• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. sehingga muncul perubahan tingkah laku. Winkel (2004:53)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. sehingga muncul perubahan tingkah laku. Winkel (2004:53)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. KAJIAN TEORI 1. Belajar

Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, tetapi belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang sehingga muncul perubahan tingkah laku. Winkel (2004:53) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.

Menurut Slameto (2003:23) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hilgard (Wina Sanjaya, 2006:110) mengungkapkan “belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan, baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan sekitar.”

Selanjutnya Oemar Hamalik (2004:36) mendefinisikan belajar sebagai suatu pertumbuhan dan perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat

(2)

pengalaman dan latihan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wina Sanjaya (2006:108) bahwa belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya, manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Melalui kemampuan belajar, manusia akan dapat memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.

Prinsip belajar sepanjang hayat di atas, sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dirumuskan UNESCO (1996) yaitu:

a. Learning to know, mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.

b. Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global.

c. Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi dirinya-sendiri. Dengan kata lain belajar untuk mengaktualisasikan dirinya-sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia.

d. Learning to live, adalah belajar untuk bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global, dimana manusia secara individu maupun kelompok tidak mungkin bisa hidup sendiri

(Wina Sanjaya, 2006:108).

Konstruktivisme merupakan suatu pandangan bagaimana seseorang belajar, yaitu menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui pengenalan terhadap benda-benda disekitarnya yang direfleksikan melalui pengalamannya (Indrawati dan Wanwan, 2009:9). Dalam prinsip konstruktivis menurut Slamet Soewardi,dkk (2005:84) bahwa

(3)

seorang pengajar atau guru mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain:

a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa mengambil tanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian.

b. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir siswa secara produktif dan menyediakan kesempatan serta pengalaman yang paling mendukung belajar siswa.

c. Memonitor, mengevalusi dan menunjukkan berjalan atau tidaknya pemikiran siswa. Guru membantu siswa dalam mengevalusi hipotesa dan membuat kesimpulan.

Proses belajar yang bercirikan konstruktivisme menurut kaum konstruktivistik adalah sebagai berikut:

a. Belajar berarti membentuk makna.

b. Konstruksi berarti sesuatu hal yang sedang dipelajari terjadi dalam proses yang terus-menerus.

c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari itu yaitu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.

d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.

e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.

f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui peserta didik (konsep, tujuan, motivasi) yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari

(Paul Suparno dalam Indrawati dan Wanwan, 2009:11).

Hal terpenting dalam teori konstruktivisme adalah dalam proses belajar, siswalah yang harus mendapatkan penekanan. Siswa harus aktif dalam mengembangkan pengetahuannya, karena belajar siswa aktif dalam pendidikan di Indonesia sangat penting dan perlu untuk dikembangkan.

(4)

2. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM)

Pembelajaran menurut Degeng (Hamzah B. Uno, 2008:83) adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Dalam pengertian ini secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Wina Sanjaya (2010:135) mengemukakan bahwa pembelajaran dalam standar proses pendidikan didesain untuk membelajarkan siswa. Sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya pembelajaran ditekankan atau berorientasi pada aktivitas siswa (active learning).

Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi yaitu; berpusat pada siswa, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, memiliki semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi, menciptakan kondisi yang menyenangkan, mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar dalam mata pelajaran.

Pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) adalah salah satu metode pembelajaran berbasis lingkungan (Sofan dan Ahmadi, 2010:19). Penerapan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran harus dipraktikkan dengan benar.

(5)

Gambaran penerapannya secara garis besar sebagai berikut:

a. Siswa langsung terlibat ke dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemauan mereka dengan penekanan pada belajar melalui praktik.

b. Guru dituntut menggunakan alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar agar pembelajaran menjadi menarik, menyenangkan dan cocok bagi siswa.

c. Guru harus bisa mengatur kelas dengan berbagai variasi seperti bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan alat-alat pembelajaran.

d. Guru menerapkan tentang cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok dalam segala suasana.

e. Guru mendorong, memberikan motivasi siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.

Hisyam Zaini,dkk (2007:xvi) mendefinisikan pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif. Ketika peserta didik belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktivitas pembelajaran. Peserta didik diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental akan tetapi juga melibatkan fisik. Cara ini akan menjadikan suasana lebih menyenangkan bagi peserta didik, sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mel Silberman (2010:19) bahwa “pelatihan yang aktif tidak akan terjadi tanpa keterlibatan para peserta. Sebagian metode sangat cocok digunakan ketika waktu yang tersedia terbatas atau partisipasi perlu dibangkitkan.”

(6)

Pembelajaran inovatif dirumuskan Suharmanto (2008:10) sebagai berikut:

“Pembelajaran inovatif dapat diartikan sebagai pembelajaran yang dirancang oleh guru, yang sifatnya baru, tidak seperti yang biasanya dilakukan, dan bertujuan untuk memfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuan sendiri dalam rangka proses perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa”.

Pembelajaran yang sifatnya memperbaiki program pembelajaran sebelumnya yang tidak memuaskan dalam kegiatan mengajar, hasilnya dapat digolongkan inovatif karena mencoba untuk memecahkan masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, pembelajaran inovatif adalah program pembelajaran yang langsung memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh kelas berdasarkan kondisi kelas. Pada gilirannya program pembelajaran tersebut akan memberi sumbangan terhadap usaha peningkatan mutu sekolah secara keseluruhan.

Indrawati dan Wanwan (2009:14) mendefinisikan pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang menstimulasi siswa untuk mengembangkan gagasannya dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada. Proses kreatif dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.

Pembelajaran efektif apabila menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, karena keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses

(7)

pembelajaran tidak efektif. Indrawati dan Wanwan (2009:15) memberikan pengertian pembelajaran efektif sebagai pembelajaran yang menghasilkan apa yang harus dicapai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Sebagaimana Raka Joni (Sunaryo, 1989:2) memandang strategi belajar mengajar adalah pola umum perbuatan guru dan siswa untuk mewujudkan agar proses belajar mengajar tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien.

Dave Meier (Indrawati dan Wanwan, 2009:16) memberikan pengertian “menyenangkan atau fun sebagai suasana belajar dalam keadaan gembira”. Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang tidak membosankan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar. Learning is fun (pembelajaran yang menyenangkan) merupakan kunci yang diterapkan dalam pembelajaran inovatif. Jika siswa sudah menanamkan hal ini dalam pikirannya, tidak akan ada lagi siswa yang pasif di kelas, merasa tertekan dengan tugas, merasa gagal dan bosan.

Berdasarkan uraian materi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) adalah proses pembelajaran dimana guru harus menciptakan suasana pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa aktif mengemukakan gagasan, kreatif, kritis dan mencurahkan perhatiannya secara penuh dalam belajar serta suasana

(8)

pembelajaran yang menimbulkan kenyamanan bagi siswa untuk belajar.

3. Metode Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning Method) Salah satu metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan adalah pembelajaran kooperatif (cooperatif learning). Slavin (Wina Sanjaya, 2010:242) mengemukakan dua alasan mengenai pembelajaran kooperatif:

“Pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintregasikan pengetahuan dengan ketrampilan.”

Metode pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan teori konstruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vygotsky yaitu penekanan sosiokultural dari pembelajaran Vygotsky, bahwa interaksi sosial dengan orang lain penting, terlebih yang mempunyai pengetahuan yang lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik. Implikasi dari teori Vygotsky dikehendakinya suasana kelas berbentuk kooperatif (Slamet Soewardi,dkk. 2005:79).

Metode pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dalam kelompok kooperatif belajar diskusi, saling membantu dan mengajak teman satu sama lain untuk mengatasi masalah belajar.

(9)

Pembelajaran kooperatif mengkondisikan siswa untuk aktif dan saling memberi dukungan dalam kerja kelompok untuk menuntaskan masalah dalam materi belajar. Menurut Ibrahim (2000:2) metode pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang membantu siswa mempelajari isi akademik dan hubungan sosial.

Dalam pembelajaran ini, terdapat beberapa model yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas, yaitu:

a. Cooperative Script, yaitu model belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.

b. Make a Match (Mencari Pasangan), dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.

c. Mind Mapping. Model ini sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban.

d. Think-Pare-Share (Berpikir Berpasangan Berempat), dikembangkan oleh Frank Lyman (1985). Keunggulan dari model ini adalah optimalisasi partisipasi siswa, yaitu memberi kesempatan lebih banyak kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasinya kepada orang lain.

e. Numbered Heads Together (Kepala Bernomor), yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Model ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide dan pertimbangan jawaban yang paling tepat.

f. Student Teams-Achievement Divisions (STAD), dikembangkan oleh Slavin (1995). Bagian esensial dari model ini adalah adanya kerjasama anggota kelompok dan kompetisi antar kelompok.

Siswa bekerja dalam kelompok untuk belajar dari temannya serta mengajari temannya.

g. Jigsaw (Model Tim Ahli), dikembangkan oleh Aronson, dkk (1978). Model ini memberikan kemungkinan siswa terlibat aktif diskusi dan saling komunikasi dalam suatu kelompok.

(http://www.Model Pembelajaran Inovatif (1)_AKHMAD SUDRAJAT TENTANG PENDIDIKAN.html)

(10)

Seorang guru yang profesional akan dapat memilih dan memodifikasi sendiri model-model pembelajaran tersebut, agar lebih sesuai dengan situasi kelas. Dari beberapa model pembelajaran di atas, peneliti memilih salah satu model pembelajaran Make a Match untuk dijadikan penelitian.

4. Model Pembelajaran

Para ahli dalam menyusun model-model pengajaran berdasarkan berbagai prinsip. Joyce dan Well (Moedjiono dan Dimyati, 1991:109) berpendapat bahwa model pengajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (suatu rencana pelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pengajaran, dan membimbing pengajaran di kelas atau yang lain.

Model pengajaran Joyce dan Well didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

a. Meletakkan tekanan yang seimbang pada guru dan siswa, dalam kegiatan belajar mengajar kedua pihak sama-sama aktif.

b. Dapat didemonstrasikan dan dipelajari dalam waktu yang singkat.

c. Dapat dijadikan bekal bagi calon guru untuk membangun model pengajaran sendiri di kemudian hari.

Model belajar mengajar disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Ciri-ciri model belajar mengajar menurut Moedjiono dan Dimyati (1991:109) adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu.

b. Mempunyai misi dan tujuan pendidikan tertentu.

c. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar- mengajar di kelas.

(11)

d. Memiliki perangkat bagian model yang dinamakan; (1)urutan langkah pengajaran atau sering disebut dengan istilah sintaks, (2)prinsip reaksi, (3)sistem sosial, dan (4)sistem pendukung.

Dari kutipan di atas maka dapat dijelaskan bahwa ciri-ciri model pembelajaran itu merupakan satu kesatuan yang dijadikan pedoman untuk merancang dan menciptakan suatu program pembelajaran yang efektif. Di dalamnya terdapat rangkaian atau urutan pembelajaran yang memiliki dampak dari terapan model pembelajaran itu sendiri.

5. Model Pembelajaran Make a Match

Salah satu metode pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas adalah model pembelajaran make a match. Hal ini merupakan suatu ciri dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukakan oleh Lie (2002:30) bahwa pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong royong dan kerja sama kelompok.

Penerapan model pembelajaran ini, siswa harus mencari pasangan atau mencocokkan kartu yang merupakan jawaban atau soal dengan batas waktu yang telah ditentukan, dan siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Model pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

(12)

Langkah-langkah penerapan model pembelajaran make a match sebagai berikut:

Tahap Awal

a. Guru menyiapkan beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review.

b. Guru menyiapkan kertas karton yang berbeda warna untuk membuat kartu soal dan kartu jawaban.

c. Kartu soal dan kartu jawaban dipotong berbentuk segi empat (seukuran kartu remi).

d. Guru menulis pertanyaan pada kartu soal dan jawaban pertanyaan pada kartu jawaban.

e. Kartu soal dan kartu jawaban dibuat dalam jumlah yang sama, agar dapat dipasangkan.

Tahap Inti

a. Siswa dibagi menjadi 2 kelompok, satu kelompok mendapat kartu soal dan kelompok lainnya mendapat kartu jawaban.

b. Setiap siswa dibagikan sebuah kartu soal dan kartu jawaban.

c. Setiap siswa yang sudah mendapat sebuah kartu yang bertuliskan soal atau jawaban, memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.

d. Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya.

e. Pasangan siswa yang sudah dapat mencocokkan kartunya, kemudian saling duduk berdekatan.

f. Siswa yang belum dapat mencocokkan kartunya dengan kartu temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban), berkumpul dalam kelompok sendiri.

g. Guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran pasangan kartu- kartu tersebut.

h. Pasangan siswa mempresentasikan topik yang diperolehnya, yang ditanggapi oleh kelompok lain.

i. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.

Tahap Akhir

a. Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran.

b. Guru memberikan kesempatan bertanya kepada siswa yang kurang memahami materi pelajaran.

Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan, karena tidak ada metode pembelajaran yang terbaik. Suatu metode pembelajaran cocok untuk materi dan tujuan tertentu, tetapi belum tentu cocok untuk materi atau tujuan lainnya. Demikian juga dengan model make a match yang mempunyai kelebihan dan

(13)

kekurangan. Adapun kelebihan model make a match adalah sebagai berikut:

a. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.

b. Karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan.

c. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.

d. Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

e. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

f. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

(http://www.metode-make-match-tujuan-persiapan-dan.html.) Beberapa kekurangan atau kelemahan dari model make a match, antara lain:

a. Jika tidak merancangnya dengan baik, maka banyak waktu terbuang.

b. Pada awal-awal penerapan metode ini, banyak siswa yang malu bila berpasangan dengan lawan jenisnya.

c. Jika tidak mengarahkan siswa dengan baik, saat presentasi banyak siswa yang kurang memperhatikan.

d. Harus berhati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan (bisa saja karena malu).

e. Menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

f. Guru perlu persiapan alat yang memadai.

(http://www.metode-make-match-tujuan-persiapan-dan.html.)

Berdasarkan proses belajar mengajar, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal. Dengan metode mencari kartu ini, siswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukan dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama.

6. Hasil Belajar

Dalam suatu proses pembelajaran diinginkan suatu pencapaian hasil dari suatu proses pembelajaran. Gagne (Hamzah, 2008:137)

(14)

menyebutkan bahwa hasil belajar merupakan kapasitas terukur dari perubahan individu yang diinginkan berdasarkan ciri-ciri atau variabel bawaannya melalui perlakuan pengajaran tertentu. Sedangkan Reigeluth mengartikan hasil belajar adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda.

Nana Sudjana (1990:22) mendefinisikan hasil belajar sebagai kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Menurut Howard Kingsley (Nana Sudjana, 1990:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a)ketrampilan dan kebiasaan; (b)pengetahuan dan pengertian; (c)sikap dan cita-cita.

Dalam sistem pendidikan nasional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni:

a. Ranah Kognitif

Ranah kognitif adalah ranah yang membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental (intelektual) yang berawal dari tingkat paling rendah (pengetahuan) sampai ke tingkat paling tinggi (evaluasi). Adapun urutan tingkatan dalam ranah kognitif adalah sebagai berikut:

(1) Tingkat pengetahuan (knowledge), yaitu kemampuan seseorang dalam menghafal, mengingat kembali, mengulang kembali pengetahuan yang pernah diterimanya.

(2) Tingkat pemahaman (comprehension), diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterimanya.

(15)

(3) Tingkat penerapan (application), diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam pengetahuan untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.

(4) Tingkat analisis (analysis), yaitu sebagai kemampuan seseorang dalam merinci dan membandingkan data yang rumit serta mengklasifikasi menjadi beberapa kategori dengan tujuan agar dapat menghubungkan dengan data-data yang lain.

(5) Tingkat sintesis (synthesis), yaitu kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.

(6) Tingkat evaluasi (evaluation), yaitu sebagai kemampuan seseorang dalam membuat perkiraan atau keputusan yang tepat berdasarkan kriteria atau pengetahuan yang dimiliki.

b. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Ada beberapa kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, antara lain:

(1) Penerimaan (reciving), yaitu semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.

(2) Jawaban (responding), yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.

(3) Penilaian (valuing), berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

(4) Organisasi (organization), yaitu pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai

(16)

dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.

(5) Internalisasi nilai atau karakteristik nilai, yaitu keterpaduan semua sistem nilai yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.

c. Ranah Psikomotorik

Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam aspek dalam ranah ini, yaitu:

(1) Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar).

(2) Ketrampilan gerakan dasar.

(3) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, auditif, motoris, dan lain-lain.

(4) Keharmonisan atau ketepatan (kemampuan di bidang fisik).

(5) Gerakan ketrampilan kompleks (gerakan-gerakan skill)

(6) Gerakan ekspresif dan interpretatif (kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi).

Dalam proses belajar mengajar di sekolah, tipe hasil belajar kognitif lebih dominan dibandingkan dengan tipe hasil belajar afektif dan psikomotorik. Walaupun demikian, tidak berarti bidang afektif dan psikomotorik diabaikan sehingga tidak perlu dilakukan penilaian.

Keberhasilan pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai siswa, tetapi juga dari segi prosesnya. Hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Optimalnya hasil belajar siswa tergantung pada proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses pembelajaran. Tujuan penilaian proses belajar mengajar seperti dikemukakan oleh Nana Sudjana (1990:65) pada hakikatnya adalah untuk mengetahui kegiatan

(17)

belajar mengajar, terutama efisiensi, keefektifan dan produktivitasnya dalam mencapai tujuan pengajaran.

Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses belajar mengajar menurut Widi Raharja (2002:31) dibedakan sebagai berikut:

“...faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis (pendengaran, penglihatan, jasmani) dan faktor psikologis (bakat, motivasi, perhatian, ingatan, berpikir). Faktor eksternal terdiri dari faktor lingkungan (di dalam sekolah dan di luar sekolah), dan faktor sistem instruksional (kurikulum, bahan belajar, metode pengajaran).”

7. Hubungan Pembelajaran Make a Match Dengan Hasil Belajar Pada dasarnya pembelajaran itu mempunyai tujuan yang sama.

Pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi guru. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah), bahkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda. Model pembelajaran make a match mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

Pada penerapan model make a match, diperoleh beberapa temuan bahwa model make a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran,

(18)

dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Selanjutnya, penerapan model make a match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerjasama diantara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan.

8. Pembelajaran Sejarah

Mata pelajaran sejarah adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan atau peristiwa-peristiwa penting dimasa lampau dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sendi-sendi kehidupan lainnya dalam masyarakat. Dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberi pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah saja, tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya.

Dari wawasan di atas, pengajaran sejarah berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan nasional. Pengajaran sejarah perlu disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam melaksanakan tugas kewajibannya dalam rangka pembangunan nasional. Sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian tinggi dan penuh rasa tanggung jawab. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melaksanakan tuganya sebagai warga negara yang baik.

“Fungsi pelajaran sejarah adalah dengan mempelajari sejarah

(19)

pendidikan nasional dengan benar-benar, akan menuju kearah pembaharuan integral” (Moh. Ali, 1963:323).

Sebagaimana Gottschalk (terjemahan Notosusanto, 1986:1) mengemukakan pendapatnya mengenai alasan mempelajari sejarah.

“Salah satu alasan mempelajari sejarah adalah dengan mengerti perkembangan masa lampau, kita dapat lebih mengerti implikasinya di masa kini. Suatu pencarian untuk menemukan pelajaran sejarah yang akan membantu manusia jaman sekarang untuk memecahkan masalahnya yang sekarang.”

Selanjutnya Widja (1989:8) mengemukakan, salah satu fungsi utama mata pelajaran sejarah adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman masyarakat di waktu lampau, yang sewaktu-waktu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat itu dalam memecahkan problema- problema yang dihadapinya.

Dalam mengembangkan materi pembelajaran sejarah yang sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) diperlukan perubahan orientasi dari pembelajaran sejarah yang berfokus pada sejarah dunia atau sejarah nasional kepada sejarah lokal yang relevan dengan persoalan daerah setempat, serta perubahan dari sejarah yang menampilkan peranan tokoh besar kepada sejarah yang menampilkan peranan orang-orang biasa – termasuk para siswa dengan persoalan sosialnya – sebagai pelaku sejarah pada jamannya (Nana Supriatna, 2007:2).

(20)

B. PENELITIAN YANG RELEVAN

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan metode cooperatif learning, pernah diteliti oleh SARDI (Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peningkatan Prestasi Belajar IPS dengan Menggunakan Metode Contextual Teaching and Learning Siswa Kelas II SMK PGRI Salatiga Semester I Tahun 2009/2010”. Dalam skripsinya, Sardi membuktikan bahwa penerapan metode “Contextual Teaching and Learning” dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kenaikan hasil belajar baik secara individu maupun klasikal. Pada siklus I ketuntasan klasikal sebesar 26%, siklus II sebesar 39% dan siklus III sebesar 85%.

Penulis juga menemukan skripsi online yang berjudul “Peningkatan

Kemampuan Kognitif Siswa Pada Jenjang C1-C4 Materi Sistem Reproduksi Manusia Melalui Model Make A Match Kelas XI IPA 2 SMA Muhammadiyah Bantul Tahun Ajaran 2008/ 2009” yang ditulis oleh Iin Dwi Indriyani (Program Studi Pendidikan Biologi FKIP-Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta). Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proses pembelajaran melalui model make a match dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Pada siklus 1 nilai rata-rata ulangan siswa 37,0. Pada siklus 2 hasil rata-rata nilai ulangan mengalami peningkatan menjadi 67,7.

(21)

Selain skripsi di atas, penulis juga menemukan karya ilmiah online yang ditulis oleh Handaru Jati dan Nurul Inayah (Universitas Negeri Yogyakarta) dengan judul “Peningkatan Keaktifan Dalam KBM dan Prestasi Belajar Peserta Didik Melalui Teknik Pembelajaran Mencari Pasangan (Make A Match) Di SMK Negeri 1 Sedayu Tahun Ajaran 2010/2011”. Hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukan adanya peningkatan prestasi dan keaktifan belajar mendiagnosis permasalahan pengoperasian PC yang tersambung jaringan dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan (make a match).

Peningkatan prestasi belajar dapat dilihat dari rata-rata nilai kelas pada siklus I sebesar 20,59%, siklus II sebesar 26,47% dan siklus III sebesar 44,12%, yang terlihat semakin tinggi prestasi belajar siswanya.

Penelitian lainnya yang berkaitan dengan metode kooperatif adalah skripsi yang ditulis oleh Laily Fitria Takalondokang (Program Studi Matematika Dan Komputasi, FKIP-Universitas Muhammadiyah Malang) dengan judul ”Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Kelas IV MI Mambaul Ulum Melalui Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Index Card Match Pada Keliling Dan Luas Jajargenjang”. Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2009/2010 dan bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa secara lisan dan tulisan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe index card match. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Prosentase kemampuan komunikasi matematika siswa secara lisan sebesar

(22)

78,84% dengan kategori baik (2) Prosentase kemampuan komunikasi matematika siswa secara tulisan sebesar 81,93% dengan kategori baik.

Skripsi lainnya yang menyajikan metode kooperatif juga ditulis oleh Joko Winarno (Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Kolaborasi Metode Quantum Teaching dan Snowball Throwing Siswa Kelas VI Semester I SDN Kutowinangun 12 Salatiga Tahun Pelajaran 2009/2010”. Dalam penelitiannya, Joko Winarno menunjukkan bahwa kolaborasi pembelajaran Quantum Teaching dan Snowball Throwing dapat meningkatkan hasil belajar IPS materi Negara- Negara Asia Tenggara pada siswa kelas VI SDN Kutowinangun 12 Salatiga Tahun Ajaran 2009/2010. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya peningkatan hasil belajar yang signifikan, yaitu kondisi awal sebelum penelitian tindakan kelas rata-rata nilai pelajaran IPS dalam Rapor 66. Setelah dilakukan penelitian tindakan kelas pada siklus I menjadi 69,50 dan siklus II meningkat menjadi 77,70.

(23)

C. KERANGKA BERPIKIR

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Dari skema kerangka berpikir terlihat bahwa pada awalnya guru dalam mengajar mata pelajaran sejarah belum menggunakan model pembelajaran make a match. Berdasarkan penilaian terhadap kemampuan siswa dalam mempelajari sejarah, masih rendah. Siswa belum mampu memahami pelajaran sejarah dengan baik. Siswa juga belum berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar.

Penerapan model pembelajaran make a match dalam penelitian ini, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa

KONDISI AWAL

TINDAKAN  

KONDISI AKHIR

Guru: Belum Menggunakan Model

Make a Match

Guru Menggunakan Model Make a Match

Hasil Belajar Sejarah Meningkat

Siswa:

Hasil Belajar Sejarah Rendah

Siklus I:

Metode Ceramah bervariasi, membentuk kelompok-kelompok besar, mencari pasangan kartu, presentasi individu, tanya

jawab

Siklus II:

Metode penugasan, membentuk kelompok-kelompok kecil, mencari pasangan kartu, presentasi kelompok, tanya

jawab

(24)

sekaligus menjadikan siswa lebih berpartisipasi aktif selama mengikuti proses belajar mengajar. Dengan model pembelajaran ini siswa akan lebih tertarik dengan mata pelajaran sejarah, tidak merasa bosan dan keinginan untuk mempelajari sejarah akan semakin tinggi sehingga prestasi siswa lebih meningkat.

Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran make a match hasil belajar sejarah siswa kelas X-5 SMA Kristen Satya Wacana Salatiga Semester Gasal Tahun Ajaran 2011/2012 pada mata pelajaran sejarah dapat meningkat.

D. HIPOTESIS TINDAKAN

Adapun hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: Hasil belajar dan ketuntasan siswa kelas X-5 SMA Kristen Satya Wacana Salatiga Semester Gasal Tahun Ajaran 2010/2011 dalam mata pelajaran sejarah akan meningkat melalui penerapan model pembelajaran make a match.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Due to errors in the calibration of the interior orientation of the projector and camera, their relative pose and the pose estimation of the projector-camera system results

Berdasarkan uraian dan definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa administrasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan melalui kerjasama dalam

Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan di RSUD dr M Ashari Pemalang khususnya dari bahaya penularan infeksi dilakukan dengan dasar hukum Kepmenkes Nomor

dilakukan oleh pemerintah terhadap Tempat hiburan Karaoke Keluarga. Hasil penelitian ini dapat ditransformasikan kepada para pelaku usaha tempat. hiburan Karaoke Keluarga

Rock n Roll Haircutting and Make Over menyadari bahwa memuaskan pelanggan dan membuat pelanggan tetap memakai jasa yang ditawarkan Rock n Roll Hair Cutting and Make Over

Alur kerja dalam film pendek animasi Kanca: Juara Karapan Sapi menggunakan alur kerja Toon Boom Animation yaitu Traditional Digital, proses penggambaran menggunakan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan pengetahuan ibu tentang pola pemberian MP-ASI pada anak usia 6- 24 bulan setelah diberi edukasi gizi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi melalui media gambar pada siswa kelas VIII MTs DDI Kanang.. Penelitian ini digolongkan ke dalam