• Tidak ada hasil yang ditemukan

gabung Bunga Rampai15 x 23 edit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "gabung Bunga Rampai15 x 23 edit"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PARAMETER POPULASI IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, (Bloch, 1791)) DI LAUT JAWA

Oleh

Nurulludin1) dan Bambang Sadhotomo1) 1)

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Email: nurulludin@kkp.go.id

ABSTRAK

Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang telah di eksploitasi secara intensif. Dalam rangka menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut diperlukan pengelolaan yang didasarkan pada penelitian. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2012 di perairan utara Jawa Tengah dengan metode survei. Hasil analisis diperoleh beberapa parameter populasi ikan kurisi (K) terbaik sebesar 1 per tahun, (L∞) 19,74 cm, (M) 1,08 per tahun (F) 1,02 per tahun, dan E 0,48 per tahun. Tingkat ekplotasi ikan kurisi relatif optimum.

Kata kunci: Karakteristik, populasi, parameter, laut jawa

PENDAHULUAN

Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dalam perikanan Indonesia. Pemanfaatan ikan ini dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar dan fillet ikan untuk dipasarkan di dalam negeri sebagai bahan baku pembuatan olahan ikan serta diekspor ke luar negeri. Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan yang tertangkap dominan dengan alat tangkap cantrang dalam tiga tahun terakhir (Badrudin et.al 2011).

(2)

dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan masukan dari penelitian untuk mendasarinya

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan.

BAHAN DAN METODE

Pengukuran data frekuensi panjang ikan dilakukan dari bulan Februari sampai Desember 2012. Pengambilan contoh ikan diambil dari kapal cantrang besar dan kecil yang melakukan bongkar muatan secara acak di PPP Tegalsari, Tegal.

Pengukuran ikan berdasarkan panjang cagak (FL) dengan menggunakan kertas ukur dengan terlebih dahulu mensortir spesies ikan kurisi (Nemipterus japonicus). Contoh ikan yang diukur panjangnya sebanyak 50 ekor per basket sesuai dengan Potier dan Sadhotomo (1991).

1. Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc)

Data frekuensi panjang yang terkumpul diaplikasikan untuk perkiraan rata-rata ukuran ikan yang tertangkap (Lc) Pendugaan rata-rata-rata-rata panjang tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sparre & Venema, 1999) :

(3)

2. Pendugaan parameter pertumbuhan

Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode FISAT II (2004), sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1980). Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre dan Venema, 1999) dengan persamaan sebagai berikut :

Lt = L∞ (1- e-k (t – to))...(4)

dimana :

Lt = Panjang ikan (cm) pada umur t (tahun) L∞= Panjang asimptot ikan (cm)

K = Koefisien pertumbuhan (per tahun)

to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun) t = Umur ikan (tahun)

3. Mortalitas

Mortalitas dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan.

a. Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1980) dengan rumus :

Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T ...(5)

b. Mortalitas Total (Z)

Pendugaan mortalitas total (Z), mengunakan metode Beverton dan Holt dalam (Sparre dan Venema, 1999) yaitu :

∞ ̅ ...(6)

dimana :

K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun) L∞ = Panjang asimptotik kurisi (cm) FL

̅ = Panjang rata – rata kurisi yang tertangkap (cm)

(4)

Dari hasil pendugaan nilai Z dan M, maka mortalitas penangkapan (F) ikan kurisi diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu :

Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K...(9)

Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi hasil tangkapan kapal cantrang dalam 11 bulan menyebar normal dengan dua modus. Panjang ikan terkecil yang tertangkap pada kisaran nilai tengah panjang cagak 4,8 cm dan terpanjang berkisar 18,8 cm dan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) sekitar 11,41 cm. (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan kurisi (Nemipterus japonicus)

0

4.8 5.8 6.8 7.8 8.8 9.8 10.811.812.813.814.815.816.817.818.8

(5)

Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang kumulatif ikan kurisi (Nemipterus japonicus)

Sebaran kelompok ukuran ikan kurisi (Nemipterus japonicus) mengalami pergeseran modus sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Hasil analisis FISAT II menunjukkan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) sebesar 19,74 cm. Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan sebesar 1,02 per tahun. Dengan demikian didapatkan laju kematian total sebesar 2,1 pertahun dan laju eksploitasi E sebesar 0,48 per tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Parameter pertumbuhan dan mortalitas kurisi (Nemipterus japonicus)

Parameter Nilai

L∞ (cm) 19,74

K (tahun-1) 1

Lc (cm) 11,41

Z 2,1

E 0,48

M 1,08

F 1,02

(6)

= 19,74(1-e-1(t-0.178)). Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pada umur tertentu (Gambar 3).

Gambar 3. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi (Nemipterus japonicus)

PEMBAHASAN

Sebaran panjang ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di daerah Tegal didominasi ukuran 11,45 cm dan pertama kali matang gonad berukuran 12,5 cm. (Wahyuni, et.al 2009). Menurut Russel (1990) panjang baku maksimum ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Laut Cina Selatan adalah 25 cm.

Nilai K sebesar 1 per tahun, hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan ikan dengan pertumbuhan cepat. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai koefisien laju pertumbuhan (K) yang tinggi berarti mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan biasanya ikan-ikan tersebut memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai panjang maksimumnya. Ikan - ikan yang laju koefisiennya rendah, membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka cenderung berumur panjang.

Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan (F) sebesar 1,02 per tahun. Nilai kedua laju kematian ikan kurisi tersebut seimbang, sehingga diperkirakan stock ikan yang dieksploitasi di perairan Laut Jawa sudah optimal. Menurut Atmaja & Nugroho, (2004) bahwa kematian ikan akibat penangkapan adalah berbanding lurus dengan upaya penangkapan dan kemampuan tangkap. Hal ini berarti kenaikan kematian akibat

(7)

penangkapan akan diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Gulland (1971) in Sparre & Venema (1999) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5.

Nilai E ikan kurisi pada saat penelitian sebesar 0,48 hal ini berarti bahwa stok ikan yang dieksploitasi relatif optimal. Pembatasan jumlah unit kapal cantrang mungkin opsi yang paling dimungkinkan, hal ini juga didasarkan pada nilai panjang asimtotik kurisi (Nemipterus japonicus) semakin kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Gulland (1971) mengemukakan bahwa gejala over eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per upaya penangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, dan bergesernya fishing ground ke daerah yang lebih jauh dari pantai. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).

Tabel 2. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pada

(8)

dewasa di dalam stok terlalu banyak dieksploitasi sehingga reproduksi ikan-ikan muda juga berkurang (Pauly, 1984).

Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Laut Jawa memiliki panjang asimtotik (L∞) kecil jika dibandingkan dengan beberapa perairan di negara lain. Menurut Ficher & White head (1974) dalam Siregar (1997) ciri ikan kurisi adalah berukuran kecil, badan langsing serta menyatakan bahwa ikan kurisi maksimal berukuran 30 cm, umumnya yang sering tertangkap berukuran 16-25 cm. Berdasarkan pengamatan Brojo & Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17 cm (kisaran 15- 18 cm). Lagler, et.al (1977) in Gumilar (2011) mengatakan bahwa perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik.

KESIMPULAN

Parameter populasi ikan kurisi di Laut Jawa memiliki koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) 19,74 cm, laju mortalitas alami (M) 1,08 pertahun, mortalitas penangkapan (F) 1,02 per tahun dan mortalitas total (Z) 2,1 sehingga diperoleh laju eksploitasi (E) 0,48 yang berarti bahwa tingkat pemanfaatan ikan kurisi di perairan Laut Jawa sudah optimal.

SARAN

Perlu adanya pembatasan jumlah alat tangkap cantrang di Laut Jawa agar stok sumberdaya ikan kurisi tetap lestari.

PESANTUNAN

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja & Nugroho, 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro (Amblygaster sirm) dan model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna dan sekitarnya. JPPI Vol. 10 No. 4 Tahun 2004

Badrudin, Tri Ernawati, Aisyah 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 1 Maret Tahun 2011

Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Bleeker) yang didaratkan di TPI, Labuan, Pandeglang. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2(1) : 9-13.

Fischer W. & Whitehead P.J.P., 1974. FAO - Species Identification Sheets for Fishery Purposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and Western Central Pacific (fishing area 71). Vol. 4. pag. var. Rome: FAO

Fish Base 2012. Growth parameters for Nemipterus japonicus. www.fishbase.org/. Diakses tanggal 23 Desember 2012

FISAT II. 2004. FAO – ICLARM Fish Stock Assessment Tools Version 1.13. Rome

Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. Fishings News (Books) Ltd. Surrey, England.209 p.

Gumilar AD. 2011. Kajian stok sumber daya ikan kurisi (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) di Perairan Teluk Banten Kabupaten Serang, Provinsi Banten [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Harahap & Bataragoa, 2008. Pola pertumbuhan dan foktor kondisi ikan kurisi (Aphareus rutilans Cuvier, 1830) di Perairan Laut Maluku. Pacifik Jaournal. September 2008. Vol. 1(3) : 287-291

Jennings S., M. Kaiser, & J.D. Reynolds,2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp.

King, M. 1995.Fisheries Biology Assessment and Management. Fishing News Books, Oxford. 341 p.

(10)

Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.

Potier, M. & B Sadhotomo 1991. Sampling training. ALA/INS/87/17. Scien. And Tech. Doc. 4. 29 p

Russel, B.C. 1990. F.A.O. Species Catalogue. Vol.12. Nemipterus Fishes of the World (Treadfin Breams, Whiptail Breams, Monocle Breams, Dwarf monocle breams, and Coral breams) Family Nemipteridae an Annotated and Illustrated Catalogue of Nemipterid Species Known to Date. FAO. Fisheries Synopsis. No.125 Vol.12 149 pp.

Siregar, E.B. 1997. Pendugaan stok dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) diperairan Teluk Lampung. Skripsi. ProgramStudi ilmu Kelautan, Fakultas perikanan. IpB.7o p.

Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1. Manual. FAO fish. Tech.

(11)
(12)
(13)

PARAMETER POPULASI IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN TIMUR (BRONDONG)

Oleh

Wahyuningsih1), Prihatiningsih1) dan Tri Ernawati1) 1)

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut

ABSTRAK

Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) merupakan jenis ikan demersal dari famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis penting di Indonesia. Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai dengan November 2012 di Brondong, Lamongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek parameter populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) dari ikan kakap merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang rata-rata kakap merah yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc<Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65 (1 – e-0,220(t+0,024)). Mortalitas alami (M) adalah 0,49 tahun-1, mortalitas karena penangkapan (F) = 0,55 tahun-1 sehingga mortalitas total (Z) = 1,04 tahun-1. Nilai eksploitasi (E) pada kakap merah (

Lutjanus malabaricus) adalah 0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum.

Kata kunci: Lutjanus malabaricus, Pertumbuhan, Umur, Mortalitas, Laut Jawa

PENDAHULUAN

Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah jenis ikan demersal dari famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Kakap merah merupakan salah satu komoditas ekspor dari sub sektor perikanan yang permintaannya terus meningkat.

Daerah penyebaran kakap merah di Laut Jawa ditemukan di perairan Bawean, Kepulauan Karimunjawa, Selat Sunda, selatan Jawa (Parangtritis – Yogyakarta), selatan/barat Kalimantan, timur Kalimantan, perairan Sulawesi, Kepulauan Natuna, Kepulauan Lingga dan Kepulauan Riau lainnya (Marzuki & Djamal, 1992). Alat tangkap yang digunakan untuk kakap merah umumnya adalah pancing rawai, pancing ulur, jaring insang atau gill net, bubu, dan trawl dasar.

(14)

(510 GT) sekitar Tuban, Rembang, Madura, Pati, Jepara dengan jarak sekitar 30 -210 mil. Daerah penangkapan kapal mingguan (10 GT <) adalah sekitar P. Bawean, Masalembo, Pulau Kangean, Matasiri, Banyuwangi, dan juga sekitar Pulau Kalimantan.

Upaya penangkapan yang terus meningkat dikhawatirkan terjadinya penangkapan berlebih terhadap sumberdaya ikan kakap merah, sehingga diperlukan suatu bentuk pengelolaan. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang aspek parameter populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Januari - November 2012. Pengumpulan data dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong dan tempat pengumpul ikan di wilayah PPN Brondong. Berikut merupakan peta lokasi penangkapan di wilayah Brondong (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbasis di Brondong

Pengumpulan Data

(15)

Analisis Data

Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc)

Pendugaan rata-rata panjang tertangkap dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X) dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Jones, 1976 dalam Sparre & Venema, 1998) :

)

Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (Lm)

Pendugaan rata-rata panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dilakukan sesuai dengan prosedur penghitungan yang dilakukan Udupa (1986), melalui rumus :

m = Xk + X/2 – (X ∑ pi)...(4) dimana :

m : log ukuran ikan saat pertama matang ovarium

Xk: log ukuran ikan dimana 100% ikan sampel sudah matang X : selang log ukuran (log size increment)

Pi : proporsi ikan matang pada kelompok ke-i

Rata-rata ukuran ikan pertama matang ovarium diperoleh dari nilai antilog (m).

(16)

Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan menggunakan metode ELEFAN I, sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan Pauly (1980). Ketiga nilai dugaan parameter pertumbuhan tersebut dimasukkan ke model pertumbuhan Von Bertalanfy. Pola pertumbuhan ikan kakap merah (L. malabaricus) diperkirakan dengan menggunakan rumus Von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1998) sebagai berikut :

Lt = L∞ (1- e-k (t – to))...(5)

dimana :

Lt : ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm) L∞: panjang maksimum ikan yang dapat dicapai t0 : umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm K : Koefisien pertumbuhan

Dugaan umur

Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) ikan kakap merah diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu : Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K...(6) Perhitungan mortalitas

Mortalitas total (Z) dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika populasi atau stok ikan. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena penangkapan (F). Mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva hasil tangkapan menggunakan data frekuensi panjang (Sparre & Venema, 1998). Mortalitas total dihitung menggunakan rumus : Z = M + F ...(7) Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly (1980) dengan rumus :

Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T...(8) dimana :

(17)

HASIL

Panjang rata-rata tertangkap (Lc) dan panjang rata-rata matang gonad (Lm)

Pengukuran rata-rata panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus) tertangkap pada tingkat kemungkinan 50 % (Lc) yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 38,51 cm FL (Gambar 2), sedangkan ukuran rata-rata panjang pertama kali matang gonad (Lm) sebesar 50,004 cm FL. Nampak bahwa nilai Lm > Lc.

Gambar 2. Panjang rata-rata tertangkap ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong (Laut Jawa).

Estimasi parameter pertumbuhan

Berdasarkan data struktur ukuran panjang (FL) ikan kakap merah (Gambar 3) diperoleh nilai parameter pertumbuhan yaitu panjang asimtotik (L∞) = 97,65 cm, koefisien pertumbuhan (K) = 0,220 per tahun, dan umur ikan kakap merah pada saat panjang sama dengan nol (t0) = -0,024. Dengan demikian persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t + 0,024)].

Gambar 3. Sebaran frekuensi panjang kakap merah (Lutjanus malabaricus) berdasarkan Program ELEFAN.

(18)

Beberapa penelitian terkait dengan parameter pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) telah banyak dilakukan pada penelitian sebelumnya di lokasi yang berbeda dari penelitian ini, diantaranya adalah Taiwan, China, Kuwait, Australia, Utara Jawa, dan Kotabaru (kalimantan Selatan) (Tabel 1). Pada penelitian Prihatiningsih (2012) di Kotabaru (Kalimantan Selatan) diperoleh nilai L∞ = 57,86 cm FL dan K = 0,238 per tahun sehingga dari beberapa parameter populasi yang berbeda, diperoleh tingkat pertumbuhan yang berbeda pula. Tabel 1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus

malabaricus) dengan daerah penangkapan yang berbeda.

L∞ K t0 Lokasi/Location Sumber/Ref

(cm) (per tahun) (tahun)

64,4 (TL) 0,338 0,397 Utara Jawa (Indonesia) Herianti (1993)

57,86(FL)

Dengan menggunakan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy, diperoleh nilai panjang asimtotik (L∞) = 97,65 cm, nilai K = 0,220 per tahun, dan nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,024 per tahun, sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong, Lamongan (Pantai Utara Jawa) adalah Lt = 97,65[1-e -0,220(t + 0,024)

]. Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) pada umur tertentu (Gambar 4).

(19)

(Lc) adalah 38,51 cm diduga berumur 2 tahun dan panjang pertama kali matang gonad (Lm) adalah 50 cm diduga berumur 3 tahun.

Gambar 4. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus)

Estimasi mortalitas

Dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) yang telah dihitung, dapat diperoleh nilai mortalitas alami (M) adalah 0,49 per tahun dan nilai mortalitas karena penangkapan (F) adalah 0,55 per tahun, sehingga mortalitas total (Z) = 1,04 per tahun. Untuk nilai eksploitasi/tingkat pemanfaatan (E) ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong adalah 0,53.

BAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ikan kakap merah di Brondong diketahui bahwa nilai Lm > Lc (Lm = 50,004 ; Lc = 38,51). Hal itu menunjukkan bahwa ukuran rata-rata panjang pertama kali tertangkap lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad, sehinngga dapat dikatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan. Oleh karena itu perlu suatu kebijakan dalam pengelolaan untuk menjaga sumberdaya yang berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan menentukan minimum Legal Size, yaitu paling tidak ukuran yang tertangkap lebih besar atau sama dengan Lm (length maturity). Menurut Grimes (1987), ikan kekakapan mencapai ukuran kematangan gonad pada ukuran panjang 40% - 50 % dari panjang maksimumnya dan perbedaan ukuran pada saat maturasi sangat dipengaruhi oleh kedalaman serta tipe habitat kaitannya dengan kelimpahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

(20)

yaitu oleh Prihatiningsih (2012), menyatakan bahwa nilai Lc kakap merah (Lutjanus malabaricus) di perairan Kotabaru (Kalimantan Selatan) yaitu 40,5 cmFL. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian oleh Herianti(1993), bahwa nilai Lc kakap merah di perairan Laut Jawa adalah 43,3.

Nikolskii (1969) mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan faktor penting dalam dinamika populasi, karenanya informasi mengenai parameter pertumbuhan perlu diketahui sebab dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga kondisi sumberdaya di suatu perairan seperti besarnya sediaan, tingkat pengusahaan serta kemungkinan pengelolaannya. Berdasarkan data hasil penelitian ikan kakap merah di Brondong dan hasil penelitian sebelumnya seperti yang telah ditampilkan pada tabel 1, diperoleh nilai K yang kurang dari satu. Menurut Gulland (1983), apabila nilai K yang kurang dari satu menunjukkan bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat. Laju pertumbuhan yang lambat sangat mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya. Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing), karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru (recruitment). Menurut Sparre dan Venema (1998), nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya (L∞).

(21)

Tingkat pemanfaatan (E) pada kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah 0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum. Menurut Gulland (1983), tingkat pemanfaatan optimum berada pada saat E = 0,5. Kondisi tersebut perlu kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan. Sebaiknya dalam pengelolaan tersebut tidak boleh adanya penambahan upaya penangkapan, karena jika terjadi penambahan upaya penangkapan dikhawatirkan pemanfaatannya mengarah pada kondisi over fishing. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Variasi laju kematian alamiah (M) dari satu jenis ikan tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap tetap dari tahun ke tahun (Paully et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak ditentukan oleh laju kematian karena penangkapan (F) dibandingkan laju kematian alamiah (M).

KESIMPULAN

Rata-rata ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc < Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t + 0,024)

]. Tingkat pemanfaatan (E) adalah 0,53 yang berarti bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum. Sehingga perlu kehati-hatian dalam upaya pengelolaannya.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa di Balai Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Edwards, R. R. C. And S. Shaher. 1991. The biometrics of marine fishes from the Gulf of Aden. Fishbyte 9 (2): 27-29.

Grimes, C. B. 1987. Reproduvtive biology of the lutjanidae: a review. Westview Press. Boulder and London. pp: 239-294.

(22)

Herianti, I., R.Djamal. 1993. Dinamika populasi kakap merah Lutjanus malabaricus (Bloch and Schneider) di perairan Utara Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 78. Hal. 18 – 25.

Marzuki, S. dan R. Djamal. 1992. Penelitian penyebaran kepadatan stok dan beberapa parameter biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan laut jawa dan kepulauan Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 68 tahun 1992. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal. 49-65. Mathews, C. P. and Samuel, 1991. Growth, mortality and length-weight

parameters for some Kuwaiti fish and shrimp. Fishbyte 9 (2): 30-33. Newman, S. J., M. Cappo & D. Williams. 2000. Age, growth, mortality rates, and

corresponding yield estimates using otoliths of the tropical red snappers, Lutjanus erythropterus, L.malabaricus, and L. Sebae, from the central Great Barrier Reef. Fisheries Research 48: 1-14.

Nikolskii, G. V. 1969. Fish population dynamics. Oliver and Boyd, Edinburg. 323 p.

Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.

Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment related parameters from length frecuency data (ELEFAN I and ELEFAN II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England. Prihatiningsih. 2012. Pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan kakap merah

(Lutjanus malabaricus) dari perairan Kotabaru (Pulau Laut) Kalimantan Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Manado 30-31 Oktober 2012. Hal 373-383.

Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376 pp.

Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74.

(23)

ASPEK BIOLOGI IKAN SWANGGI (Priacanthus macracanthus) DI PERAIRAN REMBANG, LAUT JAWA

Oleh

Nur’ainun Muchlis1) dan Muhammad Taufik1)

1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis beberapa aspek biologi dan parameter populasi ikan swanggi. Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin betina adalah W = 0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126 dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804. Musim pemijahan ikan swanggi di Laut Jawa diduga terjadi sepanjang tahun dengna puncaknya bulan Oktober hingga Nopember. Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan swanggi diperoleh nilai K = 1.00 dengan L∞ = 30.24 cm. Nilai M pada suhu 29oC adalah 1.81, nilai F = 2.43 per tahun dan n ilai Z = 4.24 per tahun. Laju eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan.

Kata Kunci: Aspek biologi, ikan swanggi, Rembang, Laut Jawa

PENDAHULUAN

Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) adalah salah satu jenis ikan demersal yang bernilai ekonomis penting. Pengertian ekonomis penting yang dimaksud adalah komoditas tersebut mempunyai nilai pasar yang tinggi, volume produksi makro yang tinggi dan luas serta daya produksi yang tinggi pula (Dirjen Perikanan, 1979).

Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO, 1999). Family Priacanthidae memiliki penyebaran yang luas diperairan tropis maupun subtropics, dimana kadang-kadang ditemukan secara soliter ataupun dalam bentuk gerombolan yang besar.

(24)

BAHAN DAN METODE

Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak di tempat pendaratan ikan atau langsung dari nelayan perairan Rembang dan sekitarnya. Contoh ikan disortir dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan panduan dari Tarp & Kailola (1982). Contoh ikan diukur panjang total (TL), ditimbang beratnya, dilakukan pembedahan untuk penentuan tingkat kematangan gonad (TKG), jenis kelamin serta dilakukan pengamatan terhadap isi lambung untuk mengetahui kebiasaan makan dari ikan swanggi.

Analisis Data

Hubungan panjang – berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula :

W = aLb………..……. 1 Dimana :

W = berat ; L = panjang

a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y) b = kemiringan (slope)

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dan beratadalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :

Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).

HASIL DAN BAHASAN 1. Hubungan Panjang-Berat

Pengukuran individu terhadap 4.037 ekor ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di perairan Rembang (Laut Jawa) diperoleh sebaran ukuran panjang berkisar 14.4 – 31.2 cm (panjang cagak, FL) dan kisaran beratnya 41.7 – 208.46 gram.

(25)

korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804 (Gambar 1). Jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat antara kedua variable tersebut (Walpole, 1993). Dengan demikian terdapat hubungan yang erat yaitu sekitar 60-80 % antara panjang dengan berat ikan swanggi di Rembang.

Gambar 1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di Rembang

Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 1.5755 dan 1.5126. berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan pola pertumbuhan ikan swanggi baik ikan jantan maupun ikan betina bersifat allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat.

2. Rasio Kelamin

Pengamatan terhadap rasio kelamin ikan swanggi hasilnya pada setiap bulan pengamatan ditemukan jenis kelamin jantan lebih dominan dibanding jenis

(26)

kelamin betina. Pada bulan Mei terlihat jantan jauh lebih dominan yaitu sebanyak 85 % dari total ikan swanggi yang diamati.

Gambar 2. Jenis Kelamin Priacanthus macracanthus

3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Hasil pengamatan TKG pada setiap pengambilan contoh ikan swanggi, diperoleh ikan yang mempunyai tingkat kematangan gonad yang berbeda-beda. Dari jumlah ikan yang matang gonad (matang kelamin) setiap kali pengambilan contoh (sampling) di lokasi penelitian menunjukkan pergeseran persentase bulanan yang dapat dijadikan parameter untuk mengetahui musim pemijahannya. Ikan dikatakan matang gonad apabila telah mencapai fase ke-5 dari tingkat kematangan gonad ikan, namun pada penelitian ini hanya ditemukan hingga fase ke-4 yaitu pada bulan Mei dan September, sehingga diduga puncak musim pemijahan terjadi pada bulan Oktober hingga Nopember.

0 20 40 60 80 100 120

Januari Februari Mei Juni September

Per

sen

tase

(

%

)

Jenis Kelamin : Jantan

(27)

Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Priacanthus macracanthus (dipisah jantan betina)

4. Isi Lambung

Pengamatan terhadap isi lambung ikan swanggi ditemukan beberapa jenis ikan, udang-udangan, cumi, kepiting dan bivalvia, namun yang mendominasi adalah ikan dan udang dimana jenis ini ditemukan pada setiap pengamatan.

Gambar 4. Isi lambung Priacanthus macracanthus

Pendugaan Parameter Populasi

Perhitungan parameter populasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat eksploitasi ikan di suatu perairan. Penentuan parameter populasi yang meliputi panjang maksimum teoritis (L∞), laju pertumbuhan (K), laju kematian (Z, M dan F) dan laju eksploitasi (E) berdasarkan analisis frekuensi panjang individu yang

(28)

disampling per bulan di Rembang. Laju kematian dan nilai ekspoitasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter populasi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di Rembang

Jenis Ikan L. ∞ (cm) (K: cm/year) F M Z E

Priacanthus macracanthus

30.24 1.00 2.43 1.81 4.24 0.57

Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan Priacanthus macracanthus dengan FISAT diperoleh hasil sebaran kelompok ukuran ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) mengalami pergeseran ke kiri dan kanan sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Laju pertumbuhan K = 1.00 dengan L∞ = 30.24, mortalita alami (M) pada suhu 29

o

C adalah 1.81, pertumbuhan mortalitas karena penangkapan (F) = 2.43 pertahun. Sehingga mortalitas total (Z) = 4.24 pertahun. Laju eksploitasi ikan swanggi adalah 0.57 nilai E tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan.

.

Gambar 5. Sebaran Frekwensi Panjang ikan Priacanthus macracanthus

KESIMPULAN

(29)

2. Musim pemijahan ikan swanggi diperkiran pada bulan Oktober hingga Nopember.

3. Laju eksploitasi ikan swanggi di Rembang adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Penelitian Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712 Laut Jawa, T.A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Perikanan, 1979. Buku Pedoman Pengenalan sumberdaya Perikanan Laut, Bagian I: Jenis-jenis ikan ekonomis penting. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta, 170 pp.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp.

FAO (Food Agricultural Organization), 1999. The Living Marine Mesources of Western Central Pasific. Spesies Identification guide for Fishery Purpose. Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University, Virginia.

Tarp, T.G. & P.J. Kailola. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and North-Western Australia. ADAB, GDF, and GTZ. Singapore. 406 pp.

(30)
(31)

BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN PETEK (Leiognathus splendens) DI PERAIRAN BANTEN DAN SEKITARNYA

Oleh

Prihatiningsih 1), Pustika Ratnawati1) dan Muhammad Taufik1)

1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta

Email : prie_nining@yahoo.com

ABSTRAK

Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang cukup banyak tertangkap di perairan pantai Laut Jawa seperti di perairan Banten dan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan petek. Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) pada Januari – Desember 2012 dengan alat tangkap jaring cantrang. Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan ikan petek jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Nilai faktor kondisi ikan petek jantan berkisar 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 dan betina berkisar 1,214 – 2,043 dengan rata-rata 1,768. TKG ikan petek jantan dan betina berada pada stadia I – IV dan diduga musim pemijahan terjadi beberapa kali dalam setahun dan puncaknya terjadi pada September. Fekunditas ikan petek berkisar 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir dengan ukuran diameter telur berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Ikan petek merupakan jenis ikan omnivora dengan makanan utamanya yaitu fitoplankton maupun zooplankton, makanan pelengkapnya molluska dan krustasea dan makanan tambahannya polychaeta, larva bivalva dan larva gastropoda.

Kata Kunci: Biologi reproduksi, kebiasaan makan, ikan petek, perairan Banten.

PENDAHULUAN

Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang cukup banyak tertangkap dengan menggunakan jaring cantrang di perairan Banten, pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai timur Lampung. Ikan petek memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan pantai utara Jawa. Hal yang mendasari penelitian ini adalah bahwa ikan petek merupakan ikan demersal yang paling banyak tertangkap di perairan Laut Jawa yaitu sebesar 60% (Badruddin, 1988; Sumiono et al. 2002; Parwati et al. 1988) sehingga dibutuhkan data dan informasi lebih lengkap mengenai beberapa aspek biologinya.

(32)

petek memiliki pertumbuhan dan rekruitmen tinggi (Pauly, 1980). Dari segi ekonomi, ikan petek dimasukan ke dalam kategori ”ikan rucah” (trash fish). Di pantai utara Jawa petek biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan harganya relatif mahal dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan petek (Leiognathus splendens). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian selanjutnya dan dapat memberikan kontribusi terhadap pola pengelolaan dan pengembangan sehingga sumberdaya ikan petek dapat dimanfaatkan dengan tetap dijaga kelestariannya.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari sampai Desember 2012. Analisis sampel dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta.

Pengumpulan Data

Contoh ikan petek (Leiognathus splendens) diperoleh dari hasil tangkapan menggunakan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring cantrang ini dioperasikan sampai kedalaman air sekitar 30 meter. Contoh ikan diukur panjang total (TL) (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram). Gonad dan isi lambung ikan petek diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10% dan gilson.

Analisis Data

Hubungan panjang-berat

Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula: W = aLb ...(1) dimana :

W = berat

(33)

a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y)

b = ”slope

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan hipotesis:

H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik

H1 : b ≠3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :

Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b < 3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).

Faktor kondisi

Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan. Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung. Faktor kondisi ikan petek dihitung dengan rumus (Effendie, 1979):

Kn = 102 W/L3………...(2)

Dimana: Kn =faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan

Nisbah kelamin

Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan petek jantan dengan jumlah ikan petek betina dengan menggunakan uji chi-square (Steel & Torrie, 1993) dengan rumus :

Oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina;

ei = Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1;

k = kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang ditemukan.

Tingkat kematangan gonad (TKG)

(34)

pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi) dan stadium V (disebut stadium atretis; gonad berbentuk kecil, telur belum dapat dibedakan oleh mata biasa,ukuran menyusut, berwarna kemerahan).

Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan Effendie (1979), yaitu : x100%

Bt

Penghitungan fekunditas ikan petek dilakukan dengan mengambil gonad ikan petek yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10. Dalam penelitian ini contoh telur seberat 0.5 gram kemudian diteliti sebaran ukuran telur dan jumlah telurnya. Fekunditas dihitung secara gravimetri dengan rumus Holden & Raitt (1974):

Evaluasi jenis makanan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance) merupakan gabungan dari dua metode, yaitu metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Metode ini dikembangkan oleh Natarjan & Jhingram (1961) dalam Effendie (1979) dengan rumus :

(35)

IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i.

HASIL

Hubungan panjang-berat

Hasil analisis hubungan panjang berat ikan petek (L.splendens) berdasarkan jenis kelamin dan dilakukan uji t terhadap nilai koefesien regresi (b) taraf kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan panjang-berat ikan petek (L. splendens) di perairan Banten,

Hubungan panjang berat diatas menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang erat antara panjang dan berat ikan petek, ini ditunjukkan dengan nilai r yang mendekati 1,0. Nilai b ikan petek pada jenis kelamin jantan adalah 2,879 dan betina adalah 3,081.

Faktor kondisi (Kn)

Faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kegemukan ikan dengan angka (Effendie, 1992). Nilai faktor kondisi (Kn) ikan petek (L.splendens) yang diperoleh dari hasil perhitungan berada pada kisaran 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 pada ikan petek jantan, untuk ikan betina berkisar 1,214 – 2,043 dengan rata-rata 1,768 (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012.

(36)

Dari 183 ekor ikan petek terdapat 62 ekor ikan jantan dan 121 ekor ikan betina, nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina adalah 1 : 1,6 dengan uji ”Chi-Square” pada selang kepercayaan 95%, ternyata nisbah kelaminnya tidak mengikuti pola 1:1 atau nisbah kelamin ikan tidak seimbang. Nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina yang sudah matang gonad (TKG III dan IV) adalah 1 : 2,3. Dengan uji ”Chi-Square” sesuai pada taraf nyata 95% didapatkan hasil bahwa nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina yang sudah matang gonad adalah tidak seimbang.

Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad ikan petek (L. splendens) diukur berdasarkan perubahan morfologi dan histologi testis dan ovariumnya. Gambar 1 menunjukkan perubahan komposisi TKG tiap bulannya. TKG ini menunjukkan fase-fase yang diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan untuk jenis ikan jantan maupun betina.

Gambar 1. Perkembangan komposisi tingkat kematangan gonad ikan petek (Leignathus splendens) di perairan Banten, 2012.

Komposisi ikan petek jantan TKG I dominan pada Juni (57%), TKG II pada Januari (71%), TKG III pada April (50%) dan TKG IV pada Agustus (100%). Ikan petek betina TKG I dominan pada Juni (92%), TKG II pada Januari (69%), TKG III pada April (31%) dan TKG IV pada Agustus (93%).

(37)

bertambah besar dan sudah nampak lapisan vesikula kuning telur. Kondisi gonad pada TKG IV pada ikan berukuran 13,5 – 16,3 cm TL dengan diameter oosit berkisar 190,72-329,89 µm rata-rata 263,01 µm ditandai dengan granula kuning telur yang menutupi seluruh sitoplasma (Chinabut et al. 1991).

Gambar 2. Penampang histologi gonad ikan petek (Leignathus splendens) menunjukkan oosit pada tingkat II – IV (Perbesaran 10x10).

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina yang diamati berkisar 0,14 –4,12% dengan rata-rata 2,12% dan ikan petek jantan berkisar 0,40 – 4,05% dengan rata-rata 1,64%. Nilai rata-rata IKG kelamin betina meningkat dari TKG I (0,67%) sampai dengan TKG IV(2,46%), sama halnya dengan ikan petek jantan meningkat dari TKG II (0,71%) sampai dengan TKG IV (2,44%) (Ganbar 3).

(38)

Fekunditas dan Diameter Telur

Jumlah telur ikan petek (Leiognathus splendens) TKG III dan IV berkisar antara 6.483 – 32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir telur. Fekunditas ikan petek terendah sekitar 6.483 butir telur, terdapat pada ikan dengan ukuran panjang total 11,5 cm dan fekunditas terbesar 32.712 butir telur terdapat pada ikan dengan ukuran panjang total 13,7 cm TL. Rata-rata ukuran diameter telur ikan petek selama pengamatan berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Berdasarkan hasil analisis hubungan fekunditas (F) dengan panjang tubuh (L) diperoleh persamaan : F = 0,00004L7,750 dengan nilai koefisien determinasi (r2) 0,813 (Gambar 4).

Gambar 4. Hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan petek (Leiognathus splendens) di perairan Banten, 2012.

Analisis Kebiasaan Makan (Food habit)

(39)

Gambar 5. Kebiasaan makan ikan petek (L. splendens) di perairan Banten, 2012.

BAHASAN

Dalam biologi perikanan analisa hubungan panjang berat merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan. Menurut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa pengukuran panjang–berat ikan bertujuan mengetahui variasi berat dan panjang ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu, sehingga dapat dijadikan petunjuk mengenai tingkat kegemukan, kesehatan, produktifitas, kondisi fisiologis dan perkembangan gonad. Berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b tidak sama dengan 3, sehingga hubungan panjang berat ikan petek pada jantan maupun betina, pola pertumbuhannya bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Hal ini sama dengan hasil penelitian Pauly (1977) di Selat Malaka dan Chaerrudin (1977) di Teluk Jakarta yang menyatakan pola pertumbuhan ikan petek bersifat allometrik.

(40)

dipengaruhi oleh bobot gonadnya tetapi juga oleh aktivitas selama pematangan gonad dan pemijahan sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan nilai faktor kondisi. Mengacu pada Effendie (1997) hasil ini menandakan ikan petek masih berada pada batas ambang kondisi yang baik dengan kisaran nilai (Kn) antara 1-3.

Berdasarkan hasil uji Chi-Square, maka nisbah kelamin ikan petek jantan dan betina secara keseluruhan (1:1,6) maupun ikan yang sudah matang gonad adalah tidak seimbang (1:2,3) yang berarti jenis kelamin betina lebih dominan. Hasilnya sama dengan hasil penelitian Saadah (2000) bahwa nisbah kelamin ikan petek secara keseluruhan tidak seimbang (3:1), tetapi berbeda dengan nisbah kelamin ikan betina dan jantan yang sudah matang gonad adalah seimbang( 1:1,6). Menurut Nikolsky (1969) perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Dalam ruaya ikan untuk memijah, terjadi perubahan nisbah kelamin secara teratur, pada awalnya ikan jantan biasanya dominan kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1, diikuti dengan dominasi ikan betina.

Persentase komposisi TKG pada setiap periode dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Effendie, 1979). Berdasarkan hasil penelitian, persentase komposisi TKG setiap bulannya berada pada stadia I – IV dan beragam. Pada ikan petek jantan dan betina TKG III dan IV dominan pada April dan Agustus sehingga diduga musim pemijahan ikan petek terjadi beberapa kali dalam setahun dan kemungkinan puncaknya terjadi setelah bulan Agustus atau diperkirakan terjadi pada bulan September.

Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan petek betina maupun jantan mengalami peningkatan dari TKG I sampai dengan TKG IV. Hal ini disebabkan oleh proses pertumbuhan ikan, pertambahan berat gonad diiringi dengan bertambah besarnya ukuran gonad. Effendie (1979) mengemukakan bahwa seiring dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan semakin besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi pemijahan.

(41)

butir (Saadah, 2000). Dalam setiap individu, ukuran telur bervariasi setiap butirnya sehingga proses pematangan gonad secara perlahan-lahan dan tidak serentak (partial spawner) dari stadia belum matang (immature) ke stadia matang (mature) dimana waktu pemijahan panjang dan terus menerus.

Ikan petek memiliki jenis makanan utama yaitu plankton baik itu fitoplankton (Coscinodiscus sp dari kelas Bacillariophyceae) maupun zooplankton (Calanus sp), makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda, sehingga dapat dikatakan bahwa kebiasaan makan ikan petek adalah bersifat omnivora, jenis makanan seluruhnya berukuran mikroskopis. Komposisi kehadiran krustasea termasuk jenis larva udang (mysis dan zoea) dalam isi lambung ikan petek hanya 5% sehingga diduga interaksi negatif pemangsaan ikan petek dan udang tampaknya belum terjadi. Menurut Rao (1967), ikan petek digolongkan ke dalam benthofagus, makanannya terdiri atas copepoda, zoobenthos dan phytobentho dan menurut Pauly (1977), makanan ikan petek umumnya adalah hewan bentik dan jenis tumbuhan (foraminifora, polychaeta, ostracoda, decapoda dan diatom), zooplankton seperti copepoda dan telur ikan. Badruddin et al., (1992) menyatakan bahwa kebiasaan makanan ikan petek sebagian besar terdiri dari fitoplankton dan sebagian lagi zooplankton dan hasil penelitian Sjafei et al., (2001) menyatakan bahwa makanan utama ikan petek adalah jenis synedra dari kelas Bacillariophyceae dan makanan sekundernya adalah dari jenis Pleurosigma, Nitschia dan Thallasiothrix.

KESIMPULAN

(42)

zooplankton, makanan pelengkapnya adalah moluska dan krustasea sedangkan makanan tambahannya adalah polycaeta, larva bivalva dan larva gastropoda.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa T. A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut.

DAFTAR PUSTAKA

Badruddin, M. 1988. Parameter stok dan potensi penangkapan ikan petek (Leiognathidae) di perairan pantai utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan laut. No. 47 tahun 1988. Jakarta.

Badruddin, M. A. Suman & K. wagiyo. 1992. Kebiasaan makan (food habit) dan pengusahaan beberapa jenis ikan peperek (Leiongathidae) di perairan Pantai utara Jawa Tengah. JPPL. No. 69. Hal 1-7.

Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status andcurrent use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries Science, 8: 1-44

Chaerrudin, G. 1977. Studi Pendahuluan Tentang Aspek-aspek Taksonomi, Pertumbuhan dan Pemijahan Ikan Petek (Leiognathus spp) di Perairan Teluk Jakarta. Tesis. Fakultas Perikanan. Universtas lampung mangkurat afiliasi. Institut Pertanian Bogor. 146 hal. Tidak dipublikasikan.

Chinabut. S, L. Chalor & K. Praveena. 1991. Histology of the walking catfish, clarias batrachus. Department of Fisheries, Thailand.

Kuo, C.M., C.E. Nash & Z. H. Shehadeh. 1974. A Procedural guide to induce spawning in grey mullet (Mugil cephalus L.). Aquculture, 3: 1 – 14. Hardjamulia, A., S. Ningrum & W. Endang. 1995. Perkembangan oosit dan ovari

ikan semah (Tor dourenensis) di Sungai Selabung, Danau Ranau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol : I, No. 3. Hal 36 – 46. Holden, M. J. & D. F. S Raitt.. (eds.). 1974. Manual of Fisheries Sciences. Part 2. Methods of Resource Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech pap., (115). Rev. 1 : 214 pp.

Effendie, H. M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor,112 pp

(43)

Longhusrt, A. R., & D. Pauly. 1987. Ecologyof the Tropical Oceans. Acad. Press, Inc., New York. 407 pp.

Nikolsky, 1969. Theory of Fish Population Dynamics as the Biological Background for Rational Exploitation and Management of Fishery Resources. Oliver and Boyd Publiser United Kingdom. London. 323 pp. Pauly, D. 1977. The Leiognathidae (Teleostei) : Their Spesies, Stocks and

Fisheries in Indonesia, with Notes on The Biology of Leiognathus splendens (Cuv) Mar. Res. Indonesian, 19 : 73-93.

Pauly, D. 1980 The use of pseudo catch-curve for the estimation of mortality rates in Leiognathus splendens (Pisces: Leiognathidae) in Western Indonesian Waters. Meeresforschung 28(1):56-60.

Rao, K. S., 1967. Food and feeding habits of trawl catches in the bay of Bengal with observation on diurnal variation in the nature of the feed. Indian Journal of Fisheries XI (1) 1967.

Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries Management, 27: 936-939.

Saadah, 2000. Beberapa aspek biologi ikan petek (Leiognathus splendens Cuv.) di perairan Teluk Labuan, Jawa Barat. Skripsi. FPIK-IPB, Bogor. 34 Hal. Sjafei D. S. dan Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leiognathus

splendens Cuvier di Perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. Vol 1 No. 1. Th 2001. Hal 13-17.

Sumiono, B., Sudjianto, Y. Soselisa, & TS Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Vol 8 No. 4.

(44)
(45)

PENGUSAHAAN DAN BIOLOGI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI LABUHAN MARINGGAI, LAMPUNG TIMUR

Oleh

Adrian Damora1), Erfind Nurdin1) dan Renny Ramadhani1)

1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut

ABSTRAK

Pengusahaan rajungan (Portunus pelagicus) di Labuhan Maringgai, Lampung Timur telah dilakukan secara intensif sehingga perlu upaya pengelolaan yang mencakup aspek bioteknososioekonomi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas performa pengusahaan dan biologi rajungan, meliputi aspek penangkapan, kelayakan usaha, hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, nisbah kelamin, kematangan kelamin, penentuan ukuran minimum yang boleh ditangkap dari sumber daya rajungan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari–Desember 2012. Metode yang digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan

Participatory Rural Apraisal (PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi

nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan rajungan yang paling dominan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Sebanyak 3508 ekor contoh rajungan yang diambil secara acak untuk analisis aspek biologi. Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan rajungan dengan alat tangkap jaring rajungan di Labuhan Maringgai dilihat dari sisi ekonominya masih menguntungkan dan layak untuk diteruskan. Pola pertumbuhan rajungan jantan bersifat isometrik dan rajungan betina bersifat allometrik positif. Nilai faktor kondisi terbesar pada rajungan jantan terdapat pada bulan Januari, sedangkan pada rajungan betina terdapat pada bulan April. Nilai faktor kondisi terkecil pada rajungan jantan maupun betina terdapat pada bulan Juli. Nisbah kelamin rajungan berada dalam kondisi tidak seimbang. Ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap (minimum legal size) untuk dapat menunjang kelestariannya sebesar 110 mmCW.

Kata kunci: perikanan, biologi, rajungan, Labuhan Maringgai

PENDAHULUAN

(46)

adalah sertifikat standar Marine Stewardship Council (MSC) yang diberlakukan di Amerika Serikat.

Labuhan Maringgai adalah salah satu pangkalan pendaratan ikan utama di Kabupaten Lampung Timur. Saat ini status pendaratan ikannya merupakan pelabuhan perikanan pantai (PPP). Pengusahaan perikanan di wilayah ini termasuk perikanan tradisional dan skala kecil. Namun demikian, beberapa komoditas perikanan di Labuhan Maringgai merupakan komoditas ekspor, terutama beberapa jenis krustasea. Di antara jenis krustasea yang ada, jenis rajungan batik (P. pelagicus) merupakan salah satu komoditas utama di wilayah ini.

Data Dinas Perikanan Propinsi Lampung (1985) menyebutkan bahwa sumber daya perikanan yang terdapat di pantai timur Lampung (Laut Jawa) memiliki potensi lestari sebesar 27.750 ton dengan luas perairan sebesar 18.500 km2. Nilai tersebut didapat dari potensi lestari perikanan pelagis sebesar 5.550 ton dan perikanan demersal sebesar 22.000 ton. Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Tengah (sekarang dipecah menjadi Lampung Tengah dan Lampung Timur) tahun 1985 potensi lestari perikanan di pantai timur Lampung pada tahun 1984 baru dimanfaatkan sebesar 67 %. Namun, seiring bertambahnya jumlah nelayan pendatang maupun nelayan trans lokasi di Labuhan Maringgai, upaya penangkapan pun mengalami penambahan dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya berakibat pada kondisi stok ikan di perairan tersebut. Terlebih wilayah perairan termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 (Laut Jawa) yang pemanfaatan sumber daya krustaseanya sudah berada dalam tahapan lebih tangkap (Suman, 2010). Oleh karena itu, kajian mengenai keragaan perikanan, khususnya rajungan, di Labuhan Maringgai dibutuhkan untuk memperbarui data-data sebelumnya.

(47)

serta ukuran rata-rata tertangkap dan matang kelamin. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan sumber daya rajungan di perairan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung pada Januari-Desember 2012. Metode yang digunakan adalah Rapid Rural Apraisal (RRA) dan Participatory Rural Apraisal (PRA) pada lokasi-lokasi konsentrasi nelayan/pengumpul dan daerah–daerah yang memiliki aktivitas perikanan rajungan yang paling dominan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.

(48)

proyek lebih dari lima tahun dimasukkan dalam kriteria discounted, maka sebagai indikator digunakan NPV (Net Present Value),IRR (Internal rate of return), dan B/C Ratio (Tabel 1). Dalam penelitian ini, dilakukan analisis kelayakan usaha dengan umur ekonomis proyek selama sepuluh tahun dengan asumsi bahwa salah satu dari investasinya memiliki masa pakai sepuluh tahun (Simanjuntak et al., 1992).

Tabel 1. Kriteria dalam analisis kelayakan usaha jaring rajungan di Labuhan Maringgai.

Parameter Nilai Standar Makna

R/C ratio 1,3 > 1 Menguntungkan

Rentabilitas 89% > 25% Efisien

Payback period 1,11

< 3 Cepat

3 < pp < 5 Sedang

> 5 Lambat

NPV Rp. 200.640.366,- DRF (15%) Layak diteruskan

B/C ratio 1.31 > 1 Layak diusahakan

IRR 42% IRR > DRF (15%) Dijalankan

IRR < DRF (15%) Tidak dijalankan

Penelitian biologi didasarkan pada data hasil contoh penarikan contoh acak berlapis terhadap 3058 ekor contoh rajungan yang ditangkap menggunakan jaring rajungan. Pengambilan contoh rajungan dilakukan setiap bulan mewakili setiap minggunya. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi pengukuran lebar karapas (carapace width), jenis kelamin serta kematangan kelamin secara fungsional, yaitu dengan mengamati rajungan betina yang membawa telur yang telah dibuahi pada bagian abdomen (Mac Diarmid & Sainte-Marie, 2006).

Hubungan panjang-bobot dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) :

W =

aLb... (1 di mana :

(49)

a dan b = konstanta hasil regresi

Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritmasehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) :

loge W = loge a + b loge

L... (2

Hubungan panjang-bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan

pertambahan berat), jika b ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik

(pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Untuk

menentukan bahwa nilai b = 3 atau b ≠ 3, maka digunakan uji-t (Walpole, 1993).

Selanjutnya thit yang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel, maka terima Ho.

Analisis faktor kondisi (K) rajungan dilakukan untuk melihat kondisi rajungan dari kapasitas fisik menggunakan persamaan berikut:

K = 100 (W / L3)

... (3

Sedangkan untuk perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut: NK = Nbi / Nji

... (4 di mana:

NK = Nisbah kelamin

Nbi = Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i Nji = Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke-i

(50)

HASIL

Sistem Pengusahaan

Perairan laut Propinsi Lampung secara umum dibagi menjadi dua kategori, yakni perairan pantai barat Sumatera dan perairan pantai timur Sumatera. Pantai barat Sumatera merupakan bagian dari Samudera Hindia, sedangkan pantai timur Sumatera merupakan sebagian besar bagian dari Laut Jawa dan selebihnya adalah bagian dari Selat Sunda. Perairan yang merupakan bagian dari Laut Jawa meliputi empat kabupaten, yakni Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Tulang Bawang, dan Mesuji.

Wilayah Lampung yang dikelilingi perairan laut ini menyebabkan sektor perikanan memiliki peran penting dalam perekonomian di propinsi tersebut. Perkembangan produksi sektor perikanan Propinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan produksi krustasea dan komoditas lainnya di Propinsi Lampung.

Tahun

Krustasea Ikan Binatang lunak Binatang air lainnya Total Produksi Sumber: Statistik Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung 2005-2010

(51)

Dari nilai produksi perikanan propinsi secara keseluruhan, ternyata pantai timur Lampung (termasuk perairan Labuhan Maringgai) memberikan kontribusi yang besar, terlebih untuk komoditas krustasea. Untuk jenis udang jerbung, dari total produksi di Propinsi Lampung sebesar 531,91 ton, 64 % diperoleh dari perairan timur Lampung (340,67 ton). Untuk udang dogol, dari total produksi sebesar 379,78 ton, seluruhnya berasal dari perairan timur Lampung. Sementara itu, untuk produksi total rajungan yang mencapai 2660,69 ton, sebesar 57 % diperoleh dari perairan timur Lampung.

Pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai juga sudah dilakukan secara intensif sejak dahulu. Menurut hasil wawancara dengan salah satu pengepul rajungan, usaha yang ia lakukan sudah berjalan selama 17 tahun. Dibandingkan dengan udang penaeid, produksi rajungan di Labuhan Maringgai lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengepulnya yang mencapai puluhan orang. Sebagian besar hasil tangkapan rajungan di daerah ini diekspor ke berbagai negara. Skema pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema rantai pengusahaan rajungan di Labuhan Maringgai. Pengepul/Pengumpul 1

Pengepul/Pengumpul 2 & Pengolahan Perusahaan pengalengan

Pasar ekspor

Rajungan

Gambar

Gambar 1.  Lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbasis di Brondong
Gambar 2. Panjang rata-rata tertangkap ikan kakap merah (Lutjanus  malabaricus) di Brondong (Laut Jawa)
Gambar 1.  Hubungan panjang-berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di                         Rembang
Gambar 2.   Jenis Kelamin Priacanthus macracanthus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Titer virus tidak selalu berkorelasi dengan gejala, sehingga untuk menentukan respons ketahanan tanaman harus menggunakan beberapa parameter (Strausbaugh et al. Pengamatan

Pendekar Plastik melakukan social buzzer dan menggunakan publik figure yang mereka juga menjadi aktivis lingkungan, duta lingkungan dan influencer-influencer lainnya berbentuk

1. pasal 4 Undang undang nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik terkait dengan proses pelayanan publik yang cepat, murah dan transparan di Kantor

Penelitian ini membahas tentang kemungkinan auditor mengeluarkan opini Going Concern Warnings (GCWs), dengan tujuan untuk meneliti hubungan antara kompetensi

Indofood Fritolay Makmur berdasarkan kepada data permintaan berupa CMO, yang merupakan dasar bagi bagian produksi dalam memproduksi, serta terutama bagian distribusi

Radiografi adalah gambaran suatu bahan (objek) pada film photografis yang dihasilkan dengan melewatkan sinar-X melalui bahan tersebut.. Jadi dasar radiografi

Daripada menggunakan mesin Java tradisional virtual (VM) seperti Java ME (Java Mobile Edition), Android menggunakan VM kustom yang dirancang untuk memastikan bahwa

Untuk mengetahui pengaruh terhadap biaya kemacetan maka perlu dilakukan analisis dengan menggunakan program Eviews dilakukan dengan menggunakan data jarak tempuh,