• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat dari status identitas James Marcia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat dari status identitas James Marcia."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA AKHIR DI INDONESIA DILIHAT DARI STATUS IDENTITAS JAMES MARCIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Anna Novilia Wati

NIM: 089114119

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

I Can Do Everything Through Christ Who Give Me Strength

(Phillippians 4:13)

Lakukan Bagianmu Selebihnya Serahkan Kepada Tuhan

(Roma 8:26)

Berusaha,

Kerjakan,

Gigih,

Sabar,

dan Nikmati Prosesnya 

(Damas Gigih, 2012)

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini penulis persembahkan untuk

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas mujizatnya yang luar biasa

Bapak Pius Sarjono dan Ibu Veronica Sularsih

Christina Desi Kurnia Wati

Damas Gigih Wisnu Wardhana

Thanks for everything…so much luck for me to having all of you…

(6)
(7)

PERBEDAAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA AKHIR DI INDONESIA DILIHAT DARI STATUS IDENTITAS JAMES MARCIA

Anna Novilia Wati

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat dari status identitas James Marcia. Status Identitas pada penelitian ini terdiri dari status identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium dan identity achievement. Subjek penelitian ini berjumlah 131 orang yang berstatus pelajar SMA dan mahasiswa dengan usia 18-21 tahun dengan menggunakan metode convenience sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk skala. Skala penelitian ini terdiri dari skala status identitas dan skala kemandirian. Koefisien reliabilitas dari skala status identitas berturut-turut dari yang tertinggi adalah 0,852 untuk status identity foreclosure, 0,841 untuk status identity diffusion, 0,840 untuk status identity achievement, dan 0,820 untuk status identity moratorium, sedangkan untuk skala kemandirian sebesar 0,920. Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan menggunakan analisis alternatif Brown-Forsythe dan Welch adalah diperoleh nilai Sig sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas. Remaja akhir yang memiliki status identity achievement memiliki kemandirian yang paling tinggi dibandingkan dengan ketiga status lainnya.

Kata kunci : kemandirian, status identitas, remaja akhir

(8)

THE DIFFERENCE OF INDONESIAN LATE ADOLESCENT AUTONOMY IN PERSPECTIVE OF JAMES MARCIA’S

IDENTITY STATUS

Anna Novilia Wati

ABSTRACT

The research aimed to know the difference of Indonesian late adolescent autonomy in perspective of James Marcia’s identity status. Identity status pattern consist of identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium and identity achievement. The subject of this research about 131 people who consist of student in senior high school and student of university, which are about 18-21 years old with the use of convenience sampling method. The method of data collection is done by giving a scale. The scale of this research are the scale of identity status and autonomy scale. The reliability of the variable are 0,852 for identity foreclosure, 0,841 for identity diffusion, 0,840 for identity achievement, 0,820 for identity moratorium, and 0,920 for the autonomy scale. The result from processed data with alternative analysis Brown-Forsythe and Welch is Sig value 0,000 (p < 0,05). This result show that there are difference of late adolescent autonomy in perspective identity status. Late adolescent with identity achievement status have highest autonomy then three identity other.

Kata kunci : autonomy, identity status, late adolescent

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda

Maria yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu

melewati semua proses penulisan skripsi ini hingga selesai sebagai salah satu

syarat kelulusan di Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Dalam prosesnya, penulis menyadari ada banyak bantuan, bimbingan, dan

dukungan yang diberikan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan banyak terima kasih atas peran sertanya kepada :

1. Ibu Dr. Christina Siwi H, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi.,M.Si. , selaku dosen pembimbing akademik

dan dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan perhatian,

bimbingan, semangat serta kritik dan saran yang sangat bermanfaat selama

penulisan skripsi.

3. Prof. Dr.A. Supratiknya, Bapak Agung Santoso, M.A., Suster Lidwina TA.,

FCJ., MA. atas kesediaannya meluangkan waktu, pikiran, dan kesabaran untuk

memberikan masukan.

4. Seluruh dosen yang telah membantu dan mendukung penulis selama belajar di

Fakultas Psikologi.

5. Segenap staf Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Ibu Nanik, Pak Gie, Mas

Muji, dan Mas Doni atas segala bantuan dalam urusan administrasi.

(11)

6. Petugas perpustakaan yang telah memberikan pelayanan dan penyediaan

berbagai sumber.

7. Orang tua tersayang Pius Sarjono dan Veronica Sularsih untuk cinta, sayang,

perhatian, doa, dan semangat luar biasa yang terus diberikan untuk

penulis.

8. Adik tercinta Christina Desi Kurnia Wati yang selalu setia menemani melek

sampai pagi selama proses penulisan skripsi ini, menghibur di kala sedih, dan

memberikan dukungan di saat merasa down.

9. Damas Gigih Wisnu Wardhana atas cinta, perhatian, semangat, dan

kesabarannya menghadapi penulis yang sering emosi terutama ketika berada

di bawah tekanan.

10.Seluruh keluarga besar Ismaudi dan Mangun Taruna yang tidak bisa

disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya.

11.Teteh Marcelina Cristin, Veriska Claudine, anak-anak kost serta Bapak, Ibu

Suraji dan adik Irfan untuk tali persaudaraannya, hiburan dan semangatnya.

12.Teman-teman penulis Arisa Theresia, Fabiana Adi, Priscilla Pritha, Mahatmya

Wijna, mas Lukas, Koko ganteng Felix Rahardian Pius yang bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan semangat selama

proses mengerjakan skripsi dan menerima segala kekurangan penulis.

13.Teman-teman angkatan 2008, untuk kekompakannya selama menempuh

pendidikan di Fakultas Psikologi.

14.Teman-teman yang telah bersedia menjadi subjek penulis untuk mengisi skala

dan yang telah membantu menjadi partner dalam menyebarkan skala.

(12)

15.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis, baik secara

langsung maupun tidak langsung selama proses penulisan skripsi hingga

selesai.

Penulis menyadari bahwa karya ini masih mempunyai kelemahan dan

kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka atas segala saran dan kritik

yang diberikan bagi perbaikan karya ini, di sisi lain penulis juga berharap karya

ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Yogyakarta, 6 Desember 2012

Penulis,

Anna Novilia Wati

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoretis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

(14)

BAB II. LANDASAN TEORI ... 8

A. Remaja ... 8

1. Pengertian Remaja ... 8

B. Kemandirian ... 12

1. Pengertian Kemandirian ... 12

2. Aspek Kemandirian ... 13

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 15

C. Status Identitas ... 17

1. Pengertian Identitas Diri ... 17

2. Perkembangan dan Pembentukan Identitas Diri ... 18

3. Status Identitas Diri Menurut James Marcia ... 23

D. Perbedaan Kemandirian pada Remaja Akhir Dilihat dari Status Identitas James Marcia ... 26

E. Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III. METODE PENELITIAN ... 30

A. Jenis Penelitian ... 30

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 30

C. Definisi Operasional ... 30

1. Kemandirian ... 30

2. Status Identitas ... 31

D. Subjek Penelitian ... 32

1. Populasi ... 32

2. Metode Pengumpulan Sampel ... 33

(15)

E. Prosedur Penelitian ... 33

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 34

1. Metode Pengumpulan Data ... 34

2. Alat Pengumpulan Data ... 34

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 38

1. Validitas ... 38

2. Seleksi Aitem ... 38

3. Reliabilitas ... 42

H. Teknik Analisis Data ... 43

1. Uji Asumsi ... 43

2. Uji Hipotesis ... 43

BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 45

1. Uji Coba Alat Ukur ... 45

2. Pelaksanaan Penelitian ... 46

3. Data Demografi ... 47

B. Analisis Data ... 47

1. Deskripsi Data Penelitian ... 47

2. Uji Asumsi Penelitian ... 55

C. Pembahasan ... 59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… .. 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

(16)

DAFTAR PUSTAKA ... 70

LAMPIRAN ... 74

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perubahan Perkembangan Masa Remaja ... 10

Tabel 2. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pembentukan Status Identitas ... 20

Tabel 3. Status Identitas, Eksplorasi, dan Komitmen ... 25

Tabel 4. Blue Print Skala Status Identitas ... 36

Tabel 5. Blue Print Skala Kemandirian... 37

Tabel 6. Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Uji Coba ... 39

Tabel 7. Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 40

Tabel 8. Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 41

Tabel 9. Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang ... 42

Tabel 10. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 47

Tabel 11. Hasil Penelitian Kemandirian dan Uji-t ... 47

Tabel 12. Subjek Penelitian Berdasarkan Status Identitas ... 49

Tabel 13. Data Kemandirian Subjek Berdasarkan Status Identitas... 49

Tabel 14. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Diffusion ... 51

Tabel 15. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Foreclosure ... 51

(18)

Tabel 16. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada

Status Moratorium ... 52

Tabel 17. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada Status Achievement... 53

Tabel 18. Perbedaan Mean Kemandirian Laki-laki dan Perempuan ... 53

Tabel 19. Perbedaan Kemandirian Dilihat dari Jenis Kelamin ... 54

Tabel 20. Hasil Penghitungan Uji Normalitas ... 56

Tabel 21. Hasil Penghitungan Uji Homogenitas ... 56

Tabel 22. Hasil Penghitungan Uji Brown-Forsythe dan Welch ... 57

Tabel 23. Ringkasan Post Hoc Test ... 58

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala Penelitian ... 74

Lampiran 2 : Reliabilitas Variabel ... 87

Lampiran 3 : Hasil Penelitian ... 99

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang saling tergantung satu sama

lain dalam mencukupi kebutuhan hidupnya (Walgito, 2003).

Ketergantungan ini sudah di mulai dari tahap paling awal yakni embrio

hingga masa tua manusia. Dalam setiap tahap perkembangannya, manusia

membutuhkan hal-hal yang berbeda pula. Selain itu, porsi dari kebutuhan

pun berbeda sesuai dengan tahap apa yang sedang dijalani, sehingga porsi

ketergantungan manusia terhadap orang lain sangat ditentukan oleh

tahapan perkembangan tersebut (Monks, F.J., Knoers, A.M.P., &

Haditono, S.R., 2002).

Salah satu tahap perkembangan manusia adalah masa remaja.

Ketika masa ini dimulai, muncul hasrat untuk melepaskan

ketergantungannya terhadap orang lain dan muncul pula proses menuju

mandiri. Dalam prosesnya, remaja juga memiliki tahap-tahap yang

dibedakan berdasarkan usia dan ciri-ciri sifatnya. Seluruh tahapan remaja

memiliki suatu tugas yakni mempersiapkan diri untuk memasuki masa

dewasa awal, termasuk juga remaja akhir.

Remaja akhir adalah remaja yang berusia 18 hingga 21 tahun

(Monks dkk, 2002). Menurut Soesilowindradini (1998) ciri-ciri psikis

(21)

keputusan. Selain itu, campur tangan orang dewasa khususnya orang tua

dalam menghadapi masalah, pemilihan jalan hidup, dan sebagainya lebih

berkurang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa remaja pada tahap ini telah

memiliki tanda-tanda kemandirian.

Contoh kemandirian remaja di beberapa negara lain seperti di

Jepang. Remaja Jepang sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar

mandiri atau menanggung hidupnya sendiri sejak duduk di bangku SMA

sehingga mereka mampu memenuhi sebagian kebutuhan sendiri dengan

bekerja sambilan. Selain Jepang, remaja di Arab juga lebih cepat hidup

mandiri sehingga pada usia yang masih muda sudah mampu membina

rumah tangga. Di Indonesia pun, anak laki-laki pada komunitas suku

Minang Sumatra Barat sudah mulai tinggal di Surau pada masa SMA dan

merasa malu ketika masih bergantung pada orang tua (Ramli, 2011).

Kemandirian yang dimaksud tidak hanya terbatas pada masalah

finansial saja seperti pada contoh, namun juga mandiri dalam hal

emosional yang berkaitan dengan perubahan kedekatan hubungan

individu, khususnya dengan orang tua, kemandirian perilaku yaitu

kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan melakukan keputusan

tersebut, serta kemandirian nilai yaitu mampu untuk menahan tekanan

tuntutan dari orang lain, memiliki seperangkat prinsip-prinsip tentang

mana yang benar dan mana yang salah serta mengenai mana yang penting

(22)

Penelitian Nuryoto (1993) mengenai kemandirian remaja di tinjau

dari tahap perkembangan, jenis kelamin dan peran jenis menyebutkan

bahwa kemandirian remaja akhir lebih tinggi daripada kemandirian remaja

awal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh James Marcia (dalam Papalia,

2008) melalui metode wawancara menunjukkan bahwa di masa akhir

remaja ditemukan empat status identitas dengan kemandirian yang berbeda

di setiap statusnya.

Pertama identity diffusion, remaja belum melakukan eksplorasi,

belum membuat komitmen, dan memiliki kemandirian yang rendah.

Kedua identity foreclosure, remaja belum melakukan eksplorasi, sudah

membuat komitmen, dan memiliki kemandirian yang rendah. Ketiga

identity moratorium, remaja sedang melakukan eksplorasi dan mencari

identitasnya, komitmen yang dibuat belum jelas, dan memiliki

kemandirian yang rendah. Keempat identity achievement, remaja sudah

mengalami eksplorasi terhadap berbagai alternatif, sudah membuat

komitmen yang jelas berdasarkan eksplorasinya, dan memiliki

kemandirian yang tinggi.

Eksplorasi yang dimaksud adalah suatu aktivitas yang dilakukan

untuk mencari informasi atau alternatif sebanyak banyaknya untuk masa

depan sedangkan komitmen merupakan sikap yang cenderung menetap,

memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih dan diyakini

paling baik untuk masa depan (Santrock, 2002). Ada dan tidak adanya

(23)

tertentu, sehingga remaja pun memiliki kemandirian yang berbeda sesuai

dengan status identitas apa yang sedang dimiliki.

Erikson (dalam Purwadi, 2004), menyatakan bahwa remaja

merupakan salah satu tahapan rentang hidup manusia yang sangat penting

untuk pembentukan identitas. Oleh karena itu, selain mendapat tuntutan

untuk mandiri, remaja juga harus menyelesaikan krisis identitas sampai

akhirnya mampu mencapai status identitas diri, akan tetapi orang tua di

Indonesia kurang mendorong remaja mengeskplorasi alternatif-alternatif

yang lebih baik untuk menyelesaikan krisis identitasnya. Mereka justru

diijinkan untuk menunda komitmen, Erikson (dalam Feist, J., & Feist,

G.J., 2008). Akhirnya, remaja melakukan perilaku berkonsekuensi negatif,

seperti kriminal atau kehamilan di usia dini (Papalia dkk, 2008).

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya kasus-kasus

negatif yang sering dilakukan oleh remaja selama mengalami krisis

identitas, seperti merokok, minum-minuman berakohol, berjudi, seks

bebas, kekerasan fisik, dan ketergantungan terhadap obat-obatan (Thai,

D.N, Connel, C.M, & Tebes, J.K, (2010); Cheng, A.W, Lee, C.S,

Iwamoto, D.K, (2012)).

Hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Hidayangsih

dkk, (2009), menunjukkan bahwa perilaku-perilaku berisiko remaja seperti

merokok, mencontek, bolos sekolah, mencorat coret tembok, pelecehan

seksual, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan juga banyak dilakukan

(24)

maupun dalam hal pengambilan keputusan bagi masa depan dan perilaku.

Perilaku-perilaku berisiko itu tidak saja merugikan diri sendiri seperti di

penjara tetapi juga merugikan orang lain, misalnya mengendarai kendaraan

secara ugal-ugalan, mabuk-mabukan yang berimbas pada perusakan

fasilitas umum.

Orang tua, khususnya di Indonesia kurang mendorong anak untuk

mengandalkan dirinya sendiri. Ketergantungan dengan orang tua pun

masih cenderung diberi toleransi, Sarwono (dalam Sawitri, 2009). Padahal

banyak orang tua di Indonesia yang sudah menentukan batas kemandirian

yang harus dicapai oleh anak-anak mereka namun seringkali anak belum

mampu mandiri sesuai dengan usia yang diharapkan oleh orang tuanya.

Hasilnya mereka depresi, tidak memiliki hubungan yang nyaman dengan

orang tua, memiliki harga diri yang rendah dan prestasi akademik yang

buruk (Juang, L.P., Lerner, J.V., McKinney, J.P., & Eye, A.V., 1999).

Menurut Smith (dalam Fleming, 2006), remaja akhir diharuskan

telah mampu memecahkan masalahnya sendiri tanpa harus selalu

bergantung pada orang lain khususnya orang tua, mampu

mempertanggungjawabkan setiap perilakunya, serta nilai-nilai yang

diyakininya. Remaja akhir diharapkan dapat hidup mandiri sesuai dengan

usianya sebagai landasan hidup di masa dewasa.

Pada jaman yang modern seperti saat ini, remaja banyak mendapat

tuntutan dari lingkungannya. Menjadi manusia mandiri merupakan salah

(25)

2002). Hal ini sebagai persiapan untuk masa dewasa awal. Oleh karena itu,

dari penjelasan yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk membuktikan

teori James Marcia (1966) mengenai empat status identitas dengan

kemandirian yang berbeda-beda, khususnya pada remaja akhir di

Indonesia yang ketergantungan dengan orang tua masih cenderung diberi

toleransi. Mereka kurang didorong untuk mengeskplorasi

alternatif-alternatif yang lebih baik untuk menyelesaikan krisis identitas namun

justru diijinkan untuk menunda komitmen. Peneliti ingin melihat

perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas

James Marcia.

B. Rumusan Masalah

Masalah dari penelitian ini adalah pembuktikan teori status

identitas James Marcia pada kemandirian remaja akhir di Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan teori James

Marcia apakah ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia

(26)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk memberikan

informasi baru pada psikologi, khususnya psikologi perkembangan

tentang perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status

identitas James Marcia.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis bagi remaja, penelitian ini dapat menambah

pemahaman dan informasi tentang kemandirian serta status identitas

yang diperlukan khususnya oleh remaja akhir agar mereka dapat

mengembangkan kemandirian dengan lebih baik dan mengurangi

ketergantungan terhadap orang lain. Bagi orang tua, penelitian ini

dapat menjadi referensi dalam membimbing dan mengarahkan

anaknya yang memasuki masa remaja akhir sehingga dapat memahami

(27)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia.

Masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak ke masa

dewasa yang mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosio-emosional

(Santrock, 2002).

a. Fisik

Perubahan pada aspek fisik terlihat dari bentuk tubuh yang

semakin menunjukkan ciri kedewasaan. Pada perempuan, hal ini

terlihat dari tinggi badan meningkat secara cepat, pertumbuhan

buah dada, pinggul, dan lain-lain. Sedangkan pada laki-laki terlihat

dari pertumbuhan tinggi badan secara cepat, alat kelamin, dan

lain-lain. Selain itu, organ-organ reproduksi pada anak remaja sudah

mulai bekerja, seperti menstruasi pertama bagi remaja perempuan

dan mimpi basah bagi remaja laki-laki. Perubahan-perubahan fisik

tersebut merupakan tanda-tanda pubertas. Selain itu, aspek

psikologis juga muncul menyertai perubahan fisik pada masa

remaja pada saat pubertas ini, yakni citra diri. Remaja disibukkan

dengan tubuh mereka dan gambaran individual mengenai tubuh

(28)

b. Kognitif

Perubahan pada aspek kognitif yaitu remaja lebih berpikir

secara abstrak, logis, dan idealis. Abstrak berarti pemikiran mereka

tidak terbatas pada pengalaman yang konkret, namun lebih

membangkitkan situasi khayalan, kemungkinan hipotesis, atau

penalaran yang abstrak. Logis berarti remaja dapat menyusun

rencana rencana untuk memecahkan suatu masalah, serta menguji

pemecahan masalah tersebut secara sistematis. Remaja tidak lagi

seperti anak anak yang masih berpikir coba-coba untuk

memecahkan masalah. Idealis berarti bahwa remaja mulai berpikir

tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri, seperti prinsip-prinsip

berpikir dan membandingkannya dengan ciri orang lain. Selama

remaja, pemikiran yang muncul sering berupa fantasi yang

mengarah ke masa depan.

c. Sosio-emosional

Dalam aspek sosio-emosional, remaja mengalami

perubahan dalam hal setting jaringan sosialnya, dimana pada masa

ini figur idola bagi mereka adalah teman-teman sebayanya. Dalam

berbagai dimensi, remaja akan lebih mendengarkan dan mengikuti

teman sebaya mereka. Secara sosial mereka merasa tidak lagi

cocok dengan orang yang lebih dewasa atau anak-anak, oleh

karena itu mereka ingin membentuk kelompok sendiri yang terdiri

(29)

Monks, dkk (2002) membagi masa remaja menjadi tiga tahap

berdasarkan usianya. Remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun,

remaja tengah dengan rentang usia 15-18 tahun dan remaja akhir

dengan rentang usia 18-21 tahun. Masing-masing tahapan ini

mengalami perubahan dari segi fisik, kognitif, dan sosio emosional

(“Nurturing Children and Youth: A Developmental Guidebook”,

2005). Perubahan-perubahan tersebut ditunjukkan pada tabel 1 :

(30)

sendiri.

Penulis memberikan batasan dalam penelitian ini, mengambil

subjek remaja akhir dengan rentang usia 18-21 tahun. Menurut Smith

& Crawford; Silverberg & Steinberg (dalam Fleming, 2005)

mengungkapkan bahwa remaja akhir sudah mulai mengurangi

ketergantungannya terhadap orang tua, mereka memiliki kemandirian

(31)

B.Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Kemandirian erat hubungannya dengan istilah independence

dan autonomy, namun keduanya memiliki arti yang berbeda.

Independence menunjuk pada kapasitas individu untuk berperilaku

seperti yang diinginkan. Selama masa remaja, independence tumbuh

menjadi autonomy atau kemandirian yang memiliki aspek emosi,

kognitif, dan tingkah laku (Steinberg, 2002).

Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk

bertingkah laku secara seorang diri. Kemandirian remaja ditunjukkan

dengan bertingkah laku sesuai keinginannya, mengambil keputusan

sendiri, dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya

(Steinberg, 2002).

Martin dan Stendler (dalam Afiatin, 1993) mengungkapkan

bahwa kemandirian ditunjukkan dengan kemampuan seseorang untuk

berdiri di atas kaki sendiri, mengurus diri sendiri dalam semua aspek

kehidupannya, ditandai dengan adanya inisiatif, kepercayaan diri, serta

kemampuan untuk mempertahankan diri dan hak miliknya.

Dari beberapa definisi tersebut maka disimpulkan bahwa

kemandirian merupakan kemampuan seseorang untuk mengambil

keputusan, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,

serta mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut. Kemandirian

(32)

2. Aspek Kemandirian

Remaja dalam mencapai kemandirian melibatkan tiga aspek

(Steinberg, 2002), yaitu :

a. Aspek kemandirian emosional, yaitu aspek yang berkaitan dengan

perubahan kedekatan hubungan individu, khususnya dengan orang

tua. Kemandirian emosional ini terdiri dari empat sub aspek, yaitu :

1) Tidak mengidealkan orang tua, yaitu remaja mampu untuk

tidak selalu melihat orang tuanya sebagai sosok yang ideal,

orang tua juga pernah melakukan sebuah kesalahan sehingga

ketika mengambil sebuah keputusan remaja tidak tergantung

pada dukungan emosional dari orang tuanya.

2) Remaja melihat orang tua seperti orang-orang pada umumnya.

Remaja memandang orang tua sebagai individu agar interaksi

dengan orang tua tidak hanya sebatas hubungan anak dengan

orang tua melainkan juga hubungan antar individu.

3) Ketidaktergantungan, remaja lebih bergantung pada dirinya

sendiri daripada tergantung pada bantuan dari orang tua

mereka.

4) Individuasi, remaja lebih bisa bertanggung jawab atas dirinya

sendiri dan tidak menyerahkan tanggung jawabnya pada orang

(33)

b. Aspek kemandirian perilaku, yaitu kemampuan untuk membuat

keputusan sendiri dan melakukan keputusan tersebut. Kemandirian

perilaku ini terdiri dari tiga sub aspek, yaitu:

1) Memiliki kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan

pendapat, pertimbangan, dan saran yang diberikan oleh orang

lain sehingga dapat menyadari segala risiko dari keputusan

yang diambil dan dapat mempertanggungjawabkannya.

2) Mengalami perubahan ketahanan terhadap pengaruh

lingkungannya, baik teman sebaya maupun orang yang lebih

tua sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat bagi

dirinya sendiri.

3) Mengalami perubahan kepercayaan diri yang salah satunya dise

babkan oleh rentannya remaja terhadap tekanan dari kelompok

sebaya.

c. Aspek kemandirian nilai, yaitu lebih sekedar mampu untuk

menahan tekanan tuntutan dari orang lain, yang berarti memiliki

seperangkat prinsip-prinsip tentang mana yang benar dan mana

yang salah serta mengenai mana yang penting dan yang tidak

penting. Kemandirian nilai ini terdiri dari tiga sub aspek, yaitu :

1) Kepercayaan abstrak, memikirkan akibat dari perbuatan yang

(34)

2) Kepercayaan prinsip, memiliki kepercayaan terhadap

keyakinannya sendiri dibanding dengan apa yang dikatakan

orang lain.

3) Kepercayaan kebebasan, keyakinan pada nilai-nilai yang

dianut.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian,

antara lain :

a. Umur

Semakin bertambahnya umur seorang remaja maka akan

bertambah pula kemampuan yang dimiliki. Setiap aspek termasuk

kemandirian mengalami perkembangan yang sejalan dengan

bertambahnya umur. Hasil penelitian Nuryoto (1993) mengenai

kemandirian remaja ditinjau dari tahap perkembangan, jenis

kelamin, dan peran jenis menunjukkan bahwa remaja akhir

memiliki kemandirian lebih tinggi daripada remaja awal. Menurut

Sutton (dalam Masrun dkk, 1986), dengan bertambahnya umur dan

adanya proses belajar maka seseorang semakin tidak bergantung

atau mampu secara mandiri menentukan hidupnya.

b. Jenis Kelamin

Dalam kehidupan, pria dan wanita memiliki pengalaman

berbeda. Dalam penelitian Nuryoto (1993), dikatakan bahwa pria

(35)

lebih bertanggung jawab sedangkan wanita lebih ekspresif, dan

suka menolong orang lain. Menurut Conger (dalam Afiatin, 1993),

pria lebih dituntut untuk mandiri sedangkan wanita diberi

kesempatan untuk bergantung lebih lama. Perlakuan berbeda ini

dapat mempengaruhi kemandirian antara pria dan wanita.

c. Urutan Kelahiran

Anak pada urutan kelahiran yang berbeda akan memiliki

kemandirian yang berbeda pula. Statusnya sebagai anak pertama

dalam keluarga, mereka diharapkan lebih mandiri oleh orang

tuanya dari pada anak kedua sedangkan untuk anak kedua, mereka

jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga (Bumpus

dkk, 2001).

d. Faktor Lingkungan

1) Lingkungan Permanen

Lingkungan permanen meliputi pendidikan dan

pekerjaan. Pendidikan dan pekerjaan dapat mempengaruhi

kemandirian. Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal

maupun informal. Pendidikan yang diberikan secara formal

yang diberikan di sekolah atau perguruan tinggi maupun

pendidikan informal, keduanya dapat membantu seseorang

menjadi lebih dewasa dan mandiri melalui kebebasan dan

(36)

sangat berguna bagi pengembangan kepribadian seseorang

(Masrun dkk, 1986).

Flippo (dalam Masrun dkk, 1986) mengatakan bahwa

seseorang yang mandiri akan mencari pekerjaan yang lebih

banyak memberi kebebasan dan kemandirian apabila

dihadapkan pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan

kebutuhannya. Interaksi yang terjadi selama bekerja ikut

mempengaruhi diri seseorang.

2) Lingkungan Tidak Permanen

Robinson dan Shaver, 1974 (dalam Masrun dkk, 1986)

mengungkapkan bahwa lingkungan tidak permanen merupakan

peristiwa-peristiwa penting dalam hidup yang sementara waktu

mengakibatkan terganggunya integritas kepribadian seseorang,

misalnya kematian orang yang dicintai, bencana alam, dan

lain-lain.

C. Status Identitas

1. Pengertian Identitas Diri

Identitas diri merupakan konsepsi tentang diri, penentuan

tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang,

(37)

Identitas diri menurut Marcia (dalam Kroger, 2005) yaitu

merefleksikan bagaimana seseorang melihat dirinya dan bagaimana ia

bertingkah laku sesuai dengan identitasnya.

Dari pengertian-pengertian tentang identitas diri dapat

disimpulkan bahwa identitas diri merupakan tujuan, nilai, keyakinan

yang melekat pada diri seseorang dan akan terus mengalami perubahan

untuk menyesuaikan dengan identitasnya.

2. Perkembangan dan Pembentukan Identitas Diri

Perkembangan identitas merupakan hal yang kompleks. Freud

(dalam Schwartz, 2001) adalah psikolog pertama yang mencetuskan

pertanyaan dasar mengenai arti diri atau “diri itu apa?”. Freud percaya

bahwa definisi diri pada seseorang itu didapat dari introyeksi parental

yang terjadi pada akhir oedipal konflik. Setelah tahap tersebut, Freud

percaya bahwa identitas diri yang dimiliki seseorang tidak berubah

secara signifikan tetapi tetap mungkin untuk berubah.

Tidak seperti para teoritis lain yang terikat sepenuhnya dengan

psikoanalisis Freudian, Erikson menggunakan teorinya untuk

menyempurnakan teori Freud. Teori Erikson yang terkenal adalah ego

psychology, menekankan pada konsep “diri (self)” yang diatur oleh ego

bawah sadar serta memiliki pengaruh yang besar dari kekuatan sosial

dan budaya. Ego bawah sadar ini menjaga keterlibatan individu dalam

dunia sosial, termasuk untuk mendapatkan makna hidup (Feist, J., &

(38)

Erikson (dalam Feist, J., & Feist, G.J., 2008)

mengidentifikasikan tiga aspek ego yang saling terkait, yaitu ego tubuh

(body ego) mengacu pada pengalaman dengan tubuh, cara kita melihat

fisik berbeda dari orang lain, ideal ego (ego ideal) merupakan

gambaran diri kita jika dibandingkan dengan gambaran ideal ego orang

lain, dan terakhir adalah identitas ego (ego identity) merupakan

gambaran diri mengenai peran sosial yang dimainkan. Perubahan

ketiga komponen tersebut selalu terjadi di setiap tahap kehidupan.

Marcia merupakan salah satu tokoh Neo-Eriksonia yang

membangun teori identitas terukur dari teori Erikson. Marcia

mengembangkan metode interview untuk mengukur ego identity

dengan menggunakan dua kriteria yaitu eksplorasi (krisis) dan

komitmen. Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk

mencari informasi atau alternatif sebanyak banyaknya untuk masa

depan sedangkan komitmen merupakan sikap yang cenderung

menetap, memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih

dan diyakini paling baik untuk masa depan (Santrock, 2002).

Hasil dari metode interview yang dilakukan, Marcia

menemukan adanya hubungan antara status identitas dengan

karakteristik seperti kekhawatiran, harga diri, penalaran moral, dan

pola perilaku (Papalia dkk, 2008). Berdasarkan teori Marcia tersebut,

(39)

keluarga yang berhubungan dengan status identitas seperti ditunjukkan

pada tabel 2 :

Tabel 2

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pembentukan Status Identitas

Faktor Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement

Purwadi (2004) salah satu peneliti yang menggunakan teori

Marcia menyebutkan beberapa faktor yang mendahului pembentukan

identitas diri pada remaja antara lain tingkat identifikasi pada orang tua

sejak kanak-kanak hingga mencapai remaja, gaya pengasuhan yang

diterapkan oleh orang tua atau pihak yang mengasuh dan merawat

remaja tersebut, keberadaan figur tokoh sukses yang dilihat remaja,

harapan sosial tentang identitas seseorang, tingkat keberhasilan

seseorang mengungkap berbagai alternatif identitas diri, dan

(40)

Selain adanya faktor-faktor yang mendahului pembentukan

identitas diri, identitas diri juga berkaitan dengan berbagai macam

domain yang terdapat dalam masyarakat. Domain merupakan area

yang mewakili tingkat eksplorasi dan komitmen pada status identitas

diri seseorang. Menurut Erikson (dalam The OMEIS, 1998), ada dua

komponen yang merupakan formasi dari status identitas yaitu

ego-identity dan self ego-identity. Ego-ego-identity merujuk kepada komitmen,

seperti dalam masalah pekerjaan, dan nilai ideologi berhubungan

dengan politik, agama, filosofi kehidupan, dan lain-lain, sedangkan

self-identity dapat diilustrasikan dari formasi identitas yang jelas

terlihat seperti hubungan sosial dengan sesama, misalnya di Indonesia

remaja sudah mulai ikut serta melaksanakan pemilu dengan memilih

salah satu partai politik yang sesuai dengan pemikirannya.

Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan

bahwa masa remaja membawa ketertarikan seseorang pada

perkembangan sosial dirinya, sehingga remaja banyak tertarik pada

pengaruh luar seperti agama, politik, dan aspek interpersonal lainnya,

sedangkan dalam masalah komitmen, remaja mulai berpikir mengenai

kebutuhan untuk bertanggungjawab seperti dalam masalah pilihan

pekerjaan.

Grotevant, Thorbecke, & Meyer, (dalam Adams, 1998)

menyebutkan bahwa identitas ideologis terdiri dari pilihan pekerjaan,

(41)

pandangan gaya hidup seseorang), sedangkan identitas interpersonal

berhubungan dengan domain pertemanan, hal berpacaran, peran gender

(berhubungan dengan peran suami-istri, peran gender dalam dunia

kerja, dan peran anak laki-laki dan perempuan), dan pilihan rekreasi.

Ini menjadi dasar pemilihan domain pada status identitas. Kesuksesan

pencapaian status identitas remaja dapat dilihat melalui pencapaian

status pada masing-masing domain tersebut.

Seorang remaja yang telah mencapai status identitas tertentu,

misalnya status identity achievement, belum tentu remaja tersebut juga

mencapai status yang sama pada domain lainnya. Status identitas tidak

selalu stabil sampai akhir hidup (Santrock, 2002). Contohnya, remaja

dengan eksplorasi dan komitmen tinggi dalam pekerjaan, belum tentu

memiliki eksplorasi dan komitmen yang tinggi pula dalam agama.

Nauta, Khan, & Lucas (dalam Sawitri, 2009) menyebutkan

bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan pencapaian

status identitas, misalnya budaya di Negara barat yang mengajarkan

kemandirian sejak dini akan membuat pencapaian status identity

achievement pada domain pekerjaan oleh remaja di Negara tersebut

lebih cepat dibanding remaja pada Negara, misalnya Indonesia dengan

budaya yang orang tuanya kurang mendorong eksplorasi, komitmen

dan kurang mendorong remaja untuk mengandalkan dirinya sendiri,

(42)

3. Status Identitas Diri Menurut James Marcia

Marcia mengidentifikasikan eksplorasi dan komitmen sebagai

dua dasar dimensi untuk mendefinisikan status seseorang dalam

mencapai sebuah identitas diri. Berdasarkan kedua dimensi dasar

tersebut Marcia (dalam Schwartz, 2001) mengklasifikasikan

perkembangan pembentukan empat identitas diri, yaitu penyebaran

identitas (identity diffusion), pencabutan identitas (identity

foreclosure), penundaan identitas (identity moratorium), dan

pencapaian identitas (identity achievement).

a. Identity Diffusion

Identity Diffusion merupakan keadaan apatis yang

menunjukkan tidak adanya eksplorasi dan komitmen untuk

menyelesaikannya (tingkat eksplorasi dan komitmen rendah).

Individu ini mengalami kebingungan dalam mencapai identitas.

Ciri-ciri individu pada status ini adalah sulit untuk

beradaptasi dengan lingkungan dan mudah terpengaruh oleh

lingkungan sekitar sehingga perilakunya cenderung menuju ke arah

konformitas. Individu pada status ini berisiko melakukan

tindakan-tindakan maladaptif seperti penggunaan obat-obatan terlarang,

bulimia dan lainnya (Schwartz, 2001). Individu ini memiliki

kemandirian yang rendah, harga diri yang rendah, pemalu,

menunda untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan yang ada sehingga

(43)

kurang mampu untuk berpikir secara rasional. Mereka tidak

memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua sehingga kurang

mendapat dukungan sosial.

b. Identity foreclosure

Identity foreclosure merupakan status identitas dari

individu yang telah membuat komitmen untuk tujuan, nilai, dan

keyakinan namun tanpa melalui eksplorasi (eksplorasi tidak

maksimal).

Ciri-ciri individu pada status ini adalah pikirannya tidak

terbuka untuk hal-hal baru, merasa puas terhadap dirinya sendiri.

Individu pada status ini tidak memiliki konflik dengan keluarga

sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga

(Schwartz, 2001).

c. Identity Moratorium

Identity Moratorium merupakan status identitas dari

individu yang sedang mengalami eksplorasi tetapi belum memiliki

sebuah komitmen terhadap keputusannya.

Ciri-ciri individu yang memiliki status identitas ini adalah

memiliki kemampuan untuk berpikir kritis ketika dihadapkan pada

pilihan penting dalam hidupnya. Orang tua dari individu pada

status ini menekankan kemandirian dalam membesarkan

(44)

d. Identity Achievement

Identity Achievement merupakan status identitas dari

individu yang telah melakukan eksplorasi pada berbagai perspektif,

mempertimbangkan berbagai kemungkinan dengan bijaksana,

mengambil keputusan berdasarkan eksplorasi yang telah dilakukan

dan telah membuat komitmen terhadap keputusan yang diambil.

Identity achievement merupakan proses paling akhir dari

pembentukan identitas. Status ini adalah yang paling matang

karena memiliki pemikiran yang seimbang, pembuatan keputusan

yang efektif, dan memiliki hubungan yang intim dengan keluarga.

Ciri-ciri individu yang memiliki status identitas ini adalah

memiliki motivasi, harga diri, dan kemandirian yang tinggi,

mampu menghadapi stres tanpa terlalu sering melakukan

mekanisme pertahanan diri (Kroger, 2005).

Berdasarkan penjelasan mengenai ada atau tidak adanya

eksplorasi dan komitmen dalam status identitas dapat dilihat pada tabel

3 :

Tabel 3

Status Identitas, Eksplorasi , dan Komitmen

Faktor/Variabel Status Identitas

Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Eksplorasi Tidak ada Tidak ada Ada Ada

(45)

D. Perbedaan Kemandirian pada Remaja Akhir Dilihat dari Status Identitas James Marcia

Masa remaja merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan

manusia. Masa ini penuh dengan perubahan-perubahan sebagai suatu

peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa (Santrock, 2002).

Akibatnya, remaja mengalami transisi posisi antara anak-anak dengan

dewasa yang akhirnya menunjukkan sikap dan perilaku yang ambigu.

Perubahan-perubahan pada remaja sangat berpengaruh dalam berbagai

dimensi kehidupan remaja (Purwadi, 2004).

Terkadang remaja masih dianggap seperti anak kecil yang tidak

boleh mencampuri urusan orang dewasa akan tetapi di sisi lain mereka

dituntut untuk menampilkan pribadi yang dewasa dan membantu

menyelesaikan masalah orang dewasa. Situasi ini dapat menimbulkan

konflik internal menyangkut peran yang harus mereka jalani. Selain itu,

juga menimbulkan krisis identitas (Purwadi, 2004). Remaja mulai bertanya

seperti apa dirinya, bagaimana mengambil peran yang tepat dalam

berbagai kondisi, dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan.

Menurut Erikson (dalam Papalia dkk, 2008) remaja memiliki tugas

utama untuk memecahkan krisis identitas yang dialami remaja atau

menyelesaikan tahap identitas versus kebingungan identitas karena bahaya

utama pada tahap ini adalah kebingungan identitas atau peran yang dapat

menghambat pencapaian kedewasaan remaja. Oleh karena itu,

(46)

menjadi pribadi dewasa yang unik serta memahami peran dan nilai dalam

masyarakat.

Marcia (dalam Schwartz, 2001) salah satu tokoh Neo-Eriksonia

mengembangkan teori Erikson dengan membangun teori identitas terukur

melalui metode wawancara. Marcia menemukan ada empat tipe status

identitas, yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium,

dan identity achievement. Perbedaan keempat status identitas ini terletak

pada ada tidaknya eksplorasi dan komitmen.

Eksplorasi dan komitmen merupakan parameter untuk

menempatkan remaja pada masing-masing status identitas. Identity

diffusion menunjukkan tidak adanya eksplorasi dan komitmen, identity

foreclosure menunjukkan adanya komitmen tanpa melalui eksplorasi,

identity moratorium menunjukkan adanya eksplorasi tetapi belum

memiliki komitmen, dan identity achievement menunjukkan adanya

eksplorasi dan telah memiliki komitmen.

Selain terkait dengan status identitas, remaja juga memiliki tugas

perkembangan lain yang harus diselesaikan untuk mengantarnya menuju

ke masa dewasa yang ideal, yaitu mencapai kemandirian (Papalia dkk,

2008). Remaja yang mandiri mampu untuk mengambil keputusan,

bertanggung jawab atas perilakunya, tidak bergantung pada orang lain,

mampu menentukan sikapnya terhadap lingkungan, memiliki inisiatif dan

kepercayaan diri. Remaja memiliki aspek-aspek penilaian kemandirian

(47)

Remaja yang berada pada status identity diffusion memiliki

kemandirian yang rendah. Mereka sulit untuk beradaptasi dengan

lingkungan, berisiko melakukan tindakan yang maladaptif, memiliki harga

diri yang rendah, pemalu, dan senang menunda untuk mengeksplorasi

pilihan-pilihan yang ada. Remaja dengan status identity foreclosure

memiliki kemandirian yang rendah. Mereka merasa kurang percaya diri,

tidak terbuka pada hal-hal baru. Remaja yang berada pada status identity

moratorium memiliki kemandirian yang rendah. Mereka memiliki

kemampuan untuk berpikir kritis ketika dihadapkan pada masalah penting.

Remaja yang berada pada status identity achievement memiliki

kemandirian yang tinggi. Mereka telah mampu memecahkan krisis

identitas, mampu membangun relasi yang intim, memiliki motivasi dan

harga diri yang tinggi.

Remaja dengan status identitas tertentu akan menjadikannya

mandiri atau sebaliknya kurang mandiri. Penelitian ini diharapkan dapat

mengetahui adanya perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari

status identitas yang mereka miliki.

E. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan kemandirian pada remaja akhir di Indonesia dilihat

(48)

Perbedaan

K Kemandirian

Skema Alur Berpikir Status

Identitas

Identity Diffusion

Identity Foreclosure

Identity Moratorium

Identity Achievement

Kemandirian Rendah

Kemandirian Rendah

Kemandirian Rendah Kemandirian

(49)

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komparatif (Sugiyono, 2008),

yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara

membandingkan kemandirian remaja akhir dilihat dari status identitas

James Marcia.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas (X) : Status Identitas

Variabel tergantung (Y) : Kemandirian

C. Definisi Operasional

1. Kemandirian

Kemandirian merupakan kemampuan remaja untuk mengambil

keputusan, melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya,

serta mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut. Kemandirian

juga ditandai dengan adanya inisiatif dan kepercayaan diri.

Kemandirian dalam penelitian ini akan diungkap dengan

menggunakan tiga aspek yang terdapat dalam kemandirian. Semakin

(50)

pula kemandirian remaja tersebut dan demikian pula sebaliknya.

Aspek-aspek kemandirian tersebut antara lain :

a. Aspek kemandirian emosional, yang terdiri dari empat sub aspek,

yaitu tidak mengidealkan orang tua, remaja melihat orang tua

seperti orang-orang pada umumnya, ketidaktergantungan, indiv

iduasi.

b. Aspek kemandirian perilaku, yang terdiri dari tiga sub aspek, yaitu

mampu membuat keputusan, mengalami perubahan ketahanan, dan

kepercayaan diri.

c. Aspek kemandirian nilai, yang terdiri dari tiga sub aspek, yaitu

kepercayaan abstrak, kepercayaan prinsip, kepercayaan kebebasan.

2. Status Identitas

Identitas diri merupakan tujuan, nilai, keyakinan yang melekat

pada diri seseorang dan akan terus mengalami perubahan untuk

menyesuaikan dengan identitasnya.

Skala status identitas ini di susun dengan mengacu pada teori

James Marcia (dalam Schwartz, 2001) tentang empat jenis status

identitas, yaitu identity diffusion, identity foreclosure, identity

moratorium, dan identity achievement pada identitas ideologis yang

meliputi domain pekerjaan, agama, politik, serta nilai-nilai gaya hidup

(berhubungan dengan pandangan gaya hidup seseorang) dan identitas

(51)

(berhubungan dengan peran suami-istri, peran gender dalam dunia

kerja, peran anak laki-laki-perempuan), dan rekreasi.

Penempatan subjek ke dalam status identity diffusion, identity

foreclosure, identity moratorium, atau identity achievement adalah

dengan mengolah Z score. Z score berguna untuk membandingkan

posisi seseorang dengan orang lain dalam kelompok masing-masing

(Santoso, 2010).

Pertama, memisahkan aitem berdasarkan status identitas yang

meliputi delapan domain. Kedua, menghitung Z score untuk setiap

remaja akhir pada masing-masing status identitas tersebut. Ketiga,

membandingkan hasil Z score dari keempat status identitas untuk

masing-masing remaja akhir dan yang terakhir mengkategorikan

remaja akhir pada status yang memiliki nilai Z score paling tinggi.

Setelah pengkategorian subjek ke masing-masing status identitas

tersebut, baru kemudian dilihat perbedaan kemandiriannya dengan

menggunakan uji Brown-Forsythe dan Welch.

D. Subjek Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh individu yang akan diselidiki.

Populasi dibatasi sebagai sejumlah individu yang paling sedikit

mempunyai sifat yang sama (Hadi, 1996). Populasi dalam penelitian

(52)

2. Metode Pengumpulan Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi. Sampel harus

mewakili populasi atau merupakan populasi dalam bentuk kecil (Hadi,

1996). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah convenience sampling. Convenience sampling merupakan

salah satu teknik nonprobabilitas sampling, subjek dipilih karena

dianggap sesuai dengan penelitian dan mudah didapatkan oleh peneliti

(Castillo, 2009).

Subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah remaja

laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 18-21 tahun. Alasan

pemilihan subjek dengan usia 18-21 tahun ini adalah remaja akhir

sudah mulai mengurangi ketergantungannya terhadap orang tua,

mereka memiliki kemandirian yang tinggi, Smith & Crawford;

Silverberg & Steinberg (dalam Fleming, 2005).

E. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :

1. Membuat skala kemandirian dan skala status identitas untuk

diujicobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik

sama dengan kelompok subjek yang sesungguhnya.

(53)

3. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan ciri-ciri/kriteria dan

kemudian mengukur kemandirian dan status identitas dengan cara

subjek mengisi skala yang sudah di ujicobakan.

4. Menganalisis data yang masuk dengan anava satu jalur untuk melihat

ada tidaknya perbedaan kemandirian remaja akhir ditinjau dari status

identitas menurut James Marcia.

5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan menyebarkan skala status identitas (skala A) dan skala

kemandirian (skala B) yang kemudian diisi oleh subjek.

2. Alat Pengumpulan Data

Alat yang akan digunakan untuk menumpulkan data dalam

penelitian ini adalah skala, yaitu :

a. Skala Status Identitas

Skala ini di susun oleh peneliti berdasarkan teori James

Marcia (1966) tentang empat status identitas yaitu identity

diffusion, identity foreclosure, identity moratorium, dan identity

achievement dalam identitas ideologis yang terdiri dari beberapa

domain diantaranya pekerjaan, agama, politik, dan nilai-nilai gaya

(54)

pertemanan, berpacaran, peran gender, dan rekreasi. Masing

masing pilihan jawaban dapat menunjukkan keempat status

identitas diri yang akan diungkap.

Skala status identitas ini berisi pernyataan identity diffusion,

identity foreclosure, identity moratorium, dan identity achievement

dalam delapan domain. Subjek akan dihadapkan pada skala yang

berisi pernyataan-pernyataan favorable. Skala ini hanya

menggunakan aitem-aitem favorable karena bila dibuat

unfavorable maka kemungkinan hanya akan mengarahkan subjek

masuk pada satu status identitas saja.

Skala ini terdiri dari empat kategori respon yang

disediakan. Subjek diminta untuk memilih pernyataan yang paling

sesuai. Empat kategori respon yang disiapkan untuk aitem-aitem

favorable tersebut yaitu Sangat Setuju (SS)=4, Setuju (S)=3, Tidak

Setuju (TS)=2, dan Sangat Tidak Setuju (STS)=1. Pada skala ini

tidak ada respon N (netral) dengan alasan agar subyek penelitian

(55)

Tabel 4

Blue Print Skala Status Identitas

No Aspek

Status

Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah

1. Ideologi identity

Skala ini di susun oleh peneliti berdasarkan teori Steinberg

(2002). Di dalam skala ini terdapat tiga aspek yang menyusun

kemandirian yaitu emotional autonomy, behavioral autonomy,

value autonomy.

Skala kemandirian ini berisi pernyataan yang favorable dan

unfavorable . Subjek akan dihadapkan pada berbagai pernyataan

yang terdiri dari empat kategori respon yang disediakan. Subjek

diminta untuk memilih pernyataan yang paling sesuai. Empat

kategori respon yang disiapkan untuk aitem-aitem favorable

tersebut yaitu Sangat Setuju (SS) = 4, Setuju (S) = 3, Tidak Setuju

(56)

unfavorable yaitu : Sangat Setuju (SS) = 1, Setuju (S) = 2, Tidak

Setuju (TS) = 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) = 4. Pada skala ini

tidak ada respon N (netral) dengan alasan agar subyek penelitian

menjawab dengan pasti dan sesuai dengan dirinya.

Skor untuk tiap-tiap aitem pada skala dijumlahkan sehingga

menjadi skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh

menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan yang tinggi

dalam hal penguasaan kemandirian dan sebaliknya jika skor rendah

maka menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan yang

rendah dalam hal penguasaan kemandirian.

Tabel 5

Blue Print Skala Kemandirian

No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah

(57)

G. Validitas dan Reliabilitas Alat ukur

1. Validitas

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas

isi, yaitu menguji isi dari skala psikologi dengan analisis rasional atau

lewat professional judgment. Validitas ini dilakukan dengan meminta

penilaian dari ahli yang memahami skala psikologi untuk melihat isi

skala dan membandingkannya dengan teori untuk melihat sejauhmana

aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi obyek yang

akan diukur (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini, professional

judgment dilakukan oleh dosen pembimbing.

2. Seleksi Aitem

Seleksi aaitem dilakukan untuk melihat kualitas dari

aitem-aitem yang ada dalam skala. Seleksi aitem-aitem dilakukan dengan memilih

aitem berdasarkan koefisien korelasi aitem total.

a. Skala Status Identitas

Untuk skala status identitas menggunakan batasan rix

0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30

daya bedanya dianggap memuaskan sedangkan aitem yang

mencapai kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem

yang memiliki daya diskriminasi rendah atau kurang memuaskan.

Terdapat 55 aitem yang memiliki indeks diskriminasi ≥

0,30 dari 64 aitem, 14 aitem yang lolos seleksi untuk status

(58)

aitem untuk status identity moratorium, dan 14 aitem untuk status

identity achievement sedangkan sebanyak 9 aitem yang lain dari

keseluruhan skala status identitas dianggap sebagai aitem yang

gugur karena memiliki daya diskriminasi< 0,30. Kesembilan aitem

itu terdiri dari 2 aitem status identity diffusion (10, 42), 1 aitem dari

status identity foreclosure (26), 4 aitem dari status identity

moratorium (16, 30, 34, 41), dan 2 aitem dari status identity

achievement (53, 58). Aitem-aitem skala status identitas yang

gugur setelah dilakukan uji coba dapat dilihat pada tabel 6 :

Tabel 6

Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Uji Coba

No Aspek

Status

Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah

1. Ideologi identity

*) aitem-aitem yang gugur setelah uji coba

Distribusi atau penyebaran aitem-aitem pada Skala Status

Identitas dalam susunan penomoran baru dan diacak yang akan

(59)

Tabel 7

Aitem-aitem Skala Status Identitas Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang

No Aspek

Status

Diffusion Foreclosure Moratorium Achievement Jumlah

1. Ideologi identity

Untuk aitem-aitem dalam skala kemandirian peneliti

menggunakan batasan rix ≥ 0,25. Hal tersebut dikarenakan jumlah

aitem yang lolos seleksi ternyata masih belum mencukupi jumlah

yang diharapkan (Azwar, 2006). Hasil seleksi tersebut memperoleh

47 aitem yang memiliki daya diskriminasi ≥ 0,25 sedangkan 13

aitem lainnya memiliki daya diskriminasi < 0,25 dan dianggap

sebagai aitem yang gugur. Ketigabelas aitem tersebut terdiri dari 3

aitem aspek emotional autonomy (6, 8, 13), 5 aitem dari aspek

behavioral autonomy (4, 7, 38, 45, 48), dan 5 aitem dari aspek

(60)

Kemandirian yang telah gugur setelah dilakukan uji coba dapat

dilihat pada tabel 8 :

Tabel 8

Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Uji coba

No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah

Favorable Unfavorable

*) aitem-aitem yang gugur setelah uji coba

Distribusi atau penyebaran aitem-aitem pada Skala

Kemandirian dalam penomoran baru dan di acak yang akan

(61)

Tabel 9

Aitem-aitem Skala Kemandirian Setelah Dilakukan Penyusunan Ulang

No Aspek Indikator Pernyataan Jumlah

Favorable Unfavorable

Reliabilitas mengacu pada sejauhmana hasil dari suatu

pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini,

pengujian reliabilitas diuji dengan menggunakan pendekatan

konsistensi internal Alpha (α) Cronbach. Didapatkan hasil koefisien

reliabilitas dari skala status identitas adalah sebesar 0,841 untuk status

identity diffusion, 0,852 untuk status identity foreclosure, 0,820 untuk

status identity moratorium, 0,840 untuk status identity achievement,

(62)

H. Teknik Analisis Data

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengecek apakah data

penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal dengan

melihat taraf signifikansinya. Jika taraf signifikansi lebih kecil dari

pada 0,05 (p < 0,05) maka sebaran datanya tidak normal sedangkan

jika taraf signifikansi lebih besar dari pada 0,05 (p > 0,05) maka

sebaran datanya normal. Dalam penelitian ini untuk menguji

normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji One-Sample

Kolmogorov-Smirnov test (Santoso, 2010).

b. Uji Homogenitas Varian

Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan program

SPSS (Statistical Product and Service Solution) for windows versi

16, melalui Levene’s Test for Equality of Variance. Uji ini

dilakukan untuk mengetahui apakah varian dari sampel yang diuji

homogen atau tidak (Santoso, 2010).

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan anava

satu jalur melalui program SPSS (Statistical Product and Service

Solution) for windows versi 16. Pengujian dilakukan dengan cara

melihat taraf signifikansinya. Hipotesis akan diterima bila memiliki

(63)

perbedaan kemandirian pada remaja akhir dilihat dari status identitas

James Marcia, akan tetapi karena varian tidak sama maka tidak dapat

menggunkan anava satu jalur sehingga dilakukan uji Brown-Forsythe

(64)

45

BAB IV

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

1. Uji Coba Alat Ukur

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba

alat ukur penelitian untuk melihat validitas dan reliabilitas dari alat

ukur yang akan digunakan pada penelitian yang sesungguhnya. Alat

ukur yang diuji cobakan terdiri dari skala status identitas yang berisi

64 aitem dan skala kemandirian yang berisi 60 aitem. Pada saat uji

coba alat ukur ini setiap subjek mendapat satu eksemplar yang terdiri

dari skala status identitas atau disebut sebagai skala A dan skala

kemandirian atau disebut sebagai skala B.

Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 31 Agustus, 1, 3

September 2012, di Universitas Sanata Dharma dan SMA Bopkri 2

Yogyakarta. Alat ukur penelitian diuji cobakan pada kelompok uji

coba yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok subjek

yang akan digunakan pada penelitian sesungguhnya. Subjek dalam uji

coba alat ukur ini sebanyak 60 orang, terdiri dari mahasiswa dan

pelajar SMA kelas XII, semua sudah memenuhi kriteria batasan usia

sebagai remaja akhir yang menurut Monks dkk, (2002) berkisar antara

18-21 tahun. Usia subjek diketahui dari hasil pengisian identitas yang

(65)

Pengisian skala dilakukan langsung oleh masing-masing subjek

baik yang berada di lingkungan kampus, lingkungan sekolah maupun

lingkungan tempat tinggal masing-masing subjek. Skala yang sudah

selesai diisi langsung dikumpulkan kembali kepada beberapa teman

peneliti sesuai dengan jumlah yang telah dibagikan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 11-14 September 2012.

Pengambilan data di laksanakan di Lingkungan Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta dengan subjek mahasiswa dari berbagai fakultas

dan LBPP LIA Yogyakarta dengan subjek pelajar SMA kelas XII.

Dalam pengambilan data (penyebaran skala), peneliti

melakukan dua cara. Pertama, peneliti menyebarkan skala dengan

memasuki kelas di masing-masing fakultas sedangkan di LBPP LIA,

peneliti menyebarkan skala pada waktu jeda istirahat. Kedua, peneliti

menyebarkan skala di lingkungan tempat tinggal mahasiswa (kos dan

asrama) dengan meminta bantuan beberapa teman peneliti.

Jumlah subjek yang diperoleh dalam penelitian sebanyak 137

subjek. Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat 6 subjek yang gugur,

diantaranya 2 subjek karena usia kurang dari 18 tahun dan 4 subjek

usianya lebih dari 21 tahun, sehingga hanya terdapat 131 subjek yang

Gambar

Tabel 17. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Domain pada
Tabel 1 Perubahan Perkembangan Masa Remaja
Tabel 2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pembentukan Status Identitas
Tabel 4 Blue Print Skala Status Identitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada status identitas foreclosure remaja tidak mencari tahu mengenai bidang pekerjaan, namun mereka sudah menentukan pilihan jenis pekerjaan yang

Perbedaan pada tiap kelompoknya menunjukkan bahwa remaja dari kelompok status sosial ekonomi tinggi dan menengah memiliki perbedaan intensi perilaku prososial yang

Perbedaan kemandirian antara remaja yang tinggal pondok pesantren dengan remaja yang tinggal bersama orang tua 18.. Kerangka

Berdasarkan hasil analisa data didapatkan prosentase pencapaian status identitas diri pada remaja Cina identity achieved 31,6 %, identity moratorium 19,0 %, pada Identity

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat asertivitas antara anak sulung dan bungsu remaja akhir dalam keluarga.. Asertivitas merupakan perilaku yang

Saya memiliki agama yang sama dengan orang tua, menurut saya agama yang mereka yakini adalah yang terbaik. Saya pernah beberapa kali jalan bersama

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah hubungan yang terjadi antara harga diri dengan kemandirian pada remaja putri akhir.. Hipotesis yang diajukan

Perbedaan pada tiap kelompoknya menunjukkan bahwa remaja dari kelompok status sosial ekonomi tinggi dan menengah memiliki perbedaan intensi perilaku prososial yang signifikan