PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA AKHIR DI INDONESIA DILIHAT DARI STATUS IDENTITAS JAMES MARCIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: Anna Novilia Wati
NIM: 089114119
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN MOTTO
I Can Do Everything Through Christ Who Give Me Strength
(Phillippians 4:13)
Lakukan Bagianmu Selebihnya Serahkan Kepada Tuhan
(Roma 8:26)
Berusaha,
Kerjakan,
Gigih,
Sabar,
dan Nikmati Prosesnya
(Damas Gigih, 2012)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas mujizatnya yang luar biasa
Bapak Pius Sarjono dan Ibu Veronica Sularsih
Christina Desi Kurnia Wati
Damas Gigih Wisnu Wardhana
Thanks for everything…so much luck for me to having all of you…
PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA AKHIR DI INDONESIA DILIHAT DARI STATUS IDENTITAS JAMES MARCIA
Anna Novilia Wati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat dari status identitas James Marcia. Status Identitas pada penelitian ini terdiri dari status identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium dan identity achievement. Subjek penelitian ini berjumlah 131 orang yang berstatus pelajar SMA dan mahasiswa dengan usia 18-21 tahun dengan menggunakan metode convenience sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk skala. Skala penelitian ini terdiri dari skala status identitas dan skala kemandirian. Koefisien reliabilitas dari skala status identitas berturut-turut dari yang tertinggi adalah 0,852 untuk status identity foreclosure, 0,841 untuk status identity diffusion, 0,840 untuk status identity achievement, dan 0,820 untuk status identity moratorium, sedangkan untuk skala kemandirian sebesar 0,920. Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan menggunakan analisis alternatif Brown-Forsythe dan Welch adalah diperoleh nilai Sig sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas. Remaja akhir yang memiliki status identity achievement memiliki kemandirian yang paling tinggi dibandingkan dengan ketiga status lainnya.
Kata kunci : kemandirian, status identitas, remaja akhir
THE DIFFERENCE OF INDONESIAN LATE ADOLESCENT AUTONOMY IN PERSPECTIVE OF JAMES MARCIA’S
IDENTITY STATUS
Anna Novilia Wati
ABSTRACT
The research aimed to know the difference of Indonesian late adolescent autonomy in perspective of James Marcia’s identity status. Identity status pattern consist of identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium and identity achievement. The subject of this research about 131 people who consist of student in senior high school and student of university, which are about 18-21 years old with the use of convenience sampling method. The method of data collection is done by giving a scale. The scale of this research are the scale of identity status and autonomy scale. The reliability of the variable are 0,852 for identity foreclosure, 0,841 for identity diffusion, 0,840 for identity achievement, 0,820 for identity moratorium, and 0,920 for the autonomy scale. The result from processed data with alternative analysis Brown-Forsythe and Welch is Sig value 0,000 (p < 0,05). This result show that there are difference of late adolescent autonomy in perspective identity status. Late adolescent with identity achievement status have highest autonomy then three identity other.
Kata kunci : autonomy, identity status, late adolescent
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda
Maria yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu
melewati semua proses penulisan skripsi ini hingga selesai sebagai salah satu
syarat kelulusan di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
Dalam prosesnya, penulis menyadari ada banyak bantuan, bimbingan, dan
dukungan yang diberikan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih atas peran sertanya kepada :
1. Ibu Dr. Christina Siwi H, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi.,M.Si. , selaku dosen pembimbing akademik
dan dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan perhatian,
bimbingan, semangat serta kritik dan saran yang sangat bermanfaat selama
penulisan skripsi.
3. Prof. Dr.A. Supratiknya, Bapak Agung Santoso, M.A., Suster Lidwina TA.,
FCJ., MA. atas kesediaannya meluangkan waktu, pikiran, dan kesabaran untuk
memberikan masukan.
4. Seluruh dosen yang telah membantu dan mendukung penulis selama belajar di
Fakultas Psikologi.
5. Segenap staf Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Ibu Nanik, Pak Gie, Mas
Muji, dan Mas Doni atas segala bantuan dalam urusan administrasi.
6. Petugas perpustakaan yang telah memberikan pelayanan dan penyediaan
berbagai sumber.
7. Orang tua tersayang Pius Sarjono dan Veronica Sularsih untuk cinta, sayang,
perhatian, doa, dan semangat luar biasa yang terus diberikan untuk
penulis.
8. Adik tercinta Christina Desi Kurnia Wati yang selalu setia menemani melek
sampai pagi selama proses penulisan skripsi ini, menghibur di kala sedih, dan
memberikan dukungan di saat merasa down.
9. Damas Gigih Wisnu Wardhana atas cinta, perhatian, semangat, dan
kesabarannya menghadapi penulis yang sering emosi terutama ketika berada
di bawah tekanan.
10.Seluruh keluarga besar Ismaudi dan Mangun Taruna yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya.
11.Teteh Marcelina Cristin, Veriska Claudine, anak-anak kost serta Bapak, Ibu
Suraji dan adik Irfan untuk tali persaudaraannya, hiburan dan semangatnya.
12.Teman-teman penulis Arisa Theresia, Fabiana Adi, Priscilla Pritha, Mahatmya
Wijna, mas Lukas, Koko ganteng Felix Rahardian Pius yang bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan semangat selama
proses mengerjakan skripsi dan menerima segala kekurangan penulis.
13.Teman-teman angkatan 2008, untuk kekompakannya selama menempuh
pendidikan di Fakultas Psikologi.
14.Teman-teman yang telah bersedia menjadi subjek penulis untuk mengisi skala
dan yang telah membantu menjadi partner dalam menyebarkan skala.
15.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis, baik secara
langsung maupun tidak langsung selama proses penulisan skripsi hingga
selesai.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih mempunyai kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka atas segala saran dan kritik
yang diberikan bagi perbaikan karya ini, di sisi lain penulis juga berharap karya
ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Yogyakarta, 6 Desember 2012
Penulis,
Anna Novilia Wati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoretis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
A. Remaja ... 8
1. Pengertian Remaja ... 8
B. Kemandirian ... 12
1. Pengertian Kemandirian ... 12
2. Aspek Kemandirian ... 13
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 15
C. Status Identitas ... 17
1. Pengertian Identitas Diri ... 17
2. Perkembangan dan Pembentukan Identitas Diri ... 18
3. Status Identitas Diri Menurut James Marcia ... 23
D. Perbedaan Kemandirian pada Remaja Akhir Dilihat dari Status Identitas James Marcia ... 26
E. Hipotesis Penelitian ... 28
BAB III. METODE PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Identifikasi Variabel Penelitian... 30
C. Definisi Operasional ... 30
1. Kemandirian ... 30
2. Status Identitas ... 31
D. Subjek Penelitian ... 32
1. Populasi ... 32
2. Metode Pengumpulan Sampel ... 33
E. Prosedur Penelitian ... 33
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 34
1. Metode Pengumpulan Data ... 34
2. Alat Pengumpulan Data ... 34
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 38
1. Validitas ... 38
2. Seleksi Aitem ... 38
3. Reliabilitas ... 42
H. Teknik Analisis Data ... 43
1. Uji Asumsi ... 43
2. Uji Hipotesis ... 43
BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 45
1. Uji Coba Alat Ukur ... 45
2. Pelaksanaan Penelitian ... 46
3. Data Demografi ... 47
B. Analisis Data ... 47
1. Deskripsi Data Penelitian ... 47
2. Uji Asumsi Penelitian ... 55
C. Pembahasan ... 59
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… .. 67
A. Kesimpulan ... 67
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN ... 74
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perubahan Perkembangan Masa Remaja ... 10
Tabel 2. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pembentukan Status Identitas ... 20
Tabel 3. Status Identitas, Eksplorasi, dan Komitmen ... 25
Tabel 4. Blue Print Skala Status Identitas ... 36
Tabel 5. Blue Print Skala Kemandirian... 37
Tabel 6. Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Uji Coba ... 39
Tabel 7. Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 40
Tabel 8. Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 41
Tabel 9. Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 42
Tabel 10. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 47
Tabel 11. Hasil Penelitian Kemandirian dan Uji-t ... 47
Tabel 12. Subjek Penelitian Berdasarkan Status Identitas ... 49
Tabel 13. Data Kemandirian Subjek Berdasarkan Status Identitas... 49
Tabel 14. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Diffusion ... 51
Tabel 15. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Foreclosure ... 51
Tabel 16. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada
Status Moratorium ... 52
Tabel 17. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Achievement... 53
Tabel 18. Perbedaan Mean Kemandirian Laki-laki dan Perempuan ... 53
Tabel 19. Perbedaan Kemandirian Dilihat dari Jenis Kelamin ... 54
Tabel 20. Hasil Penghitungan Uji Normalitas ... 56
Tabel 21. Hasil Penghitungan Uji Homogenitas ... 56
Tabel 22. Hasil Penghitungan Uji Brown-Forsythe dan Welch ... 57
Tabel 23. Ringkasan Post Hoc Test ... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skala Penelitian ... 74
Lampiran 2 : Reliabilitas Variabel ... 87
Lampiran 3 : Hasil Penelitian ... 99
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang saling tergantung satu sama
lain dalam mencukupi kebutuhan hidupnya (Walgito, 2003).
Ketergantungan ini sudah di mulai dari tahap paling awal yakni embrio
hingga masa tua manusia. Dalam setiap tahap perkembangannya, manusia
membutuhkan hal-hal yang berbeda pula. Selain itu, porsi dari kebutuhan
pun berbeda sesuai dengan tahap apa yang sedang dijalani, sehingga porsi
ketergantungan manusia terhadap orang lain sangat ditentukan oleh
tahapan perkembangan tersebut (Monks, F.J., Knoers, A.M.P., &
Haditono, S.R., 2002).
Salah satu tahap perkembangan manusia adalah masa remaja.
Ketika masa ini dimulai, muncul hasrat untuk melepaskan
ketergantungannya terhadap orang lain dan muncul pula proses menuju
mandiri. Dalam prosesnya, remaja juga memiliki tahap-tahap yang
dibedakan berdasarkan usia dan ciri-ciri sifatnya. Seluruh tahapan remaja
memiliki suatu tugas yakni mempersiapkan diri untuk memasuki masa
dewasa awal, termasuk juga remaja akhir.
Remaja akhir adalah remaja yang berusia 18 hingga 21 tahun
(Monks dkk, 2002). Menurut Soesilowindradini (1998) ciri-ciri psikis
keputusan. Selain itu, campur tangan orang dewasa khususnya orang tua
dalam menghadapi masalah, pemilihan jalan hidup, dan sebagainya lebih
berkurang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa remaja pada tahap ini telah
memiliki tanda-tanda kemandirian.
Contoh kemandirian remaja di beberapa negara lain seperti di
Jepang. Remaja Jepang sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar
mandiri atau menanggung hidupnya sendiri sejak duduk di bangku SMA
sehingga mereka mampu memenuhi sebagian kebutuhan sendiri dengan
bekerja sambilan. Selain Jepang, remaja di Arab juga lebih cepat hidup
mandiri sehingga pada usia yang masih muda sudah mampu membina
rumah tangga. Di Indonesia pun, anak laki-laki pada komunitas suku
Minang Sumatra Barat sudah mulai tinggal di Surau pada masa SMA dan
merasa malu ketika masih bergantung pada orang tua (Ramli, 2011).
Kemandirian yang dimaksud tidak hanya terbatas pada masalah
finansial saja seperti pada contoh, namun juga mandiri dalam hal
emosional yang berkaitan dengan perubahan kedekatan hubungan
individu, khususnya dengan orang tua, kemandirian perilaku yaitu
kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan melakukan keputusan
tersebut, serta kemandirian nilai yaitu mampu untuk menahan tekanan
tuntutan dari orang lain, memiliki seperangkat prinsip-prinsip tentang
mana yang benar dan mana yang salah serta mengenai mana yang penting
Penelitian Nuryoto (1993) mengenai kemandirian remaja di tinjau
dari tahap perkembangan, jenis kelamin dan peran jenis menyebutkan
bahwa kemandirian remaja akhir lebih tinggi daripada kemandirian remaja
awal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh James Marcia (dalam Papalia,
2008) melalui metode wawancara menunjukkan bahwa di masa akhir
remaja ditemukan empat status identitas dengan kemandirian yang berbeda
di setiap statusnya.
Pertama identity diffusion, remaja belum melakukan eksplorasi,
belum membuat komitmen, dan memiliki kemandirian yang rendah.
Kedua identity foreclosure, remaja belum melakukan eksplorasi, sudah
membuat komitmen, dan memiliki kemandirian yang rendah. Ketiga
identity moratorium, remaja sedang melakukan eksplorasi dan mencari
identitasnya, komitmen yang dibuat belum jelas, dan memiliki
kemandirian yang rendah. Keempat identity achievement, remaja sudah
mengalami eksplorasi terhadap berbagai alternatif, sudah membuat
komitmen yang jelas berdasarkan eksplorasinya, dan memiliki
kemandirian yang tinggi.
Eksplorasi yang dimaksud adalah suatu aktivitas yang dilakukan
untuk mencari informasi atau alternatif sebanyak banyaknya untuk masa
depan sedangkan komitmen merupakan sikap yang cenderung menetap,
memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini
paling baik untuk masa depan (Santrock, 2002). Ada dan tidak adanya
tertentu, sehingga remaja pun memiliki kemandirian yang berbeda sesuai
dengan status identitas apa yang sedang dimiliki.
Erikson (dalam Purwadi, 2004), menyatakan bahwa remaja
merupakan salah satu tahapan rentang hidup manusia yang sangat penting
untuk pembentukan identitas. Oleh karena itu, selain mendapat tuntutan
untuk mandiri, remaja juga harus menyelesaikan krisis identitas sampai
akhirnya mampu mencapai status identitas diri, akan tetapi orang tua di
Indonesia kurang mendorong remaja mengeskplorasi alternatif-alternatif
yang lebih baik untuk menyelesaikan krisis identitasnya. Mereka justru
diijinkan untuk menunda komitmen, Erikson (dalam Feist, J., & Feist,
G.J., 2008). Akhirnya, remaja melakukan perilaku berkonsekuensi negatif,
seperti kriminal atau kehamilan di usia dini (Papalia dkk, 2008).
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya kasus-kasus
negatif yang sering dilakukan oleh remaja selama mengalami krisis
identitas, seperti merokok, minum-minuman berakohol, berjudi, seks
bebas, kekerasan fisik, dan ketergantungan terhadap obat-obatan (Thai,
D.N, Connel, C.M, & Tebes, J.K, (2010); Cheng, A.W, Lee, C.S,
Iwamoto, D.K, (2012)).
Hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Hidayangsih
dkk, (2009), menunjukkan bahwa perilaku-perilaku berisiko remaja seperti
merokok, mencontek, bolos sekolah, mencorat coret tembok, pelecehan
seksual, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan juga banyak dilakukan
maupun dalam hal pengambilan keputusan bagi masa depan dan perilaku.
Perilaku-perilaku berisiko itu tidak saja merugikan diri sendiri seperti di
penjara tetapi juga merugikan orang lain, misalnya mengendarai kendaraan
secara ugal-ugalan, mabuk-mabukan yang berimbas pada perusakan
fasilitas umum.
Orang tua, khususnya di Indonesia kurang mendorong anak untuk
mengandalkan dirinya sendiri. Ketergantungan dengan orang tua pun
masih cenderung diberi toleransi, Sarwono (dalam Sawitri, 2009). Padahal
banyak orang tua di Indonesia yang sudah menentukan batas kemandirian
yang harus dicapai oleh anak-anak mereka namun seringkali anak belum
mampu mandiri sesuai dengan usia yang diharapkan oleh orang tuanya.
Hasilnya mereka depresi, tidak memiliki hubungan yang nyaman dengan
orang tua, memiliki harga diri yang rendah dan prestasi akademik yang
buruk (Juang, L.P., Lerner, J.V., McKinney, J.P., & Eye, A.V., 1999).
Menurut Smith (dalam Fleming, 2006), remaja akhir diharuskan
telah mampu memecahkan masalahnya sendiri tanpa harus selalu
bergantung pada orang lain khususnya orang tua, mampu
mempertanggungjawabkan setiap perilakunya, serta nilai-nilai yang
diyakininya. Remaja akhir diharapkan dapat hidup mandiri sesuai dengan
usianya sebagai landasan hidup di masa dewasa.
Pada jaman yang modern seperti saat ini, remaja banyak mendapat
tuntutan dari lingkungannya. Menjadi manusia mandiri merupakan salah
2002). Hal ini sebagai persiapan untuk masa dewasa awal. Oleh karena itu,
dari penjelasan yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk membuktikan
teori James Marcia (1966) mengenai empat status identitas dengan
kemandirian yang berbeda-beda, khususnya pada remaja akhir di
Indonesia yang ketergantungan dengan orang tua masih cenderung diberi
toleransi. Mereka kurang didorong untuk mengeskplorasi
alternatif-alternatif yang lebih baik untuk menyelesaikan krisis identitas namun
justru diijinkan untuk menunda komitmen. Peneliti ingin melihat
perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas
James Marcia.
B. Rumusan Masalah
Masalah dari penelitian ini adalah pembuktikan teori status
identitas James Marcia pada kemandirian remaja akhir di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan teori James
Marcia apakah ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk memberikan
informasi baru pada psikologi, khususnya psikologi perkembangan
tentang perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status
identitas James Marcia.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis bagi remaja, penelitian ini dapat menambah
pemahaman dan informasi tentang kemandirian serta status identitas
yang diperlukan khususnya oleh remaja akhir agar mereka dapat
mengembangkan kemandirian dengan lebih baik dan mengurangi
ketergantungan terhadap orang lain. Bagi orang tua, penelitian ini
dapat menjadi referensi dalam membimbing dan mengarahkan
anaknya yang memasuki masa remaja akhir sehingga dapat memahami
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia.
Masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak ke masa
dewasa yang mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosio-emosional
(Santrock, 2002).
a. Fisik
Perubahan pada aspek fisik terlihat dari bentuk tubuh yang
semakin menunjukkan ciri kedewasaan. Pada perempuan, hal ini
terlihat dari tinggi badan meningkat secara cepat, pertumbuhan
buah dada, pinggul, dan lain-lain. Sedangkan pada laki-laki terlihat
dari pertumbuhan tinggi badan secara cepat, alat kelamin, dan
lain-lain. Selain itu, organ-organ reproduksi pada anak remaja sudah
mulai bekerja, seperti menstruasi pertama bagi remaja perempuan
dan mimpi basah bagi remaja laki-laki. Perubahan-perubahan fisik
tersebut merupakan tanda-tanda pubertas. Selain itu, aspek
psikologis juga muncul menyertai perubahan fisik pada masa
remaja pada saat pubertas ini, yakni citra diri. Remaja disibukkan
dengan tubuh mereka dan gambaran individual mengenai tubuh
b. Kognitif
Perubahan pada aspek kognitif yaitu remaja lebih berpikir
secara abstrak, logis, dan idealis. Abstrak berarti pemikiran mereka
tidak terbatas pada pengalaman yang konkret, namun lebih
membangkitkan situasi khayalan, kemungkinan hipotesis, atau
penalaran yang abstrak. Logis berarti remaja dapat menyusun
rencana rencana untuk memecahkan suatu masalah, serta menguji
pemecahan masalah tersebut secara sistematis. Remaja tidak lagi
seperti anak anak yang masih berpikir coba-coba untuk
memecahkan masalah. Idealis berarti bahwa remaja mulai berpikir
tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri, seperti prinsip-prinsip
berpikir dan membandingkannya dengan ciri orang lain. Selama
remaja, pemikiran yang muncul sering berupa fantasi yang
mengarah ke masa depan.
c. Sosio-emosional
Dalam aspek sosio-emosional, remaja mengalami
perubahan dalam hal setting jaringan sosialnya, dimana pada masa
ini figur idola bagi mereka adalah teman-teman sebayanya. Dalam
berbagai dimensi, remaja akan lebih mendengarkan dan mengikuti
teman sebaya mereka. Secara sosial mereka merasa tidak lagi
cocok dengan orang yang lebih dewasa atau anak-anak, oleh
karena itu mereka ingin membentuk kelompok sendiri yang terdiri
Monks, dkk (2002) membagi masa remaja menjadi tiga tahap
berdasarkan usianya. Remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun,
remaja tengah dengan rentang usia 15-18 tahun dan remaja akhir
dengan rentang usia 18-21 tahun. Masing-masing tahapan ini
mengalami perubahan dari segi fisik, kognitif, dan sosio emosional
(“Nurturing Children and Youth: A Developmental Guidebook”,
2005). Perubahan-perubahan tersebut ditunjukkan pada tabel 1 :
sendiri.
Penulis memberikan batasan dalam penelitian ini, mengambil
subjek remaja akhir dengan rentang usia 18-21 tahun. Menurut Smith
& Crawford; Silverberg & Steinberg (dalam Fleming, 2005)
mengungkapkan bahwa remaja akhir sudah mulai mengurangi
ketergantungannya terhadap orang tua, mereka memiliki kemandirian
B.Kemandirian
1. Pengertian Kemandirian
Kemandirian erat hubungannya dengan istilah independence
dan autonomy, namun keduanya memiliki arti yang berbeda.
Independence menunjuk pada kapasitas individu untuk berperilaku
seperti yang diinginkan. Selama masa remaja, independence tumbuh
menjadi autonomy atau kemandirian yang memiliki aspek emosi,
kognitif, dan tingkah laku (Steinberg, 2002).
Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk
bertingkah laku secara seorang diri. Kemandirian remaja ditunjukkan
dengan bertingkah laku sesuai keinginannya, mengambil keputusan
sendiri, dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya
(Steinberg, 2002).
Martin dan Stendler (dalam Afiatin, 1993) mengungkapkan
bahwa kemandirian ditunjukkan dengan kemampuan seseorang untuk
berdiri di atas kaki sendiri, mengurus diri sendiri dalam semua aspek
kehidupannya, ditandai dengan adanya inisiatif, kepercayaan diri, serta
kemampuan untuk mempertahankan diri dan hak miliknya.
Dari beberapa definisi tersebut maka disimpulkan bahwa
kemandirian merupakan kemampuan seseorang untuk mengambil
keputusan, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,
serta mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut. Kemandirian
2. Aspek Kemandirian
Remaja dalam mencapai kemandirian melibatkan tiga aspek
(Steinberg, 2002), yaitu :
a. Aspek kemandirian emosional, yaitu aspek yang berkaitan dengan
perubahan kedekatan hubungan individu, khususnya dengan orang
tua. Kemandirian emosional ini terdiri dari empat sub aspek, yaitu :
1) Tidak mengidealkan orang tua, yaitu remaja mampu untuk
tidak selalu melihat orang tuanya sebagai sosok yang ideal,
orang tua juga pernah melakukan sebuah kesalahan sehingga
ketika mengambil sebuah keputusan remaja tidak tergantung
pada dukungan emosional dari orang tuanya.
2) Remaja melihat orang tua seperti orang-orang pada umumnya.
Remaja memandang orang tua sebagai individu agar interaksi
dengan orang tua tidak hanya sebatas hubungan anak dengan
orang tua melainkan juga hubungan antar individu.
3) Ketidaktergantungan, remaja lebih bergantung pada dirinya
sendiri daripada tergantung pada bantuan dari orang tua
mereka.
4) Individuasi, remaja lebih bisa bertanggung jawab atas dirinya
sendiri dan tidak menyerahkan tanggung jawabnya pada orang
b. Aspek kemandirian perilaku, yaitu kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri dan melakukan keputusan tersebut. Kemandirian
perilaku ini terdiri dari tiga sub aspek, yaitu:
1) Memiliki kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan
pendapat, pertimbangan, dan saran yang diberikan oleh orang
lain sehingga dapat menyadari segala risiko dari keputusan
yang diambil dan dapat mempertanggungjawabkannya.
2) Mengalami perubahan ketahanan terhadap pengaruh
lingkungannya, baik teman sebaya maupun orang yang lebih
tua sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat bagi
dirinya sendiri.
3) Mengalami perubahan kepercayaan diri yang salah satunya dise
babkan oleh rentannya remaja terhadap tekanan dari kelompok
sebaya.
c. Aspek kemandirian nilai, yaitu lebih sekedar mampu untuk
menahan tekanan tuntutan dari orang lain, yang berarti memiliki
seperangkat prinsip-prinsip tentang mana yang benar dan mana
yang salah serta mengenai mana yang penting dan yang tidak
penting. Kemandirian nilai ini terdiri dari tiga sub aspek, yaitu :
1) Kepercayaan abstrak, memikirkan akibat dari perbuatan yang
2) Kepercayaan prinsip, memiliki kepercayaan terhadap
keyakinannya sendiri dibanding dengan apa yang dikatakan
orang lain.
3) Kepercayaan kebebasan, keyakinan pada nilai-nilai yang
dianut.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian,
antara lain :
a. Umur
Semakin bertambahnya umur seorang remaja maka akan
bertambah pula kemampuan yang dimiliki. Setiap aspek termasuk
kemandirian mengalami perkembangan yang sejalan dengan
bertambahnya umur. Hasil penelitian Nuryoto (1993) mengenai
kemandirian remaja ditinjau dari tahap perkembangan, jenis
kelamin, dan peran jenis menunjukkan bahwa remaja akhir
memiliki kemandirian lebih tinggi daripada remaja awal. Menurut
Sutton (dalam Masrun dkk, 1986), dengan bertambahnya umur dan
adanya proses belajar maka seseorang semakin tidak bergantung
atau mampu secara mandiri menentukan hidupnya.
b. Jenis Kelamin
Dalam kehidupan, pria dan wanita memiliki pengalaman
berbeda. Dalam penelitian Nuryoto (1993), dikatakan bahwa pria
lebih bertanggung jawab sedangkan wanita lebih ekspresif, dan
suka menolong orang lain. Menurut Conger (dalam Afiatin, 1993),
pria lebih dituntut untuk mandiri sedangkan wanita diberi
kesempatan untuk bergantung lebih lama. Perlakuan berbeda ini
dapat mempengaruhi kemandirian antara pria dan wanita.
c. Urutan Kelahiran
Anak pada urutan kelahiran yang berbeda akan memiliki
kemandirian yang berbeda pula. Statusnya sebagai anak pertama
dalam keluarga, mereka diharapkan lebih mandiri oleh orang
tuanya dari pada anak kedua sedangkan untuk anak kedua, mereka
jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga (Bumpus
dkk, 2001).
d. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Permanen
Lingkungan permanen meliputi pendidikan dan
pekerjaan. Pendidikan dan pekerjaan dapat mempengaruhi
kemandirian. Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal
maupun informal. Pendidikan yang diberikan secara formal
yang diberikan di sekolah atau perguruan tinggi maupun
pendidikan informal, keduanya dapat membantu seseorang
menjadi lebih dewasa dan mandiri melalui kebebasan dan
sangat berguna bagi pengembangan kepribadian seseorang
(Masrun dkk, 1986).
Flippo (dalam Masrun dkk, 1986) mengatakan bahwa
seseorang yang mandiri akan mencari pekerjaan yang lebih
banyak memberi kebebasan dan kemandirian apabila
dihadapkan pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan
kebutuhannya. Interaksi yang terjadi selama bekerja ikut
mempengaruhi diri seseorang.
2) Lingkungan Tidak Permanen
Robinson dan Shaver, 1974 (dalam Masrun dkk, 1986)
mengungkapkan bahwa lingkungan tidak permanen merupakan
peristiwa-peristiwa penting dalam hidup yang sementara waktu
mengakibatkan terganggunya integritas kepribadian seseorang,
misalnya kematian orang yang dicintai, bencana alam, dan
lain-lain.
C. Status Identitas
1. Pengertian Identitas Diri
Identitas diri merupakan konsepsi tentang diri, penentuan
tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang,
Identitas diri menurut Marcia (dalam Kroger, 2005) yaitu
merefleksikan bagaimana seseorang melihat dirinya dan bagaimana ia
bertingkah laku sesuai dengan identitasnya.
Dari pengertian-pengertian tentang identitas diri dapat
disimpulkan bahwa identitas diri merupakan tujuan, nilai, keyakinan
yang melekat pada diri seseorang dan akan terus mengalami perubahan
untuk menyesuaikan dengan identitasnya.
2. Perkembangan dan Pembentukan Identitas Diri
Perkembangan identitas merupakan hal yang kompleks. Freud
(dalam Schwartz, 2001) adalah psikolog pertama yang mencetuskan
pertanyaan dasar mengenai arti diri atau “diri itu apa?”. Freud percaya
bahwa definisi diri pada seseorang itu didapat dari introyeksi parental
yang terjadi pada akhir oedipal konflik. Setelah tahap tersebut, Freud
percaya bahwa identitas diri yang dimiliki seseorang tidak berubah
secara signifikan tetapi tetap mungkin untuk berubah.
Tidak seperti para teoritis lain yang terikat sepenuhnya dengan
psikoanalisis Freudian, Erikson menggunakan teorinya untuk
menyempurnakan teori Freud. Teori Erikson yang terkenal adalah ego
psychology, menekankan pada konsep “diri (self)” yang diatur oleh ego
bawah sadar serta memiliki pengaruh yang besar dari kekuatan sosial
dan budaya. Ego bawah sadar ini menjaga keterlibatan individu dalam
dunia sosial, termasuk untuk mendapatkan makna hidup (Feist, J., &
Erikson (dalam Feist, J., & Feist, G.J., 2008)
mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait, yaitu ego tubuh
(body ego) mengacu pada pengalaman dengan tubuh, cara kita melihat
fisik berbeda dari orang lain, ideal ego (ego ideal) merupakan
gambaran diri kita jika dibandingkan dengan gambaran ideal ego orang
lain, dan terakhir adalah identitas ego (ego identity) merupakan
gambaran diri mengenai peran sosial yang dimainkan. Perubahan
ketiga komponen tersebut selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.
Marcia merupakan salah satu tokoh Neo-Eriksonia yang
membangun teori identitas terukur dari teori Erikson. Marcia
mengembangkan metode interview untuk mengukur ego identity
dengan menggunakan dua kriteria yaitu eksplorasi (krisis) dan
komitmen. Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk
mencari informasi atau alternatif sebanyak banyaknya untuk masa
depan sedangkan komitmen merupakan sikap yang cenderung
menetap, memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih
dan diyakini paling baik untuk masa depan (Santrock, 2002).
Hasil dari metode interview yang dilakukan, Marcia
menemukan adanya hubungan antara status identitas dengan
karakteristik seperti kekhawatiran, harga diri, penalaran moral, dan
pola perilaku (Papalia dkk, 2008). Berdasarkan teori Marcia tersebut,
keluarga yang berhubungan dengan status identitas seperti ditunjukkan
pada tabel 2 :
Tabel 2
Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pembentukan Status Identitas
Faktor Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement
Purwadi (2004) salah satu peneliti yang menggunakan teori
Marcia menyebutkan beberapa faktor yang mendahului pembentukan
identitas diri pada remaja antara lain tingkat identifikasi pada orang tua
sejak kanak-kanak hingga mencapai remaja, gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua atau pihak yang mengasuh dan merawat
remaja tersebut, keberadaan figur tokoh sukses yang dilihat remaja,
harapan sosial tentang identitas seseorang, tingkat keberhasilan
seseorang mengungkap berbagai alternatif identitas diri, dan
Selain adanya faktor-faktor yang mendahului pembentukan
identitas diri, identitas diri juga berkaitan dengan berbagai macam
domain yang terdapat dalam masyarakat. Domain merupakan area
yang mewakili tingkat eksplorasi dan komitmen pada status identitas
diri seseorang. Menurut Erikson (dalam The OMEIS, 1998), ada dua
komponen yang merupakan formasi dari status identitas yaitu
ego-identity dan self ego-identity. Ego-ego-identity merujuk kepada komitmen,
seperti dalam masalah pekerjaan, dan nilai ideologi berhubungan
dengan politik, agama, filosofi kehidupan, dan lain-lain, sedangkan
self-identity dapat diilustrasikan dari formasi identitas yang jelas
terlihat seperti hubungan sosial dengan sesama, misalnya di Indonesia
remaja sudah mulai ikut serta melaksanakan pemilu dengan memilih
salah satu partai politik yang sesuai dengan pemikirannya.
Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan
bahwa masa remaja membawa ketertarikan seseorang pada
perkembangan sosial dirinya, sehingga remaja banyak tertarik pada
pengaruh luar seperti agama, politik, dan aspek interpersonal lainnya,
sedangkan dalam masalah komitmen, remaja mulai berpikir mengenai
kebutuhan untuk bertanggungjawab seperti dalam masalah pilihan
pekerjaan.
Grotevant, Thorbecke, & Meyer, (dalam Adams, 1998)
menyebutkan bahwa identitas ideologis terdiri dari pilihan pekerjaan,
pandangan gaya hidup seseorang), sedangkan identitas interpersonal
berhubungan dengan domain pertemanan, hal berpacaran, peran gender
(berhubungan dengan peran suami-istri, peran gender dalam dunia
kerja, dan peran anak laki-laki dan perempuan), dan pilihan rekreasi.
Ini menjadi dasar pemilihan domain pada status identitas. Kesuksesan
pencapaian status identitas remaja dapat dilihat melalui pencapaian
status pada masing-masing domain tersebut.
Seorang remaja yang telah mencapai status identitas tertentu,
misalnya status identity achievement, belum tentu remaja tersebut juga
mencapai status yang sama pada domain lainnya. Status identitas tidak
selalu stabil sampai akhir hidup (Santrock, 2002). Contohnya, remaja
dengan eksplorasi dan komitmen tinggi dalam pekerjaan, belum tentu
memiliki eksplorasi dan komitmen yang tinggi pula dalam agama.
Nauta, Khan, & Lucas (dalam Sawitri, 2009) menyebutkan
bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan pencapaian
status identitas, misalnya budaya di Negara barat yang mengajarkan
kemandirian sejak dini akan membuat pencapaian status identity
achievement pada domain pekerjaan oleh remaja di Negara tersebut
lebih cepat dibanding remaja pada Negara, misalnya Indonesia dengan
budaya yang orang tuanya kurang mendorong eksplorasi, komitmen
dan kurang mendorong remaja untuk mengandalkan dirinya sendiri,
3. Status Identitas Diri Menurut James Marcia
Marcia mengidentifikasikan eksplorasi dan komitmen sebagai
dua dasar dimensi untuk mendefinisikan status seseorang dalam
mencapai sebuah identitas diri. Berdasarkan kedua dimensi dasar
tersebut Marcia (dalam Schwartz, 2001) mengklasifikasikan
perkembangan pembentukan empat identitas diri, yaitu penyebaran
identitas (identity diffusion), pencabutan identitas (identity
foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan
pencapaian identitas (identity achievement).
a. Identity Diffusion
Identity Diffusion merupakan keadaan apatis yang
menunjukkan tidak adanya eksplorasi dan komitmen untuk
menyelesaikannya (tingkat eksplorasi dan komitmen rendah).
Individu ini mengalami kebingungan dalam mencapai identitas.
Ciri-ciri individu pada status ini adalah sulit untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan mudah terpengaruh oleh
lingkungan sekitar sehingga perilakunya cenderung menuju ke arah
konformitas. Individu pada status ini berisiko melakukan
tindakan-tindakan maladaptif seperti penggunaan obat-obatan terlarang,
bulimia dan lainnya (Schwartz, 2001). Individu ini memiliki
kemandirian yang rendah, harga diri yang rendah, pemalu,
menunda untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan yang ada sehingga
kurang mampu untuk berpikir secara rasional. Mereka tidak
memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua sehingga kurang
mendapat dukungan sosial.
b. Identity foreclosure
Identity foreclosure merupakan status identitas dari
individu yang telah membuat komitmen untuk tujuan, nilai, dan
keyakinan namun tanpa melalui eksplorasi (eksplorasi tidak
maksimal).
Ciri-ciri individu pada status ini adalah pikirannya tidak
terbuka untuk hal-hal baru, merasa puas terhadap dirinya sendiri.
Individu pada status ini tidak memiliki konflik dengan keluarga
sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga
(Schwartz, 2001).
c. Identity Moratorium
Identity Moratorium merupakan status identitas dari
individu yang sedang mengalami eksplorasi tetapi belum memiliki
sebuah komitmen terhadap keputusannya.
Ciri-ciri individu yang memiliki status identitas ini adalah
memiliki kemampuan untuk berpikir kritis ketika dihadapkan pada
pilihan penting dalam hidupnya. Orang tua dari individu pada
status ini menekankan kemandirian dalam membesarkan
d. Identity Achievement
Identity Achievement merupakan status identitas dari
individu yang telah melakukan eksplorasi pada berbagai perspektif,
mempertimbangkan berbagai kemungkinan dengan bijaksana,
mengambil keputusan berdasarkan eksplorasi yang telah dilakukan
dan telah membuat komitmen terhadap keputusan yang diambil.
Identity achievement merupakan proses paling akhir dari
pembentukan identitas. Status ini adalah yang paling matang
karena memiliki pemikiran yang seimbang, pembuatan keputusan
yang efektif, dan memiliki hubungan yang intim dengan keluarga.
Ciri-ciri individu yang memiliki status identitas ini adalah
memiliki motivasi, harga diri, dan kemandirian yang tinggi,
mampu menghadapi stres tanpa terlalu sering melakukan
mekanisme pertahanan diri (Kroger, 2005).
Berdasarkan penjelasan mengenai ada atau tidak adanya
eksplorasi dan komitmen dalam status identitas dapat dilihat pada tabel
3 :
Tabel 3
Status Identitas, Eksplorasi , dan Komitmen
Faktor/Variabel Status Identitas
Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Eksplorasi Tidak ada Tidak ada Ada Ada
D. Perbedaan Kemandirian pada Remaja Akhir Dilihat dari Status Identitas James Marcia
Masa remaja merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan
manusia. Masa ini penuh dengan perubahan-perubahan sebagai suatu
peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa (Santrock, 2002).
Akibatnya, remaja mengalami transisi posisi antara anak-anak dengan
dewasa yang akhirnya menunjukkan sikap dan perilaku yang ambigu.
Perubahan-perubahan pada remaja sangat berpengaruh dalam berbagai
dimensi kehidupan remaja (Purwadi, 2004).
Terkadang remaja masih dianggap seperti anak kecil yang tidak
boleh mencampuri urusan orang dewasa akan tetapi di sisi lain mereka
dituntut untuk menampilkan pribadi yang dewasa dan membantu
menyelesaikan masalah orang dewasa. Situasi ini dapat menimbulkan
konflik internal menyangkut peran yang harus mereka jalani. Selain itu,
juga menimbulkan krisis identitas (Purwadi, 2004). Remaja mulai bertanya
seperti apa dirinya, bagaimana mengambil peran yang tepat dalam
berbagai kondisi, dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan.
Menurut Erikson (dalam Papalia dkk, 2008) remaja memiliki tugas
utama untuk memecahkan krisis identitas yang dialami remaja atau
menyelesaikan tahap identitas versus kebingungan identitas karena bahaya
utama pada tahap ini adalah kebingungan identitas atau peran yang dapat
menghambat pencapaian kedewasaan remaja. Oleh karena itu,
menjadi pribadi dewasa yang unik serta memahami peran dan nilai dalam
masyarakat.
Marcia (dalam Schwartz, 2001) salah satu tokoh Neo-Eriksonia
mengembangkan teori Erikson dengan membangun teori identitas terukur
melalui metode wawancara. Marcia menemukan ada empat tipe status
identitas, yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium,
dan identity achievement. Perbedaan keempat status identitas ini terletak
pada ada tidaknya eksplorasi dan komitmen.
Eksplorasi dan komitmen merupakan parameter untuk
menempatkan remaja pada masing-masing status identitas. Identity
diffusion menunjukkan tidak adanya eksplorasi dan komitmen, identity
foreclosure menunjukkan adanya komitmen tanpa melalui eksplorasi,
identity moratorium menunjukkan adanya eksplorasi tetapi belum
memiliki komitmen, dan identity achievement menunjukkan adanya
eksplorasi dan telah memiliki komitmen.
Selain terkait dengan status identitas, remaja juga memiliki tugas
perkembangan lain yang harus diselesaikan untuk mengantarnya menuju
ke masa dewasa yang ideal, yaitu mencapai kemandirian (Papalia dkk,
2008). Remaja yang mandiri mampu untuk mengambil keputusan,
bertanggung jawab atas perilakunya, tidak bergantung pada orang lain,
mampu menentukan sikapnya terhadap lingkungan, memiliki inisiatif dan
kepercayaan diri. Remaja memiliki aspek-aspek penilaian kemandirian
Remaja yang berada pada status identity diffusion memiliki
kemandirian yang rendah. Mereka sulit untuk beradaptasi dengan
lingkungan, berisiko melakukan tindakan yang maladaptif, memiliki harga
diri yang rendah, pemalu, dan senang menunda untuk mengeksplorasi
pilihan-pilihan yang ada. Remaja dengan status identity foreclosure
memiliki kemandirian yang rendah. Mereka merasa kurang percaya diri,
tidak terbuka pada hal-hal baru. Remaja yang berada pada status identity
moratorium memiliki kemandirian yang rendah. Mereka memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis ketika dihadapkan pada masalah penting.
Remaja yang berada pada status identity achievement memiliki
kemandirian yang tinggi. Mereka telah mampu memecahkan krisis
identitas, mampu membangun relasi yang intim, memiliki motivasi dan
harga diri yang tinggi.
Remaja dengan status identitas tertentu akan menjadikannya
mandiri atau sebaliknya kurang mandiri. Penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui adanya perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari
status identitas yang mereka miliki.
E. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat
Perbedaan
K Kemandirian
Skema Alur Berpikir Status
Identitas
Identity Diffusion
Identity Foreclosure
Identity Moratorium
Identity Achievement
Kemandirian Rendah
Kemandirian Rendah
Kemandirian Rendah Kemandirian
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif (Sugiyono, 2008),
yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara
membandingkan kemandirian remaja akhir dilihat dari status identitas
James Marcia.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas (X) : Status Identitas
Variabel tergantung (Y) : Kemandirian
C. Definisi Operasional
1. Kemandirian
Kemandirian merupakan kemampuan remaja untuk mengambil
keputusan, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,
serta mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut. Kemandirian
juga ditandai dengan adanya inisiatif dan kepercayaan diri.
Kemandirian dalam penelitian ini akan diungkap dengan
menggunakan tiga aspek yang terdapat dalam kemandirian. Semakin
pula kemandirian remaja tersebut dan demikian pula sebaliknya.
Aspek-aspek kemandirian tersebut antara lain :
a. Aspek kemandirian emosional, yang terdiri dari empat sub aspek,
yaitu tidak mengidealkan orang tua, remaja melihat orang tua
seperti orang-orang pada umumnya, ketidaktergantungan, indiv
iduasi.
b. Aspek kemandirian perilaku, yang terdiri dari tiga sub aspek, yaitu
mampu membuat keputusan, mengalami perubahan ketahanan, dan
kepercayaan diri.
c. Aspek kemandirian nilai, yang terdiri dari tiga sub aspek, yaitu
kepercayaan abstrak, kepercayaan prinsip, kepercayaan kebebasan.
2. Status Identitas
Identitas diri merupakan tujuan, nilai, keyakinan yang melekat
pada diri seseorang dan akan terus mengalami perubahan untuk
menyesuaikan dengan identitasnya.
Skala status identitas ini di susun dengan mengacu pada teori
James Marcia (dalam Schwartz, 2001) tentang empat jenis status
identitas, yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity
moratorium, dan identity achievement pada identitas ideologis yang
meliputi domain pekerjaan, agama, politik, serta nilai-nilai gaya hidup
(berhubungan dengan pandangan gaya hidup seseorang) dan identitas
(berhubungan dengan peran suami-istri, peran gender dalam dunia
kerja, peran anak laki-laki-perempuan), dan rekreasi.
Penempatan subjek ke dalam status identity diffusion, identity
foreclosure, identity moratorium, atau identity achievement adalah
dengan mengolah Z score. Z score berguna untuk membandingkan
posisi seseorang dengan orang lain dalam kelompok masing-masing
(Santoso, 2010).
Pertama, memisahkan aitem berdasarkan status identitas yang
meliputi delapan domain. Kedua, menghitung Z score untuk setiap
remaja akhir pada masing-masing status identitas tersebut. Ketiga,
membandingkan hasil Z score dari keempat status identitas untuk
masing-masing remaja akhir dan yang terakhir mengkategorikan
remaja akhir pada status yang memiliki nilai Z score paling tinggi.
Setelah pengkategorian subjek ke masing-masing status identitas
tersebut, baru kemudian dilihat perbedaan kemandiriannya dengan
menggunakan uji Brown-Forsythe dan Welch.
D. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi merupakan seluruh individu yang akan diselidiki.
Populasi dibatasi sebagai sejumlah individu yang paling sedikit
mempunyai sifat yang sama (Hadi, 1996). Populasi dalam penelitian
2. Metode Pengumpulan Sampel
Sampel merupakan sebagian dari populasi. Sampel harus
mewakili populasi atau merupakan populasi dalam bentuk kecil (Hadi,
1996). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah convenience sampling. Convenience sampling merupakan
salah satu teknik nonprobabilitas sampling, subjek dipilih karena
dianggap sesuai dengan penelitian dan mudah didapatkan oleh peneliti
(Castillo, 2009).
Subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah remaja
laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 18-21 tahun. Alasan
pemilihan subjek dengan usia 18-21 tahun ini adalah remaja akhir
sudah mulai mengurangi ketergantungannya terhadap orang tua,
mereka memiliki kemandirian yang tinggi, Smith & Crawford;
Silverberg & Steinberg (dalam Fleming, 2005).
E. Prosedur Penelitian
Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :
1. Membuat skala kemandirian dan skala status identitas untuk
diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik
sama dengan kelompok subjek yang sesungguhnya.
3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan ciri-ciri/kriteria dan
kemudian mengukur kemandirian dan status identitas dengan cara
subjek mengisi skala yang sudah di ujicobakan.
4. Menganalisis data yang masuk dengan anava satu jalur untuk melihat
ada tidaknya perbedaan kemandirian remaja akhir ditinjau dari status
identitas menurut James Marcia.
5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menyebarkan skala status identitas (skala A) dan skala
kemandirian (skala B) yang kemudian diisi oleh subjek.
2. Alat Pengumpulan Data
Alat yang akan digunakan untuk menumpulkan data dalam
penelitian ini adalah skala, yaitu :
a. Skala Status Identitas
Skala ini di susun oleh peneliti berdasarkan teori James
Marcia (1966) tentang empat status identitas yaitu identity
diffusion, identity foreclosure, identity moratorium, dan identity
achievement dalam identitas ideologis yang terdiri dari beberapa
domain diantaranya pekerjaan, agama, politik, dan nilai-nilai gaya
pertemanan, berpacaran, peran gender, dan rekreasi. Masing
masing pilihan jawaban dapat menunjukkan keempat status
identitas diri yang akan diungkap.
Skala status identitas ini berisi pernyataan identity diffusion,
identity foreclosure, identity moratorium, dan identity achievement
dalam delapan domain. Subjek akan dihadapkan pada skala yang
berisi pernyataan-pernyataan favorable. Skala ini hanya
menggunakan aitem-aitem favorable karena bila dibuat
unfavorable maka kemungkinan hanya akan mengarahkan subjek
masuk pada satu status identitas saja.
Skala ini terdiri dari empat kategori respon yang
disediakan. Subjek diminta untuk memilih pernyataan yang paling
sesuai. Empat kategori respon yang disiapkan untuk aitem-aitem
favorable tersebut yaitu Sangat Setuju (SS)=4, Setuju (S)=3, Tidak
Setuju (TS)=2, dan Sangat Tidak Setuju (STS)=1. Pada skala ini
tidak ada respon N (netral) dengan alasan agar subyek penelitian
Tabel 4
Blue Print Skala Status Identitas
No Aspek
Status
Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah
1. Ideologi identity
Skala ini di susun oleh peneliti berdasarkan teori Steinberg
(2002). Di dalam skala ini terdapat tiga aspek yang menyusun
kemandirian yaitu emotional autonomy, behavioral autonomy,
value autonomy.
Skala kemandirian ini berisi pernyataan yang favorable dan
unfavorable . Subjek akan dihadapkan pada berbagai pernyataan
yang terdiri dari empat kategori respon yang disediakan. Subjek
diminta untuk memilih pernyataan yang paling sesuai. Empat
kategori respon yang disiapkan untuk aitem-aitem favorable
tersebut yaitu Sangat Setuju (SS) = 4, Setuju (S) = 3, Tidak Setuju
unfavorable yaitu : Sangat Setuju (SS) = 1, Setuju (S) = 2, Tidak
Setuju (TS) = 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) = 4. Pada skala ini
tidak ada respon N (netral) dengan alasan agar subyek penelitian
menjawab dengan pasti dan sesuai dengan dirinya.
Skor untuk tiap-tiap aitem pada skala dijumlahkan sehingga
menjadi skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh
menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan yang tinggi
dalam hal penguasaan kemandirian dan sebaliknya jika skor rendah
maka menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan yang
rendah dalam hal penguasaan kemandirian.
Tabel 5
Blue Print Skala Kemandirian
No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah
G. Validitas dan Reliabilitas Alat ukur
1. Validitas
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
isi, yaitu menguji isi dari skala psikologi dengan analisis rasional atau
lewat professional judgment. Validitas ini dilakukan dengan meminta
penilaian dari ahli yang memahami skala psikologi untuk melihat isi
skala dan membandingkannya dengan teori untuk melihat sejauhmana
aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi obyek yang
akan diukur (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini, professional
judgment dilakukan oleh dosen pembimbing.
2. Seleksi Aitem
Seleksi aaitem dilakukan untuk melihat kualitas dari
aitem-aitem yang ada dalam skala. Seleksi aitem-aitem dilakukan dengan memilih
aitem berdasarkan koefisien korelasi aitem total.
a. Skala Status Identitas
Untuk skala status identitas menggunakan batasan rix ≥
0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30
daya bedanya dianggap memuaskan sedangkan aitem yang
mencapai kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem
yang memiliki daya diskriminasi rendah atau kurang memuaskan.
Terdapat 55 aitem yang memiliki indeks diskriminasi ≥
0,30 dari 64 aitem, 14 aitem yang lolos seleksi untuk status
aitem untuk status identity moratorium, dan 14 aitem untuk status
identity achievement sedangkan sebanyak 9 aitem yang lain dari
keseluruhan skala status identitas dianggap sebagai aitem yang
gugur karena memiliki daya diskriminasi< 0,30. Kesembilan aitem
itu terdiri dari 2 aitem status identity diffusion (10, 42), 1 aitem dari
status identity foreclosure (26), 4 aitem dari status identity
moratorium (16, 30, 34, 41), dan 2 aitem dari status identity
achievement (53, 58). Aitem-aitem skala status identitas yang
gugur setelah dilakukan uji coba dapat dilihat pada tabel 6 :
Tabel 6
Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Uji Coba
No Aspek
Status
Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah
1. Ideologi identity
*) aitem-aitem yang gugur setelah uji coba
Distribusi atau penyebaran aitem-aitem pada Skala Status
Identitas dalam susunan penomoran baru dan diacak yang akan
Tabel 7
Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang
No Aspek
Status
Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah
1. Ideologi identity
Untuk aitem-aitem dalam skala kemandirian peneliti
menggunakan batasan rix ≥ 0,25. Hal tersebut dikarenakan jumlah
aitem yang lolos seleksi ternyata masih belum mencukupi jumlah
yang diharapkan (Azwar, 2006). Hasil seleksi tersebut memperoleh
47 aitem yang memiliki daya diskriminasi ≥ 0,25 sedangkan 13
aitem lainnya memiliki daya diskriminasi < 0,25 dan dianggap
sebagai aitem yang gugur. Ketigabelas aitem tersebut terdiri dari 3
aitem aspek emotional autonomy (6, 8, 13), 5 aitem dari aspek
behavioral autonomy (4, 7, 38, 45, 48), dan 5 aitem dari aspek
Kemandirian yang telah gugur setelah dilakukan uji coba dapat
dilihat pada tabel 8 :
Tabel 8
Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Uji coba
No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah
Favorable Unfavorable
*) aitem-aitem yang gugur setelah uji coba
Distribusi atau penyebaran aitem-aitem pada Skala
Kemandirian dalam penomoran baru dan di acak yang akan
Tabel 9
Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang
No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah
Favorable Unfavorable
Reliabilitas mengacu pada sejauhmana hasil dari suatu
pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini,
pengujian reliabilitas diuji dengan menggunakan pendekatan
konsistensi internal Alpha (α) Cronbach. Didapatkan hasil koefisien
reliabilitas dari skala status identitas adalah sebesar 0,841 untuk status
identity diffusion, 0,852 untuk status identity foreclosure, 0,820 untuk
status identity moratorium, 0,840 untuk status identity achievement,
H. Teknik Analisis Data
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengecek apakah data
penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal dengan
melihat taraf signifikansinya. Jika taraf signifikansi lebih kecil dari
pada 0,05 (p < 0,05) maka sebaran datanya tidak normal sedangkan
jika taraf signifikansi lebih besar dari pada 0,05 (p > 0,05) maka
sebaran datanya normal. Dalam penelitian ini untuk menguji
normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov test (Santoso, 2010).
b. Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan program
SPSS (Statistical Product and Service Solution) for windows versi
16, melalui Levene’s Test for Equality of Variance. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui apakah varian dari sampel yang diuji
homogen atau tidak (Santoso, 2010).
2. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan anava
satu jalur melalui program SPSS (Statistical Product and Service
Solution) for windows versi 16. Pengujian dilakukan dengan cara
melihat taraf signifikansinya. Hipotesis akan diterima bila memiliki
perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas
James Marcia, akan tetapi karena varian tidak sama maka tidak dapat
menggunkan anava satu jalur sehingga dilakukan uji Brown-Forsythe
45
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
1. Uji Coba Alat Ukur
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba
alat ukur penelitian untuk melihat validitas dan reliabilitas dari alat
ukur yang akan digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Alat
ukur yang diuji cobakan terdiri dari skala status identitas yang berisi
64 aitem dan skala kemandirian yang berisi 60 aitem. Pada saat uji
coba alat ukur ini setiap subjek mendapat satu eksemplar yang terdiri
dari skala status identitas atau disebut sebagai skala A dan skala
kemandirian atau disebut sebagai skala B.
Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 31 Agustus, 1, 3
September 2012, di Universitas Sanata Dharma dan SMA Bopkri 2
Yogyakarta. Alat ukur penelitian diuji cobakan pada kelompok uji
coba yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok subjek
yang akan digunakan pada penelitian sesungguhnya. Subjek dalam uji
coba alat ukur ini sebanyak 60 orang, terdiri dari mahasiswa dan
pelajar SMA kelas XII, semua sudah memenuhi kriteria batasan usia
sebagai remaja akhir yang menurut Monks dkk, (2002) berkisar antara
18-21 tahun. Usia subjek diketahui dari hasil pengisian identitas yang
Pengisian skala dilakukan langsung oleh masing-masing subjek
baik yang berada di lingkungan kampus, lingkungan sekolah maupun
lingkungan tempat tinggal masing-masing subjek. Skala yang sudah
selesai diisi langsung dikumpulkan kembali kepada beberapa teman
peneliti sesuai dengan jumlah yang telah dibagikan.
2. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 11-14 September 2012.
Pengambilan data di laksanakan di Lingkungan Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta dengan subjek mahasiswa dari berbagai fakultas
dan LBPP LIA Yogyakarta dengan subjek pelajar SMA kelas XII.
Dalam pengambilan data (penyebaran skala), peneliti
melakukan dua cara. Pertama, peneliti menyebarkan skala dengan
memasuki kelas di masing-masing fakultas sedangkan di LBPP LIA,
peneliti menyebarkan skala pada waktu jeda istirahat. Kedua, peneliti
menyebarkan skala di lingkungan tempat tinggal mahasiswa (kos dan
asrama) dengan meminta bantuan beberapa teman peneliti.
Jumlah subjek yang diperoleh dalam penelitian sebanyak 137
subjek. Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat 6 subjek yang gugur,
diantaranya 2 subjek karena usia kurang dari 18 tahun dan 4 subjek
usianya lebih dari 21 tahun, sehingga hanya terdapat 131 subjek yang