7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Pendidikan Nilai
a. Pengertian Pendidikan Nilai
Ditinjau dari asal usul kata, pendidikan nilai tersusun atas dua kata, yaitu pendidikan dan nilai. Pendidikan merupakan usaha untuk menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, untuk membentuk dan menanamkan karakter kepribadian, serta keterampilan peserta didik. Dengan demikian, akan tercapai kesempurnaan hidup dan mampu bermanfaat bagi kehidupannya dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Ki Hajar Dewantara (Elmubarok, 2009: 2) yang mengungkapkan istilah pendidikan sebagai suatu upaya dalam mengembangkan tumbuhnya nilai moral (karakter, kekuatan batin), pikiran, serta pertumbuhan anak yang satu dan lainnya saling berkaitan agar mampu memajukan kesempurnaan hidup. Selanjutnya, Sulityowati (2012: 19), mendefinisikan pendidikan sebagai upaya terencana dalam rangka pengembangan potensi peserta didik, sehingga memiliki sistem berfikir, sistem nilai, sistem keyakinan serta sistem moral yang diwariskan oleh masyarakatnya. Sistem tersebut kemudian dikembangkan ke arah yang sesuai dengan kehidupan masa kini serta yang akan datang.
Sedangkan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 butir 1,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Salahudin dan Alkrienciehie, 2013: 41).
Nilai merupakan suatu hal merujuk pada baik dan buruk, yang memiliki fungsi sebagai kontrol diri supaya mampu memilih serta bertindak commit to user
sesuai aturan yang berlaku dalam moral, sosial, maupun agama di masyarakat. Nilai juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang dipandang baik dan paling benar menurut seseorang atau sekelompok orang. Oleh sebab itu, keberadaanya perlu dijaga, dihargai serta diinginkan dalam kehidupannya. Hal ini, sejalan dengan Scheler (Zakiyah dan Rusdiana, 2014: 14) yang memberikan definisi nilai yaitu “suatu kualitas yang bergabung dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang”. Pelu (2017:21) juga menyimpulkan definisi nilai yaitu rujukan serta keyakinan dalam proses menentukan pilihan. Selanjutnya, Gordon, mendefinisikan nilai sebagai suatu keyakinan yang menjadikan seseorang berkehendak atas dasar pilihannya (Mulyana, 2004: 9). Sedangkan Dictionary of Sociology and Related Sciences (Kaelanq, 2010: 87) mengemukakan nilai sebagai suatu kemampuan yang dipercaya yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda tersebut merupakan penyebab seseorang atau kelompok untuk berminat, The Belived capacity of any object to statisfy a human desire. Sesuatu dapat mengandung nilai berarti terdapat kausalitas yang melekat terhadap sesuatu itu. Misalnya, tanaman itu indah, tingkah laku itu susila. Indah dan susila merupakan kausalitas yang melekat pada tanaman dan tingkah laku. Mengacu pada hal tersebut, nilai sebenarnya merupakan suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Terdapat nilai tersebut karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Pengertian pendidikan nilai dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, pengertian pendidikan nilai yang merupakan satu kesatuan, tanpa dipisah istilah pendidikan dan istilah nilai. Kedua, pengertian pendidikan nilai yang dilihat dari istilah pendidikan dan istilah nilai. Oleh karena itu, pengertian pendidikan nilai dikemukakan secara beragam. Sastraprateja mendefinisikan pendidikan nilai sebagai sebuah penanaman serta pengembangan nilai dalam diri seseorang. Sedangkan Mardiatmadja mengartikan pendidikan nilai sebagai suatu bantuan kepada peserta didik supaya mengalami dan
commit to user
menyadari mengenai suatu nilai serta mampu menempatkan secara integral di dalam kehidupannya (Elmubarok, 2009:12).
Menurut Mulyana (2004: 119) pendidikan nilai merupakan pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik supaya menyadari nilai- nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan, melalui sebuah proses pertimbangan nilai yang sesuai serta pembiasaan dalam tingkah laku secara terus menerus. Selanjutnya, Pelu (2017: 24) menyimpulkan pendidikan nilai sebagai sebuah proses bimbingan melalui proses teladan yang bertujuan pada penanaman nilai-nilai agama, budaya, etika, dan estetika. Dengan demikian, peserta didik memiliki kecerdasan spritual, pengendalian diri yang baik, berkepribadian mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan untuk dirinya dan masyarakat. Selanjutnya, Sumantri (Zakiyah dan Rusdiana, 2014: 62) mengungkapkan pendidikan nilai, sebagai suatu bentuk aktivitas dari pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Oleh sebab itu,
“penentuan nilai” merupakan aktivitas penting yang harus dipikirkan dengan cermat dan mendalam. Hal ini merupakan tugas pendidikan sebagai upaya dalam meningkatkan nilai moral individu dan masyarakat.
Mengacu pada pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nilai merupakan suatu proses penanaman serta pengembangan nilai-nilai dalam diri peserta didik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari- harinya dalam kaitannya sebagai individu maupun kelompok. Pendidikan nilai merupakan suatu bentuk pendidikan dari sudut pandang moral, yang diantaranya etika dan estetika. Etika mengacu bagaimana seseorang menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi. Estetika mengacu mengenai bagaimana menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi.
b. Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai terbagi kedalam beberapa pendekatan dan model.
Martorella (Zakiyah dan Rusdiana, 2014: 71-72) membagi pendekatan pendidikan nilai menjadi delapan. Pertama evocation, yaitu pendekatan commit to user
yang menekankan diberikannya kesempatan dan keleluasaan secara penuh kepada peserta didik dalam mengekspresikan, respons afektifnya, terhadap, stimulus, yang diterimanya. Kedua Inculcation, merupakan pendekatan yang menekankan kepada peserta didik agar menerima stimulus yang diarahkan kepadanya menuju kondisi siap. Ketiga moral reasoning, yaitu pendekatan yang bertujuan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam proses pemecahan masalah.
Keempat value clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar peserta didik diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral. Kelima value analysis, yaitu suatu pendekatan supaya peserta didik dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral. Keenam moral awareness, merupakan suatu pendekatan yang bertujuan agar peserta didik menerima stimulus serta membangkitkan kesadarannya mengenai nilai tertentu.
Ketujuh commitment approach, merupakan suatu pendekatan yang bertujuan supaya peserta didik sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai. Terakhir union approach, merupakan suatu pendekatan dengan tujuan supaya peserta didik dapat diarahkan untuk melaksanakan nilai-nilai secara nyata di kehidupannya.
Superka (Elmubarok, 2009:74) juga mengkaji model pendekatan pendidikan nilai. Model ini merupakan model pendekatan nilai yang banyak digunakan. Dalam pendekatannya, Superka membagi kedalam delapan pendekatan nilai yang didasarkan pada literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filosofi, dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai. Namun, karena alasan teknis, pendekatan ini diringkas kedalam lima pendekatan, antara lain pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klasifikasi nilai, serta pendekatan pembelajaran berbuat.
2. Pendidikan Karakter
a. Pengertian pendidikan karakter
Saptono (2011: 23) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sengaja untuk mengembangkan karakter commit to user
yang baik berdasarkan pada kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik untuk masyarakat maupun individu. Aqib dan Sujak (2011: 3), mengungkapkan “pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman, nilai-nilai, karakter, kepada warga, sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, serta tindakan untuk, melaksanakan nilai-nilai tersebut”. Sedangkan Triatmanto (2010: 188) menyimpulkan pendidikan karakater sebagai upaya yang dirancang secara sistematis dan berkesinambungan untuk membentuk kepribadian peserta didik agar memiliki pengetahuan, perasaan, dan tindakan yang, berlandaskan pada norma-norma luhur di masyarakat.
Samani (Zahro, dkk. 2017: 4) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, serta pendidikan watak. Hal tersebut bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memberikan keputusan baik buruk, memelihara sesuatu yang dianggap baik, serta mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Hasan (2012: 84) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai suatu bentuk internalisasi serta penghayatan terhadap nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dilakukan peserta didik secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah, maupun tenaga kependidikan yang diwujudkan di kelas, di lingkungan sekolah, serta di masyarakat.
Arsyad (Suriansyah dan Aslamiah, 2015: 236) mengungkapkan, pendidikan karakter merupakan kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan berbagai hal praktis yang berguna bagi kehidupan peserta didik sebagai pegangan dalam menghadapi berbagai situasi kondisi serta lokasi.
Sejalan dengan itu, Suyanto (Pelu, 2017: 39) mengartikan pendidikan karakter sebagai pendidikan budi pekerti plus dimana pada proses ini melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Berdasarkan pada pengertian tersebut, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh sekolah untuk menanamkan commit to user
perilaku dan cara berfikir kepada peserta didik sebagai pedoman serta bekal dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi di kehidupannya baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara.
b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Saptono (2011: 24) mengungkapkan sedikitnya terdapat empat alasan diberlakukannya pendidikan karakter di sekolah. Pertama, banyak keluarga yang tidak melaksanakan pendidikan karakter dengan baik. Kedua, sekolah bukan hanya sebatas sebagai tempat membentuk anak dalam aspek kognitif, namun ,juga membentuk anak dengan kepribadian atau sikap yang baik. Ketiga, kecerdasan seorang anak atau peserta didik akan memiliki makna apabila ia dilandasi oleh kebaikan. Keempat, proses pembentukan karakter bukan hanya tugas tambahan pendidik namun juga merupakan tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai pendidik. Selain itu, Sulityowati (2012: 20) memberikan alasan mengenai pentingnya pendidikan karakter di sekolah. Pertama, karakter merupakan satu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, karakter tidak datang secara tiba-tiba, namun perlu dibangun serta dibentuk untuk mewujudkan suatu bangsa yang bermartabat.
Pendidikan karakter di sekolah memiliki fungsi yaitu sebagai pengembangan, perbaikan, dan penyaring. Pendidikan karakter sebagai pengembangan berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya memiliki perilaku yang baik. Sebagai perbaikan, pendidikan karakter berfungsi untuk memperkuat peran pendidikan nasional yang memiliki tanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik. Sedangkan fungsi penyaring yaitu fungsi pendidikan karakter dalam rangka menyeleksi budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia (Sulityowati, 2012: 20). Tujuan dan fungsi pendidikan karakter dapat disimpulkan sebagai pembentukan potensi peserta didik dalam kaitannya sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai budaya dan karakter bangsa.
commit to user
c. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter memiliki nilai-nilai yang perlu ditanamkan serta dikembangkan oleh sekolah kepada setiap peserta didik. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakter dan budaya bangsa. Budaya bangsa merupakan suatu sistem nilai yang dihayati serta diartikan sebagai keseluruhan sistem berfikir mengenai tata, nilai, moral, norma, serta keyakinan yang dihasilkan oleh masyarakat (Damayanti, 2014: 42)
Berdasarkan pada kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tahun 2010 (Salahudin dan Alkrienciehie, 2013: 54-56), terdapat 18 nilai-nilai karakter bangsa yang dapat dikembangkan pada peserta didik diantaranya yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, serta tanggung jawab.
Berbagai macam nilai tersebut, dapat dikelompokan menjadi lima kelompok nilai yaitu, nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan, nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri, nilai-nilai, perilaku, manusia, terhadap sesama, serta nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan (Triatmanto, 2010: 189). Selain itu, menurut Haniah (2020: 186), pendidik maupun sekolah dapat menambah serta mengurangi nilai-nilai tersebut. Hal ini, selain disesuaikan dengan kondisi sekolah, karakteristik, dan perkembangan peserta didik, juga disesuikan dengan masing-masing mata pelajaran. Namun, Budimarsyah (Sulityowati, 2012: 32) mengungkapkan bahwa terdapat sedikitnya minimal enam nilai yang perlu dikembangkan di sekolah yaitu jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, tangguh, serta peduli.
d. Strategi Pendidikan Karakter di Sekolah
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah berpedoman pada sebelas prinsip. Prinsip ini antara lain sekolah harus memiliki komitmen pada nilai etis inti, karakter harus dipahami secara utuh (pengetahuan, commit to user
perasaan, tindakan), sekolah harus proaktif, sekolah harus menciptakan iklim yang saling peduli dan memperhatikan, sekolah menyediakan tempat dan kesempatan bagi praktik dan tindakan moral secara menyeluruh, mengutamakan studi akademis, sekolah harus mengembangkan berbagai cara meningkatkan motivasi intrinsik peserta didik, sekolah perlu bekerja sama dalam mendialogkan mengenai pendidikan karakter, guru, dan siswa harus berbagi dalam kepemimpinan moral di sekolah, orang tua dan masyarakat harus menjadi rekan kerja dalam pendidikan karakter, serta yang terakhir yaitu dilakukannya evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah (Saptono, 2011: 25-26).
Tim pendidikan karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Triatmanto, 2010: 192-194) mengidentifikasi peluang diterapkannya pendidikan karakter di sekolah pada tiga jalur. Pertama, pendidikan karakter dilaksanakan dengan mengintegrasikan kedalam proses pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, memfasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran di semua mata pelajaran. Kedua, penanaman pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Oleh sebab itu, dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi, bakat, dan minat secara optimal. Selain itu, dapat memacu tumbuhnya kemandirian peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, lingkungan keluarga, serta masyarakat.
Ketiga, pendidikan karakter dilaksanakan, dalam kegiatan di manajemen sekolah. Hal ini berkaitan dengan proses pembentukan karakter pada peserta didik direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, serta dievaluasi. Karena, dalam prosesnya pendidikan karakter di sekolah mampu memenuhi tujuan dan fungsinya dengan baik.
3. Pembelajaran Sejarah
a. Pengertian Pembelajaran Sejarah
Sejarah dalam konteks pembelajaran di sekolah merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai commit to user
proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Agung dan Wahyuni, 2013: 3). Dalam pembelajaran sejarah, peran penting pembelajaran bukan hanya sebagai proses transfer ilmu atau ide, tetapi juga dipandang sebagai proses pendewasaan peserta didik untuk memahami identitas, jati diri, dan kepribadian bangsa melalui pemahaman peristiwa-peristiwa sejarah.
Kartodirjo (Susanto, 2014: 35) berpendapat bahwa,
Dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata hanya berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah, tetapi juga bertujuan untuk menyadarkan atau membangkitkan kesadaran sejarah peserta didik.
Berdasarkan pengertian tersebut, disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan suatu proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan lingkungannya dalam mempelajari suatu peristiwa atau hal-hal berkaitan dengan masa lalu yang berakibat pada perubahan tingkah laku peserta didik.
b. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah tidak hanya menghafal dan mengenang peristiwa-peristiwa sejarah semata. Namun, pembelajaran sejarah memiliki tujuan supaya peserta didik mampu mengembangkan kompetensi untuk berpikir secara kronologi dan memiliki pengetahuan masa lampau. Dengan demikian, peserta didik dapat memahami serta menjelaskan proses-proses perkembangan ataupun perubahan masyarakat beserta keanekaragaman sosial budayanya. Hal ini, dalam rangka menemukan jati diri bangsa serta dalam rangka menumbuhkan jati dirinya sebagai suatu bagian dari bangsa Indonesia. Pembelajaran sejarah juga memiliki peran penting dalam pembentukan watak dan sikap yang bermakna dalam proses pembentukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, peserta didik memiliki rasa kebangsaan, intelektual, menghargai perjuangan bangsanya dan rasa nasionalisme.
Kemudian pembelajaran sejarah juga mendorong peserta didik untuk dapat menelaah dan menyusun sejarah dengan berpijak pada metode ilmiah sejarah. Selain itu, peserta didik juga memiliki keterampilan dalam berfikir commit to user
analisis mengenai masalah sosial historis di lingkungannya, serta mampu mengungkapkan peristiwa sejarah secara baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Widja (Hamid, 2014: 50) yang mengungkapkan bahwa tujuan pembelajaran sejarah mencakup pada tiga ranah utama. Pertama, menyasar pada ranah pengetahuan atau pengertian. Kedua, menyasar pada ranah pengembangan sikap. Ketiga, menyasar pada ranah keterampilan peserta didik.
Kartodirjo (1993:35), mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat dua manfaat dari pembelajaran sejarah. Pertama, dari masa dan situasi sekarang dapat ditinjau serta disimpulkan mengenai fakta-fakta di masa lalu.
Sehingga dengan itu, situasi sekarang dapat diterangkan. Kedua, dengan menganalisis situasi yang terjadi pada masa sekarang, dapat diprediksi mengenai kondisi masa depan. Oleh karena itu, pembelajaran sejarah bukan hanya membuat diagnosis mengenai kondisi saat ini. Namun juga mampu menggambarkan apa yang dapat terjadi di masa depan.
c. Metode dan Strategi Pembelajaran Sejarah
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran sejarah berfungsi untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Oleh sebab itu, metode yang digunakan dalam pembelajaran sejarah harus mencakup mengenai pengembangan pengetahuan, pemahaman, kemampuan berfikir kritis, sikap, karakter, serta keterampilan peserta didik. Kochar (2008: 288- 368) memberikan sejumlah metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah, seperti metode buku cetak, metode bercerita, metode biografi, metode ceramah, metode mendiktekan catatan, metode tanya jawab, metode diskusi, metode tugas atau proyek, metode hafalan yang disosialisasikan, metode belajar dengan diawasi, metode sejarah atau sumber, serta metode unit.
Sementara itu, Hamid (2014:78-92) membagi lima strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah. Strategi-strategi tersebut antara lain, Garis besar kronologis, tematis, perkembangan khusus, Regresif, serta strategi pembelajaran di luar kelas. Dari keseluruhan metode dan commit to user
strategi yang dapat digunakan tersebut, pendidik dapat mengembangkan dan mengemas sesuai dengan karakteristik peserta didik serta tujuan yang akan dicapai pada setiap materi.
d. Ruang Lingkup Materi Pembelajaaran Sejarah
Ruang lingkup materi pembelajaran sejarah di sekolah disusun secara kronologis waktu dan dijabarkan dalam aspek-aspek tertentu sebagai materi standar. Menurut Sapriya (Zahro, dkk. 2017: 5), pembelajaran sejarah memiliki beberapa cakupan materi. Pertama, mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Kedua, memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa termasuk peradaban bangsa Indonesia. Ketiga, menanamkan kesadaran persatuan, persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi pemersatu bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi.
Keempat, memuat ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memeliharan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Agung dan Wahyuni (2013: 57) membagi materi sejarah Indonesia pada sekolah menengah atas antara lain, pengantar ilmu sejarah, kehidupan awal masyarakat Indonesia, pengaruh Hindu-Budha di Indonesia, perkembangan Islam di Indonesia, perkembangan pengaruh barat dan perubahan masyarakat Indonesia pada era kolonial, munculnya pergerakan nasional, keadaan Indonesia pada masa pendudukan Jepang, Indonesia pada awal kemerdekaan, perubahan di Indonesia ditengah usaha mengisi kemerdekaan, jatuhnya Orde Baru dan Reformasi, perkembangan dunia setelah perang dunia ke 2 dan pengaruhnya terhadap Indonesia, peristiwa dunia mutakhir dan globalisasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
commit to user
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dalam penelitian ini yaitu:
1. Penelitian Elis Septiana. 2017. Usaha Tan Malaka dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1946-1948. Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.
Penelitian historis ini bertujuan mengetahui usaha-usaha Tan Malaka dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1946- 1948. Hasil penelitian ini menunjukan Tan Malaka adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang terkenal dengan gagasan revolusioner yang radikal. Ia menolak segala bentuk perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda maupun Sekutu. Pemikiran yang revolusioner membuat Tan Malaka pada tahun 1946, menggagas terbentuknya organisasi Persatuan Perjuangan (PP) dan mendirikan Partai yang bersifat Revolusioner dengan nama Partai Murba pada tahun 1948. Kedua organisasi tersebut merupakan bentuk usaha Tan Malaka dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia tahun 1946-1948.
Persamaan penelitiana ini dengan yang akan peneliti lakukan yaitu mengkaji perjuangan Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan perbedaannya terletak pada periode penelitian dan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, periode dibatasi pada tahun 1946-1948 atau pasca kemerdekaan. Berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu tidak membagi perjuangan Tan Malaka dalam periode. Perjuangan Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia dikaji selama periode masa kehidupannya. Tujuan pada penelitian ini hanya sampai pada mengetahui bagaimana peran Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia secara penuh (kemerdekaan 100%) pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu bukan hanya untuk mengetahui peran Tan Malaka saja, tetapi juga mengkaji nilai-nilai karakter yang terdapat dalam perjuangan Tan Malaka tersebut dan
commit to user
dikaitkan dengan pendidikan karakter pada mata pelajaran Sejarah Indonesia di SMA.
2. Penelitian Edmu Yulfizar Abdan Syakura. 2018. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Karakter Studi Tokoh : KH. Much. Imam Chambali Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya Era Tahun 1998-2017.
Skripsi, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Penelitian Kualitatif ini menggunakan metode dekriptif dan metode interpretative yang membahas mengenai nilai-nilai pendidikan karakter yang diperkenalkan oleh KH. Much. Imam Chambali. Tujuan penelitian ini yaitu, menggali dan menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter yang dicetuskan KH. Much Imam Chambali serta implementasinya dalam memimpin pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya pada era Tahun 1998-2017. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan karakter pada tokoh KH. Much. Imam Chambali pengasuh pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya era tahun 1998-2017 yaitu takut kepada Allah, berakhlakul karimah, dan menciptakan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan bentuk implementasi nilai- nilai pendidikan karakter yang diperkenalkan KH. Much. Imam Chambali dalam memimpin pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya era tahun 1998-2017 adalah aktif shalat berjamaah, aktif shalat tahajud, shalat dhuha, dan membaca Al-Qur’an, serta senang menjalin silahturahmi. Metode yang digunakan dalam aplikasi dari implementasi nilai-nilai pendidikan karakter tersebut adalah keteladanan, simulasi praktek, penggunaan metafora, serta ceramah.
Persamaan penelitian ini dengan yang akan peneliti lakukan yaitu mengkaji nilai-nilai karakter pada perjuangan tokoh. Sedangkan perbedaannya terletak pada tokoh yang diangkat. Penelitian ini mengkaji perjuangan tokoh KH. Much. Imam Chambali, sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan mengkaji perjuangan tokoh Tan Malaka. Selain itu, penelitian ini tidak dijadikan implementasi pada pembelajaran sejarah, tetapi dianalisis
commit to user
implementasi nilai-nilai karakternya pada saat tokoh memimpin pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Surabaya pada era tahun 1998-2017.
3. Penelitian Anny Wahyuni. 2018. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Tokoh Mohammad Hatta Dalam Pembelajaran Sejarah. Skripsi, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode penelitian sejarah.
Tujuan penelitian ini yaitu Tujuan dari penelitian ini yaitu Untuk menggali nilai-nilai dan menganalisis karakter yang dimiliki oleh Bung Hatta serta memaparkan dan mengaplikasi nilai karakter tokoh Bung Hatta dalam pembelajaran sejarah di SMA. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Data penelitian dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan dan untuk memperkuat data peneliti melakukan wawancara dengan putri Bung Hatta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat nilai-nilai pendidikan karakter pada Bung Hatta yaitu patriotisme, cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme dan kepedulian sosial. Nilai-nilai karakter patriotisme, cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme dan kepedulian sosial yang terdapat pada diri Bung Hatta dapat dapat di terapkan dalam pembelajaran sejarah pada kurikulum 2013 dapat di tanamkan pendidikan karakter melalui kompetensi inti, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, dengan menggunakan teori belajar kontruktivisme dengan pendekatan berpusat pada siswa sehingga peserta didik dapat mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Persamaan penelitian ini dengan yang akan peneliti lakukan yaitu mengkaji nilai-nilai karakter tokoh dan menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai penguatan nilai karakter pada pembelajaran sejarah di SMA. Terutama kaitannya dengan perjuangan tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada tokoh yang diangkat. Penelitian ini mengkaji perjuangan Muhammad Hatta, sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan mengkaji perjuangan Tan Malaka.
commit to user
4. Penelitian Nacha Sumandari. 2018. Analisis nilai-nilai pendidikan karakter pada tokoh Sutan Sjahrir dalam pembelajaran Sejarah di SMA. Skripsi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi.
Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan metode kepustakaan teknik analisis isi. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menggali dan menganalisis nilai- nilai pendidikan karakter pada tokoh Sutan Sjahrir dalam Pembelajaran Sejarah di SMA. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya sembilan karakter umum dan lima karakter khusus pada tokoh Sutan Sjahrir. Sembilan karakter umum itu antara lain, religius, toleransi, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, komunikatif, gemar membaca, serta tanggung jawab. Lima karakter khusus antara lain, patriotisme, cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, serta peduli sosial. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penerapan nilai karakter pada tokoh Sutan Sjahrir dalam pembelajaran sejarah di SMA dilakukan dengan memasukkan hasil nilai karakter terpilih dari tokoh Sutan Sjahrir ke dalam silabus mata pelajaran sejarah di SMA, memasukkan nilar pendidikan karakter ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) terkait, serta melaksanakan pembelajaran sesuai RPP dengan memperhatikan proses pembelajaran.
Persamaan penelitian ini dengan yang akan peneliti lakukan yaitu mengkaji peran tokoh sebagai penguatan nilai karakter pada pembelajaran sejarah di SMA. Terutama kaitannya dengan perjuangan tokoh dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan perbedaannya terletak pada tokoh yang diangkat. Penelitian ini mengkaji perjuangan tokoh Sutan Sjahrir, sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan mengkaji perjuangan tokoh Tan Malaka.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Dhea Imania. 2019. Peran Tan Malaka dalam usaha mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia melalui pemikiran revolusi tahun 1925-1945. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Siliwangi.
commit to user
Penelitian kualitatif dengan metode historis ini bertujuan untuk mengetahui peran Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1925-1945. Hasil penelitian ini menunjukan Tan Malaka merupakan seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Usaha dalam memperebutkan kemerdekan Republik Indonesia dituangkan melalui pemikiran revolusinya dan ia juga merupakan orang pertama yang menggagas Republik untuk Indonesia. Persamaan penelitian ini dengan yang akan peneliti lakukan yaitu mengkaji peran Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan perbedaannya terletak pada periode penelitian dan tujuan penelitian. Pada penelitian ini, periode dibatasi pada tahun 1925-1945. Berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu tidak membagi perjuangan Tan Malaka dalam periode, tetapi mencakup seluruh masa kehidupannya. Tujuan pada penelitian ini hanya sampai pada mengetahui peran Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1925-1945. Berbeda dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu bukan hanya untuk mengetahui peran Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia selama periode tersebut, tetapi juga mengkaji nilai-nilai karakter yang terdapat dalam perjuangan Tan Malaka dan dikaitkan dengan pendidikan karakter pada mata pelajaran Sejarah Indonesia di SMA.
6. Penelitian Marzuki Nyamat yang berjudul Implementation of nationalism values of KH. Hasyim Asya’ri struggle in Indonesian History Learning at Maarif 1 Kebumen Vocational High School yang dimuat dalam International Journal of Education and Social Science Research Vol. 3, No. 02, 2020.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik naturalistik. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji implementasi nilai nasionalisme pada perjuangan KH. Hasyim Asya’ri dalam pembelajaran Sejarah Indonesia di SMK Maarif 1 Kebumen. Hasil penelitian ini menunjukan implementasi nasionalisme pada perjuangan KH. Hasyim Asya’ri dalam pembelajaran Sejarah Indonesia di SMK Maarif 1 Kebumen dilakukan dengan menyusun silabus dan RPP terdiri dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang memuat materi sejarah Indonesia tentang strategi dan bentuk commit to user
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan Belanda. Selain itu juga menunjukan upaya-upaya yang dilakukan guru dalam menyampaikan nilai-nilai nasionalisme pada perjuangan KH. Hasyim Asya’ri serta menunjukan adanya beberapa kendala dalam proses tersebut yaitu sikap siswa dan keterbatasan waktu.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama mengkaji tokoh sebagai sumber penguatan nilai karakter pada pembelajaran Sejarah Indonesia. Perbedaannya terletak pada tokoh dan nilai yang diangkat yaitu KH. Hasyim Asya’ri dengan nilai nasionalisme pada perjuangannya. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, mengangkat tokoh Tan Malaka beserta nilai-nilai yang terdapat pada perjuangannya. Selain itu, pada penelitian ini berbicara mengenai implementasi pada proses pembelajaran Sejarah Indonesia di SMK Maarif 1 Kebumen. Sementara itu, penelitian yang akan dilakukan mengkaji peran dan menganalisis nilai-nilai pada perjuangan Tan Malaka mewujudkan kemerdekaan Indonesia untuk dijadikan sebagai penguatan pendidikan karakter dalam pembelajaran Sejarah Indonesia.
7. Penelitian Yoga Fernando Riski yang berjudul Development of Local History Learning with the Heroism Theme of KH. Gholib Based on E-Book for Private Vocational School Students in Pringsewu Regency yang dimuat dalam Budapest International Research and Critics in Linguistics and Education (BirLE) Journal Vol. 3, No. 3, 2020.
Penelitian ini menggunakan metode R&D. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas perkembangan materi yang mendukung sejarah perjuangan K.H Gholib yang kemudian disusun menjadi e-book dengan menggunakan software
“Flip PDF Professional 2.4.6.8”. Dikembangkan secara terpisah untuk menganalisis materi dan meningkatkan minat siswa SMK Swasta di Kabupaten Pringsewu dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme, kepahlawanan, dan patriotisme seorang tokoh agama dan pejuang yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan di Lampung dari serangan Agresi Militer Belanda II tahun 1949. Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana penyusunan dan commit to user
implementasi e-book di kelas, sehingga produk yang dikembangkan dapat menumbuhkan minat belajar siswa.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama- sama mengkaji tokoh sebagai sumber penguatan nilai karakter pada pembelajaran Sejarah. Kemudian, perbedaannya adalah pada penelitian ini menggunakan metode R&D, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Perbedaan lainnya yaitu pada penelitian ini membatasi nilai-nilai yang terdapat pada K.H Gholib yaitu nasionalisme, kepahlawanan, dan patriotisme. Sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan, nilai-nilai karakter merupakan nilai yang murni ada dalam tokoh Tan Malaka, tidak dibatasi pada nilai-nilai tertentu.
C. Kerangka Berpikir
Perjuangan tokoh Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia selama ini belum mendapatkan tempat yang sesuai dalam penulisan sejarah di sekolah. Padahal, tokoh Tan Malaka telah resmi menyandang gelar pahlawan nasional sejak 1963. Oleh karena itu, perlu digali kembali perjuangan tokoh Tan Malaka dalam upayanya mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan tersebut memiliki nilai-nilai karakter yang dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sejarah di sekolah, terutama pada mata pelajaran Sejarah Indonesia di SMA. Dengan demikian, peserta didik bukan hanya memahami peran tokoh Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga meneladani nilai-nilai karakter yang terkandung ke dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka berpikir penelitian kualitatif mengenai nilai-nilai perjuangan Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia sebagai penguatan pendidikan karakter pada pembelajaran Sejarah Indonesia digambarkan sebagai berikut.
commit to user
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Perjuangan Tan Malaka mewujudkan
kemerdekaan Indonesia
Pendidikan karakter di sekolah
Perjuangan Tan Malaka dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dijadikan sebagai Penguatan
pendidikan karakter pada pembelajaran Sejarah Indonesia di SMA
Pembelajaran Sejarah Indonesia di SMA
Nilai-nilai Karakter
Guru
commit to user