dimana seseorang merasa bersalah, tetapi memiliki kemampuan untuk melakukan

(9)

suatu usaha perbaikan. Berikutnya analyze, melakukan analisis untuk melakukan counter terhadap pikiran-pikiran yang negatif, melakukan koreksi terhadap suatu kesulitan, dan yang terakhir adalah do, melakukan sesuatu terhadap kesulitan yang dihadapi.

Di lihat dari kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan, maka AQ dibedakan memjadi tiga, yaitu orang yang ber-AQ rendah, sedang dan tinggi.

Adapun faktor-faktor pembentuk Adversity Quotient yang akan digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat AQ adalah :

1. Daya Juang

Seseorang yang memiliki Adversity Quotient rendah ketika mengalami kesulitan, akan kehilangan kemampuan untuk menghadapi tantangan.

2. Produktivitas

Seseorang yang merespon kesulitan secara positif akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada orang yang memandang kesulitan secara negatif.

3. Motivasi

Orang yang memiliki Adversity Quotient tinggi merupakan orang yang memiliki motivasi tinggi.

4. Mengambil resiko

Orang yang merespon kesulitan secara konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko sehingga dapat mengatasi hambatan dengan baik.

5. Perbaikan

Perbaikan secara terus-menerus akan membantu seseorang bertahan mengalami kegagalan yang dihadapi.

6. Ketekunan

Kemampuan untuk terus berusaha.

7. Belajar

Anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan anak yang pesimis.

8. Keuletan

Orang yang ulet adalah orang yang mampu menyelesaikan masalah dan bisa memanfaatkan peluang.

(10)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient (AQ) merupakan kemampuan seseorang menghadapi dan mengatasi kesulitan sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan. Dengan kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan yang dialami, maka seseorang tersebut akan memiliki ketangguhan untuk terus berjuang dalam mencapai kesuksesan, yang terbagi menjadi 3 kategori, yaitu qiutter, champers dan climbers.

4. Model Pembelajaran Matematika a. Pengertian Model Pembelajaran

Menurut Joyce (Trianto, 2014: 23), model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku, film, komputer, kurikulum dan lain-lain, setiap model pembelajaran mengarahkan ke dalam mendesaian pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa, sehingga tujuan pembelajaran tercapai.

Model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh Joyce dan Weil memiliki struktur yang jelas. Implememtasi setiap model dideskripsikan dalam empat struktur umum yaitu sintak, sistem sosial, tugas/peran guru, dan pengaruh model. Menurut Kardi dan Nur (Trianto,2004: 24) istilah model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran memiliki 4 ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur yaitu 1. rasional teoritik logis yang disusun para pengembangnya, 2. landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar, 3. tingkah laku mengajar yang diperlukan, 4. lingkungan belajar yang diperlukan.

Ada banyak model pembelajaran yang berkembang untuk membantu siswa berpikir kreatif dan produktif. Bagi guru, model-model ini penting dalam merancang kurikulum bagi siswa-siswanya. Model pembelajaran harus dianggap sebagai kerangka kerja struktural yang juga dapat digunakan sebagai pemandu untuk mengembangkan lingkungan dan

(11)

aktivitas belajar yang kondusif. Aspek-aspek dalam setiap model dapat digunakan untuk merancang kurikulum. Pemilihan model pembelajaran sebaiknya bergantung pada lingkungan sekolah, sumber yang tersedia, dan outcames yang diinginkan. Ketika berencana memasukkan salah satu model pembelajaran ke suatu program, guru seharusnya menggunakan kerangka kerja kurikulum yang di dalamnya berisi prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran untuk memandu belajar siswa, serta penilaian atau assessment untuk melihat hasil akademik yang telah diperoleh siswa.

b. Model pembelajaran Student Facilitator and Explain

Model pembelajaran Student Facilitator and Explain ini merupakan model pembelajaran yang melatih siswa untuk dapat mempresentasikan ide atau gagasan mereka pada teman – temannya. Model pembelajaran ini akan relevan apabila siswa secara aktif ikut serta dalam merancang materi pelajaran yang akan dipresentasikan. Eva Mulani (2016 ) berpendapat bahwa “Dalam model pembelajaran ini peserta didik dapat membentuk ide atau pemahaman akan suatu konsep secara berkelompok, kemudian mengkomunikasikannya kepada rekannya”.

Pembelajaran model Student Facilitator and Explain merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Selain itu, metode ini merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan kemampuan kognitif, melatih kerjasama, dan melatih kemampuan mengomunikasikan matematika .

Langkah-langkah pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explain adalah sebagai berikut (Inas Kurniasih, 2015: 80):

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.

(12)

2. Guru menerangkan atau menyajikan garis – garis besar materi pembelajaran.

3. Kemudian memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep, dan proses ini bisa dilakukan secara bergiliran

4. Guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa

5. Guru menerangkan semua materi yang disajikan sebagai kesimpulan, dan kemudian menutup pelajaran seperti proses yang seharusnya

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explain diharapkan mampu menciptakan pola interaksi siswa yang berkesan dan meningkatkan daya kreatifitas serta ingatan siswa. Adanya interaksi sosial dengan teman lain dapat memacu terbentuknya tanggapan/informasi baru yang memperkaya intelektual siswa, sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar.

Kelebihan model pembelajaran Student Facilitator and Explain menurut (Imas Kurniasih 2015:79 ) adalah sebagai berikut: (1) Siswa diajak untuk menerangkan langsung kepada siswa lain. (2) Siswa dapat mengeluarkan pendapat/tanggapan yang ada dipikirannya sehingga lebih dapat memahami materi yang sedang dipelajari. (3) Mendorong tumbuhnya keberanian mengutarakan pendapat siswa secara terbuka.

c. Model pembelajaran Student Facilitator and Explain dengan permainan Kartu Domino

Matematika merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang dapat melatih peserta didik untuk berpikir kritis. Pembelajaran matematika memiliki tujuan untuk membentuk kemampuan nalar pada diri peserta didik. Dengan demikian peserta didik mengambil peranan penuh dalam pembelajaran, tentuya dengan kontrol dari seorang guru. Peran utama peserta didik dan akan lebih menarik lagi jika peran tersebut telah disusun oleh guru dalam sebuah skenario yang nantinya akan dimaikan oleh

(13)

peserta didik, peran yang sangat sentral dari peserta didik adalah rahasia dari keberhasilan pembelajaran ini.

Peran akan menjadi lebih mengasyikan lagi jika menambahkan permainan, seperti yang diungkapkan Panosso (2015 ) dalam Gabriele Gris (2017) ,“The educational games promote contact with natural consequences such as the interaction between the players and the learning of the proposed objectives, as well as arbitrary programmed consequences, how to earn points, achieve the highest score “, yang dapat diartikan dengan Game edukasi mempromosikan kontak dengan konsekuensi alami seperti interaksi antara pemain dan pembelajaran tujuan yang diusulkan, serta konsekuensi yang diprogram acak, cara mendapatkan poin, mencapai skor tertinggi.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Marilynn Larkin (2015), “ Games can change the way people think and behave, and that reality is sparking unusual collaborations with some surprising results”, yang bisa diartikan dengan permainan dapat mengubah cara orang berpikir dan bertingkah laku dan kenyataan itu memicu kolaborasi yang tidak biasa dengan beberapa hasil yang mengejutkan.

Permainan domino yang diadaptasi adalah permainan yang disusun oleh 28 buah kartu, berukuran 6 cm x 3 cm dan disesuaikan untuk mengajar, dimainkan oleh beberapa orang untuk memperoleh informasi dari permasalahan tertentu, yang demikian itu diungkapkan oleh Sasomo dalam Budi Sasono ( 2017). Selain menyenangkan permainan ini juga memperjelas peran dari masing-masing individu dan akan lebih mempermudah guru dalam menilai peserta didik secara individu.

Berdasarkan hasil penelitian Budi Sasono (2017) permainan domino ini membantu siswa menumbuhkan semangat belajarnya sehingga prestasi belajarnya menjadi lebih baik. Hal serupa juga diungkapkan oleh Gabriella Gris (2017 ), “ the games of dominoes were effective for the teaching of relations taught and tested. Adapun bentuk kartu domino adalah seperti gambar 2.1 berikut :

(14)

Gambar 2.1 Kartu domino asli

Sedangkan bentuk kartu domino yang telah dimodifikasi adalah seperti gambar 2.2

Gambar 2.2 Kartu domino yang sudah dimodifikasi

d. Pelaksanaan model pembelajaran

Pelaksanaan model pembelajaran yang akan dilakukan pada penelitian ini, baik untuk kelas eksperimen dengan metode pembelajaran SFE, SFE dengan permainan kartu domino maupun kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran langsung, akan disajikan dalam tabel 2.1

Tabel 2.1 Sintak Model Pembelajaran

Kegiatan Pembelajara

n

SFAE SFAE

dikombinasi dengan permainan

Pembelajaran Langsung

Kegiatan Pendahulua n

1. Guru memberi salam.

1. Guru memberi salam.

1. Guru memberi salam.

Keempat sisinya sama

panjang

(15)

2. Guru

menyampaikan materi yang akan dipelajari.

3. Guru memberi motivasi tentang pentingnya materi tersebut dipelajari.

4. Guru menjelaskan tujuan dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.

2. Guru

menyampaikan materi yang akan dipelajari.

3. Guru memberi motivasi tentang pentingnya materi tersebut dipelajari.

4.Guru menjelaskan tujuan dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.

2. Guru

menyampaikan materi yang akan dipelajari.

3. Guru memberi motivasi tentang pentingnya materi tersebut

dipelajari.

4. Guru menjelaskan tujuan

pembelajaran dan mempersiapkan siswa untuk belajar.

Kegiatan Inti

1. Guru

menyampaikan materi pokok atau memberi tugas kepada siswa untuk mempelajari materi

2. Guru mene rangkan atau menyajikan garis – garis besar materi pembelajaran.

3. Kemudian memberikan kesempatan

1. Siswa

dikelompokkan terdiri dari 4 - 5 anggota,

berdasarkan tempat duduknya.

2. Guru

menerangkan atau

menyajikan garis – garis besar materi pembelajaran 3. Kemudian

memberikan kesempatan

1. Guru

mendemontrasik an keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.

2. Guru

merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal 3. Mengecek

apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik,

(16)

siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta kon sep , dan proses ini bisa

dilakukan secara bergiliran

siswa untuk menjelaskan kepada siswa dengan

menggunakan permainan domino

memberi umpan balik

4. Guru

mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan

lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari Kegiatan

Penutup

1. Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

2. Guru merefleksi kegiatan yang telah dilakukan.

3. Guru

memberitahukan materi yang akan dipelajari pada pertemuan

selanjutnya 4. Guru

memberikan tugas kepada siswa untuk

1. Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

2. Guru merefleksi kegiatan yang telah dilakukan.

3. Guru

memberikan evaluasi/

penilaian kepada siswa

4. Guru

memberitahukan materi yang akan dipelajari pada pertemuan

selanjutnya

1. Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

2. Guru merefleksi kegiatan yang telah

dilakukan.

3. Guru

memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah.

4. Guru mem beritahukan materi yang

(17)

mempelajari materi di rumah.

akan dipela jari pada

pertemuan selanjutnya

B. Penelitian Yang Relevan

Sebagai perbandingan dalam penelitian ini, peneliti akan menguraikan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Ada beberapa penelitian mengenai model pembelajaran Student Facilitator and explaining yang ditinjau dari Adversity Quotient matematika siswa, yang dapat digunakan sebagai referensi, yaitu :

1. Penelitian Siska Ryane Muslim (2014) menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kritis matematik siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explain. Persamaan penelitian yang dilakukan Siska Ryane dengan penelitian ini, sama-sama menggunakan model inovatif Student Facilitator and Explain, sedangkan perbedaannya, kalau penelitian Siska Ryane hanya menggunakan model Student Facilitator And Explain sedangkan pada penelitian ini dikombinasikan dengan permainan menggunakan kartu domino.

2. Penelitian Gabriel Griss (2017) menyimpulkan bahwa “the participants learned the relations taught by means of games of dominoes, as well as the emergence of the majority of the relations tested”. Persamaan penelitian yang dilakukan Gabriel Giss dengan penelitian ini, sama – sama menggunakan media domino, sedangkan perbedaannya, kalau penelitian Gabriel Griss tidak menggunakan model pembelajaran, sedangkan penelitian ini menggunakan model Student Facilitator And Explain.

3. Penelitian Dodik Mulyono (2017) menyimpulkan bahwa” The use of student facilitator and Explain learning model in this research can improve students' mathematics learning outcomes better than the use of reciprocal teaching learning model”.Persamaan penelitian yang dilakukan Dodik Mulyono

(18)

dengan penelitian ini, sama – sama menggunakan model inovatif Student Facilitator And Explain, sedangkan perbedaannya, kalau Dodik Mulyono membandingkan dengan model reciprocal teaching, sedangkan penelitian ini menggunakan model konvensional.

4. Hastuti (2017) menyimpulkan bahwa “ students with high AQ able to face the learning of mathematics in various materials and with different models of learning”. Penelitian Hastuti sama dengan penelitian ini yaitu meneliti daya juang siswa dalam mempelajari matematika, sedangkan perbedaannya terletak pada model pembelajaran yang dilakukan

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditentukan kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Pengaruh Model Pembelajaran Terhadap Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan tingkat pemahaman atau penguasaan pengetahuan suatu konsep atau materi tertentu, berupa hasil tes yang diukur setelah konsep atau materi diberikan. Sebagian besar siswa masih menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit. Hal ini terjadi karena siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika.

Kesulitan belajar yang dialami siswa yang berakibat pada rendahnya prestasi belajar matematika. Ada kemungkinan kesulitan yang dialami siswa disebabkan oleh kurang tepatnya pendekatan pembelajaran yang digunakan guru. Terdapat pula kemungkingkinan lain yang penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah karena rendahnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi belajar, ditentukan oleh beberapa hal, diantaranya adalah model pembelajaran yang dilakukan guru.

Dalam rangka mencapai prestasi belajar matematika yang baik, siswa diharapkan mampu mengkonstruksi pengetahuannya dari pengalaman–

pengalaman yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini digunakan tiga model pembelajaran, yaitu model pembelajaran kombinasi Student Facilitator and

(19)

Explain dengan permainan dan model pembelajaran langsung. model Student Facilitator and Explain adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar dengan teman sejawat, tanpa ada rasa sungkan dan takut sehingga siswa dapat mencapai kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Perbedaan proses pembelajaran tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan prestasi belajar. Pengalaman belajar yang dieroleh siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain dengan permainan akan lebih mampu untuk mengubah prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan pengalaman belajar yang diperoleh siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain.

Selain menggunakan model kooperatif dalam penelitian ini juga menggunakan model pembelajaran langsung. Pada pembelajaran langsuung guru lebih dominan dalam proses pembelajaran sehingga membuat siswa menjadi pasif. Peran guru mengajar dan memberikan informasi kepada siswa, sehingga siswa menerima apa yang disampaikan guru. Siswa kurang terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Perbedaan proses pembelajaran tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan prestasi belajar. Pengalaman belajar yang dieroleh siswa dalam yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain yang dikombinasikan dengan permainan kartu domino akan lebih mampu untuk mengubah prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan pengalaman belajar yang diperoleh siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain. Pengalaman belajar yang diperoleh siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain akan lebih mampu untuk mengubah prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan pengalaman belajar yang diperoleh siswa melalui pembelajaran langsung. Dengan demikian, prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain yang dikombinasikan dengan permainan kartu domino akan lebih baik jika dibandingkan dengan prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran Student

(20)

Facilitator And Explain dan pembelajaran langsung. Prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran Student Facilitator And Explain lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran langsung.

2. Pengaruh Tipe Adversity Quotient Terhadap Prestasi Belajar.

Berdasarkan tinjauan pustaka bahwa Adversity Quotient merupakan kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan siswa dalam mengikuti dan mempelajari matematika. Setiap siswa tentunya memiliki adversity quotient yang berbeda-beda, tergantung dari kondisi masing- masing siswa. Adversity quotient siswa dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu adversity quotient tinggi, sedang dan rendah. Dengan adversity quotient yang berbeda, akan menghasilkan prestasi yang berbeda pula. Siswa yang memiliki adversity quotiens tinggi tidak mudah menyerah saat menghadapi kesulitan, justru akan semakin tertantang untuk mengatasi kesulitan itu sehingga mampu keluar dari kesulitan dan memiliki kemampuan untuk lebih baik. Siswa dengan adversity quotient sedang memiliki kemampuan bertahan walaupun tidak sekuat siswa dengan adversity quotient tinggi dalam menghadapi kesulitan, namun tidak menyerah. Sedangkan siswa dengan adversity quotient rendah cenderang mengeluh saat menghadapi kesulitan dan menyalahkan diri sendiri maupun orang lain akan penyebab kesulitannya, sehingga tidak ada uasaha untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi.

Dengan demikian , siswa yang mempunyai adversity quotient tinggi akan lebih siap menerima materi dan tugas apapun, karena pada tipe ini anak tidak mudah menyerah dan akan berusaha untuk mempunyai prestasi ynag lebih baik. Sedangkan siswa dengan adversity quotient sedang akan menerima materi apapun, dan cenderung mempertahankan pretasinya dan siswa dengan adverity quotient rendah cenderung menyerah dalam kesulitan.

Dengan demikian prestasi belajar siswa dengan adversity quotien tinggi akan lebih baik jika dibandingkan dengan siswa dengan adversity quotient sedang dan rendah. Prestasi belajar matematika siswa dengan adversity quotient

(21)

sedang akan lebih baik dari prestasi belajar siswa dengan adversity quotient rendah.

3. Kaitan antara masing-masing tipe AQ siswa dengan pretasi belajar siswa ditinjau dari model pembelajaran.

Siswa yang mempunyai adversity quotient tinggi , mempunyai semangat untuk berprestasi, sehingga mereka tidak mudah menyerah dalam situasi apapun dan selalu merasa yakin dapat melakukan hal yang baik. Siswa dengan tipe ini dengan model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining dan Student Facilitator and Eksplaining dengan permainan kartu domino ataupun model pembelajarn langsung akan memberikan prestasi belajar yang sama.

Siswa dengan Adversity Quotient sedang memiliki kemampuan brtahan dalam kesulitan dan dapat bekerjasa sama dengan orang lain. Siswa dengan tipe AQ ini juga dapat menerima perubahan-perubahan yang ada. Sehingga siswa dengan tipe AQ ini menggunakan model pembelajaran sStudent Facilitator and Eksplaining dikombinasi dengan permainan kartu menghasilkan prestasi belajar yang sama baiknya dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining.

Sedangkan prestasi belajar matematika dengan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

Siswa dengan tingkat adversity quotient rendah biasanya hanya melakukan apa yang ada dihadapannya dan cenderung tidak berbuat optimal dalam belajar, tidak percaya diri, minder dengan kemampuannya, sehingga pada siswa dengan Adversity Quotient rendah menggunakan model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran kombinasi Student Facilitator and Eksplaining dengan permainan kartu domino dan model pembelajaran langsung. Sedangkan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Student Facilitator

(22)

and Eksplaining dikombinasi dengan permainan kartu domino menghasilkan prestasi belajar yang sama baik dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

4. Kaitan antara masing-masing model pembelajaran dengan prestasi belajar siswa ditinjau dari tipe AQ.

Pada model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining merupakan suatu model pembelajaran yang sangat baik. Dimana pada model ini menciptakan pola interaksi siswa yang berkesan dan meningkatkan daya kreatifitas serta ingatan siswa, Oleh karena itu pada model ini dapat memotivasi siswa dalam memahami materi pelajaran. Pada model ini siswa juga alternatif untuk mengembangkan kemampuan kognitif, melatih kerjasama, dan melatih kemampuan mengomunikasikan matematika, sehingga prestasi belajarnya menjadi lebih baik. sehingga siswa akan saling bekerjasama. Sehingga pada model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining, siswa yang memiliki Adversity Quotient tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik pada siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang tetapi lebih baik dari siswa yang memiliki Adversity Quotient rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient rendah.

Pada model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining yang dikombinasi dengan permainan kartu domino merupakan suatu model pembelajaran yang sangat baik. Dimana pada model ini menciptakan pola interaksi siswa yang berkesan dan meningkatkan daya kreatifitas serta ingatan siswa, Oleh karena itu pada model ini dapat memotivasi siswa dalam memahami materi pelajaran. Pada model ini siswa juga alternatif untuk mengembangkan kemampuan kognitif, melatih kerjasama, dan melatih kemampuan mengomunikasikan matematika, membantu siswa menumbuhkan semangat belajarnya sehingga prestasi belajarnya menjadi

(23)

lebih baik. sehingga siswa akan saling bekerjasama. Sehingga pada model pembelajaran Student Facilitator and Eksplaining yang dikombinasi dengan permainan kartu domino, siswa yang memiliki Adversity Quotient tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang dan lebih baik dari siswa yang memiliki Adversity Quotient rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient rendah.

Model pembelajaran langsung, merupakan model pembelajaran yang didomiasi oleh guru, siswa menerima informasi dari guru dan siswa mengikuti apa yang menjadi arahan dari guru, sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Sehingga pada model pembelajaran ini siswa yang memiliki Adversity Quotient tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik pada siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang dan rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient sedang, menghasilkan prestasi belajar matematika yang relatif sama baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient rendah.

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka di dalam penelitian ini dibuat beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Student Facilitator And Explain dengan permainan domino menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran Student Facilitator And Explain dan model pembelajaran konvensional.

2. Siswa dengan Adversity Quotient kategori tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik dari yang memiliki Adversity Quotient kategori sedang. Siswa dengan Adversity Quotient kategori sedang memiliki prestasi belajar lebih baik dari siswa yang memiliki Adversity Quotient dengan kategori rendah.

Siswa dengan Adversity Quotient tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik dari siswa dengan Adversity Quotient rendah;

(24)

3. a. Pada siswa dengan Adversity Quotient tinggi menggunakan pembelajaran dengan ketiga model diatas menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik.

b. Pada siswa dengan Adversity Quotient sedang menggunakan model pembelajaran Student Facilitator And Explaining dengan permainan kartu domino menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model Student Facilitator And Explain, dan siswa yang menggunakan model pembelajaran Student Facilitator And Explain menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.

c. Pada siswa dengan Adversity Quotient rendah menggunakan model pembelajaran Student Facilitator And Explain dengan permainan kartu domino menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran Student Facilitator And Explain, dan siswa yang menggunakan Student Facilitator And Explain akan menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional

4 a. Pada model pembelajaran Student Facilitator And Explain dikombinasi dengan permainan domino, siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik pada siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang tetapi lebih baik dari siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika rendah.

b. Pada model pembelajaran Student Facilitator And Explain, siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik pada siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang dan rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang, menghasilkan prestasi

(25)

belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika rendah.

c. Pada model pembelajaran langsung, siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik pada siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang dan rendah. Sedangkan untuk siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika sedang, menghasilkan prestasi belajar matematika yang relatif sama baik dibandingkan siswa yang memiliki Adversity Quotient matematika rendah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil belajar Matematika siswa kelas IV SD adalah perubahan perilaku yang menyangkut kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa kelas IV SD (kognitif, afektif, dan

Model problem based learning bukan hanya menerapkan prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran yang diberikan dengan cara memberikan pertanyaan dan

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP PRESTASI BELAJAR DAMPAKNYA PADA INTENSI BERWIRAUSAHA: (SURVEI PADA SISWA KELAS XI SMKN 2 BANDUNG DALAM MATA PELAJARAN PRAKARYA

Berdasarkan pemaparan mengenai model Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang menyajikan

1) Petanque dimainkan oleh 2 tim terdiri dari 1, 2, dan 3 pemain. 2) Nomor single dan double menggunakan 3 bosi untuk setiap pemain. 4) Dilakukan tos koin sebelum memulai

Hal ini tidak berarti bahwa orang dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi akan selalu bertindak berdasarkan penilaian emosi yang baik dan bertanggung jawab, namun

Sedangkan menurut Muhsetyo (2008: 1.26) pembelajaran matematika adalah proses pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran tipe Team Assisted Individualization (TAI) adalah model pembelajaran yang memadukan