Pengantar Sajian Utama SM No.7/87/2002
KEADILAN, AKAR PERDAMAIAN
Dalam konflik di Ambon yang diawali dengan pembantaian terhadap umat Islam oleh kelompok Kristen pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1999, posisi umat Islam adalah sebagai korban kekerasan dan kekejaman sepihak. Umat Islam menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok separatis Kristen. Kemudian selama setahun umat Islam di Ambon dan Maluku terus menjadi korban kekerasan, kekejaman dan menjadi korban pelanggaran HAM. Yaitu berupa tindak pembunuhan, pembakaran, penyiksaan, penculikan, penghancuran fasilitas ibadah, pengusiran. Terjadi pembersihan etnik Muslim yang berdiam di Ambon dan Maluku oleh kelompok Kristen, yang dibantu oleh kelompok separatis RMS dan turunannya yang telah berganti nama. Diduga mereka juga dibantu oleh kelompok fundamentalis Kristen dan ekstrim dari luar negeri. Keutuhan Indonesia menjadi terancam, dengan korban para nasionalis Muslim, dengan pelaku disintegrasi bangsa dari kelompok Kristen.
Ketika pemerintah pusat ‘memble’, sepertinya membiarkan konflik yang tidak seimbang itu berlangsung, sementara korban pembunuhan, penghancuran dan pengusiran dari pihak nasionalis Muslim terus berjatuhan sampai berjumlah ribuan orang, maka umat Islam pun bangkit. Dengan berpedoman ayat Al Qur’an bahwa diijinkan berperang jika pihak Islam dianiaya dan diusir dari rumah-rumahnya maka kelompok nasionalis Muslim pun bergerak, melakukan
konsolidasi untuk membela diri dan mengimbangi gerakan separatis Kristen yang kejam tersebut.
Dengan bangkitnya perlawanan dan pembelaan diri dari umat Islam yang sangat cinta keutuhan Indonesia maka keadaan pun berubah. Kelompok separatis Kristen banyak yang terdesak, dan korban pertempuran pun jatuh dari pihak mereka. Perubahan keadaan menjadi makin berimbangnya kekuatan di lapangan membuat pihak separatis menjadi kecut. Mereka menawarkan perundingan. Akan tetapi lebih dari dari lima kali berunding mereka selalu mengkhianati pihak nasionalis Muslim. Pihak nasionalis Muslim selalu menjadi korban pengkhianatan dari pihak separatis Kristen, yang bukti nyata gelagat separatisnya tampak jelas ketika mereka bermaksud mengundang campur tangan asing (yang juga Kristen) dengan dalih internasionalisasi masalah Ambon.
Kasus Poso pun serupa dan mirip. Umat Islam menjadi korban
pembantaian, pembunuhan, penganiayaan dan pengusiran dari kelompok Kristen. Ketika umat Islam bangkit membela diri dan melakukan perlawanan suci maka keadaan pun berubah. Lalu kelompok Kristen yang terdesak minta damai. Untung pemerintah kemudian tidak ‘memble’ lagi, dan mau ikut campur untuk mengatasi ancaman disintegrasi yang dipicu oleh kelompok Kristen ini. Terjadilah konferensi Malino I, yang menjadi peluang untuk berlangsungnya perdamaian di Posi.
yang menghasilkan Perjanjian Maluku di Malino pun menumbuhkan perdamaian di bumi Maluku. Sebab rasa-rasanya bangsa Indonesia sudah cukup capek melihat konflik bersuasana separatis dan SARA yang terjadi secara berkepanjangan di Maluku tersebut. Korban sudah terlalu banyak berjatuhan. Ribuan orang meninggal dan mati syahid, puluhan tempat ibadah hancur, puluhan tempat pendidikan hancur, dan ribuan tempat tinggal dan toko-toko hangus. Sementara itu hampir sepuluh ribu anak-anak kehilangan kesempatan untuk hidup normal. Mereka kehilangan kesempatan untuk, belajar, dan sangat banyak yang kini menjadi yatim piatu sekaligus menderita trauma perang. Pendeknya, infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial hancur berantakan, tidak berfungsi. Untuk mulihkan infrastruktur fisik dan sosial ini dibutuhkan waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Juga diperlukan langkah awal. Itu adalah perundingan perdamaian.
Dalam konteks inilah Konferensi Malino II menjadi penting, strategis, dan memiliki fungsi yang penuh. Sebab jika konflik horizontal Poso dan Maluku kemudian dapat diselesaikan maka berarti ancaman disintegrasi bangsa satu persatu akan berkurang. Bangsa kita tinggal menyelesaikan dengan damai dan bijak konflik vertikal yang sekarang masih mengancam keutuhan bangsa yang terjadi di Papua dan Aceh. Ujung timur dan ujung barat tanah air.
Yang menggembirakan, konflik-konflik tersebut dapat diselesaikan berkat jiwa-jiwa besar kita semua, secara mandiri, tanpa campur tangan pihak asing. Dan jika ditanya, apa aspirasi paling mendasar bagi umat Islam Poso, Ambon, Maluku, dan seluruh umat Islam Indonesia, maka jawabnya hanya satu. Tegakkan keadilan. Sebab hanya keadilanlah yang mampu menjadi akar yang hakiki dari perdamaian. (Bahan dan tulisan: man)
Sumber: