• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. KERANGKA TEORI

1. Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana

Soedarto memberikan pendapat seperti yang dikutip oleh Ali Zaidan1, hukum pidana sebagai aturan hukum yang megikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari kata “strafbaar

feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri

tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Strafbaar feit merupakan istilah asli Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.

Sementara itu Simons memberikan definisi Hukum Pidana adalah: a) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam

dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.

b) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.

(2)

12 c) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan

dan penerapan pidana.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak Pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang. Oleh sebab itu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana.

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang-orang yang melakukan perbuatan akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidana apabila mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2.

Dalam sistem hukum, hukuman atau pidana yang dijalankan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana harus sudah terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang pidana. Jika tidak ada Undang-Undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.

2 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, 2001, Ghalia

(3)

13 Berdasarkan KUHP tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kejahatan dan pelanggaran. Telah dijelaskan dalam Buku II dan Buku III KUHP yang memuat rincian berbagai jenis tindak pidana. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum sendiri ada 3 (tiga) yaitu: kepentingan hukum perorangan, masyarakat, dan Negara.

Secara konkret tujuan hukum pidana ada dua yaitu3:

a) Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik;

b) Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana utuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebalinya menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian pula pidana harus memperhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi4.

b. Pengertian Delik

Kata delik berasal daria bahasa Latin yakni delictum. Dalam Bahasa Belanda disebut delict dan dalam bahasa Perancis disebut delit. Arti delik

3 Abdoel Jamali, Ibid.

(4)

14 di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.

Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.

Teguh Prasetyo memberikan pendapatnya mengenai delik adalah perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan kesalahan orang yang mampu bertanggungjawab dan pelakunya diancam dengan pidana5. Dalam KUHP dikenal 3 (tiga) jenis delik yaitu delik terhadap orang, delik terhadap harta, dan delik terhadap negara/kekuasaan.

Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materiil. Delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Menurut doktrin ada 2 (dua) unsur delik yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif6. Unsur subyektif merupakan unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku seperti kesalahan yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan. Sedangkan unsur obyektif merupakan unsur dari luar

5

Ibid, Hal. 217.

6 Leden Marpaung, Asas – Teori – Pratik Hukum Pidana, 2008, Sinar Grafika, Jakarta,

(5)

15 diri si pelaku diantaranya: perbuatan manusia (act), akibat dari perbuatan (result), keadaan-keadaan (circumstances), dan sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Aliran monistis memberikan gambaran tentang unsur-unsur delik sebagai berikut:

- Suatu perbuatan - Melawan hukum - Diancam dengan sanksi - Dilakukan dengan kesalahan

- Oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

Aliran dualistis memberikan gambaran tentang unsur-unsur delik sebagai berikut:

- Suatu perbuatan

- Melawan hukum (dilarang) - Diancam dengan sanksi pidana.

c. Tindak Pidana Narkotika

Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama maknanya dengan narcosis yang artinya membius. Secara Etimologi, kata Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu Narke yang artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2882 Tahun 1970, Narkotika atau obat bius diartikan secara umum

(6)

16 sebagai semua bahan obat yang umumnya mempunyai efek kerja bersifat membius (menurunkan kesadaran), merangsang (meningkatkan prestasi kerja), menagihkan (meningkatkan ketergantungan), dan menghayal (menyebabkan halusinasi).

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbukan perubahan perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi. Secara umumnya, Narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan berbagai macam pengaruh tertentu bagi siapapun yang menggunakannya (memasukkannya kedalam tubuh).

Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penggunaan Narkotika terbatas untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk peredarannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Kesehatan. Selain yang disebutkan dalam Pasal 7 tersebut, mempunyai kosekuensi yuridis yaitu penyalahgunaan Narkotika dan akan memperoleh pidana dengan ancaman yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tanpa hak berhubungan langsung atau tidak langsung dengan Narkotika adalah bagian dari Tindak Pidana Narkotika. Tindak pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

(7)

17 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, meskipun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang ini, bahwa tindak pidana yang didalamnya adalah tindak kejahatan akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana dalam Undang-Undang tersebut merupakan kejahatan7.

Dalam Pasal 112 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).”

Sedangkan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Setiap penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun penjara.”

Dalam Pasal 132 ayat (1) Jo. Pasal 114 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan 1, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).”

(8)

18 Kententuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah sangat signifikan. Dalam Undang-Undang tersebut ancaman yang akan diterima pelaku tindak pidana Narkotika minimal selama 4 (empat) tahun penjara sampai dengan 20 (dua puluh) tahun penjara. Jika terbukti memproduksi Narkotika Golongan I dengan jumlah lebih dari 1 (satu) kilogram sampai dengan 5 (lima) kilogram, ancaman pidananya semakin berat yaitu pidana mati.

2. Teori Pemidanaan

Menurut pendapat Andi Hamzah8, tujuan hukum pidana yang berkembang dari jaman dahulu hingga kini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Teori yang pertama kali muncul adalah teori pembalasan (revenge) atau teori dengan tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun pihak yang dirugikan dan menjadi korban kejahatan.

Tujuan pidana yang dianggap telah kuno adalah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara yang adil dan yang batil.

Yang dipandang sebagai tujuan hukum saat ini adalah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan (deterrent), baik yang ditujukan kepada orang yang melanggar hukum maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi pelanggar hukum. Sedangkan yang paling modern dan populer pada saat ini

8 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: Dari Retribusi ke

(9)

19 bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki kondisi pemidanaan namun diharapkan juga dapat mencari alternatif lain yang bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.

Ada tiga golongan utama untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), Teori relatif atau tujuan, dan Teori gabungan (verenigingstheorien).

a. Teori Pembalasan atau Teori Absolut

Teori ini memberikan pandangan bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan tindak pidana. Pidana adalah suatu akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana.

b. Teori Relatif

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan sendiri tidak mempunyai nilai, hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum. Pidana bukanlah sarana balas dendam kepada orang yang melakukan tindak pidana namun mempunyai tujuan yang bermanfaat.

Tujuan pidana adalah pencegahan, namun pencegahan itu sendiri bukan tujuan akhir. Pencegahan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku yang memenuhi syarat untuk dipidana. Pidana sendiri harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan. c. Teori Gabungan

Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang, yaitu:

1) Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran.

2) Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki.

(10)

20 3) Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni

mempertahankan tertib hukum.

Dengan demikian, teori gabungan berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana.9

3. Teori Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hakim, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung10.

Pertimbangan hakim adalah hal-hal yang menjadi dasar atau yang dipertimbangkan hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana. Sebelum memutus suatu perkara, hakim harus memperhatikan setiap hal-hal penting dalam suatu persidangan. Hakim memperhatikan syarat dapat dipidananya seseorang, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHP yang berbunyi “pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta

9

Teguh Prasetyo, Op.Cit., Hal. 15.

10 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 2004, Pustaka

(11)

21 dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”

Dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHP yang menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, Majelis Hakim haruslah meguasai mengenai aspek teoritik dan praktik, pandangan doktrin, yurisprudensi dan kasus posisi yang sedang ditanganinya, kemudian secara limitatif menetapkan pendiriannya11.

Pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya memuat tentang hal-hal sebagai berikut:

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau hal-hal yang tidak disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan dari segala aspek yang menyangkut fakta/hal-hal yang terbukti di dalam persidangan. c. Adanya semua bagian dari dakwaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum

yang harus dipertimbangakan/diadili secara satu demi satu sehingga

11 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, 2007, Citra Aditya

(12)

22 hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan12.

Ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara. Menurut Mackenzie seperti yang dikutip oleh Ahmad Rifai13 dalam bukunya:

a. Teori Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud dalam teori ini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak yang berkaitan dengan perkara tersebut. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban, ataupun kepentingan penggugat dan pihak tergugat.

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan sebuah diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana. Pendekatan ini lebih ditentukan oleh

insthink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim itu sendiri.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Pemikiran proses penjatuhan pidana harus diselesaikan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim14.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang Hakim merupakan hal yang dapat membantu dalam menghadapi berbagai perkara. Dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang nantinya akan dijatuhkan yang berkaitan dengan pelaku kejahatan, korban serta masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang sedang berjalan kemudian dicari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara tersebut sebagai dasar hukum untuk menjatuhkan putusan.

12 Ibid, Hal. 142. 13

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, 2014, Sinar Grafika, Jakarta, Hal., 2.

(13)

23 4. Ketentuan Pidana Minimal Khusus

Dianutnya sistem pidana minimal umum juga maksimal khusus (untuk masing-masing tindak pidana) juga membuka kesempatan bagi hakim untuk mempergunakan kebebasannya dalam menjatuhkan pidana. Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum dalam KUHP yang berlaku saat ini dipandang pula sebagai dasar hakim untuk dengan bebas menjatuhkan putusannya.

Hal tersebut sering terjadi dalam lingkungan peradilan, terdapat suatu asas hukum yang menyatakan bahwa hakim lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah15.

Pencantuman pidana minimal khusus pada peraturan perundang-undangan diluar KUHP saat ini berlaku pada beberapa Undang-Undang, salah satunya adalah pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan adanya sistem pidana minimal khusus maka dapat memberikan batasan terhadap kebebasan yang dimiliki hakim didalam menjatuhkan putusan, meskipun mengenai sistem pidana minimum khusus ini tidak ada aturan/pedoman penerapannya16.

Sementara itu ada satu ketentuan pemidanaan yang dikhususkan untuk kasus Narkotika. Ketentuan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

15

Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontraversial Dari Hakim/Majelis Kontraversial, 2202, UII Press, Yogyakarta, Hal. IX.

(14)

24 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 (SEMA Nomor 3 Tahun 2015) ini terbit berdasarkan hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia. Rapat ini diikuti oleh seluruh anggota Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama, Kamar Militer, dan Kamar Tata Usaha Negara. Dilaksanakan pada tanggal 9-11 Desember 2015, bertempat di Hotel Mercure Jakarta. Dari hasil rapat tersebut, terbitlah SEMA No. 3 Tahun 2015. Beberapa rumusan hukum telah dihasilkan dari rapat tersebut, salah satunya pada bagian rumusan hukum Kamar Pidana yang membahas ketentuan dalam Narkotika.

Bagian Pidana huruf A angka 1 tentang Narkotika menyebutkan:

“Hakim memutus dan memeriksa perkara harus didasarkan pada surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 128 ayat (2) dan (4) KUHAP). Jaksa mendakwakan dengan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika namun berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan terbukti Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini

tidak didakwakan, Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi

dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.”

Selain ketentuan di atas, belum ada peraturan lain yang secara khusus mengatur penjatuhan pidana di bawah ketentuan minimal tentang perkara Narkotika. Dengan kata lain, selain pasal yang disebutkan dalam ketentuan tersebut maka hakim tetap harus memutus suatu perkara Narkotika sesuai dengan ketentuan yang sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(15)

25 5. Teori Keadilan Bermartabat

Keadilan pada dasarnya adalah suatu hal yang abstrak dan hanya dapat dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu maupun masyarakat. Nilai adil menghendaki setiap peristiwa hukum yang sama diperlakukan sama pula. Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat, namun pelaksanaannya dapat dilihat dari perspektif pencari keadilan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya17.

Satjipto mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasal-pasal sebuah undang-undang, tetapi harus lebih banyak dicari sampai ke akarnya di dalam kehidupan masyarakat. Keadilan substantif tidak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari undang-undang. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat luas, sekaligus bisa menerapkan ketentuan undang-undang selama ketentuan di dalam undang-undang dirasa sudah adil.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar Negara. Pancasila sebagai dasar Negara atau falsafah Negara, sampai

17 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, 2004, Nuansa dan

(16)

26 sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi Negara Indonesia.

Ada tiga hak tentang pengertian adil menurut Kahar Masyhur18: a. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

b. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.

c. Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian pada orang lain, sebab orang lain tersebut juga memiliki hak yang sama sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu19.

Konsep tersebut jika dihubungkan dengan Sila Kedua dalam dasar Negara, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang serasi antar sesama individu dalam masyarakat sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Apabila dihubungkan dengan

18 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, 1985, Kalan Mulia, Jakarta, Hal. 71. 19 Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, 2000, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.50.

(17)

27 “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai20:

a. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.

b. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dari pengusaha-pengusaha.

c. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antar setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar.

Keadilan memang tidak secara tertulis dalam teks, namun pembuat undang-undang telah memandang dalam pembuatan produk perundang-undangannya didasarkan pada keadilan yang merupakan bagian dari tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk mewujudkan keadilan.

Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP dan perundang-undangan. Keadilan sesunggunya terdapat dibalik suatu yang tampak dalam angka tersebut yang terumus secara filosofis oleh petugas hukum yang dalam hal ini adalah hakim21.

Teori keadilan bermartabat adalah suatu usaha untuk memahami atau mendekati pikiran Tuhan. Dalam teori keadilan bermartabat tidak dikehendaki adanya konflik dalam lapisan-lapisan ilmu hukum itu. Teori

20

Kahar Masyhur, Loc.Cit..

21 Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in Book and Lawn in

(18)

28 keadilan bermartabat menawarkan postulat hukum sebagai suatu sistem, dimana satu ciri penting di dalamnya adalah tidak dikehendaki adanya konflik. Yang dikehendaki adalah suatu perdebatan yang sehat, dialektika yang bermanfaat bagi pembangunan pemikiran hukum.

Teori keadilan bermartabat tidak sekedar mendasar dan radikal. Karakter teori keadilan bermartabat antara lain juga adalah suatu sistem filsafat hukum yang mengarahkan atau memberi tuntutan serta tidak memisahkan seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines.

Latar belakang teori keadilan bermartabat:

- Teori keadilan bermartabat tidak mengabaikan renaissance.

- Teori keadilan bermartabat memberi konteks kepada pemikiran hukum modern menurut volksgeist Indonesia yang bersumber kepada Pancasila.

Teori keadilan bermartabat memandang Pancasila itu menjadi inspirasi pencerahan yang digali dari dalam jiwa bangsa. Pancasila sebagai dasar teori keadilan bermartabat. Pancasila didasari oleh sikap keseimbangan antara kekeluargaan, namun tidak begitu saja mengesampingkan individu. Pancasila merupakan suatu falsafah yang bersistem. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Antara sila yang satu dengan sila yang lainya saling terkait dan tidak bertentangan.

Teori keadilan bermartabat dapat disebut juga dengan suatu teori sistem hukum berdasarkan Pancasila22.

22 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media,

(19)

29 Keadilan selalu menjadi objek tujuan, khususnya melalui lembaga pengadilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.

6. Teori Pembuktian

Dalam dunia peradilan dikenal salah satu sistem yang disebut dengan sistem pembuktian. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti tersebut digunakan di depan sidang di pengadilan23.

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap suatu perkara di pengadilan. Seiring berjalannya waktu, teori-teori pembuktian juga ikut mengalami perkembangan dan perubahan. Begitupula dengan penerapan sistem pembuktian di suatu negara berbeda dengan negara yang lain.

Ada beberapa sistem pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum di Indonesia:

a) Conviction Intime atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Teori ini memberikan kebebasan pada hakim untuk

23 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

(20)

30 menjatuhkan suatu putusan berdasarkan keyakinan hakim tersebut. Jika dalam pertimbangannya, hakim telah menganggap terbukti suatu tindak pidana, sesuai dengan keyakinan yang timbul dalam hati nurani, terdakwa telah dapat dijatuhi putusan. Pada teori ini keyakinan hakim mengabaikan hal-hal lain yang sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut24.

Sistem ini sudah pernah diterapkan di Indonesia khususnya di pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan untuk hakim menyebutkan apa saja sebagai dasar keyakinannya. Sistem ini dianggap merugikan dalam hal pengawasan terhadap hakim dan merugikan terdakwa serta penasehat hukum karena tidak ada kejelasan mengenai patokan dan ukuran suatu keyakinan dari seorang hakim.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar karena sebagaimana manusia biasa, hakim bisa saja salah dalam berkeyakinan. Karena dalam berkeyakinan dalam teori ini tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan hakim dalam mebentuk suatu keyakinan. Sistem ini juga membuka peluang untung penyelewengan praktek penegakan hukum di Indonesia.

b) Conviction Rasionne atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim dalam Batas-Batas Tertentu atau Alasan Logis

Dengan teori ini maka di dalam hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinan, keyakinan tersebut harus

24 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, 2007, Citra Aditya Bakti,

(21)

31 didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan pembuktian tertentu.

Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan suatu keyakinannya secara cuma-cuma. Keyakinan hakim dalam teori ini juga harus diikuti dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh akal pikiran yang menjadi dasar pada keyakinan tersebut25.

Biasanya teori ini digunakan sebagai jalan tengah antara teori pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu. Dalam teori ini, hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinan tersebut berasal dari hati nurani hakim, namun keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan yang berdasarkan ketentuan pembuktian tertentu26.

c) Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

Teori ini didasarkan pada alat-alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan pembuktian secara positif karena jika telah terbukti perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini juga sering disebut dengan Formele Bewijstheorie.

25

Rusli Muhammad, Op.Cit., Hal. 187.

26 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, 2011, Alumni, Bandung,

(22)

32 Untuk menentukan kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang sesuai dengan undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusan tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang. Keyakinan hakim tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang27.

Teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia oleh Wirjono Prodjodikoro. Menurutnya, bagaimana hakim dapat mendapatkan kebenaran selain dengan menyatakan kepada keyakinan hakim itu sendiri tentang kebenaran tersebut. Lagi pula, keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat28

d) Negative Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif

Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan tersebut terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian

27

Rusli Muhammad, Op.Cit., Hal. 190.

28 Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2014,

(23)

33 menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Sistem ini juga disebut sebagai pembuktian berganda (doubelen grondslag)29.

Teori ini memadukan dua unsur yaitu ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat dipisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim30.

Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di mana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang31.

7. Asas Legalitas

Dasar yang paling pokok dalam menjatuhkan pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai

29 Rusli Muhammad, Op.Cit., Hal. 187. 30 Hendar Seoetarna, Op.Cit., Hal. 27-28. 31

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, 2005, Sinar Grafika,

(24)

34 dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukan orang tersebut.

Mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Dalam bahasa latin asas ini juga dikenal dengan asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lage (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).

Asas ini pertama kali dikemukakan oleh Von Feuerbach, seorang Sarjana Hukum di Jerman. Perumusan asas ini dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama Teori vompsychologischen zwang, yaitu teori yang menganjurkan perbuatan dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang ancaman pidana yang diancamkan32.

Dengan cara demikian, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu sudah ada pidana apa yang nantinya akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Sehingga dapat menimbulkan suatu tem atau tekanan dalam batin untuk tidak melakukan tindak pidana tersebut. Jika melakukan tindak pidana tersebut, maka hal dijatuhi hukuman kepadanya bisa dipandang sebagai persetujuan diri sendiri. Jadi pendirian

32 Von Feurbach dalam Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, 1987, Bina Aksara,

(25)

35 Von Feuerbach mengenai pidana adalah pendirian yang tergolong absolut (mutlak).

Biasanya asas Legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:

a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diacam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiasan).

c) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), makna asas Legalitas ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Hal ini sesuai dengan adegium yang berbunyi non obligat lex nisi

promulgate yang berarti suatu hukum tidak mengikat kecuali telah

diberlakukan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro33 yang memberikan makna yang terkandung dalam Asas Legalitas adalah bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang dan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

33 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 2003, Refika

(26)

36 Ada dua hal yang terkandung dalam Asas Legalitas34. Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Ada dua makna lagi yang dapat ditarik dari makna pertama ini yaitu perbuatan seseorang yang tidak terancam dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensi dari makna yang kedua adalah undang-undang tidak berlaku surut.

Menurut Jan Rammelink35 ada tiga hal yang terkandung dalam asas Legalitas, yaitu:

a) Konsep perundang-undangan yang diandalkan dalam Pasal 1 KUHP tidak hanya perundang-undangan dalan arti formil yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan, tetapi menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Termasuk di dalamnya adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

b) Undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat atau lex

carta. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah bestimmtheitgebot.

Perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit

34 Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,

Hal. 22-24.

35

Jan Rammelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, 2003, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal. 390.

(27)

37 hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan penuntutan pidana karena warga akan selalu dapat membela diri bahwa ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.

c) Perihal analogi, asas Legalitas mengandung larangan untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogi atau dikenal dengan

nullum crimen noela poena sine lege strica.

Dari penjelasan beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa makna yang dapat diambil dari Asas Legalitas.

a) Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.

b) Tidak dibenarkan menerapkan undang-undang hanya dengan berdasarkan analogi.

c) Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan, pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan perbuatan pidana.

d) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas.

e) Hukum pidana tidak berlaku surut (dikenal dengan prinsip non-retroaktif).

f) Tidak ada pidana lain selain yang telah dicantumkan dalam undang-undang (hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain yang ada dalam undang-undang).

(28)

38 g) Penuntutan pidana hanya dapat dilakukan menurut cara yang telah

ada dalam undang-undang.

h) Tidak boleh menerapkan analogi dalam ketentuan pidana.

8. Teori Kebebasan Hakim

Sejalan dengan konsep Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu prinsip penting bagi negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan kadilan.

Penegakan hukum pidana mengindikasikan bahwa kebebasan hakim memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk dapat melihat suatu nilai kebenaran pada peristiwa hukum, bukan melainkan sebaliknya dipergunakan untuk melakukan suatu perbuatan yang bernilai transaksional.

Hakim dituntut untuk menegakkan hukum dan keadilan bukan nemenangkan perkara-perkara yang berorientasi pada nilai ekonomi, pragmatis, sehingga dapat mendistorsi moral, nilai etis, teks undang-undang, pembelokan pada nilai kebenaran, logika rasionalitas yang berpijak pada penalaran hukum pada asas legalitas formal.

(29)

39 Hakim bebas dalam memutuskan segala putusannya tanpa ada intervensi atau campur tangan pihak lain. Seorang hakim yang sangat bebas, tidak bersifat memihak dalam menjalankan tugas memutus suatu perkara di pengadilan (within the exercise if the judicial function)36.

Kebebasan hakim merupakan kewenangan penting yang melekat pada individu hakim dimana hakim berfungsi sebagai penerapan teks Undang-Undang ke dalam peristiwa yang kongkrit, tidak sekedar substantif namun juga memberikan penafsiran yang tepat tentang hukum dalam rangka meluruskan suatu peristiwa hukum sehingga hakim dapat bebas memberikan penilaiannya dan penafsirannya.

Hakim sebagai unsur inti dalam sumber daya manusia yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara37. Pada proses peradilan dengan hakim sebagau titik sentral inilah yang menjadi aspek utama dan krusial seorang hakim dalam menggapai keadilan.

Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan

36 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, 1980, Erlangga, Jakarta, Hal.

167.

37 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, 2012, Kencana Prenada Pratama, Jakarta,

(30)

40 kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang.

Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait dengan fakta kejadian yang ditemukan dalam persidangan ke dalam putusan hakim yang mengandung nilai Pancasila dan konstitusi dasar, sehingga putusan hakim dapat memberikan pertimbangan nilai filosofis yang tinggi. Secara nyata diwujudkan dalam putusan yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan, dan berkeadilan. Filsafat harus dapat membantu pikiran hakim dalam menyusun pertimbangan putusannya, sehingga putusan hakim mengandung nilai-nilai keadilan filosofis.

Kebebasan hakim dalam mengadili perkara pidana yang bertujuan untuk menghasilkan putusan yang adil dan diterima masyarakat perlu mendapat jaminan perlindungan, agar tidak mendapat intervensi kekuasaan dan kepentingan. Putusan yang dibuat oleh hakim haruslah berlandaskan rasionalitas argumentasi hukum yang obyektif dan mempunyai kandungan etis moral yang kuat, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

(31)

41 B. HASIL PENELITIAN

1. Kasus Posisi

Pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 13.00 WIB bertempat di Jalan Veteran Pertigaan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga telah terjadi penangkapan terhadap seseorang yang bernama Bagas Dwitya Pradipta. Pada hari dan tanggal tersebut telah terjadi pemufakatan jahat dalam melakukan tindak pidana “setiap orang tanpa hak atau melawan hukum membeli Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman jenis Shabu, atau memiliki, menyimpan, menguasai, dan melakukan penyalahgunaan dengan cara menggunakan untuk dirinya sendiri Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman jenis Shabu”.

Sebelum penangkapan itu terjadi, petugas dari tim Satuan Resnarkoba Polres Salatiga mendapat informasi bahwa ada seseorang yang gerak-geriknya mencurigakan akan menyeberang di Jalan Veteran Pertigaan Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Salatiga yang diduga akan melakukan transaksi Narkotika. Kemudian petugas mengamankan Bagas Dwitya Pradipta di trotoar saat akan menyeberang jalan dan dilakukan penggeledahan badan terhadap terdakwa dan disaksikan oleh warga sekitar. Pada saat penggeledahan tersebut telah disita dari terdakwa barang bukti berupa 1 paket Shabu yang dibungkus dengan plastik klip bening dan terbungkus plastik bertuliskan Magic Lezat dan dibungkus lagi dengan kertas bertuliskan Paramex berat berikut dengan plastiknya

(32)

42 adalah 0,51 gram yang disimpan di saku celana pendek warna abu-abu bergaris merek Quicksilver, disimpan dalam saku dalam sebelah kanan yang dipakai oleh terdakwa dan 1 buah handphone merek Nokia tipe RH 122 warna hitam berikut simcard IM3 dengan nomor 085641524601 yang terdakwa pakai untuk bertransaksi Narkotika. Keseluruhan barang tersebut adalah milik terdakwa Bagas Dwitya Pradipta.

Pada hari yang sama dilakukan pula penggeledahan di rumah terdakwa di Jalan Argorumekso Gang II Nomor 41 Kp. Ringinawe Rt.014 Rw.001 Kelurahan Tegalrejo Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga. Dalam penggeledahan tersebut ditemukan barang bukti berupa 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang diisi air dengan tutup yang diberi 2 lubang yang diduga digunakan sebagai alat menghisap Shabu atau bong. Keseluruhan barang tersebut diakui milik terdakwa. Dalam penggeledahan tersebut juga disaksikan oleh warga setempat.

Atas perbuatan terdakwa dikenai dengan ketentuan Primair: Pasal 132 ayat (1) Jo. Pasal 114 ayat (1), Subsidair: Pasal 112 ayat (1), dan Lebih Subsidair: Pasal 127 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(33)

43 2. Dakwaan

Dalam dakwaan Primair dari Jaksa Penuntut Umum, terdakwa di dakwakan dengan Pasal 132 ayat (1) Jo. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah)”.

Dalam dakwaan subsidair terdakwa didakwakan dengan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

Dalam dakwaan Lebih Subsidair terdakwa didakwa dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undan Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika: “Setiap penyalah guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”

(34)

44 3. Pembuktian dan Fakta Persidangan

a. Pembuktian

Berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun pengakuan atau keterangan terdakwa sendiri, juga dengan adanya barang bukti yang diajukan dipersidangan ternyata saling berkaitan atau bersesuaian satu dengan yang lainnya maka dapat diambil sebagai bukti petunjuk bahwa terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 132 ayat (1) Jo. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Bahwa dalam persidangan telah dihadirkan beberapa saksi baik dari masyarakat yang menyaksikan penangkapan terdakwa maupun dari pihak kepolisian yang menangkap terdakwa. Para saksi tersebut memberikan keterangan sebagai berikut:

1) Saksi Priyono Bin Gito Pawiro

- Bahwa saksi adalah masyarakat yang diminta oleh kepolisian untuk menjadi saksi dalam penggeledahan terhadap dugaan tindak pidana Narkotika.

- Bahwa penggeledahan tersebut dilakukan pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar jam 22.00 WIB di Jalan Argorumekso Gang II Nomor 41 Kp. Riginawe Kelurahan Ledok Kecamatan Argomulyo Salatiga.

- Bahwa penggeledahan tersebut tepatnya dilakukan di kamar terdakwa.

(35)

45 - Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang berisi air dengan tutup diberi 2 lubang.

- Bahwa penggeledahan tersebut juga disaksikan oleh Saksi Waluyo Prasetyo.

- Bahwa semua barang bukti yang ditemukan, keberadaannya ditunjukkan sendiri oleh terdakwa.

Atas keterangan saksi Priyono tersebut, terdakwa membenarkan. 2) Saksi Waluyo Prasetyo Bin Suradi

- Bahwa saksi adalah masyarakat yang diminta oleh kepolisian untuk menjadi saksi dalam penggeledahan terhadap dugaan tindak pidana Narkotika.

- Bahwa penggeledahan tersebut tepatnya dilakukan di kamar terdakwa.

- Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang berisi air dengan tutup yang diberi dua lubang.

- Bahwa penggeledahan tersebut disaksikan pula oleh Saksi Waluyo.

(36)

46 - Bahwa semua barang bukti yang ditentukan, keberadaannya

ditunjukkan sendiri oleh terdakwa.

Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan. 3) Saksi Ahmad Jhon Febri Bin Lilik Harsono

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 saksi dengan bersama rekan polisi lainya melintas di pertigaan Tegalrejo Salatiga, kemudian melihat terdakwa dengan gelagat mencurigakan, kemudian diamankan oleh saksi. - Bahwa selanjutnya di lokasi tersebut saksi bersama rekan

melakukan penggeledahan dan ditemukan barang bukti: 1 paket shabu yang dibungkus plastik klip warna bening bertuliskan Magic Lezat dan dibungkus lagi menggunakan kertas bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan, 1 buah celana pendek bergaris, 1 buah handphone merek Nokia warna hitam tipe RH 122 berikut simcard IM3. - Bahwa paket Shabu yang ditemukan pada terdakwa,

menurut pengakuan terdakwa adalah pesanan dari Sdr. Imam Surono yang terdakwa beli dari seseorang yang bernama Andri (DPO) dengan harga Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah).

- Bahwa selanjutnya saksi bersama rekan dan terdakwa menuju ke rumah terdakwa di Jl. Argorumekso Gang II No. 41 Kp. Ringinawe Kel. Ledok Kec. Argomulyo Salatiga.

(37)

47 - Bahwa dalam penggeledahan di rumah terdakwa ditemukan barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang berisi air dan tutup diberi 2 lubang.

- Bahwa penggeledahan tersebut disaksikan pula oleh warga sekitar yaitu saksi Waluyo dan saksi Priyono.

- Bahwa dari penangkapan terdakwa, kepolisian melanjutkan penelusuran pelaku lainnya yaitu sdr Imam Surono.

Atas keterangan saksi tesebut, terdakwa membenarkan. 4) Saksi Hendriawan Surya Prayoga S.H. Bin R. Soeroto

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 saksi bersama dengan rekan polisi lainnya sedang melintas di pertigaan Tegalrejo Salatiga, kemudian melihat terdakwa dengan gelagat mencurigakan, kemudian terdakwa diamankan oleh saksi.

- Bahwa selanjutnya di lokasi tersebut saksi bersama rekan melakukan penggeledahan di tempat dan ditemukan barang bukti: 1 paket Narkotika jenis Shabu yang dibungkus dengan plastik klip warna bening bertuliskan Magic Lezat dan dibungkus lagi dengan menggunakan kertas yang bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan, 1

(38)

48 buah celana pendek bergaris, 1 buah handphone merek Nokia warna hitam Tipe RH 122 berikut simcard IM3. - Bahwa paket Shabu tersebut ditemukan pada terdakwa,

menurut pengakuan terdakwa adalah pesanan dari Sdr. Imam Surono yang terdakwa beli dari seseorang yang bernama Andri (DPO) dengan harga Rp.550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah).

- Bahwa saat penggeledahan di pertigaan Tegalrejo Salatiga disaksikan oleh warga sekitar yaitu Saksi Suprapto.

- Bahwa selanjutnya saksi bersama rekan dan terdakwa menuju kerumah terdakwa di Jl. Argorumekso Gang II No. 41 Kp. Ringinawe Kel. Ledok Kec. Argomulyo Kota Salatiga.

- Bahwa dalam penggeledahan di rumah terdakwa ditemukan barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang berisi air dan tutup diberi 2 lubang.

- Bahwa dalam penggeledahan di rumah terdakwa tersebut disaksikan pula oleh warga sekitar yaitu saksi Waluyo dan saksi Priyono.

- Bahwa dari penangkapan terdakwa, kepolisian melanjutkan penelusuran pelaku lainnya yaitu Sdr. Imam Surono.

(39)

49 Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan.

5) Saksi Suprapto Bin Marto Maki

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar jam 13.00 WIB di Jl. Veteran Pertigaan Tegalrejo Salatiga, saksi telah menyaksikan penggeledahan yang dilakukan anggota kepolisian kepada Terdakwa.

- Bahwa penggeledahan tersebut ditemukan: 1 paket Narkotika jenis Shabu yang dibungkus plastik klip warna bening bertuliskan Magic Lezat dan dibungkus lagi dengan kertas bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan, 1 buah celana pendek bergaris, 1 buah handphone merek Nokia tipe RH 122 berikut simcard IM3.

Atas keterangan tersebut, terdakwa membenarkan. 6) Saksi Ali Ashari Bin Tukari

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 saksi bersama rekan polisi lainnya sedang melintas di pertigaan Tegalrejo Salatiga, kemudian melihat terdakwa dengan gelagat mencurigakan, kemudian diamankan oleh saksi. - Bahwa selanjutnya di lokasi tersebut saksi bersama rekan

melakukan penggeledahan di tempat dan ditemukan barang bukti:

a. 1 paket Narkotika jenis Shabu yang dibungkus platik klip warna bening dan dibungkus lagi menggunakan

(40)

50 kertas bertuliskan Paramex ditemukan disaku celana bagian depan.

b. 1 satu buah celana pendek bergaris.

c. 1 buah handphone merek Nokia warna hitam Tipe RH 122 berikut simcard IM3.

- Bahwa paket Shabu yang ditemukan pada Terdakwa, menurut pengakuan terdakwa adalah pesanan dari Sdr. Imam Surono yang terdakwa beli dari seseorang yang bernama Andri (DPO) dengan harga Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah).

- Bahwa saat penggeledahan di pertigaan Tegalrejo disaksikan oleh warga sekitar yaitu saksi Suprapto.

- Bahwa dalam HP terdakwa ditemukan percakapan SMS antara Andri dan terdakwa tentang proses pemesanan Shabu.

- Bahwa dari penangkapan terdakwa kepolisian melanjutkan penelusuran pelaku lainnya yaitu Sdr. Imam Surono.

- Bahwa dalam proses penangkapan terhadap Sdr. Imam Surono, saksi memancing keberadaan Imam Surono menggunakan SMS, dengan ajakan bertemu untuk menyerahkan Shabu.

- Bahwa dari SMS yang bertuliskan “0,5 Depan SMP 9 sebelah kiri ada pot kotak 3 buah dibwh papan tulisan mari

(41)

51 buang sampah. U di pot kotak paling kiri” tersebut Sdr. Imam Surono terpancing dan akhirnya saksi dan rekan berhasil mengamankan Imam Surono bersama dengan Agus Pramono.

- Bahwa selanjutnya saksi bersama rekan dan terdakwa menuju ke rumah terdakwa di Jl. Argorumekso Gang II No. 41 Kp. Ringinawe Kel. Ledok Kec. Argomulyo Salatiga. - Bahwa dalam penggeledahan di rumah terdakwa ditemukan

barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 buah pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek YOU 1000 yang berisi air dengan tutup diberi 2 lubang.

- Bahwa penggeledahan di rumah terdakwa tersebut disaksikan pula oleh warga sekitar yaitu saksi Waluyo dan saksi Priyono.

- Bahwa pada saat pengecekan urine terdakwa juga terbukti menggunakan Narkotika.

Atas keterangan saksi tersebut, terdakwa membenarkan. 7) Saksi Imam Surono

- Bahwa pada bulan Oktober 2017, saksi bertemu dengan terdakwa ditawari oleh terdakwa untuk memakai Shabu lalu pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2017 sekitar pukul 18.30 WIB saksi dijemput terdakwa dan diajak kerumahnya dan

(42)

52 bersama-sama menggunakan Shabu bersama di rumah terdakwa.

- Bahwa kemudian saksi diberi 1 paket kecil Shabu oleh terdakwa secara gratis.

- Bahwa pada tanggal 7 Oktober 2017 saksi mengajak Sdr. Agus Pramono untuk menggunakan shabu pemberian terdakwa.

- Bahwa pada tanggal 9 Oktober 2017 saksi dihubungi terdakwa yang pada intinya menawari Shabu, kemudian saksi pesan kepada terdakwa kemudian saksi mentransfer uang sejumlah Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) ke rekening Bank BCA.

- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 15.30 WIB saksi dihubungi terdakwa melalui SMS bahwa Shabu sudah siap dan diminta untuk mengambil di Kaliwedok, Kalitaman sesuai dengan SMS dari terdakwa, namun karena keadaan mencurigakan kemudian tempat penyerahan diganti menjadi di depan SMP Negeri 9 Salatiga, namun setelah dilokasi ternyata sudah ada anggota kepolisian yang menghadang saksi dan Sdr. Agus Pramono. - Bahwa saksi tidak mengetahui bila yang mengirim SMS

adalah anggota polisi.

(43)

53 8) Saksi Agus Pramono

- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2010 saksi Imam Surono dihubungi oleh terdakwa melalui SMS bahwa Shabu sudah siap dan diminta untuk mengambil.

- Bahwa kemudian saksi Imam Surono mengajak saksi untuk ke Kaliwedok, Kalitaman sesuai SMS dari terdakwa, untuk mengambil Shabu, namun karena keadaan mencurigakan kemudian tempat penyerahan diganti menjadi di depan SMP Negeri 9 Salatiga, namun setelah di lokasi ternyata sudah ada anggota kepolisian yang menghadang saksi dan saksi Imam Surono.

Bahwa atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan. b. Fakta Persidangan

Selama persidangan berlangsung didapatkan banyak sekali fakta dari kasus ini antara lain:

- Bahwa terdakwa Bagas Dwitya Pradipta ditangkap pada hari Selasa tanggal 10 Oktober tahun 2017 pada pukul 13.00 WIB tepatnya di Pertigaan Tegalrejo, Jalan Veteran, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.

- Bahwa pada saat ditangkap, terdakwa membawa Shabu yang rencananya akan diberikan kepada saksi yang bernama Imam Surono Alias Boim.

(44)

54 - Bahwa sebelumnya saksi Imam Surono Alias Boim telah memesan Shabu kepada terdakwa, kemudian saksi Imam Surono Alias Boim menyerahkan uang sebesar Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) di rumah terdakwa, kemudian terdakwa mentransfernya ke rekening Bank BCA milik penjual.

- Bahwa Shabu tersebut terdakwa peroleh dari seseorang yang bernama Andri.

- Bahwa percakapan pemesanan Shabu kepada Andri telah menjadi barang bukti yang terlampir dalam berkas perkara.

- Bahwa pada bulan Oktober 2017 saksi Imam Surono Alias Boim bertemu dengan terdakwa dan ditawari oleh terdakwa untuk memakai Shabu, lalu pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2017 sekitar pukul 18.30 WIB saksi dijemput oleh terdakwa dan diajak ke rumah terdakwa dan menggunakan Shabu bersama di rumah terdakwa.

- Bahwa kemudian saksi Imam Surono diberi 1 paket Shabu secara gratis oleh terdakwa.

- Bahwa pada tanggal 7 Oktober 2017 saksi Imam Surono mengajak Sdr. Agus Pramono untuk menggunakan Shabu yang telah diberikan oleh terdakwa.

- Bahwa pada tanggal 9 Oktober 2017 saksi Imam Surono dihubungi oleh terdakwa yang pada intinya menawari Shabu, kemudian saksi Imam Surono memesan 1 paket Shabu kepada terdakwa, lalu saksi

(45)

55 Imam Surono memberikan uang sejumlah Rp. 550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) kepada terdakwa di rumah terdakwa kemudian terdakwa mentransfer uang tersebut ke rekening Bank BCA yang nama dan nomor pemilik rekeningnya terdakwa lupa. - Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 pukul 12.30 WIB

terdakwa diberi alamat untuk mengambil Shabu di jalan masuk pabrik Kievit di depan kuburan di bawah tiang listrik, kemudian terdakwa naik kendaraan umum turun di jalan masuk pabrik Kievit dan mengambil paket Shabu sesuai tempat yang sudah diberikan. - Bahwa setelah diambil, terdakwa berencana untuk menyerahkan

Shabu tersebut kepada saksi Imam Surono, namun terdakwa dihadang oleh saksi Ali Ashari, saksi Hendriawan, dan saksi Ahmad John Febri, di Pertigaan Tegalrejo Jalan Veteran, Salatiga, pada pukul 13.00 WIB dan dalam penangkapan tersebut diperoleh barang bukti berupa:

a. 1 paket Narkotika jenis Shabu yang dibungkus plastik klip warna bening bertuliskan Magic Lezat dan dibungkus lagi dengan kertas bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan;

b. 1 buah celana pendek bergaris;

c. 1 buah handphone merek Nokia warna hitam tipe RH 122 berikut simcard IM3.

(46)

56 - Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 15.30 para saksi Polisi mengirim pesan kepada saksi Imam Surono melalui

handphone terdakwa, bahwa Shabu sudah siap dan diminta untuk

mengambil di Kali Wedok, Kalitaman sesuai SMS yang ada pada

handphone terdakwa, namun saksi Imam Surono merasa curiga

dengan kehadiran anggota polisi kemudian tempat penyerahan diganti menjadi di depan SMP Negeri 9 Salatiga, selanjutnya setelah saksi Imam Surono dan Saksi Agus Pramono terpancing untuk datang ke lokasi, para saksi anggota polisi sudah siap untuk mengamankan saksi Imam Surono dan Saksi Agus Pramono. - Bahwa para saksi anggota polisi besama dengan Terdakwa juga

melakukan penggeledahan di rumah terdakwa di Jalan Argorumekso Gang II No. 41 Kp. Ringinawe Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Salatiga.

- Bahwa dalam penggeledagan di rumah terdakwa, ditemukan barang bukti berupa: 1 pak sedotan warna putih, 2 pivet kaca, 1 buah korek api gas warna biru, 1 buah botol minuman merek You C1000 yang berisi air dengan tutup diberi 2 lubang.

- Bahwa penggeledahan di rumah terdakwa tersebut disaksikan pula oleh warga sekitar yaitu saksi Waluyo dan saksi Priyono.

(47)

57 4) Tuntutan

Dalam tuntutan milik Jaksa Penuntut Umum memohon agar Majelis Hakim mengabulkan tuntutan bahwa terdakwa Bagas Dwitya Pradipta bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman” dan melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagaimana dalam surat dakwaan subsidair milik Jaksa Penuntut Umum.

Jaksa Penuntut Umum juga memohon agar Majelis Hakim menghukum terdakwa Bagas Dwitya Pradipta dengan pidana penjara selama 6 tahun penjara, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap di tahan, dan dengan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan.

Dalam pertimbangannya Jaksa Penuntut Umum memberikan hal yang dapat memberatkan dan meringankan tuntutan:

Hal yang memberatkan: perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika, terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum dalam perkara pencurian dalam keadaan yang memberatkan, sesuai dengan putusan No. 48/Pid.B/2017/PN.Slt tanggal 08 Juni 2017 dan dijatuhi pidana selama 1 tahun penjara.

(48)

58 Hal yang meringankan: terdakwa masih muda dan masa depannya masih panjang, terdakwa mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.

5) Pertimbangan Hakim

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan terdakwa terbukti melanggar Pasal 132 ayat (1) Jo. Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam pasal tersebut telah disebutkan bahwa pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tidak sependapat dengan batas minimum pemidanaan dalam pasal tersebut. Dasar pertimbangan hakim untuk menyatakan tidak sependapat adalah sebagai berikut:

a) Bahwa tujuan pemidanaan semata-mata bukan pembalasan melainkan bertujuan untuk mendidik dan membina agar terdakwa menyadari atau menginsyafi kesalahannya sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang baik dikemudian hari.

b) Bahwa dalam penegakan hukum ada 3 unsur yang selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, oleh karena itu manakala Hakim harus memilih diantara keadilan dan

(49)

59 kemanfaatan, maka pilihan haruslah pada keadilan. Demikian pula ketika harus memilih antara kemanfaatan dan/atau kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan.

c) Bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

d) Bahwa pertimbangan membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika salah satunya adalah untuk mengakomodir pemberantasan secara efektif terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi. e) Bahwa berdasarkan fakta dipersidangan Narkotika Golongan I yang

telah dibeli oleh saksi Imam Surono melalui perantara terdakwa dan akan diserahkan kepada saksi Imam Surono memiliki berat 0,329 gram.

Oleh karena terhadap terdakwa harus pula dibebani untuk membayar denda, maka apabila terdakwa tidak dapat membayar denda tersebut terhadap terdakwa diharuskan menggantinya dengan pidana penjara pengganti denda.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut serta dikaitkan pula dengan hal yang memberatkan dan yang meringankan yang akan dipertimbangkan kemudian, maka Majelis Hakim memandang cukup tepat

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat diberikan ialah pertama, Dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa, hakim dalam pertimbangannya harus lebih teliti lagi dalam menguraikan fakta

Berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu

58 Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan Anak dipersidangan bahwa Anak pencurian tersebut adalah sebanyak 3 (tiga) orang, Anak

Teori ini berdasarkan keyakinan hakim saja dikenal dengan istilah Conviction Intime.Jika pada pembuktian berdasarkan Undang-undang secara positif kewenangan hakim

Khususnya pada fokus permasalahan mengenai keyakinan hakim dalam putusan perkara perdata yang tidak hanya menggunakan kebenaran formiil saja dalam menjatuhkan

Berdasarkan Pasal 260 ayat 1 huruf (d) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan bahwa “ melakukan penyitaan terhadap Surat Izin

Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak Ang Menebabkan Korban Meninggal Dunia Berdasarkan Undang-UndangNomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Pada

Mahkamah arbitrase dapat menjatuhkan putusan berdasarkan putusan ex aquo et bono, yang lazim juga disebut compositeur. Putusan ini dijatuhkan menurut keadilan atau