• Tidak ada hasil yang ditemukan

FISIP. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 2, Nomor 2: Mei 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FISIP. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 2, Nomor 2: Mei 2017"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Corresponding Author : cutputrimeliza@ymail.com 151 JIM FISIP Unsyiah: AGB, Vol. 2, No. 2: 151-170 Mei 2017

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh

(Analysis of Nurses’s Therapeutic Communication in Recovery of Mental Disorder Patients in Aceh Psychiatric Hospital)

Cut Putri Meliza, Nur Anisah

Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh”. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang harus dimiliki dan dilakukan perawat Rumah Sakit Jiwa secara terencana yang bertujuan untuk membantu pemulihan pasien gangguan jiwa salah satunya pasien gangguan jiwa halusinasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan komunikasi terapeutik perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa khususnya halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Aceh dan hambatannya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori keperawatan psikodinamik yang dikemukakan oleh Hildegard E. Peplau. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara semi terstruktur, observasi nonpartisipan dan dokumentasi. Wawancara tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menentukan informan berdasarkan sejumlah kriteria yang telah ditentukan yaitu terhadap 4 orang perawat Rumah Sakit Jiwa Aceh yang menerapkan komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa halusinasi. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh perawat Rumah Sakit Jiwa Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi melalui empat tahap yaitu tahap pra interaksi, orientasi, kerja dan terminasi. Selama penerapan komunikasi terapeutik perawat menggunakan komunikasi verbal dan non verbal serta beberapa teknik untuk mencapai tujuannya. Perawat juga mengalami hambatan internal dan eksternal dalam menerapkan komunikasi terapeutik yang berasal dari diri pasien

(2)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

152 yaitu resistens atau menolak berinteraksi dan menyangkal, dari diri perawat yaitu mood, multi peran dan bahasa.

Kata Kunci : Komunikasi Terapeutik, Pasien Gangguan Jiwa Halusinasi

ABSTRACT

This research entitled “Analysis of Nurses’s Therapeutic Communication in Recovery of Mental Disorder Patients in Aceh Psychiatric Hospital”. Therapeutic communication is communication that should be owned and well performed by psychiatric hospital nurses to help the recovery of mental disorder patients like hallucination mental disorder patients. This research aims to understand the application of nurses’s therapeutic communication in the recovery of mental disorder patients, especially hallucination and its obstacles in Aceh psychiatric hospital. The theory used in this research is psychodynamic nursing theory developed by Hildegard E. Peplau. The method used in this reasearch is a qualitative approach with descriptive analysis. The data collection was performed using semi-structured interviews technique, nonparticipant observation and documentation. The interview were conducted by using purposive sampling technique, which is determining the informant based on a number of given criteria to 4 nurses in Aceh psychiatric hospital who apply therapeutic communication on hallucination mental disorder patients. According to the result of the research, the application of therapeutic communication by nurses of Aceh psychiatric hospital in recovery of hallucination mental disorder patients is done through four phases which are pre interaction, orientation, working and termination. During the application of therapeutic communication, nurses using verbal and non verbal communication and some techniques to achieve their objectives. In applying therapeutic communication, nurses are also experiencing internal and external obstacles, the cause of the patients are resistens or refuse to interact and denial, and the cause of the nurses are mood, multi-role and language.

(3)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

153 Keywords : Therapeutic Communication, Hallucination Mental Disorder Patients PENDAHULUAN

Komunikasi yang lemah dalam diri seseorang juga dalam suatu hubungan sosial dapat menyebabkan pertentangan atau konflik sehingga menjadi tekanan-tekanan dalam diri seseorang yang dapat memicu munculnya depresi, stres dan berbagai gangguan jiwa. Menurut Yosep dalam Damaiyanti (2010:64) gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun dengan mental. Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur yang terus menerus saling mempengaruhi, yaitu faktor somatik, faktor psikologi, dan faktor sosio-budaya.

Menurut data World Health Organization (WHO) dalam Yosep (2014:34) masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami peningkatan gangguan kesehatan jiwa. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan pravelensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia meningkat sekitar 1-3% dari jumlah penduduk Indonesia.

Salah satu daerah di Indonesia yang mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa berat adalah Aceh. Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2013 menunjukkan Aceh merupakan tingkat kedua tertinggi di Indonesia setelah Yogyakarta. dr. Amren Rahim, M.Kes selaku Kepala Rumah Sakit Jiwa Aceh dalam (www.portal.radioantero.com, 2014) mengatakan pravelensi gangguan jiwa di Aceh mencapai 2,7 persen dari jumlah penduduk, namun menurutnya tidak semua menderita gangguan jiwa berat karena termasuk didalamnya gangguan jiwa ringan. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya gangguan jiwa di provinsi Aceh seperti faktor bawaan, faktor sosial, pengaruh faktor konflik dan faktor bencana yang memerlukan pelayanan kesehatan jiwa.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) merupakan organisasi pengelola jasa pelayanan dalam bidang kesehatan khususnya kesehatan jiwa. Setiap orang yang mengalami

(4)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

154 gangguan jiwa membutuhkan pelayanan kesehatan serta penanganan khusus dari tenaga kesehatan Rumah Sakit Jiwa untuk dapat pulih kembali normal.

Tenaga kesehatan di Rumah Sakit Jiwa sangatlah beragam, salah satunya adalah perawat. Perawat memiliki peran penting dalam proses pemulihan pasien gangguan jiwa karena perawat memiliki intensitas waktu lebih banyak dalam berinteraksi untuk merawat pasien. Selain itu menurut Sudarma (2012:68) perawat juga bersifat kompleks karena keilmuan yang menjadi dasar seorang perawat terkait dengan bentuk pelayanan yang diberikan seorang perawat kepada pasien yaitu aspek biologi, psikologi, sosial, spiritual dan komunikasi.

Hampir semua penyakit membutuhkan obat secara medis dan penanganan tertentu untuk memberi kesembuhan, namun untuk menekankan atau menyarankan pada pasien gangguan jiwa untuk meminum obat secara teratur dan melaksanakan penanganan tersebut menjadi hal yang sulit karena pasien bisa memberontak dan tidak mau mematuhi perintah, maka perlu adanya penyampaian komunikasi yang tepat agar pasien mau mematuhi aturan tersebut. Oleh sebab itu, komunikasi menjadi bagian terpenting dalam interaksi perawat dengan pasien gangguan jiwa. Menurut Nasir (2011:142) seorang perawat tidak akan lepas dari proses komunikasi, karena komunikasi merupakan metode utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.

Salah satu kemampuan komunikasi yang harus dimiliki oleh perawat Rumah Sakit Jiwa adalah komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi profesional bagi perawat yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu pemulihan pasien (Damaiyanti, 2010:11). Menurut Ruesch dalam Rakhmat (2007:5) metode komunikasi terapeutik seorang terapis mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga pasien dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan dirinya. Pendeknya, meluruskan jiwa orang diperoleh dengan meluruskan caranya berkomunikasi.

(5)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

155 Komunikasi terapeutik dapat terjadi apabila adanya hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien, sehingga pasien dapat membuka diri dan perawat mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi pasien mengenai tanda-tanda dan gejala yang ditampilkan serta keluhan yang dirasakan. Hal tersebut dapat dijadikan acuan perawat dalam menentukan masalah keperawatan dan tindakan yang akan dilakukan sesuai masalah keperawatan yang sedang dialami pasien serta komunikasi yang efektif dan intensif dalam memberikan komunikasi terapeutik terhadap pasien dapat membantu mempercepat proses pemulihan.

Salah satu organisasi pengelola jasa pelayanan dalam bidang kesehatan yang menerapkan komunikasi terapeutik dalam membantu pemulihan pasien gangguan jiwa adalah Rumah Sakit Jiwa Aceh. Berdasarkan observasi awal peneliti, sampai dengan 11 Maret 2016 Rumah Sakit Jiwa Aceh memiliki jumlah pasien sebanyak 445 orang dan jumlah perawat sebanyak 197 orang. Rumah Sakit Jiwa Aceh memiliki 15 ruangan yang diklasifikasikan kedalam kategori sebagai berikut : Tabel 1 Klasifikasi dan Jenis Penanggulangan Pasien RSJ Aceh

No. Klasifikasi Pasien RSJ Aceh Jumlah

Pasien Jenis Penanggulangan

1. Kategori Narkoba 19 Orang Pemberian obat dan

penyuluhan

2. Kategori Akut 37 Orang Pemberian obat dan isolasi

3. Kategori Intermediate

(Persiapan pulang) 382 Orang

Pemberian obat dan komunikasi terapeutik

4 Kategori Rawat Fisik 7 Orang Pemberian obat

Jumlah 445 Orang

Sumber : Rumah Sakit Jiwa Aceh, 2016

Menurut Yosep dalam Damaiyanti (2010:64) Secara umum pasien gangguan jiwa mengalami beberapa masalah keperawatan jiwa seperti halusinasi, perilaku kekerasan, isolasi sosial, harga diri rendah, perawatan diri, waham dan resiko bunuh diri. Berdasarkan wawancara peneliti dengan Liza Safriani sebagai

(6)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

156 ketua ruangan Anggrek Rumah Sakit Jiwa Aceh, rata-rata jenis masalah keperawatan pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh adalah halusinasi, meskipun bentuk halusinasinya bervariasi dan pasien gangguan jiwa halusinasi yang bisa diberikan komunikasi terapeutik oleh perawat terdapat dikategori intermediate (persiapan pulang).

Berdasarkan latar belakang di atas tentang gambaran pentingnya komunikasi terapeutik perawat dalam proses pemulihan pasien gangguan jiwa membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh”. Penelitian ini dibatasi pada pasien gangguan jiwa dengan masalah keperawatan halusinasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan komunikasi terapeutik perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa dan hambatannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikembangkan oleh Hildegard E. Peplau yang memberikan bentuk praktik keperawatan jiwa. Peplau membuat teori keperawatan dengan istilah keperawatan psikodinamik. Menurutnya, keperawatan psikodinamik merupakan kemampuan seseorang (perawat) untuk memahami tingkah lakunya guna membantu orang lain, mengidentifikasi kesulitan yang dirasakan, dan untuk menerapkan prinsip hubungan manusia pada masalah yang timbul di semua level pengalaman. Melalui teori ini Peplau menjelaskan tentang empat fase hubungan perawat-klien, yaitu fase orientasi, identifikasi, eksploitasi, dan resolusi. Keempat fase tersebut saling berkaitan. Disetiap fase diperlukan peran yang berbeda sesuai dengan kebutuhan klien. (Asmadi, 2014:132)

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan atau pemulihan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional bagi perawat (Damaiyanti, 2010:11). Dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi khusus dan

(7)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

157 tindakan professional yang dilaksanakan oleh penyelenggara jasa kesehatan dalam hal ini adalah perawat dalam membina hubungan yang terapeutik antara perawat dan pasien yang direncanakan dan berfokus pada pemulihan pasien.

Komunikasi terapeutik dapat terjadi apabila didahului hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, dengan begitu perawat dapat menjalin hubungan yang bersifat terapeutik dengan pasien. Menurut Stuart dalam Nasir (2011:174) hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan suatu hubungan terapeutik. komunikasi terapeutik membutuhkan interaksi yang mendalam dan yang baik agar pencapaian tujuannya dapat terjadi secara efektif. Adapun tujuan komunikasi terapeutik adalah membantu klien untuk memperjelas penyakit yang dialami, mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk dasar tindakan guna mengubah kedalam situasi yang lebih baik, mengurangi keraguan, membantu dalam hal tindakan yang efektif, mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri serta mempererat interaksi kedua pihak, yakni antara pasien dan perawat secara professional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien (Machfoedz, 2009:105).

Praktik komunikasi terapeutik sangat dipengaruhi oleh latar belakang suasana. Suasana yang nyaman akan sangat mendukung proses berlangsungnya komunikasi terapeutik. Suasana yang menggambarkan komunikasi terapeutik adalah apabila dalam berkomunikasi dengan klien, perawat mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi klien yang sedang dirawat, mengenai tanda dan gejala yang ditampilkan serta keluhan yang dirasakan. Gambaran tersebut dapat dijadikan acuan dalam menentukan masalah keperawatan dan tindakan keperawatan yang akan dilakukan, dengan harapan tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan keluhan dan masalah keperawatan yang sedang dialami klien atau bisa dikatakan bahwa tindakan keperawatan tepat sasaran sehingga membantu mempercepat proses kesembuhan (Nasir, 2011: 142).

Pada penerapan komunikasi terapeutik dan membina hubungan secara terapeutik (berinteraksi) dalam proses pemulihan pasien, terdapat empat tahap di mana setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus dilaksanakan dan diselesaikan

(8)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

158 oleh perawat. Menurut Stuart dan Sundeen dalam Damaiyanti (2010:22) adapun tahapan komunikasi terapeutik yaitu 1) tahap pra interaksi yaitu persiapan perawat sebelum melakukan komunikasi terapeutik terhadap pasien, 2) tahap orientasi yaitu perawat melakukan komunikasi terapeutik dengan membina hubungan saling percaya dan pendekatan untuk mengkaji serta mengidentifikasi masalah pada diri pasien, 3) tahap kerja yaitu perawat melakukan komunikasi terapeutik berupa tindakan keperawatan terapi individu, kelompok dan keluarga, dan 4) tahap terminasi yaitu perawat mengakhiri pertemuan komunikasi terapeutik dengan pasien melalui terminasi sementara dan terminasi akhir. Penerapan dalam tiap tahapnya perawat menggunakan komunikasi verbal dan non verbal serta beberapa teknik komunikasi terapeutik untuk pemulihan pasien.

Pada penerapannya adapun hambatan komunikasi terapeutik yang merupakan hambatan kemajuan hubungan antara perawat dan pasien dimana hambatan itu terjadi baik dari diri pasien maupun diri perawat sendiri yang menghambat proses pemulihan pasien. Hambatan komunikasi terapeutik tersebut bisa terjadi pada diri pasien berupa resistens dan transference, serta pada diri perawat berupa kontertransferens, pelanggaran batas dan bahasa.

Secara umum pasien gangguan jiwa mengalami beberapa masalah keperawatan jiwa salah satunya adalah halusinasi. Menurut Yosep dalam (Damaiyanti, 2012:55) ada beberapa jenis halusinasi yaitu halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, halusinasi penciuman, halusinasi pengecapan dan halusinasi perabaan.

Pasien gangguan jiwa membutuhkan pelayanan kesehatan serta penanganan khusus dari perawat untuk dapat pulih kembali normal. Pemulihan merupakan proses perjalanan mencapai kesembuhan dan transformasi yang memampukan seseorang dengan gangguan jiwa untuk hidup bermakna di komunitas yang dipilihnya untuk mencapai potensi yang dimilikinya. Pemulihan juga merupakan proses dimana seseorang mampu untuk hidup, bekerja, belajar dan berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya (Stuart, 2016:152). Penerapan tindakan pada tahap-tahap komunikasi terapeutik dalam asuhan keperawatan pasien merupakan

(9)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

159 proses penting untuk pemulihan pasien gangguan jiwa khususnya pasien gangguan jiwa halusinasi sehingga pasien dapat hidup lebih bermakna di lingkungannya dan dapat mengatasi masalah pada dirinya.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010:3) pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini dilakukan di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Aceh yang beralamat di Jl. Dr. T. Syarief Thayeb No.25 Banda Aceh. Pengambilan lokasi penelitian tersebut berdasarkan pada penempatan pasien gangguan jiwa diseluruh Aceh. Penelitian ini hanya dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Aceh khususnya diruangan dengan kategori intermediate (persiapan pulang) karena pasien gangguan jiwa yang bisa diberikan komunikasi terapeutik oleh perawat terdapat diruangan tersebut.

Informan penelitian adalah orang-orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong, 2010:132). Peneliti menentukan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan tipe criteria sampling, yaitu menetapkan kriteria tertentu yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Aceh yang menangani pasien

gangguan jiwa halusinasi

2. Telah bekerja di Rumah Sakit Jiwa Aceh minimal dua tahun dan mendapatkan pelatihan MPKP (Manajemen Praktek Keperawatan Profesional) Jiwa.

(10)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

160 Peneliti memilih perawat yang bertugas di ruang Seroja dan Anggrek karena ruangan tersebut menjadi perwakilan dari seluruh ruangan dikategori intermediate (persiapan pulang). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, peneliti memilih empat orang perawat untuk dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini. Adapun daftar informan sebagai berikut :

Tabel 2 Daftar Informan

No. Nama Jabatan

Lama Bekerja di

RSJ Aceh

1. Ns. Isna, S. Kep Perawat Pelaksana Seroja 13 Tahun

2. Ramadiani Fitri, AMK Perawat Pelaksana Seroja 13 Tahun

3. Munira, AMK Perawat Pelaksana Anggrek 11 Tahun

4. Ns. Cut Dian Sukma Sari, S. Kep Perawat Pelaksana Anggrek 7 Tahun

Pada penelitian ini, peneliti melakukan uji keabsahan data hasil penelitian dengan menggunakan teknik triangulasi sumber. Hal tersebut dilakukan dengan cara membandingkan hasil data wawancara yaitu apa yang dikatakan oleh informan dengan hasil data pengamatan yaitu apa yang dilakukan atau diterapkan oleh informan penelitian mengenai masalah yang diteliti serta membandingkan dengan dokumen yang berkaitan.

Teknik pengumpulan data dalam proses penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara semi terstruktur, observasi nonpartisipan dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan yaitu model analisis interaktif Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2008:91) yang meliputi: 1) reduksi data yaitu penggabungan, penyeleksian dan penyederhanaan data yang diperoleh selama penelitian, 2) penyajian data yaitu data disajikan dalam bentuk tema yang telah ditentukan disertai analisis secara deskriptif dengan logis dan sistematis, dan 3) penarikan kesimpulan disertai verifikasi.

(11)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

161 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Salah satu keberhasilan perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa yaitu dengan melakukan komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang harus dilakukan perawat dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan terhadap penanganan pasien gangguan jiwa. Komunikasi terapeutik mampu menjadi suatu tindakan penyembuhan yang sangat baik bagi pasien gangguan jiwa melalui strategi yang terencana. Pasien gangguan jiwa memiliki beberapa masalah keperawatan salah satunya yang paling banyak dialami pasien yaitu halusinasi.

Komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat harus sesuai dengan masalah keperawatan pasien sehingga tujuan dilakukannya komunikasi terapeutik yaitu untuk membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri dapat efektif dan tepat sasaran. Komunikasi terapeutik merupakan proses yang dilakukan perawat dalam menjaga kerjasama yang baik dengan pasien dalam membantu memenuhi kebutuhan kesehatan pasien, maupun dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka membantu mengatasi masalah yang dialami oleh pasien gangguan jiwa salah satunya pasien dengan masalah keperawatan halusinasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari wawancara semi terstruktur, observasi nonpartisipan dan dokumentasi yang dilakukan pada saat penelitian, bahwa perawat RSJ Aceh telah menerapkan komunikasi terapeutik dalam pemulihan pasien gangguan jiwa khususnya pasien dengan masalah keperawatan halusinasi. Komunikasi terapeutik yang diterapkan perawat RSJ Aceh untuk membantu pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi melalui empat tahapan yaitu tahap pra interaksi, orientasi, kerja dan terminasi.

Hal tersebut juga sesuai dengan penelitan terdahulu yang dilakukan oleh Fidya Faturochman mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2014 dengan judul Komunikasi Terapeutik Perawat dan Pasien Gangguan Jiwa (Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas

(12)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

162 Komunikasi Teurapeutik Perawat dengan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik yang diterapkan di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang terdiri dari empat fase atau tahap, yaitu fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien, para perawat di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang menggunakan teknik-teknik dan sikap tertentu.

Berdasarkan penelitian pada tahap pra interaksi, sebelum melakukan komunikasi terapeutik perawat RSJ Aceh melakukan persiapan dengan membaca dokumen seperti buku laporan dan data status kesehatan pasien gangguan jiwa halusinasi serta berdiskusi dengan perawat lainnya untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien, sehingga perawat dapat mengetahui rencana tindakan yang harus diberikan ke pasien gangguan jiwa halusinasi.

Pada tahap orientasi, penting bagi perawat RSJ Aceh membina hubungan saling percaya dengan pasien baru dan lama sehingga perawat dapat mengkaji dan mengidentifikasi masalah pasien gangguan jiwa halusinasi secara lebih mendalam. Hal ini juga sejalan dengan asumsi Stuart (dalam Nasir, 2011:174) yang menyatakan bahwa hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan suatu hubungan terapeutik.

Cara yang dilakukan perawat RSJ Aceh dalam membina hubungan saling percaya dengan pasien baru dan lama yaitu melakukan perkenalan seperti memberi salam, memperkenalkan diri perawat, menjelaskan peran perawat dan menanyakan tentang diri pasien sedangkan pendekatan yang dilakukan seperti sering menyapa dan berinteraksi dengan pasien gangguan jiwa halusinasi. Setelah hubungan ini sudah terjalin perawat dapat mengidentifikasi masalah pada pasien gangguan jiwa halusinasi.

Teknik yang sering digunakan perawat RSJ Aceh dalam mengkaji dan mengidentifikasi pasien gangguan jiwa halusinasi yaitu pertanyaan terbuka, memberikan pengertian, menyatakan hasil data status kesehatan pasien dan hasil pengamatan perawat untuk mengetahui permasalahan pasien gangguan jiwa

(13)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

163 halusinasi secara lebih jelas. Saat perawat RSJ Aceh mengkaji dan mengidentifikasi masalah pada pasien gangguan jiwa halusinasi, perawat RSJ Aceh memberikan respons atas ungkapan atau keluhan pasien. Hal ini dilakukan para informan dengan cara mendengarkan dengan penuh perhatian secara aktif, menunjukkan penerimaan dengan sikap terbuka, membuat suasana nyaman dengan menunjukkan rasa empati dan mengarahkan pasien kearah yang positif dan nyata serta memberikan pujian.

Selain komunikasi verbal yang dilakukan perawat RSJ Aceh dalam mengkaji pasien gangguan jiwa halusinasi, perawat RSJ Aceh juga melakukan komunikasi non verbal berupa sentuhan ditangan maupun pundak pasien, tatapan mata kearah pasien, ekspresi wajah dan gerakan tubuh seperti tangan. Cara lain yang dilakukan perawat RSJ Aceh dalam mendapatkan informasi mengenai masalah pada diri pasien gangguan jiwa halusinasi yaitu melalui keluarga pasien saat datang berkunjung atau menghubungi keluarga pasien.

Pada tahap kerja, perawat RSJ Aceh melakukan komunikasi terapeutik dengan memberikan tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan yang dilakukan berbeda-beda setiap pasien tergantung masalah keperawatan pasien yang telah ditentukan sesuai dengan hasil pengkajian dan identifikasi sehingga tujuan untuk kesembuhan pasien dapat tercapai. Perawat RSJ Aceh memberikan tindakan keperawatan secara individu kepada pasien gangguan jiwa halusinasi sudah sesuai dengan standar penanganan yang telah ditetapkan pihak RSJ Aceh.

Secara singkat Strategi Pelaksana (SP) komunikasi terapeutik secara individu yang diberikan dalam empat tahap kerja ini meliputi: 1) membantu pasien mengenali halusinasi dan melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, 2) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menggunakan obat secara teratur, 3) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara pasien bercakap-cakap dengan orang lain, dan 4) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara pasien beraktivitas secara terjadwal. Sedangkan tindakan keperawatan secara kelompok yang disebut Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) yang diterapkan perawat RSJ Aceh berbeda-beda tema sesuai kebutuhan pasien

(14)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

164 gangguan jiwa halusinasi meliputi: 1) TAK sosialisasi, 2) TAK persiapan pulang dan 3) TAK pikiran.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, intensitas komunikasi terapeutik SP dan TAK antara perawat RSJ Aceh dengan pasien gangguan jiwa halusinasi belum maksimal karena masih adanya perawat RSJ Aceh yang tidak menerapkan komunikasi terapeutik SP saat jadwal jaga dan TAK tidak diterapkan secara rutin sesuai jadwal.

Pada tahap kerja terapi keluarga juga dilakukan oleh perawat RSJ Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi dengan memberikan Pendidikan Kesehatan (PenKes). Kegiatan ini dilakukan saat keluarga pasien datang berkunjung atau saat pasien dijemput pulang oleh keluarga. Berdasarkan pengamatan peneliti, masih sedikit keluarga pasien yang datang berkunjung, menanyakan perkembangan anggota keluarganya yang dirawat di RSJ Aceh dan menjemput pasien saat sudah diperbolehkan pulang. Sedikitnya keluarga pasien yang kooperatif membuat pihak RSJ Aceh bekerjasama dengan BPJS melakukan sistem droping (pasien diantar pulang ketempat tinggalnya) setelah pasien dinyatakan sembuh dan masa rawatan di RSJ Aceh telah 180 hari tidak dijemput oleh keluarga pasien.

Pada tahap terminasi, ada dua terminasi yang dilakukan perawat RSJ Aceh. Tahap terminasi sementara yaitu perawat RSJ Aceh yang melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien gangguan jiwa halusinasi sebelum mengakhiri interaksinya, perawat mengevaluasi seluruh pembahasan dengan meminta pasien mengulanginya, memberikan pujian dan menentukan kontrak pertemuan selanjutnya jika diperlukan. Tahap terminasi akhir yaitu saat pasien gangguan jiwa halusinasi akan dipulangkan atau dijemput oleh keluarga pasien, perawat RSJ Aceh memberikan PenKes kepada pasien dan keluarga pasien dengan mengevaluasi seluruh tindakan keperawatan yang telah diberikan kepada pasien, perkembangan pasien dan tindakan yang harus tetap dilakukan pasien yang dilanjutkan oleh keluarga pasien untuk mengingatkan pasien gangguan jiwa halusinasi agar mencegah kekambuhan kembali serta mempertahankan

(15)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

165 kesembuhan pasien tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti, masih adanya perawat RSJ Aceh yang tidak memberikan PenKes secara lengkap kepada keluarga, tetapi hal yang paling sering dijelaskan oleh perawat yaitu tentang minum obat secara teratur agar pasien tidak kambuh kembali.

Keempat tahap yang diterapkan perawat RSJ Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi sesuai dengan Teori Keperawatan Psikodinamik (Asmadi, 2014) yang membahas tentang praktik keperawatan jiwa melalui empat fase hubungan perawat dan pasien, yaitu fase orientasi, identifikasi, eksploitasi, dan resolusi. Keempat fase tersebut saling berkaitan dan disetiap fase diperlukan peran yang berbeda sesuai dengan kebutuhan pasien. Pada fase orientasi dan Identifikasi dalam teori sesuai dengan tahap pra interaksi dan orientasi, pada fase eksploitasi dalam teori sesuai dengan tahap kerja dan pada fase resolusi dalam teori sesuai dengan tahap terminasi dalam penerapan komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat RSJ Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi.

Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa para informan yang merupakan perawat di RSJ Aceh yang bertugas di ruang Seroja dan Anggrek mengalami hambatan dalam penerapan komunikasi terapeutik yang berasal dari diri pasien maupun dari diri perawat. Hambatan yang berasal dari diri pasien gangguan jiwa halusinasi yang menghambat perawat RSJ Aceh dalam melakukan atau memberikan tindakan komunikasi terapeutik terhadap pasien gangguan jiwa halusinasi meliputi hambatan resistens yaitu masih adanya pasien yang menolak berinteraksi dan menyangkal tentang masalah pada dirinya. Hal ini menyebabkan pasien gangguan jiwa halusinasi tidak mau melakukan tindakan yang diberikan sehingga memperlambat kesembuhan pasien tersebut.

Perawat RSJ Aceh mempunyai caranya masing-masing dalam mengatasi hambatan tersebut, meliputi terus membangun hubungan saling percaya dengan pasien gangguan jiwa halusinasi melalui pendekatan sering berinteraksi sambil memberikan pengertian dan penjelasan tentang masalah pada diri pasien serta sering menyapa pasien sampai pasien percaya dan mau terbuka. Cara lain juga dilakukan perawat RSJ Aceh dengan menyatakan hasil data status kesehatan awal

(16)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

166 pasien masuk ke RSJ, menyatakan hasil pengamatan perawat terhadap pasien dan melibatkan perawat atau pasien lain dalam meyakinkan pasien akan masalah pada dirinya.

Selain hambatan yang disebabkan oleh diri pasien, hambatan dalam melakukan komunikasi terapeutik juga disebabkan oleh diri perawat meliputi mood pada diri perawat RSJ Aceh yang disebabkan permasalahan pribadi perawat, kurangnya jumlah perawat RSJ Aceh yang menyebabkan banyaknya tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh satu orang perawat serta hambatan perbedaan bahasa. Hal tersebut menyebabkan komunikasi terapeutik tertunda dikarenakan pesan yang disampaikan tidak dimengerti atau tidak dilakukan oleh pasien gangguan jiwa halusinasi. Hal ini dapat menghambat pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi.

Perawat RSJ Aceh mempunyai caranya masing-masing dalam mengatasi hambatan tersebut, meliputi perawat tetap menyempatkan interaksi dengan pasien,

mengatasi mood pada diri perawat dengan menenangkan diri sebelum

berinteraksi, sedangkan hambatan bahasa meminta bantuan perawat lain atau pasien lainnya untuk membantu dalam berkomunikasi dengan pasien sehingga tujuan terapi dapat tercapai.

Berdasarkan penelitian analisis komunikasi terapeutik perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, maka Teori Keperawatan Psikodinamik yang digunakan dalam landasan teoretis sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan teruji kebenarannya melalui penelitian yang dilakukan.

Berdasarkan hasil diatas, maka terdapat penerapan komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat RSJ Aceh dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi melalui empat tahapan yaitu tahap prainteraksi, orientasi, kerja dan terminasi. Terdapat juga hambatan dalam menerapakan komunikasi terapeutik yang berasal dari diri pasien dan diri perawat.

(17)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

167 Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan mengenai analisis komunikasi terapeutik perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Perawat Rumah Sakit Jiwa Aceh telah menerapkan komunikasi terapeutik dalam pemulihan pasien gangguan jiwa halusinasi melalui empat tahap yang meliputi :

a. Tahap Pra interaksi, dalam tahap ini sebelum melakukan komunikasi terapeutik perawat RSJ Aceh mencari seluruh informasi mengenai pasien seperti melalui dokumen laporan harian dan data status kesehatan pasien serta dari keluarga pasien yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien dan tindakan yang harus diberikan kepada pasien gangguan jiwa halusinasi.

b. Tahap orientasi, dalam tahap ini perawat RSJ Aceh membina hubungan saling percaya dengan melakukan perkenalan dan pendekatan melalui komunikasi verbal dan non verbal (sentuhan, kontak mata, ekspresi, gerakan tubuh) serta beberapa teknik meliputi: 1) pertanyaan terbuka, 2) mendengarkan secara aktif, 3) menyatakan hasil pengamatan dari perawat dan data StaKes pasien, 4) sikap terbuka, 5) rasa empati, 6) memberikan pengertian dan arahan yang positif dan nyata, dan 7) memberikan pujian. Hal ini bertujuan agar pasien dapat membuka diri sehingga perawat mudah dalam menangani pasien gangguan jiwa halusinasi.

c. Tahap kerja, dalam tahap ini perawat melakukan tindakan keperawatan pada pasien gangguan jiwa halusinasi sesuai dengan standar penanganan masalah keperawatan halusinasi untuk pemulihan pasien. Perawat melakukan tindakan pada pasien gangguan jiwa halusinasi melalui interaksi individu, kelompok dan keluarga pasien. Interaksi individu antara perawat dan pasien yang disebut dengan strategi pelaksana (SP) terdiri dari empat tindakan yang dilakukan secara bertahap: 1) membantu pasien mengenali halusinasi dan melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik

(18)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

168 halusinasi, 2) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara menggunakan obat secara teratur, 3) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara pasien bercakap-cakap dengan orang lain, dan 4) melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara pasien beraktivitas secara terjadwal. Interaksi kelompok antara perawat dan pasien yang disebut dengan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) dilakukan dengan tema-tema tertentu sesuai kebutuhan pasien. Terapi keluarga yang diberikan perawat melalui PenKes agar proses penyembuhan pasien dapat berkesinambungan.

d. Tahap terminasi, dalam tahap ini perawat mengakhiri komunikasi terapeutik dalam menjalankan tindakan keperawatan pada pasien gangguan jiwa halusinasi. Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan perawat adalah mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilakukan sebagai dasar untuk tindak lanjut yang akan datang yang meliputi: 1) terminasi sementara, mengevaluasi hasil interaksi perawat dengan pasien dan menentukan kontrak selanjutnya jika diperlukan, dan 2) terminasi akhir, mengevaluasi secara keseluruhan tindakan terapi yang sudah diberikan dan yang harus dilanjutkan oleh keluarga pasien melalui PenKes keluarga.

2. Pada saat penerapan komunikasi terapeutik terdapat hambatan yang berasal dari diri pasien dan juga dari diri perawat yang meliputi :

a. Hambatan dari diri pasien gangguan jiwa halusinasi yaitu resistens berupa penolakan pasien halusinasi untuk berinteraksi dengan perawat dan menutup diri serta menyangkal tentang masalah gangguan jiwanya, karena pasien mengangap dirinya tidak sakit. Hal tersebut menyebabkan perawat tidak dapat mengetahui masalah pasien secara lebih jelas dan tidak dapat memberikan tindakan keperawatan pada pasien.

b. Hambatan dari diri perawat yaitu berupa hambatan internal dari dalam diri perawat seperti 1) mood yang kurang bagus akibat masalah pribadi yang dialami oleh perawat, 2) multi peran sehingga membuat perawat tidak fokus dalam menjalankan tugasnya dan 3) perbedaan bahasa yang menghambat komunikasi antara perawat dan pasien.

(19)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

169 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti ingin memberikan beberapa saran atau masukan sebagai berikut :

1. Penerapan komunikasi terapeutik perawat dalam pemulihan pasien gangguan jiwa di RSJ Aceh sudah berjalan dengan baik. Diharapkan bagi perawat RSJ Aceh untuk terus menerapkan dan meningkatkan intensitas interaksi komunikasi terapeutik dengan pasien dalam rangka mempercepat pemulihan pasien gangguan jiwa.

2. Diharapkan bagi pihak manajemen RSJ Aceh untuk terus melakukan

peningkatan kemampuan dan keterampilan perawat melalui pelatihan yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik dalam melakukan komunikasi terapeutik terhadap pemulihan pasien gangguan jiwa, sehingga berdampak terhadap peningkatan kinerja perawat dan kesembuhan pasien.

3. Diharapkan juga bagi pihak manajemen RSJ Aceh untuk menambah jumlah perawat yang ahli dibidangnya agar proses penyembuhan dari keseluruhan pasien dapat tertangani dengan cepat dan baik.

4. Diharapkan bagi keluarga pasien untuk lebih berpartisipasi dalam pemulihan pasien sehingga dapat mempercepat kesembuhan pasien.

5. Diharapkan bagi program studi Ilmu Komunikasi untuk lebih memperdalam studi Komunikasi Kesehatan. Tujuannya agar mahasiswa mengerti dan paham mengenai kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam dunia kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asmadi, 2014. Konsep Dasar keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Damaiyanti, Mukhripah. 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik

Keperawatan. Bandung: PT. Refika Aditama.

dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.

(20)

Analisis Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Aceh, (Cut Putri Meliza, Nur Anisah)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah, Vol. 2, No. 2:151-170 Mei 2017

170

Machfoedz, Mahmud. 2009. Komunikasi Keperawatan (Komunikasi Terapeutik).

Yogyakarta: Ganbika.

Moleong, Lexy J. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosadakarya.

Nasir, Abdul dan Abdul Muhith. 2011. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa:

Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika

, Abdul Muhith, Sajidin dan Wahit Iqbal Mubarak. 2011. Komunikasi dalam Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Stuart, W. Gail. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa. Diterjemahkan oleh Budi Anna Keliat dan Jesika Pasaribu. Jakarta.

Sudarma, Momon. 2012. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: PT.

ALFABETA.

Yosep, Iyus dan Tutin Sutini. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing. Bandung: PT. Refika Aditama

Website

Departemen Kesehatan. 2013. Hasil Riskesdas 2013.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas% 202013.pdf. (Diakses 28/6/2015)

Portal Radio Antero. 2014. Penderita Gangguan Jiwa di Aceh Terbesar di Indonesia.http://www.portal.radioantero.com/index.php?option=com_conte nt&view=article&id=2300:penderita-gangguan-jiwa-di-aceh-terbesar-di-indonesia&catid=46:ap&Itemid=82 (Diakses 28/6/2015)

Referensi

Dokumen terkait

Ej guñeol me`e gak}ekepse duk}l a ja ~pekma ek ej gukaksl y se jl a}ekmepá ibuaj Ej guñeol me`e gak}ekepse duk}l a ja ~pekma ek ej gukaksl y se jl a}ekmepá ibuaj ~ues si se hak

Bagaimanakah perbedaan kondisi ketahanan pangan komoditas padi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur terkait dengan dinamika penduduk yang berbeda di kedua

Anemia Defisiensi Asam Folat/ vitamin - ↓ asupan vitamin dan asam folat - Malabsorbsi - Defek enzim kongenital (jarang) - Kebutuhan asam folat ↑: Kehamilan, bayi,

in&eksi !iasan#a diulai dari perukaan gigi #aitu adan#a karies gigi #ang sudah endekati ruang pulpa% keudian akan !erlan$ut en$adi pulpitis dan akhirn#a akan

16 Pada penelitian retrospektif di India pada tahun 2000-2009 didapatkan kejadian reaksi tipe 1 hanya pada 3 anak dari 219 kasus MH anak dan tidak didapatkan reaksi tipe 2.. 5

Melalui metode ini yakni dengan cara membaca Alkitab dengan berbagai „kacamata“, maka akan lahir dan berkembang pemahaman lintas budaya: Di dalam teks Alkitab dan cara

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ANALISIS IMPLEMENTASI

Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik pada pergelangan tangan dan