• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

Lestari Ayu Laduni 11160970000026

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

MIKROTREMOR MENGGUNAKAN METODE HVSR (HORIZONTAL TO

VERTICAL SPECTRAL RATIO) PADA WILAYAH PULAU JAWA

BAGIAN TENGAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)

Oleh

Lestari Ayu Laduni 11160970000026

Jakarta, November 2020 Telah disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Ambran Hartono, M.Si NIP. 19710408 200212 1 002

Moh. Iqbal Tawakal, S.ST, M.Si NIP. 19890310 200911 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Fisika

Tati Zera, M.Si NIP. 19690608 200501 2 002

(3)
(4)
(5)

v

Telah dilakukan penelitian terhadap nilai ground shear strain berdasarkan data mikrotremor menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR). Penelitian bertujuan untuk membuat peta mikrozonasi daerah rawan bencana gempa bumi di wilayah Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan karakteristik dinamika tanah. Data mikrotremor diambil dari 129 titik pengukuran yang didapatkan dari GEOFON Data Archive. Data mikrotremor dianalisis menggunakan metode HVSR dengan software geopsy untuk menentukan frekuensi natural dan amplifikasi. Selanjutnya ditentukan nilai periode dominan, indeks kerentanan seismik, dan percepatan tanah maksimum yang didapatkan dari perhitungan empiris yang diusung oleh Fukushima dan Tanaka menggunakan data gempa bumi periode 1965-2018 dengan magnitudo ≥ 5 dan kedalaman 0-300 km. Nilai indeks kerentanan seismik dan nilai percepatan tanah maksimum digunakan untuk menghitung besarnya nilai GSS di wilayah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya nilai GSS wilayah Pulau Jawa bagian tengah berkisar antara 0,29 x 10-6 hingga 5,35 x 10-4. Nilai GSS terendah hampir tersebar ke seluruh area penelitian. Sedangkan untuk nilai GSS tertinggi berada pada daerah Kabupaten Wonosobo dan sekitarnya. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah pengkajian tanggap darurat dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana serta perencanaan bangunan tahan gempabumi.

Kata kunci: Ground Shear Strain, Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR),

(6)

vi

Research on the value of ground shear strain based on microtremor data using the Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) method had been finished. This study aims to create a microzonation map of earthquake-prone areas in the central part of Java Island based on the characteristics of soil dynamics. Microtremor data was taken from 129 measurement points obtained from the GEOFON Data Archive. Microtremor data were analyzed using the HVSR method with geopsy software to determine natural frequency and amplification. Furthermore, the value of the dominant period, the seismic vulnerability index, and the maximum ground acceleration is determined from the empirical calculations carried out by Fukushima and Tanaka using earthquake data for the 1965-2018 period with a magnitude ≥ 5 and a depth of 0-300 km. The seismic vulnerability index value and the maximum ground acceleration value are used to calculate the GSS value in the study area. The results showed that the value of the GSS in the central part of Java Island ranged from 0.32 x 10-6 to 5.3 x 10-4. The lowest GSS values were almost spread throughout the research area. Meanwhile, the highest GSS value was in Wonosobo Regency and its surroundings. Mitigation that we can do is to provide an assessment of emergency response and residents preparedness to deal with disasters and planning for earthquake resistant building designs.

Keywords: Ground Shear Strain, Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR), Maximum Ground Acceleration, Microtremor, Seismic Vulnerability Index.

(7)

vii

Puji serta syukur selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kasih dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS

GROUND SHEAR STRAIN BERDASARKAN DATA MIKROTREMOR

MENGGUNAKAN METODE HVSR (HORIZONTAL TO VERTICAL SPECTRAL RATIO) PADA WILAYAH PULAU JAWA BAGIAN TENGAH

sebagai salah satu bagian dari syarat untuk menyelesaikan studi sebagai Sarjana Sains di Program Studi Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan dari banyak pihak, baik bersifat morel maupun materiel. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Tati Zera, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ambran Hartono, M.Si selaku pembimbing I yang telah membimbing dan memotivasi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Moh. Iqbal Tawakal, S.ST, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu untuk membimbing dan mengarahkan sampai terselesaikannya skripsi ini.

5. Orang tua tercinta, Sri Sumarni dan Asep Rahmat Sobari yang telah memberikan dukungan morel dan materiel serta doa yang tiada henti dipanjatkan untuk keberhasilan dan kebahagiaan penulis.

6. Muhammad Arief Ruchiat, Tika Devi Widayanti, Lia Ambarwati, Kirana Eka Putri, dan seluruh sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan namanya satu

(8)

viii

7. Teristimewanya adalah untuk diri penulis sendiri. Terima kasih telah kuat, terima kasih telah sabar, terima kasih telah berjuang. Beribu maaf atas kesusahan, keluhan, masalah, serta kesedihan yang sering hadir. Tetap tersenyum, cintai semua orang, dan tetap semangat karena perjuangan masih panjang.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan diri di masa mendatang. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Jakarta, Oktober 2020 Penulis

Lestari Ayu Laduni NIM 11160970000026

(9)

ix

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Batasan Masalah ... 4 1.4 Tujuan Penelitian ... 5 1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 6

2.2 Gempa Bumi ... 7

2.3 Gelombang Seismik ... 11

2.3.1 Gelombang Badan (Body Wave) ... 12

2.3.2 Gelombang Permukaan ... 14

2.4 Mikrotremor ... 16

2.5 HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) ... 18

2.5.1 Faktor Amplifikasi ... 20

(10)

x

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2 Data dan Sumber Data ... 28

3.3 Pengolahan Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Frekuensi Natural Tanah dan Faktor Amplifikasi ... 33

4.1.1 Frekuensi Natural Tanah... 33

4.1.2 Faktor Amplifikasi ... 35

4.2 Periode Dominan ... 36

4.3 Indeks Kerentanan Seismik ... 38

4.4 Peak Ground Acceleration (PGA) ... 41

4.5 Ground Shear Strain ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

xi

Gambar 1.1 Perbedaan Sinyal Tremor Dan Gempa Bumi ... 3

Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Pulau Jawa ... 6

Gambar 2.2 Tektonik Indonesia ... 8

Gambar 2.3 Gelombang Primer ... 13

Gambar 2.4 Gelombang Sekunder ... 14

Gambar 2.5 Gelombang Love ... 15

Gambar 2.6 Gelombang Rayleigh ... 16

Gambar 2.7 Model Cekungan yang berisi material halus ... 19

Gambar 2.8 Konsep Dasar Amplifikasi Gelombang Seismik ... 21

Gambar 3.1 Data Hasil Pengukuran Mikrotremor pada Titik Pengamatan CH1 ... 29

Gambar 3.2 Kurva Hubungan H/V dengan Frekuensi pada Titik Pengamatan CH1 ... 29

Gambar 4.1 Peta Persebaran Titik Pengukuran Mikrotremor ... 32

Gambar 4.2 Peta Sebaran Nilai Frekuensi Natural (f0) ... 34

Gambar 4.3 Peta Sebaran Nilai Faktor Amplifikasi (A0) ... 36

Gambar 4.4 Peta Sebaran Nilai Periode Dominan (T0) ... 37

Gambar 4.5 Peta Sebaran Nilai Indeks Kerentanan Seismik (Kg) ... 40

Gambar 4.6 Peta Sebaran Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PGA) ... 41

(12)

xii

Tabel 2.1 Skala Intensitas Gempa Bumi MMI... 10

Tabel 2.2 Skala Intensitas Gempa Bumi BMKG ... 11

Tabel 2.3 Sumber-sumber Mikrotremor Berdasarkan Nilai Frekuensi ... 17

Tabel 2.4 Klasifikasi Nilai Faktor Amplifikasi ... 22

Tabel 2.5 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Nilai Frekuensi Perdominan Mikrotremor ... 23

Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Kanai–Omote–Nakajima ... 24

Tabel 2.7 Nilai Strain dan Dinamika Tanah ... 27

Tabel 4.1 Katalog gempa bumi merusak di wilayah penelitian periode 1965-2018 ... 39

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Perhitungan ... 51 Lampiran 2: Hasil Perhitungan Karakteristik Dinamika Tanah ... 53 Lampiran 3: Data Kejadia Gempa Bumi di Daerah Penelitian Periode

1965-2018 ... 57 Lampiran 4: Kurva H/V Hasil Pengolahan Sinyal Mikrotremor ... 61 Lampiran 5: Proses Pengolahan Data Mikrotremor Menggunakan Software

(14)

1

1.1 Latar Belakang

Gempa bumi menjadi salah satu bencana alam paling dahsyat karena dapat mengakibatkan kerusakan besar dalam waktu yang singkat. Selain menghancurkan harta benda, gempa bumi juga kerap kali merenggut jiwa manusia. Secara historiografi Indonesia termasuk ke dalam negara langganan gempa bumi dan tsunami. Hal ini dipicu oleh lokasi geografis Indonesia yang berada di kawasan pertemuan antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara, lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan, dan lempeng pasifik yang bergerak dari timur ke barat (Hermon, 2015). Salah satu hasil dari pertemuan lempeng ini adalah peristiwa subduksi atau tunjaman, yaitu kondisi di mana salah satu lempeng tektonik menunjam ke bawah lempeng tektonik lainnya. Peristiwa tunjaman ini dicirikan dengan adanya aktivitas gempa bumi. Zona subduksi ini membentuk jalur yang membentang sepanjang tidak kurang dari 5.600 km yang bermula di Andaman hingga ke Busur Banda Timur. Jalur kemudian menerus ke wilayah Maluku hingga Sulawesi Utara. Daerah-daerah sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur serta Maluku menjadi wilayah yang rawan gempa bumi dan tsunami.

Gempa bumi merupakan peristiwa guncangan atau getaran yang terjadi di permukaan bumi yang menyebabkan bergesernya tanah karena adanya aktivitas tektonik di dalam tanah. Karena secara umum ikatan partikel mineral di bawah permukaan lemah, peristiwa bergesernya tanah ini secara tidak langsung dapat memengaruhi bentuk dan struktur muka bumi. Sehingga dengan adanya guncangan dan tekanan yang disebabkan oleh gempa bumi mengakibatkan tanah menjadi mudah berubah.

(15)

Efek utama yang ditimbulkan oleh gempa bumi adalah kerusakan struktur bangunan, baik yang berupa bangunan perumahan warga, gedung bertingkat, serta fasilitas dan infrastruktur umum yang disebabkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan yang ditimbulkan bergantung pada kekuatan dan kualitas bangunan, besar magnitudo gempa, kedalaman sumber gempa bumi, jarak hiposenter gempa bumi, serta durasi getaran gempa bumi (Irsyam et al., 2010). Selain itu, kondisi geologi juga turut andil dalam menentukan intensitas gempa bumi. Berdasarkan beberapa gempa bumi yang bersifat merusak di dunia, dataran alluvial mengalami kerusakan lebih serius dibandingkan dengan daerah perbukitan (Nakamura et al., 2000).

Pada dasarnya gempa bumi yang terjadi tidak bisa dicegah, akan tetapi ada upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerusakan. Korban yang ditimbulkan akibat gempa bumi baik yang meninggal ataupun luka-luka pada umumnya disebabkan oleh bangunan yang runtuh. Runtuhnya bangunan disebabkan konstruksi bangunan yang tidak memenuhi aturan dasar yang telah ditentukan atau mengabaikan faktor tingkat bahaya gempa bumi di lingkungan setempat, termasuk faktor keadaan struktur tanah permukaan dan ketebalan sedimen di atas batuan dasar (Muzli et al., 2016). Oleh karenanya sangat diperlukan upaya guna mengurangi risiko kerusakan parah dampak guncangan gempa bumi, salah satu upaya yang dapat diperbuat adalah memetakan daerah-daerah rawan bencana gempa bumi di wilayah Pulau Jawa bagian tengah dengan menggunakan data mikrotremor.

Dalam mengkaji prediksi tingkat kerusakan akibat gempa bumi, metode mikrotremor menjadi salah satu cara yang telah sering digunakan dalam beberapa penelitian karena metode ini dinilai sangat baik dan tepat untuk memperhitungkan tingkat risiko yang diakibatkan oleh aktivitas seismik pada kondisi geologi setempat. Pada dasarnya, bentuk getaran gempa bumi dengan tremor yang terekam pada seismograf cukup mudah untuk dibedakan. Bentuk getaran tremor adalah persisten, tidak dapat dipastikan dengan jelas awal mula getarannya.

(16)

Sedangkan pada gempa bumi, kemunculan getarannya begitu tiba-tiba dan dalam bentuk getaran yang besar.

Gambar 1.1 Perbedaan sinyal tremor dan gempa bumi (Ibrahim dan Subardjo, 2004)

Pulau Jawa memiliki karakteristik fisik yang bervariasi. Hal tersebut tidak terlepas dari proses geologi yang dialami maupun yang terjadi di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, umumnya bagian tengah, terdapat beberapa gunung api aktif yang tumbuh pada zona lemah yang kemudian dikenal dengan busur gunung api. Selain itu, terdapat pula tumbukan lempeng tektonik yang berdampak pada terjadinya pengangkatan dan perlipatan lapisan geologi. Peristiwa ini menjadi pemicu pembentukan pulau, sehingga menciptakan geomorfologi yang lebih bervariasi seperti dataran landai, perbukitan, serta dataran tinggi. Kondisi yang demikian menjadikan Pulau Jawa memiliki potensi ancaman bencana alam.

Diperlukan sarana guna meningkatkan respons terhadap bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa, salah satunya dengan perencanaan wilayah serta komunikasi kritis untuk menyampaikan informasi terkait risiko bahaya bencana gempa bumi. Hal tersebut termasuk ke dalam bentuk mitigasi bencana. Menurut

(17)

Bakornas PBP (2007) mitigasi bencana adalah segala usaha untuk mengatasi risiko bencana, baik dengan cara pembangunan fisik, penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Selain itu, upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah mikrozonasi gempa bumi. Peta tersebut disusun berdasarkan data survei mikrotremor dan data gempa bumi atau data seismisitas selama beberapa puluh tahun, bahkan ratusan tahun. Kedua sumber data tersebut kemudian diolah dan dianalisis melalui beberapa tahapan sehingga didapatkan gambaran karakteristik dinamika tanah seperti indeks kerentanan seismik (Kg), nilai percepatan tanah maksimum (a), dan ground shear strain ( ). Kirbani dan Widigda (2006) mengungkapkan bahwa dengan memanfaatkan nilai-nilai tersebut, sebaran tingkat risiko bencana gempa bumi di suatu wilayah tertentu dapat diketahui. Mengolah dan menganalisis data mikrotremor menggunakan metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) dapat memberikan hasil yang dapat digunakan untuk mengetahui harga GSS (Ground Shear Strain), dimana GSS merupakan kemampuan suatu lapisan tanah untuk meregang dan menggeser apabila terjadi gempa bumi (Nakamura, 2000). Analisis HVSR menghasilkan sebuah kurva yang dapat memberikan informasi berupa frekuensi dominan (fo) dan faktor amplifikasi (A) yang menggambarkan karakteristik dinamis tanah di wilayah tempat pengukuran (Nakamura, 2000).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Berapakah nilai ground shear strain di wilayah Pulau Jawa bagian tengah? 2. Bagaimana pola distribusi mikrozonasi nilai frekuensi natural (f0), amplifikasi

(A), periode dominan, (T0), indeks kerentanan tanah (Kg), percepatan tanah maksimum (a), dan ground shear strain ( ) di Pulau Jawa Bagian Tengah? 1.3 Batasan Masalah

(18)

1. Penelitian tugas akhir ini mencakup wilayah Pulau Jawa bagian tengah.

2. Pengolahan dan analisis data menggunakan metode HVSR melalui software Geopsy guna mendapatkan nilai frekuensi natural dan amplifikasi.

3. Dalam menentukan nilai percepatan tanah maksimum (PGA) digunakan data gempa bumi selama 53 tahun dari 1965-2018 dengan magnitudo 5,0 SR dan kedalaman 0-300 km yang didapat dari katalog gempa bumi milik USGS. Metode perhitungan empiris yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode Fukushima dan Tanaka.

4. Informasi mikrozonasi daerah rawan gempa bumi yang disajikan dalam penelitian hanya terbatas pada peta zonasi frekuensi natural, amplifikasi, periode dominan, indeks kerentanan tanah, nilai percepatan tanah maksimum (PGA), dan ground shear strain.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, antara lain:

1. Menentukan sebaran nilai ground shear strain di wilayah Pulau Jawa bagian tengah.

2. Membuat pola distribusi ground shear strain ( ) dan karakteristik dinamika tanah di Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan nilai frekuensi natural (f0), amplifikasi (A), periode dominan (T0), indeks kerentanan tanah (Kg), serta percepatan tanah maksimum (a),.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi manfaat berupa informasi karakteristik dinamika tanah wilayah Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan nilai frekuensi natural, faktor amplifikasi, periode dominan, indeks kerentanan tanah, percepatan tanah maksimum, dan ground shear strain. Selain itu, peta mikrozonasi dapat dijadikan informasi dan pegangan untuk pihak-pihak terkait terhadap mikrozonasi daerah rawan gempa bumi di Pulau Jawa bagian tengah.

(19)

6

2.1 Deskripsi Daerah Penelitian

Menurut Bemmelen (1970), Pulau Jawa dibagi menjadi empat bagian utama berdasarkan fisiografi dan strukturnya, yaitu: sebelah barat Cirebon (Jawa Barat), Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang), Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya), serta cabang sebelah timur Pulau Jawa yang meliputi Selat Madura dan Pulau Madura yang merupakan bagian sempit di antara bagian yang lain di Pulau Jawa.

Struktur geologi Pulau Jawa yang memiliki pola terstruktur dapat digunakan untuk mempelajari bagaimana perkembangan tektonik di Pulau Jawa. Secara geologi Pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, penyesaran, perlipatan, dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Berdasarkan data gaya berat, pola struktur Pulau Jawa memperlihatkan adanya tiga arah utama, yaitu arah Timur Laut–Barat Daya (NE–SW) yang disebut pola Meratus, arah Utara–Selatan (N–S) atau pola Sunda, dan arah Timur–Barat (E–W).

Gambar 2.1 Pembagian fisiografi Pulau Jawa (Bemmelen, 1949), lokasi penelitian termasuk ke dalam Pulau Jawa bagian tengah (kotak merah).

(20)

Meskipun Pulau Jawa dan Sumatera memiliki kedudukan yang sama dalam tektonik regionalnya, yaitu adanya interaksi konvergen pada sebagian tepi lempeng Mikro Sunda dengan kerak samudera dari lempeng Hindia-Australia, namun tatanan dan struktur geologi yang menyusun Pulau Jawa menunjukkan sifat yang lebih kompleks daripada Pulau Sumatera. Adanya jejak jalur subduksi Kapur Paleosen yang memotong serong Pulau Jawa dengan arah timur laut-barat daya menjadi salah satu penyebab kompleksnya tatanan geologi di Pulau Jawa. Sedangkan Pulau Jawa sendiri mempunyai arah yang paralel dengan jalur subduksi Tersier.

Penelitian ini berlokasi di Pulau Jawa, tepatnya di bagian tengah dengan batas wilayah 5°33’40”-8°33’32” LS dan 109°29’24”-111°39’14” BT yang mencakup 38 kota dan kabupaten. Kondisi geologi di wilayah penelitian begitu kompleks dan beragam sebab tersusun dari banyak sekali bentuk formasi batuan. Namun berdasarkan Gambar 2.1, dapat diketahui bahwa secara umum terdapat 7 zonasi formasi batuan yang menyusun Pulau Jawa, di antaranya: ada zona Pegunungan Selatan, Zona Vulkanik Gunung api, Depresi Jawa Tengah-Randublatung yang terbagi menjadi Depresi Bandung di bagian barat dan Depresi Solo di timur, Zona antiklin tengah dengan perbukitan Kendeng yang memanjang dari barat ke timur, Zona Antiklin Rembang-Madura, serta Zona Dataran rendah aluvial berbentuk delta yang menghiasi pemandangan pesisir utara (Pantura).

2.2 Gempa Bumi

Gempa bumi menjadi salah satu bencana alam yang paling membahayakan bagi umat manusia karena kedatangannya tidak dapat diprediksi dan dapat menyebabkan kehancuran semua yang ada di muka bumi ini baik harta, benda, dan manusia. Menurut BMKG (2013) gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi di dalam bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Peristiwa ini ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi sehingga dapat menimbulkan getaran. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut kemudian berakumulasi yang kemudian menjadi penyebab terjadinya gempa bumi. Energi berupa gelombang

(21)

gempa bumi dipancarkan ke segala arah yang kemudian memberikan efek getaran yang dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi. Gempa bumi sangat mudah dijumpai di Indonesia, mengingat Indonesia berada di pertemuan tiga buah lempeng tektonik yang membentuk jalur-jalur gempa dan jalur vulkanisme yang memberikan dampak begitu besar terhadap distribusi penyebaran gempa di Indonesia.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya gempa bumi di antaranya seperti jatuhan meteor, aktivitas vulkanik, pergerakan lempeng tektonik, longsoran, runtuhan-timbunan batuan di penambangan-penambangan, ledakan nuklir bawah tanah dan lain-lain (Boen, 1985). Gempa tektonik merupakan gempa bumi yang perlu mendapatkan perhatian karena mempunyai pengaruh yang sangat mengerikan. Akibat yang didapat dari gempa bumi tektonik dapat menimbulkan pergeseran sepanjang bidang patahan dengan kisaran 1-10 m dan umumnya 0,2-0,8 m (Bray et al., 1994). Pusat-pusat gempa bumi tektonik berkaitan erat dengan tempat-tempat yang sering terjadi pergerakan pada kulit bumi yaitu di zona subduksi dan patahan (Katili, 1986).

Gambar 2.2 Tektonik Indonesia (Katili, 1973)

Kejadian-kejadian gempa bumi seringkali digambarkan oleh parameter-parameter yang mengikutinya. Parameter yang dimaksud adalah parameter-parameter gempa

(22)

bumi yang merupakan nilai numerik dan kegempaan yang dapat dikaitkan dengan kegempaan di suatu wilayah. Parameter tersebut ialah tanggal, waktu sesungguhnya, koordinat episenter (latitude dan longitude geography), focal

depth, magnitudo, dan intensitas maksimum. Intensitas di sini menyatakan ukuran

kekuatan guncangan gempa bumi berdasarkan atas efek yang terekam (observed) di lapangan. Skala yang digunakan secara internasional adalah MMI (Modified

Mercally Intensity) yang menyatakan klasifikasi kekuatan guncangan gempa

dalam angka romawi (I, II, II, IV, dst). Selain itu BMKG juga memiliki standar skala intensitas gempa tersendiri yang dinamakan Skala Intensitas Gempa (SIG). Ada juga parameter lain yang mempunyai peranan yang sangat besar yaitu dimensi sesar, orientasi momen seismik, serta pergerakan tanah yang terekam (Boen, 1985). Untuk percepatan tanah yang dimaksud adalah harga percepatan tanah yang terjadi akibat gempa bumi pada suatu daerah tertentu dengan satuan cm/det2 atau gal (g).

(23)
(24)

Tabel 2.2 Skala Intensitas Gempa Bumi BMKG

Kedalaman gempa bumi memiliki pengaruh terhadap kerusakan yang timbul di permukaan. Gempa bumi terbagi menjadi beberapa jenis. Berdasarkan kedalaman, gempa bumi diklasifikasikan menjadi gempa bumi dangkal, gempa bumi menengah, dan gempa bumi dalam. Gempa bumi dangkal adalah gempa bumi yang memiliki jarak pusat titik gempa ≤ 60 km dari permukaan bumi. Pada gempa dangkal total energi yang dilepaskan ke permukaan bumi adalah tiga perempatnya. Gempa bumi dangkal ini biasanya menimbulkan kerusakan parah. Gempa bumi menengah memiliki jarak hiposentrum berkisar antara 60 km sampai 300 km dari permukaan bumi. Umumnya getaran gempa bumi menengah ini dapat dirasakan dan memiliki potensi menimbulkan kerusakan ringan. Sedangkan gempa bumi dalam memiliki hiposentrum yang berada di kedalaman lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi. Semakin dalam jarak hiposentrumnya, semakin kecil risiko bahaya yang ditimbulkannya.

2.3 Gelombang Seismik

Gelombang seismik termasuk ke dalam salah satu jenis gelombang elastis yang merambat di dalam bumi melalui lapisan batuan. Febriani (2013)

(25)

mengemukakan bahwa dalam penjalarannya, gelombang seismik dapat mengubah energi menjadi pergerakan partikel batuan dan sebaliknya, dapat mentransfer pergerakan partikel batuan menjadi energi. Pelepasan energi tegangan secara tiba-tiba oleh retakan pada bagian tepi lempeng tektonik menjadi penyebab utama dari aktivitas gempa. Hal ini mengakibatkan getaran yang menjalar pada bagian bumi dalam bentuk gelombang. Gelombang seismik membutuhkan medium dalam proses penjalarannya serta partikel dari medium tersebut yang saat gelombang melewatinya akan mengalami osilasi. Perambatan gelombang seismik dalam lapisan bumi memiliki prinsip yang serupa dengan penjalaran gelombang cahaya, yaitu pembiasan koefisien bias, pemantulan dengan koefisien pantul, hukum-hukum Fermat, Huygens, Snellius, dan yang lainnya (BMKG, 2012). Ada dua jenis gelombang utama gempa bumi, yaitu gelombang badan (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave).

2.3.1 Gelombang Badan (Body Wave)

Gelombang badan (body wave) sering juga dikenal sebagai free wave karena gelombang ini menjalar ke segala arah melalui bagian dalam bumi. Gelombang badan terbagi lagi ke dalam dua jenis menurut arah penjalaran dan gerak partikelnya, yaitu:

a. Gelombang Primer

Gelombang primer P merupakan gelombang longitudinal atau gelombang kompresional yang partikelnya bergerak sejajar dengan arah perambatannya. Gelombang ini bisa menjalar melalui medium padat, cair, dan gas. Dibandingkan gelombang lain, gelombang P merupakan gelombang yang memiliki kecepatan paling tinggi sehingga gelombang ini tercatat paling awal terdeteksi oleh alat pencatat gempa.

(26)

Gambar 2.3 Gelombang Primer (Elnashai dan Sarno, 2008)

Kecepatan gelombang primer P bergantung pada konstanta Lame ( ), rigiditas ( ), modulus Bulk (K), dan densitas ( ) medium yang dilalui. Untuk memperoleh kecepatan gelombang dapat dibuat anggapan bahwa massa batuan memiliki sifat homogen dan isotropik (properti elastik batuan sama untuk segala arah). Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.1)

b. Gelombang Sekunder

Gelombang sekunder S atau biasa disebut sebagai gelombang transversal atau shear adalah gelombang seismik yang arah rambat dan getarannya tegak lurus dengan arah gerak batuan yang dilalui. Gelombang transversal hanya menjalar pada medium padat dan tidak bisa menjalar pada medium yang tidak memiliki elastisitas seperti halnya medium cair dan gas.

(27)

Gambar 2.4 Gelombang Sekunder (Elnashai dan Sarno, 2008)

Selain itu, gelombang sekunder juga memiliki efek geser yang mana dapat dilihat dari perubahan wujud partikel yang membuat partikel sesekali tegak, miring ke kanan, miring ke kiri, dan seterusnya (seperti pada gambar 2.4). Apabila suatu elemen berubah bentuk akibat geser, maka pada elemen bersangkutan akan terjadi regangan geser dan tegangan geser. Persamaan besar kecepatan gelombang S dapat dinyatakan sebagai berikut:

(2.2)

2.3.2 Gelombang Permukaan

Gelombang permukaan (surface wave) merupakan gelombang elastik kompleks yang merambat di sepanjang permukaan bumi. Gelombang P merupakan gelombang kompleks yang memiliki nilai frekuensi rendah dengan nilai amplitudo yang besar saat terjadi perambatan sebab berada di permukaan bebas, yang mana permukaan antara bumi dengan udara dianggap sebagai ruang hampa. Perambatan gelombang P lebih lamban namun dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan. Gelombang permukaan terdiri dari gelombang Love dan

(28)

a. Gelombang Love

Gelombang Love merupakan gelombang permukaan yang menjalar dalam bentuk gelombang transversal dan merupakan gelombang S horisontal yang arah penjalarannya paralel dengan permukaan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5, gelombang ini memiliki efek geser tegak lurus dengan arah horisontal terhadap rambatan gelombang di permukaan tanah dan gerakannya tidak ada yang bersifat vertikal. Menurut Pawirodikromo (2012), gelombang ini mencapai efek maksimum pada permukaan tanah dan akan semakin kecil efeknya apabila semakin dalam dari permukaan. Kecepatan penjalaran gelombang love besarnya bervariasi selama penjalaran dan bergantung panjang gelombangnya. Secara umum kecepatan gelombang love dinyatakan sebagai VR < VQ < VS.

Gambar 2.5 Gelombang Love (Elnashai dan Sarno, 2008)

b. Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh merupakan gelombang yang merambat pada permukaan bebas dengan medium homogen dan berlapis. Adanya interferensi antara gelombang tekan dengan gelombang geser secara konstruktif yang menyebabkan terbentuknya gelombang Rayleigh. Gerak partikel gelombang ini adalah eliptik retrograd dengan sumbu mayor elips tegak lurus dengan permukaan dan arah penjalarannya (Telford et al., 1990). Seperti pada Gambar 2.6, gelombang ini merupakan gabungani dari gerak partikel gelombang P dan SV, dimana dapat membuat sebagian pergeseran permukaan dalam arah

(29)

perambatannya serta sebagian lagi dalam bidang vertikal, sehingga gelombang

Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismograf.

Gelombang Rayleigh menjalar dengan kecepatan sekitar 2,0-4,2 km/s di dalam bumi, dengan besar amplitudo yang mengecil secara eksponensial sebagai fungsi kedalaman (Hidayati, 2010). Dengan persamaan Elnashai & Sarno (2008), kecepatan gelombang Rayleigh dapat dituliskan sebagai berikut:

√ (2.3)

dimana merupakan kecepatan gelombang Rayleigh dan adalah kecepatan gelombang geser.

Gambar 2.6 Gelombang Rayleigh (Elnashai dan Sarno, 2008)

2.4 Mikrotremor

Mikrotremor merupakan getaran tanah yang merambat dalam bentuk gelombang yang disebut dengan gelombang mikroseismik. Mikroseismik sendiri adalah getaran harmonik alami di bawah permukaan tanah yang terjadi secara persisten yang mengakibatkan gelombang terperangkap dalam lapisan sedimen dan terpantulkan karena adanya bidang batas lapisan dengan frekuensi tetap yang diakibatkan oleh getaran mikro dan aktivitas alam ataupun buatan di bawah permukaan tanah.

Frekuensi yang dimiliki oleh mikrotremor lebih tinggi dibandingkan dengan gempa bumi yang mana besar periodenya ≤ 0,1 detik dimana umumnya berkisar antara 0,05 sampai dengan 2 detik. Untuk periode panjang, periode

(30)

mikrotremor dapat menyentuh 5 detik dengan amplitudo berkisar 0,1 sampai 2,0 mikron (Sutrisno, 2014). Aktivitas manusia juga dapat memicu getaran yang berpengaruh terhadap sinyal mikrotremor, namun pengaruh yang diberikan akan sangat kecil terhadap mikrotremor yang memiliki frekuensi di bawah 0,1 Hz dan juga sebaliknya. Sumber mikrotremor yang bersumber dari alam seperti gelombang laut dan kondisi mitiorologi dengan skala luas mempunyai besar frekuensi yang rendah (≤ 1 Hz). Untuk frekuensi sedang dengan kisaran nilai antara 1 sampai 5 Hz, kondisi meteorologi lokal atau aktivitas manusia seperti gerak kendaraan dan kepadatan penduduk bisa menjadi sumbernya. Sedangkan untuk frekuensi tinggi (di atas 5 Hz), sumber utama mikrotremor adalah aktivitas manusia. Gutenberg dan Asten mencetuskan klasifikasi jenis sumber mikrotremor berdasarkan frekuensinya yang dituliskan pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Sumber-sumber mikrotremor berdasarkan nilai frekuensi (Gutenberg, 1958) dan (Asten, 1978)

Mikrotremor memiliki kaitan yang erat dengan kondisi struktur bawah tanah pada daerah yang menjadi wilayah penelitian guna mengetahui bagaimana struktur bawah permukaan tanah. Menurut Nakamura (2000), hasil pengukuran mikrotremor dapat digunakan untuk mengetahui sifat getaran dalam lapisan di bawah permukaan tanah. Data mikrotremor juga dapat dipakai untuk membuat peta mikrozonasi. Mikrozonasi seismik merupakan pembagian daerah menjadi beberapa kelompok zona berdasarkan karakteristik geologi setempat, sehingga ancaman seismik di lokasi dapat diidentifikasi yang selanjutnya dapat dipakai untuk mitigasi kebencanaan daerah. Ada beberapa parameter yang dapat diukur dengan menggunakan metode mikrotremor, di antaranya adalah frekuensi

(31)

dominan ( ) dan faktor amplifikasi ( ), serta turunan kedua parameter tersebut yaitu indeks kerentanan seismik ( ).

2.5 HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio)

Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectral Ratio) dikembangkan oleh Nakamura (1989) dengan anggapan bahwa gelombang geser adalah gelombang yang mendominasi sinyal mikrotremor dengan mengabaikan gelombang permukaan. HVSR diduga memiliki persamaan dengan fungsi transfer antara getaran gelombang pada sedimen dan batuan dasar yang berarti amplitudo dan frekuensi peak HVSR mewakili frekuensi dan amplifikasi daerah setempat. Namun asumsi yang disampaikan Nakamura et al., (1989) masih diperdebatkan oleh para ahli.

Arai dan Tokimatsu (1998; 2000) serta Castellaro dan Mulargia (2009) memaparkan bahwasanya gelombang permukaan turut berkontribusi pada pembentukan kurva HVSR yang kemudian dipertegas oleh Bonnefoy-Claudet et

al., (2006) bahwa kurva HVSR terbentuk atas gabungan gelombang permukaan,

yaitu Rayleigh dan Love dengan perbandingan tertentu. Hal ini dikarenakan sumber sinyal mikrotremor dapat berasal dari gelombang laut, angin, getaran dari aktivitas gunung, serta getaran akibat aktivitas manusia.

Metode HVSR kerap digunakan lantaran dinilai ekonomis dan efektif untuk meninjau karakteristik dinamika lapisan tanah permukaan pemicu terjadinya local site effect saat gempa bumi terjadi. Untuk menggambarkan site

effect (TSITE) pada lapisan permukaan dapat dilakukan dengan cara mencari rasio

spektrum (TH) antara komponen horisontal rekaman seismogram pada lapisan sedimen (SHS) dengan komponen horisontal rekaman seismogram pada batuan keras (SHB).

(32)

(2.4)

Gambar 2.7 Model cekungan yang berisi material halus (Slob, 2007)

Umumnya ada banyak jenis gelombang yang menyusun data mikrotremor, namun gelombang utama yang menyusunnya adalah gelombang Reyleigh yang menjalar pada lapisan sedimen di atas batuan dasar. Maka efek gelombang

Reyleigh (TV) hanya berpengaruh pada spektrum komponen vertikal di lapisan

sedimen (SVS) dan tidak terdapat pada spektrum komponen vertikal di batuan dasar (SVB).

(2.5)

Saat sinyal mikrotremor berada pada rentang 0,2 Hz sampai dengan 20 Hz, pengaruh gelombang Rayleigh memiliki besar yang sama pada komponen vertikal dan horisontalnya. Hal ini membuat nilai rasio spektrum antara komponen horisontal dan vertikal di batuan dasar mendekati nilai satu, maka dari itu gangguan dari efek gelombang Rayleigh dapat dieliminasi sehingga hanya menyisakan efek yang dipengaruhi oleh keadaan geologi setempat atau site effect (TSITE).

(33)

Ada dua elemen horisontal yang terukur di lapangan, yakni elemen horisontal utara-selatan dan elemen horisontal barat-timur. Kedua data horisontal digabungkan menggunakan aturan Pythagoras dalam fungsi frekuensi yang dituliskan dalam persamaan berikut:

√ ( ) ( )

(2.7)

Persamaan (2.7) menjadi dasar dalam perhitungan rasio spektrum mikrotremor elemen horisontal terhadap elemen vertikal. Dari analisis HVSR akan menghasilkan spektrum mikrotremor, dimana puncak spektrum menunjukkan besar nilai frekuensi naturalnya. Frekuensi natural ( ) dan amplifikasi (A) adalah parameter yang didapatkan untuk menggambarkan informasi karakteristik dinamika lapisan tanah permukaan (Nakamura, 2000).

2.5.1 Faktor Amplifikasi

Amplifikasi merupakan bentuk reaksi lapisan batuan terhadap gelombang gempa bumi. Faktor amplifikasi menggambarkan penguatan gelombang seismik yang terjadi akibat kontras yang tinggi antar lapisan. Gelombang seismik akan mengalami penguatan ketika menjalar dari satu medium ke medium lain yang lebih lunak dari medium yang telah dilalui sebelumnya. Semakin besar perbedaan parameter itu, semakin besar pula perbesaran yang dialami oleh gelombang tersebut.

Konsep dasar dari amplifikasi gelombang seismik adalah adanya batuan sedimen yang berada di atas batuan dasar dengan disimilasi densitas dan kecepatan pada lapisan sedimen serta kecepatan lapisan batuan dasar yang lebih dominan (Gambar 2.8).

(34)

Gambar 2.8 Konsep dasar amplifikasi gelombang seismik (Widodo Pawirodikromo, 2012)

Nilai amplifikasi pada suatu tanah memiliki hubungan dengan perbandingan perbedaan impedansi antara lapisan permukaan dan lapisan di bawahnya. Semakin tinggi kontras perbandingan impedansi kedua lapisan tersebut, semakin tinggi pula faktor penguatannya (Nakamura, 2000). Bila dikaitkan antara fungsi perbandingan kontras impedansi, maka nilai amplifikasi dapat dituliskan sebagai suatu persamaan:

(2.8)

dimana merupakan faktor amplifikasi, adalah densitas batuan dasar (m/s), merupakan kecepatan rambat gelombang di batuan dasar (m/s), adalah densitas batuan sedimen (m/s), serta adalah besar kecepatan rambat gelombang batuan sedimen (m/s).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi besarnya nilai amplifikasi, di antaranya adalah ragam formasi geologi setempat, ketebalan sedimen, sifat-sifat fisika lapisan tanah dan batuan, serta besarnya nilai frekuensi natural tanah. Ratdomopurbo dalam Setiawan (2009) telah mengklasifikasikan faktor amplifikasi menjadi empat zona, yaitu zona rendah, zona sedang, zona tinggi, dan zona sangat tinggi.

(35)

Tabel 2.4 Klasifikasi nilai faktor amplifikasi (Setiawan, 2009)

Zona Klasifikasi Nilai Faktor Amplifikasi

1 Rendah A < 3

2 Sedang 3 ≤ A < 6

3 Tinggi 6 ≤ A < 9

4 Sangat Tinggi A ≥ 9

2.5.2 Frekuensi Natural

Frekuensi natural merupakan frekuensi dominan yang seringkali muncul sehingga dianggap sebagai nilai frekuensi dari batuan di suatu wilayah. Nilai frekuensi natural dapat mempresentasikan jenis dan karakteristik batuan di wilayah tersebut. Frekuensi natural juga memiliki hubungan dengan kedalaman bidang pantul yang merupakan batas antara sedimen dan batuan keras bagi gelombang di bawah permukaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil frekuensi yang terbentuk, maka semakin tinggi ketebalan sedimennya atau semakin dalam bidang pantul gelombangnya. Putri (2016) mengemukakan bahwa rendahnya nilai frekuensi dapat meningkatkan kerentanan terhadap guncangan gempa bumi dengan periode yang panjang.

Telah dilakukan uji simulasi oleh Lachet dan Brad (1994) dimana 6 model struktur geologi sederhana dengan kombinasi variasi kontras kecepatan gelombang geser dan ketebalan lapisan soil menghasilkan puncak frekuensi yang berubah terhadap variasi kondisi geologi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5.

(36)

Tabel 2.5 Klasifikasi tanah berdasarkan nilai frekuensi perdominan mikrotremor oleh Kanai (Arifin et al., 2014)

Selain dengan kedalaman lapisan sedimen, frekuensi natural juga memiliki hubungan dengan periode dominan tanah. Periode dominan sendiri adalah waktu yang diperlukan untuk merambat melewati lapisan sedimen permukaan atau mengalami satu kali pemantulan terhadap bidang pantulnya di permukaan (Arifin

et al., 2014). Nilai periode dominan bisa diketahui berdasarkan perhitungan

berikut:

(2.9)

T0 merupakan periode dominan dan f0 adalah frekuensi dominan. Dengan diperolehnya nilai periode dominan, maka karakter lapisan batuan pada suatu wilayah juga dapat diidentifikasi. Untuk menunjukkan hubungan antara periode

(37)

dominan dengan jenis material pada lapisan tanah di suatu wilayah, Kanai, Omote, dan Nakajima telah membuat tabel klasifikasi sebagai berikut.

Tabel 2.6 Klasifikasi Tanah Kanai–Omote–Nakajima (Arifin et al., 2014)

2.6 Indeks Kerentanan Seismik

Indeks kerentanan seismik adalah parameter yang menunjukkan tingkat kerawanan lapisan tanah permukaan suatu wilayah terhadap deformasi saat terjadi gempa bumi (Nakamura, 2001). Hal ini disebabkan adanya hubungan yang linear antara indeks kerentanan seismik di suatu wilayah dan tingkat risiko gempa bumi terhadap kerusakan akibat gempa bumi. Suatu daerah yang mempunyai indeks kerentanan seismik tinggi diperkirakan memiliki tingkat risiko gempa bumi yang tinggi pula. Kondisi geologi wilayah setempat juga menjadi faktor yang sangat perlu dipertimbangkan dalam penentuan nilai indeks kerentanan seismik.

(38)

Terdapat faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya harga indeks kerentanan seismik, di antaranya adalah nilai frekuensi natural dan faktor amplifikasi. Dengan demikian hubungan ketiganya dapat dituliskan dalam persamaan (2.10) yang dirumuskan oleh Nakamura (2000, 2008).

(2.10)

dengan A0 adalah faktor amplifikasi, f0 merupakan frekuensi dominan (Hz), Vb adalah kecepatan pergeseran ke bawah permukaan tanah batuan dasar (m/s), dan

Kg merupakan indeks kerentanan seismik. Besarnya nilai Vb pada suatu wilayah secara umum adalah mendekati nilai konstan, sehingga dengan mengukur pada satu titik akan diketahui nilai indeks kerentanan seismik pada suatu wilayah.

Nilai indeks kerentanan seismik yang tinggi kerap berada di daerah yang memiliki frekuensi natural rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah dengan lapisan sedimen yang relatif tebal mempunyai nilai indeks kerentanan seismik yang tinggi. Apabila disertai dengan penguatan gelombang seismik yang besar, indeks kerentanan seismik yang dihasilkan akan besar pula nilainya (Hadi, 2012).

2.7 Peak Ground Acceleration (PGA)

Acceleration atau percepatan adalah parameter yang menyatakan

perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu.

Peak Ground Acceleration atau percepatan getaran tanah maksimum merupakan

nilai percepatan getaran tanah terbesar yang terjadi di suatu wilayah akibat gempa bumi. PGA dinyatakan dalam satuan percepatan gravitasi (Gravitational

Acceleration = gal) atau cm/s2. Nilai percepatan tanah maksimum yang dihasilkan

dapat menggambarkan tingkat risiko bencana yang terjadi.

Dengan menggunakan strong motion seismograph atau accelerograph, nilai percepatan tanah bisa langsung didapatkan. Namun mengingat jaringan

(39)

nilai percepatan tanah dapat dilakukan dengan cara empiris, yaitu dengan pendekatan beberapa penurunan rumus dari magnitudo gempa atau data intensitas.

Saat ini banyak terdapat rumus empiris untuk menghitung percepatan di batuan dasar, salah satu rumus empiris yang dapat digunakan adalah rumus empiris yang diusung oleh Fukushima dan Tanaka (1990), yang dirumuskan sebagai berikut:

( ) (2.11) dimana a adalah percepatan tanah, MS adalah magnitudo gelombang permukaan, dan R adalah jarak hiposenter. MS didapatkan dari konversi magnitudo gelombang badan (MB) dan momen magnitudo (MW). Nilai R didapatkan dari penjumlahan secara pythagoras antara kedalaman gempa bumi (h) dan jarak episenter gempa (Δ).

Besarnya nilai percepatan tanah maksimum relatif berbeda-beda di setiap wilayah. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi hal ini, di antaranya adalah besar magnitudo gempa, kedalaman gempa, jarak episenter, serta sifat fisis batuan setempat.

2.8 Ground Shear Strain

Nilai Ground Shear Strain (GSS) pada lapisan tanah dapat merepresentasikan kemampuan material lapisan tanah untuk bergeser saat terjadi gempa bumi (Nakamura, 1997). GSS dapat dimanfaatkan untuk mengindikasi karakteristik dampak dari bencana gempa bumi, seperti retakan tanah, longsoran, likuifaksi, penurunan tanah, dan bergetarnya tanah. Nakamura (2000) melakukan pendekatan empiris untuk menghitung nilai shear strain dengan melakukan perkalian antara indeks kerentanan seismik berdasarkan mikrotremor dengan percepatan maksimum di batuan dasar, yang dirumuskan dalam persamaan:

(40)

dengan γ adalah ground shear strain, Kg adalah indeks kerentanan seismik, dan 10-6 ditetapkan untuk memperkirakan nilai strain pada satuan 10-6 di lapisan tanah permukaan, serta a yang merupakan percepatan di batuan dasar (PGA).

Nilai ground shear strain menjadi salah satu faktor krusial dalam menentukan estimasi tingkat kerentanan seismik pada lapisan tanah permukaan. Lapisan tanah dengan γ = 1.000x10-6

akan bersifat plastis, sedangkan pada γ > 10.000x10-6 lapisan tanah dapat mengalami deformasi (Ishihara, 1982). Gempa bumi yang memiliki risiko merusak biasanya terjadi apabila batas ground shear

strain telah terlampaui, sehingga terjadilah deformasi lapisan tanah.

Atas dasar tersebut, maka terbentuk hubungan antara nilai ground shear

strain dengan keadaan lapisan bawah permukaan. Lapisan tanah yang memiliki

strain 10-6 hanya akan mengalami getaran saja, sedangkan pada nilai strain 10-2

lapisan tanah dapat mengalami likuifaksi dan longsoran.

Tabel 2.7 Nilai strain dan dinamika tanah (Ishihara, 1982) Size of Strain 10-6 10-5 10-4 10-3 10-2 10-3 Phenomena Wave, Vibration Crack, Diff Settlement Lanslide, Soil Compaction Liquefaction Dynamic Properties Elasticity Elasto-Plasticity Repead-Effect Speed-Effect of Loading

Berdasarkan Tabel 2.7 dapat diketahui bahwa tingginya nilai ground shear

strain akan mengakibatkan lapisan tanah rentan terhadap deformasi seperti

retakan tanah, likuifaksi, dan longsoran. Sebaliknya, rendahnya angka ground

shear strain menggambarkan kekokohan suatu lapisan dan cenderung sulit

(41)

28

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan sejak bulan Desember 2019 dengan mengkaji literatur dan diskusi di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah II Tangerang Selatan. Dilanjutkan dengan pengambilan data sekunder berupa sinyal mikrotremor dan data gempa bumi. Wilayah yang menjadi fokus penelitian adalah Pulau Jawa bagian tengah, tempat dimana titik-titik stasiun mikrotremor tersebar dengan koordinat geografis 5°33’40”-8°33’32” LS dan 109°29’24”-111°39’14” BT yang mencakup 38 kota dan kabupaten. Peralatan yang digunakan untuk mendukung penelitian di antaranya sebuah komputer pribadi dengan software pendukung di dalamnya, yaitu microsoft excel, Sessaray Geopsy, dan ArcGis 10.3.

3.2 Data dan Sumber Data

Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian, yaitu data sinyal mikrotremor dan data gempa bumi. Data mikrotremor didapatkan dari GEOFON (GFZ Seismological Data Archive). Terdapat 129 titik ukur yang tersebar di daerah kajian. Data yang digunakan adalah data yang tersedia pada tahun 2004 dengan durasi pengukuran untuk setiap titik adalah 60 menit. Untuk gempa bumi, data diperoleh dari situs resmi USGS (United State Geological Survey). Data yang digunakan adalah data gempa bumi periode 1965-2018 dengan magnitudo ≥ 5 SR dan kedalaman 0-300 km.

3.3 Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan data mikrotremor dari GFZ Seismological

Data Archive. Data tersebut berupa format .mseed yang memiliki tiga buah

(42)

waktu berupa NS dan EW (Gambar 3.1). Data diolah menggunakan software Geopsy dengan melakukan windowing dan cutting untuk mendapatkan sinyal tanpa noise. Data diolah dengan metode HVSR sehingga diperoleh kurva H/V (Gambar 3.2). Dari kurva H/V akan diperoleh nilai frekuensi natural (f0) dan nilai faktor amplifikasi (A0).

Gambar 3.1 Data hasil pengukuran mikrotremor pada titik pengamatan CH1

(43)

Dengan keterangan: spektrum warna menunjukkan hasil pemilihan window, garis hitam menunjukkan rata-rata nilai H/V, garis hitam putus-putus menunjukkan standar deviasi bawah dan atas.

Untuk mendapatkan hasil kurva HVSR yang reliable, diperlukan quality

control berdasarkan standar SESAME 2004. Terdapat 3 kriteria reliable kurva

HVSR, di antaranya:

1. Frekuensi natural harus lebih besar dari 10 dibagi panjang window (lw) (f0 > 10/lw)

2. Jumlah nc harus lebih besar dari 200 (nc > 200). Nilai nc didapatkan dari hasil perkalian antara panjang window, frekuensi natural (f0), dan jumlah

window yang dipilih untuk mencari kurva rata-rata HVSR antara 20-50 detik

(nw).

3. Nilai standar deviasi (σA) harus lebih kecil dari 2 (untuk f0 > 0,5 Hz) dan σA lebih kecil dari 3 (untuk f0 < 0,5 Hz) dalam batas frekuensi 0,5f0 sampai 2f0.

Nilai frekuensi perdominan (f0) dan nilai faktor amplifikasi (A0) yang dihasilkan dari analisis HVSR digunakan sebagai data pendukung untuk mendapatkan nilai periode perdominan (T0) dan nilai indeks kerentanan seismik (Kg). Untuk mendapatkan nilai percepatan tanah maksimum (a) perlu melibatkan parameter gempa bumi berupa magnitudo (M), koordinat lintang-bujur, serta jarak hiposenter (R) yang kemudian disubtitusi ke dalam persamaan (2.11).

Magnitudo yang didapatkan dalam data gempa biasanya disajikan dalam bentuk gelombang badan (Mb) atau magnitudo momen (Mw). Oleh sebab itu perlu dilakukan konversi jenis gelombang Mb dan Mw menjadi jenis magnitudo permukaan (Ms). Hubungan antara Ms dan Mb dapat dinyatakan sebagai berikut:

atau

(3.1)

(44)

Secara empiris, hubungan antara momen seismik dan magnitudo permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut:

(3.3)

Sedangkan hubungan magnitudo momen dengan momen seismik adalah:

(

) (3.4)

Untuk menghitung jarak episenter, dapat dilakukan dengan menggunakan rumus yang tertulis pada persamaan (3.). Kemudian besar jarak hiposenter dapat ditentukan berdasarkan rumus matematis pada persamaan (3.)

√( ) ( ) √

(3.5)

(3.6) Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai GSS (γ). Yang terakhir adalah dibuat peta mikrozonasi berdasarkan parameter yang telah disebutkan menggunakan software ArcGis 10.3 untuk kemudian dilakukan analisis mengenai hasil yang diperoleh pada penelitian dengan data pendukung berupa geologi daerah penelitian.

(45)

32

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebaran nilai ground shear

strain (GSS) yang didukung oleh karakteristik dinamika tanah berdasarkan

parameter lain seperti frekuensi natural, amplifikasi, periode dominan, indeks kerentanan tanah, serta harga percepatan getaran tanah maksimum (PGA). Dalam wilayah yang menjadi fokus penelitian ini terdapat 129 titik pengukuran mikrotremor yang tersebar di 38 kota dan kabupaten di Pulau Jawa bagian tengah.

Gambar 4.1 Peta persebaran titik pengukuran mikrotremor

Pembahasan spektrum mikrotremor perlu dilakukan paling awal karena karena karakteristik spektrum mikrotremor memberikan informasi awal terkait karakteristik kerentanan seismik berupa frekuensi natural (f0) dan nilai faktor amplifikasi (A0), yang dapat langsung digunakan untuk mengetahui harga periode dominan (T0) dan indeks kerentanan seismik (Kg). Setelah itu, dimasukkan data gempa bumi untuk mengetahui harga ground shear strain serta respon kerentanan seismik wilayah penelitian menggunakan parameter percepatan tanah maksimum (PGA). Nilai indeks kerentanan seismik, percepatan tanah, dan ground shear

(46)

strain digunakan untuk memberi gambaran tingkat kerawanan kawasan penelitian

terhadap bahaya gempa bumi.

4.1 Frekuensi Natural Tanah dan Faktor Amplifikasi

Hasil analisa kurva H/V yang didapatkan dari proses analisa data mikrotremor menggunakan metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectro Ratio) akan menghasilkan nilai frekuensi natural dan faktor amplifikasi. Frekuensi natural atau frekuensi di suatu titik ukur ditunjukkan oleh puncak amplitudo kurva H/V. Puncak tersebut tercipta oleh peristiwa resonansi yang membuat amplitudo spektrum horisontal pada suatu frekuensi tertentu menjadi lebih besar, sedangkan komponen vertikalnya tetap. Terdapat kriteria yang harus dimiliki oleh kurva H/V, di antaranya adalah kriteria reliable dan clear peak (SESAME, 2004). Kurva yang didapat pada setiap titik penelitian ditinjau kembali untuk memastikan bahwa Kurva H/V tersebut telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SESAME European Research Project. Kriteria reliable untuk masing-masing penelitian ditunjukkan pada lampiran 3.

4.1.1 Frekuensi Natural Tanah

Frekuensi natural merupakan parameter yang mencerminkan kondisi struktural di bawah tanah. Nakamura (2000) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat dua parameter yang dapat memengaruhi frekuensi natural, yaitu gelombang geser dan kedalaman batuan dasar. Tingginya nilai frekuensi natural mengindikasikan tipisnya lapisan sedimen pada wilayah tersebut, begitu pula sebaliknya (Pratama, 2017). Hal ini diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan Parolai et al., (2001) dan Isicico (2004) bahwa nilai frekuensi natural yang rendah menunjukkan dalamnya posisi batuan dasar. Sebaliknya, nilai frekuensi natural yang tinggi menggambarkan bahwa dangkalnya lapisan batuan dasar.

Dari keseluruhan data pada 129 titik pengukuran mikrotremor yang telah diolah menggunakan software Geopsy, didapatkan harga frekuensi natural yang bervariasi dengan rentang nilai 0,664 Hz sampai 16,277.

(47)

Gambar 4.2 Peta sebaran nilai frekuensi natural (f0)

Sebaran nilai frekuensi natural ini memperlihatkan bahwa nilai f0 tertinggi dengan rentang angka 8,735-16,277 Hz tersebar ke beberapa titik pengukuran, di antaranya: titik CE1 di Banjarnegara, AE3 di Kebumen, AG3 di selatan Purworejo, BK1 dan AK8 di Wonogiri, CK1 di Karanganyar, NL1 di Blora, serta NJ1 di Jepara. Merujuk pada peta geologi, keseluruhan titik tersebut terletak di dataran tinggi yang diprediksi satuannya didominasi oleh batuan keras dengan ketebalan sedimen yang tipis.

Sedangkan untuk nilai frekuensi natural rendah dengan rentang angka 0,664-5,971 Hz tersebar di berbagai titik pengukuran yang tersebar di bagian tengah dan dan barat penelitian. Nilai frekuensi rendah juga di dapatkan di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung yang umumnya geomorfologi di kedua daerah tersebut adalah dataran tinggi.

Mengacu pada klasifikasi Kanai (Tabel 2.5), Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung tergolong dalam tanah Jenis IV yaitu memiliki ketebalan sedimen permukaan yang sangat tebal sekitar 30 meter atau lebih. Tinjauan secara

(48)

geologi, Kabupaten Wonosobo memiliki morfologi perbukitan bergelombang dengan beberapa patahan mendatar dan patahan naik, serta terdapat struktur depresi berbentuk melingkar di beberapa titik yang diduga sebagai kawah purba. Litologi penyusun Kabupaten Wonosobo didominasi oleh endapan hasil vulkanisme Gunung Sumbing, Gunung dieng, Gunung Sindoro yang semuanya berumur kuarter berupa satuan batu pasir, satuan tuf, satuan batu lempung, breksi andesit, dan endapan alluvial.

Untuk morfologi Kabupaten Temanggung, secara umum tersusun atas cekungan atau depresi, dimana terdapat wilayah dataran rendah di bagian tengah dan di sekelilingnya merupakan pegunungan atau perbukitan. Hal tersebut membuat geologi Kabupaten Temanggung tersusun dari batuan beku hasil produk aktivitas gunung api yang terdiri atas material sedimen piroklastik. Ukuran material piroklastik sendiri jenisnya beragam, mulai dari krakal, krikil, blok, debu, pasir, hingga lempung.

4.1.2 Faktor Amplifikasi

Faktor amplifikasi merupakan faktor yang berhubungan dengan penguatan gelombang, dimana kecepatan gelombang ikut memberikan pengaruh. Nilai faktor amplifikasi akan tinggi apabila nilai kecepatan gelombang kecil. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat hubungan antara faktor amplifikasi dengan tingkat kerapatan batuan, dimana nilai faktor amplifikasi akan meningkat seiring dengan berkurangnya kepadatan batuan. Sedimen lunak menjadi alasan sebab dapat memperlambat waktu gelombang yang merambat di wilayah tersebut sehingga menimbulkan guncangan terhadap bangunan, begitu pula sebaliknya (Hartati, 2014). Selain kecepatan gelombang, ada beberapa faktor yang memengaruhi besarnya nilai amplifikasi, di antaranya adalah ragam formasi geologi, ketebalan, serta sifat-sifat fisika lapisan tanah batuan.

(49)

Gambar 4.3 Peta sebaran nilai faktor amplifikasi (A0)

Persebaran nilai amplifikasi (A) bervariasi dalam kisaran antara 0,864 sampai 12,123. Berdasarkan Gambar 4.3, terlihat pola yang hampir serupa dengan distribusi frekuensi natural. Tingkat amplifikasi tinggi dengan angka ≥ 6 terdapat pada wilayah Kabupaten Wonosobo dan sekitarnya. Apabila merujuk pada pernyataan Nakamura (2000) yang mengemukakan bahwa bangunan akan rawan terhadap kerusakan apabila nilai amplifikasi lebih besar dari 3 dan memiliki frekuensi natural yang rendah, maka Kabupaten Wonosobo memiliki risiko paling besar terjadinya kerusakan parah saat terjadi gempa bumi.

4.2 Periode Dominan

Periode dominan dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan gelombang untuk merambat melewati lapisan sedimen permukaan atau mengalami satu kali pemantulan terhadap bidang pantulnya di permukaan, dimana yang menjadi bidang pantulnya adalah batas antara lapisan sedimen dengan batuan dasar (Marjiono et al., 2007). Periode dominan yang panjang dengan frekuensi yang rendah dapat mengindikasikan bahwa tanah atau batuan tersebut

(50)

lunak dan lepas, berlaku untuk sebaliknya. Dengan demikian, Marjiono (2014) menyimpulkan bahwa tingginya nilai periode dominan mengindikasikan semakin dalamnya bidang pantul gelombang, yang berarti lapisan sedimen di wilayah tersebut semakin tebal. Untuk mendapatkan nilai periode dominan, dapat dilakukan pembagian antara satu dengan nilai frekuensi natural yang didapatkan dari kurva H/V.

Gambar 4.4 Peta sebaran nilai Periode Dominan (T0)

Dari hasil pemodelan yang ditunjukkan pada Gambar 4.4, periode dominan di wilayah Pulau Jawa bagian tengah memiliki nilai terendah 0,061 detik dan nilai tertinggi sebesar 1,506 detik yang tersebar pada 129 titik pengukuran. Periode dominan dengan angka relatif tinggi terdapat pada titik NJ6 yang terletak di Kabupaten Demak dengan rentang nilai 0,623 sekon hingga 1,274 sekon serta titik AE1 yang terletak di Kabupaten Kebumen dengan rentang nilai 0,716 sekon sampai dengan 1,461 sekon. Berdasarkan klasifikasi tanah berdasarkan besar periode yang disusun oleh Kanai (Tabel 2.6), periode dominan yang memiliki nilai lebih besar dari 0,40 sekon termasuk dalam klasifikasi tanah jenis IV. Adapun formasi yang menyusun jenis ini adalah sedimentasi dan endapan delta,

(51)

lumpur, topsoil, humus, dan lumpur yang termasuk ke dalam jenis tanah lunak dengan kedalaman 30 meter atau lebih.

Kondisi morfologi Kabupaten Demak cukup bervariasi antara 0-100 meter, berupa pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan. Secara geologi, struktur yang menyusunnya adalah alluvium, pliosen fasies sedimen, miosen fasies sedimen, pliosen fasies batu gamping, serta plistosen fasies gunung api. Adapun jenis tanah di Kabupaten Demak terdiri dari alluvial hidromorf, regosol, grumosol, dan mediteran. Kondisi tanah di Kabupaten Demak sebagian besar berjenis grumosol yang menjadi keras dan retak-retak saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan tanah akan menjadi lekat dan volumenya membesar.

Asikin (1992) menyatakan bahwa struktur geologi wilayah Kebumen di bagian selatan tersusun oleh alluvium serta endapan pantai. Pada dasarnya Kebumen merupakan sebuah graben yang memiliki batas tinggian Kulon Progo di sisi timur dan tinggian Karangbolong di sisi barat. Cekungan ini adalah hasil dari tumbukan antara Lempeng Hindia yang bergerak ke arah utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan.

4.3 Indeks Kerentanan Seismik

Informasi harga frekuensi natural dan faktor amplifikasi yang telah didapatkan dari analisis data mikrotremor dapat digunakan untuk mencari parameter lain dalam mengkarakterisasi tanah, yaitu indeks kerentanan seismik. Mengacu pada persamaan (2.10), dapat disimpulkan bahwa frekuensi natural dan kecepatan gelombang memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan nilai indeks kerentanan seismik, dimana semakin tinggi nilai frekuensi natural dan kecepatan gelombang maka akan semakin rendah harga indeks kerentanan seismiknya. Di samping itu, indeks kerentanan seismik memiliki hubungan yang linear dengan faktor amplifikasi dimana semakin tinggi nilai faktor amplifikasi maka nilai indeks kerentanan seismik akan tinggi pula. Indeks kerentanan seismik digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap gerakan tanah yang kuat. Tingginya nilai indeks kerentanan seismik menggambarkan

(52)

rendahnya kestabilan struktur tanah, sehingga risiko kerusakan akibat dari bencana gempa bumi akan semakin tinggi.

Berdasarkan peta sebaran indeks kerentanan seismik (Gambar 4.5), didapatkan harga indeks kerentanan seismisitas yang bervariasi di wilayah penelitian dengan rentang angka 0,071-114,550. Nilai indeks seismisitas yang terbilang rendah dicirikan dengan warna biru yang hampir tersebar ke seluruh wilayah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kerentanan tanah di wilayah tengah Pulau Jawa tergolong dalam kategori normal. Sedangkan nilai tertinggi berada pada titik BF1 dengan nilai sebesar 114,55 yang digambarkan dengan warna merah pekat. Sebaran warna merah pekat ini hanya terdapat di bagian barat wilayah penelitian.

Tabel 4.1 Katalog gempa bumi merusak di wilayah penelitian periode 1965-2018 (BMKG, 2019)

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki nilai indeks kerentanan seismik tinggi pernah setidaknya satu kali mengalami bencana gempa bumi yang merusak.

(53)

Fitriastusti (2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa Wonosobo mendapatkan gaya kompresional sehingga membentuk barisan patahan. Pada patahan-patahan tersebut terdapat banyak patahan lokal yang pada bagian bawahnya masih rawan mengalami deformasi batuan. Namun karena jumlahnya yang sangat banyak dan tidak membentuk patahan panjang, akumulai energi yang dilepaskan hanya menghasilkan gempa-gempa kecil dengan durasi yang singkat.

Mengacu pada informasi geomorfologi, Kabupaten Wonosobo merupakan wilayah yang didominasi oleh perbukitan dengan litologi material penyusun yang terdiri dari satuan batu pasir, satuan tuf, satuan batu lempung, breksi andesit, dan endapan alluvial. Secara teori, daerah yang berada di dataran tinggi akan memiliki nilai indeks kerentanan seismik yang rendah karena dianggap memiliki ketebalan sedimen yang tipis. Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh adanya beberapa kurva H/V hasil dari analisis sinyal mikrotremor yang tidak memenuhi kriteria reliable menurut pedoman SESAME 2004, sehingga membuat hasil interpretasi berbeda dengan kondisi geologi lokal pada wilayah penelitian.

(54)

4.4 Peak Ground Acceleration (PGA)

Untuk mengetahui besarnya nilai percepatan tanah dapat dilakukan dengan pendekatan secara empiris. Parameter percepatan maksimum memiliki hubungan yang linear dengan kecepatan tanah, dimana semakin besar harga PGA maka kecepatan pergerakan tanah saat terjadi gempa bumi juga akan semakin tinggi. Ada beberapa faktor yang memengaruhi besarnya nilai percepatan tanah maksimum, di antaranya adalah magnitudo (M), jarak hiposenter (R), dan koordinat gempa. Dalam penelitian ini penulis memasukkan data kejadian gempa bumi yang pernah terjadi di wilayah tengah Pulau Jawa dengan koordinat 5°33’40”-8°33’32” LS dan 109°29’24”-111°39’14” BT dan kedalaman 0-300 km pada periode 1965-2018 sebagai acuan untuk menghitung nilai percepatan tanah maksimum.

Gambar 4.6 Peta sebaran nilai percepatan tanah maksimum (PGA)

Dengan menggunakan rumus empiris (2.11) oleh Fukushima dan Tanaka dalam menentukan hasil percepatan tanah maksimum menunjukkan hasil bahwa pada saat gempa bumi, di wilayah tengah Pulau Jawa mengalami PGA di batuan

(55)

dasar yang bervariasi dengan angka berkisar antara 1,93 cm/s2 hingga 11,23 cm/s2. Secara umum, wilayah dengan nilai percepatan tanah yang tinggi merupakan wilayah yang tersusun atas lapisan sedimen tipis dan mempunyai periode dominan tanah rendah. Berdasarkan pernyataan tersebut analisis data yang diperoleh dari penelitian ini mencapai kesesuaian, dimana Kabupaten Gunung Kidul memiliki nilai periode dominan yang rendah dengan ketebalan sedimen yang tipis sehingga menghasilkan nilai PGA yang tinggi.

Secara morfologi, Kabupaten Gunung Kidul terletak pada Zona Pegunungan Selatan. Lobeck (1939) dan Konsep W. Davis (1954) telah mengelompokkan satuan geomorfologi pada wilayah ini, yaitu: (1) Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan. Litologi yang menyusun satuan ini adalah satuan batu pasir tufan selang-seling tuff, satuan batuan batu gamping tufan, serta satuan batuan batu gamping. (2) Satuan Geomorfologi Dataran Alluvial. Litologi yang menyusun satuan ini adalah material-materal hasil dari proses pelapukan dan erosi batuan yang kemudian membentuk endapan alluvial seperti dataran banjir dan gosong-gosong pasir.

Nilai PGA mengecil terhadap bertambahnya jarak dari pusat gempa sehingga bagian tengah hingga utara wilayah penelitian hanya mengalami PGA sebesar 1,936-5,029 cm/s2. Menurut Daryono (2011) fenomena menurunnya nilai PGA dengan gradasi yang seragam terhadap bertambahnya jarak disebabkan oleh metode empiris yang digunakan hanya berdasarkan pada masukan data magnitudo gempa bumi dan jarak dari pusat gempa bumi. Hal ini yang menjadikan berkurangnya nilai percepatan sejalan dengan menjauhnya lokasi pusat gempa bumi.

4.5 Ground Shear Strain

Hasil analisis data mikrotremor dan masukan nilai PGA dapat digunakan untuk mengkaji harga ground shear strain di wilayah penelitian. Nilai ground

shear strain (γ) sendiri mengindikasikan kapabilitas elemen bawah permukaan

Gambar

Gambar 1.1 Perbedaan sinyal tremor dan gempa bumi (Ibrahim dan Subardjo, 2004)
Gambar 2.1 Pembagian fisiografi Pulau Jawa (Bemmelen, 1949), lokasi penelitian termasuk ke  dalam Pulau Jawa bagian tengah (kotak merah).
Gambar 2.2 Tektonik Indonesia (Katili, 1973)
Tabel 2.1 Skala Intensitas Gempa Bumi MMI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penampang untuk setiap jenis akar pada nilai water content paling besar terletak di bawah saluran, sedangkan yang paling kecil di permukaan tanah pada luar saluran yang berjarak

Kesesuain kualitas produk, kesesuaian harga produk dan kesesuaian kualitas pelayanan berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan konsumen tahu UMKM ADN Bambu Apus Pamulang

Penelitian dilakukan dengan melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini melihat pengaruh Persepsi tentang Status Sosial Ekonomi yang melingkupi

Kalo ke adik-adik sebenarnya dari awal biasaya pengenalan dulu ya bagaimana program kader suraunya, kemudian peran ama nilainya sih, peran sama nilainya ngga yang

Variable dummy sering juga disebut variable boneka, binary, kategorik atau dikotom (Basuki, 2016). Dalam penelitian ini yang terjadi adalah perbedaan situasi, yaitu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan kualitas produk fermentasi cairan rumen domba yang diberi pakan silase sorghum yang disuplementasi probiotik BIOS K2 dengan

66 Azman Abdul Rahman, ”The Concept of Al-Adah Muhakkamah in the Inheritance of Customary Land According to Adat Perpatih in Malaysia”, Malaysian Journal of Syariah and Law,

Di beberapa aspek keluarga yang ekonominya menengah dan ke-atas pun juga ikut turut berkecimpung dalam pasar ekonomi sebagai refleksi kondisi social-ekonomi bisa