• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Work Engagement pada Guru SLB "X" di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Work Engagement pada Guru SLB "X" di Bandung."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai work engagement berdasarkan ketiga aspek-nya, yaitu vigor, dedication, dan absorption pada guru SLB “X” di Bandung. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka rancangan yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan target populasi yaitu seluruh populasi yang berjumlah 32 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang di adaptasi dari alat ukur UWES-17 yang dibuat oleh Schaufeli dan Bakker pada tahun 2003. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Rank Spearman dan reliabilitas dengan menggunakan Alpha Croncbach, diperoleh 17 item valid dengan validitas berkisar antara 0,421 – 0,739 dan reliabilitas 0,887.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki derajat work engagement tinggi sebanyak 90,6% dan 9,4% memiliki derajat work engagement rendah. Guru dengan derajat work engagement tinggi memiliki derajat yang tinggi pada ketiga aspek yaitu vigor, dedication, dan absorption, sedangkan guru dengan derajat work engagement rendah memiliki derajat yang rendah pada aspek dedication atau absorption.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research was conducted to determine the image of the work engagement. Which described by the three aspects of vigor, dedication, and absorption in special-ed teacher "X" in Bandung. In accordance with the objectives of this research, researcher used descriptive method as the design with survey techniques. Selection of the samples in this research using population target which consists of 32 people.

The modified UWES-17 measuring tool by Schaufeli and Bakker in 2003 is used as primary questionnaire measuring tool. Based on the validity test using Rank Spearman’s formula and reliability test using Alpha Croncbach’s formula, 17 items are found valid between 0.421 - 0.739 and 0.887 reliability.

Based on the results of this research, concluded that the respondents had a high degree of work engagement as much as 90,6% and 9,4% have a low degree of work engagement. Teachers with a high degree of work engagement has a high degree on three aspects: vigor, dedication and absorption, while teachers with a low degree of work engagement have a low degrees in dedication or absorption.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pikir ... 12

(4)

xii

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Work Engagement ... 26

2.1.1 Pengertian Work Engagement ... 26

2.1.2 Aspek-aspek Work Engagement ... 26

2.1.2.1 Vigor ... 27

2.1.2.2 Dedication ... 27

2.1.2.3 Absorption ... 27

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Work Engagement ... 27

2.1.4 Ciri-ciri dari Work Engagement ... 31

2.1.5 Work Engagement dan Performance ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 35

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 35

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 35

3.3.1 Variabel Penelitian ... 35

3.3.2 Definisi Konseptual ... 36

3.3.3 Definisi Operasional ... 36

3.4 Alat Ukur ... 37

3.4.1 Alat Ukur Work Engagement ... 37

3.4.2 Cara Skoring Kuesioner Work Engagement ... 38

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 40

3.4.3.1 Data Pribadi ... 40

3.4.3.2 Data Penunjang ... 40

(5)

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur Work Engagement ... 40

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur Work Engagement ... 41

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 42

3.5.1 Populasi Sasaran ... 42

3.6 Teknis Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden ... 43

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 43

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Menjadi Guru SLB “X” Bandung ... 44

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 45

4.2.1 Gambaran Derajat Work Engagement ... 45

4.2.2 Gambaran Derajat Aspek-aspek Work Engagement ... 46

4.2.2.1 Gambaran Derajat Aspek Vigor ... 46

4.2.2.2 Gambaran Derajat Aspek Dedication ... 46

4.2.2.3 Gambaran Derajat Aspek Absorption ... 46

4.3 Pembahasan ... 48

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 61

5.2 Saran ... 62

5.2.1 Saran Teoritis ... 62

(6)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 63

DAFTAR RUJUKAN ... 64

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Work Engagement ... 38

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur Work Engagement ... 39

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 43

Table 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Menjadi Guru SLB “X” Bandung ... 44

Tabel 4.4 Gambaran Derajat Work Engagement ... 45

Tabel 4.5 Gambaran Derajat Aspek Dedication ... 46

(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 24

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Letter of Concent dan Alat Ukur (Kisi-kisi alat ukur, Identitas, Data Utama dan Data Penunjang) ... L-1

Lampiran 2 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... L-13

Lampiran 3 Hasil Penelitian ... L-18

Lampiran 4 Tabulasi Silang Data Utama & Penunjang ... L-27

Lampiran 5 Analisis Item ... L-33

Lampiran 6 Output Statistik SPSS ... L-41

Lampiran 7 Profil SLB “X” Bandung ... L-52

(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses kehidupan

untuk mengembangkan diri setiap individu agar dapat melangsungkan kehidupannya

(Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

pengertian pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang

diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Haryanto, 2012).

Adanya Undang-Undang tentang pendidikan menggarisbawahi bahwa

pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. Sekolah

negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa (SLB) pun menjadi tempat formal

untuk mendapatkan pendidikan. Berbicara mengenai sekolah luar biasa tidak bisa

terlepas dari istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) (Kidam, 2015).

ABK dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau mengalami gangguan

fisik, mental, inteligensi, dan emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara

khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak-anak yang termasuk

ke dalam ABK antara lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan

gangguan kesehatan (Kosasih, 2012).

Dengan memiliki karakteristik dan hambatan pada diri anak tersebut maka

(11)

dengan kemampuan dan potensi para guru, contohnya anak tunanetra memerlukan

modifikasi teks bacaan menggunakan tulisan Braille dalam berkomunikasi

sedangkan untuk anak tunarungu harus menggunakan bahasa isyarat dalam

berkomunikasi.

Pendidikan untuk ABK di sekolah tidak terlepas dari peran seorang guru.

Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan (Depdiknas, 2008:1). Guru

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia

dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

(Setyawan, 2014)

Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki kualifikasi

pendidikan minimum D-IV atau S1 Luar Biasa/Pendidikan Khusus (PLB/PKh).

Kualifikasi ini diperoleh dari Program Studi/Jurusan PLB/PKh yang

terakreditasi atau berpendidikan D-IV atau S1 PGTK, PAUD, Psikologi atau

Kependidikan non PLB/PKh dari perguruan tinggi terakreditasi. Selain itu para guru

harus memiliki sertifikat pendidik untuk guru pendidikan khusus yang diperoleh dari

perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan pada

perguruan tinggi terakreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah (Choiri, 2011).

Tugas guru yang mengajar di sekolah luar biasa atau sering disebut sebagai

guru SLB secara umum sama dengan guru pada umumnya. Menurut Undang Undang

No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005

tentang guru dan dosen, serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka

Kreditnya Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 5, tugas utama guru adalah mendidik,

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan

pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi

sekolah/madrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit

24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap

muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki

izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah (Choiri, 2011)

Adapun, tugas lainnya yang harus dilakukan oleh guru SLB yang

membedakan dengan tugas guru lainnya adalah harus mampu merencanakan,

melaksanakan dan menilai program orientasi mobilitas dan huruf braille, melakukan

pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama serta SIBI (Sistem Isyarat Bahasa

Indonesia), melakukan pembelajaran bina diri dan bina gerak, serta melakukan

pembelajaran bina pribadi dan sosial (Choiri, 2011).

Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa menjadi seorang guru SLB adalah

pekerjaan yang tidak mudah. Begitu juga dengan kondisi yang tergambar di SLB “X”

di Bandung. SLB ini dibangun oleh sebuah yayasan “X”. Yayasan ini merupakan

lembaga yang bergerak dalam bidang sosial dan telah berdiri sejak tahun 1990

dengan Izin Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 421.9/3916-PLB. Salah satu

bidang kegiatan yang telah berjalan adalah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa

(SLB) yaitu pendidikan bagi ABK dan hingga saat ini yayasan tersebut telah

menyelenggarakan pendidikan mulai dari jenjang SDLB, SMPLB, sampai

SMALB/SMKLB. Yayasan ini telah mendirikan dua sekolah yaitu B dan

SLB-C. SLB-B adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak

tunarunguwicara atau tuli bisu sedangkan SLB-C adalah sekolah khusus yang

(13)

tanpa tahun). Keunggulan dari SLB ini dibandingkan SLB lain adalah dalam hal

keseniannya yaitu menari dan pembuatan sendal khususnya sendal jepit. Jumlah guru

SLB yang mengajar di SLB ini berjumlah 32 orang dengan jumlah siswa 97 orang.

Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, selain memiliki tugas utama untuk

mendidik, mengajar, dan melatih anak didiknya, guru-guru SLB ini juga diberikan

tugas lain yang harus dikerjakan yaitu memeriksa identitas anak didik, memeriksa

daftar hadir peserta didik, memeriksa daftar pelajaran dan materi yang akan

diberikan di hari tersebut, menjalankan piket, mengisi daftar nilai anak didiknya,

memeriksa daftar mutasi kelas, memeriksa daftar inventaris kelas, mengisi form

kegiatan home visit atau kegiatan sehari-hari, membimbing anak didik dalam

melakukan kegiatan ekstrakurikuler, melakukan bimbingan konseling baik untuk

anak didiknya maupun untuk orang tua, melakukan analisis hasil evaluasi dan

merencanakan serta melakukan kegiatan perbaikan dan pengayaan untuk anak

didiknya.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah SLB “X”, guru SLB yang

mengajar memiliki tuntutan untuk memberi pengajaran kepada anak didik seperti

mengajari cara berkomunikasi dengan orang lain, cara menulis, cara berhitung dan

pengajaran lainnya dengan metode pengajaran yang berbeda dengan guru pada

umumnya. Metode ini dikenal sebagai metode CTL atau Contextual Teaching

Learning, metode ini menekankan pengajaran yang sifatnya aplikatif. Jadi guru SLB tidak hanya mengajar di ruang kelas tetapi para guru juga harus membawa anak

didiknya untuk terjun langsung ke lapangan ketika mengajari suatu pelajaran.

Misalnya saja ketika belajar mengenai cara berhitung, guru SLB harus membawa

anak didiknya ke luar kelas dan meminta siswanya menghitung jumlah motor yang

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha dengan keberadaan anak didiknya ketika sedang belajar di luar kelas, karena peluang

anak didik melakukan hal-hal yang tidak biasa seperti lari keluar gerbang sekolah

adalah sesuatu yang bisa saja terjadi.

Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, sistem pembelajaran yang diterapkan

disini berbeda dengan sistem pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya.

Sistem pembelajaran tersebut bersifat individual dan bukan klasikal. Hal ini

disebabkan oleh tuntutan yang diberikan kepada masing-masing guru SLB untuk

dapat melakukan 24 administrasi dalam satu tahun pelajaran terkait dengan

masing-masing anak didik dan setiap hari guru SLB yang mengajar harus membuat delapan

item administrasi seperti melakukan perencanaan, membuat program, melaksanakan

program, melakukan penilaian, mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan

membimbing masing-masing anak secara individual. Penting bagi guru SLB untuk

melakukan tugas administrasi ini karena guru SLB dapat mengetahui seberapa jauh

perkembangan dan perubahan yang sudah terjadi pada anak dan salah satu tujuan

dari SLB ini adalah membuat anak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik

lagi.

Tidak hanya itu, pada tahun 2007, banyak orang tua yang memiliki anak

dengan kesulitan lain yang meminta masuk ke sekolah ini, pada awalnya kepala

sekolah tidak menerima anak dengan kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita

karena guru-guru SLB yang mengajar di sekolah ini sudah terfokus untuk mengajar

anak tunarungu dan anak tunagrahita saja.

Tetapi sejak tahun 2009, pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa SLB

tidak boleh melakukan labelling. Labelling disini memiliki maksud bahwa SLB B

atau SLB C tidak hanya dikhususkan untuk anak tunarungu dan anak tunagrahita saja

(15)

hampir sebagian besar guru SLB yang mengajar di sekolah ini menolak keputusan

tersebut namun karena hal tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah maka mau

tidak mau semua guru SLB harus menerimanya dan hingga tahun 2016 sekolah ini

sudah memiliki 20 anak didik selain tunarungu dan tunagrahita yaitu anak autis, low

vision, conduct problem, tunadaksa, dan tunalaras.

Dengan adanya perubahan keputusan yang menyebabkan jumlah anak didik

bertambah sedangkan jumlah guru yang mengajar tetap sama, membuat Kepala

Sekolah SLB “X” merasa jumlah guru SLB yang ada di sekolah ini kurang jika

dibandingkan dengan jumlah anak didiknya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka

terdapat beberapa kelas yang menggabungkan anak-anak dengan kesulitan yang

berbeda seperti anak tunarungu dengan anak low vision, atau anak tunagrahita

dengan anak conduct problem. Hal ini dilakukan agar semua anak didiknya tetap

mendapatkan pengajaran. Ketika keputusan ini belum dibuat, satu orang guru

mengajar dua hingga tiga anak didik di dalam kelas, namun setelah keputusan ini

dibuat satu orang guru dapat mengajar empat hingga lima anak didik di kelasnya.

Selain mengajar, mendidik, dan melatih anak didiknya, guru yang mengajar

di SLB “X” ini juga memiliki tugas lain yang tetap harus dikerjakan, yaitu

masing-masing guru memegang jabatan sebagai wakasek kurikulum, wakasek kesiswaan,

wakasek ketenagaan, bendahara, humas, koordinator SDLB, SMPLB, SMALB,

koordinator pramuka, binadiri, kesenian, keterampilan, olahraga dan jabatan lainnya.

Hal ini dikarenakan oleh jumlah guru yang bekerja di SLB “X” dianggap terlalu

sedikit, sehingga selain memegang jabatan sebagai guru, para guru juga harus

merangkap jabatan lain.

Selain itu, pemerintah dan yayasan juga seringkali mengadakan acara yang

(16)

7

Semua tugas-tugas yang diemban oleh para guru yang bekerja di SLB “X” di

Bandung, membutuhkan energi, pelibatan diri yang kuat, dan konsentrasi untuk dapat

menyelesaikannya. Besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengerahkan segala

kemampuan untuk mengerjakan tugas, perasaan antusiasme terhadap pekerjaan dan

memiliki konsentrasi yang tinggi saat bekerja merupakan suatu konsep yang dikenal

sebagai work engagement. Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011)

pekerjaan-pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan yaitu

pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-pekerjaan

tersebut menuntut work engagement yang tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB dari 32 guru

SLB yang mengajar di SLB “X” ini mengenai perubahan keputusan dari pemerintah,

sebanyak dua orang guru SLB (28.6%) menjadikan hal tersebut sebagai tantangan.

Tetapi lima orang guru SLB lainnya (71.4%) mengatakan stress, kaget dan

kebingungan ketika harus mengajar anak-anak dengan kesulitan lain selain tunarungu

atau tunagrahita. Para guru mengatakan dengan adanya perubahan tersebut beban

dalam mengajar menjadi bertambah, karena mengajar dua atau tiga orang ABK saja

sudah berat, sedangkan sekarang harus mengajar empat hingga lima anak dengan

kebutuhan yang berbeda-beda dalam satu kelas. Hal ini dikarenakan para guru sudah

terbiasa mengajar anak-anak tunarungu atau anak tunagrahita saja, selain itu saat di

(17)

tunagrahita saja. Hingga sekarang satu orang guru SLB (14.3%) dari lima guru SLB

tersebut masih sering mengeluh dengan kondisi anak didiknya yang memiliki

kesulitan berbeda dan ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya, ia lebih

memilih mendiamkan saja hingga anak tersebut tenang dengan sendirinya.

Lalu berdasarkan hasil wawancara dengan tujuh orang guru SLB mengenai

penghayatannya terhadap tuntutan yang ada pada pekerjaan sebagai guru SLB, lima

orang (71.4%) guru SLB menghayati tuntutan yang dihadapi selama mengajar

sebagai guru SLB adalah sesuatu yang berat. Para guru merasakan kesulitan ketika

harus berkomunikasi dengan anak-anak yang memiliki potensi dan kebutuhan yang

berbeda-beda. Di satu sisi para guru harus memberikan materi tetapi di sisi lain para

guru harus memerhatikan anak didiknya secara individual untuk melihat seberapa

jauh perubahan yang sudah terjadi. Terkadang karena kemampuan setiap anak

berbeda-beda dan perubahan yang terjadi pada anak pun tidak terjadi setiap hari guru

SLB ini merasa kesal dan berharap anak dapat dengan cepat menunjukkan

perubahan. Dari kelima guru SLB tersebut salah satu diantaranya (14.3%)

mengatakan meskipun tuntutan dari pemerintah dan orang tua tidak terlalu banyak

namun ia merasa seperti memiliki beban tersendiri dalam mengajar anak-anak

berkebutuhan khusus yang ada di sekolah ini. Dua orang guru SLB (28.6%) lainnya

mengatakan meskipun banyak tantangan yang dihadapi saat mengajar anak-anak

berkebutuhan khusus namun para guru merasa menikmatinya dan tidak pernah

merasa kesulitan dalam mengajar karena para guru merasa terpanggil untuk bekerja

sebagai guru SLB.

Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif, terlibat dengan pekerjaannya yang ditandai oleh aspek-aspeknya yaitu vigor, dedication, dan

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha dalam menentukan derajat tinggi rendahnya work engagement seseorang. Aspek

vigor ditandai dengan level energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan untuk mengerahkan upaya dalam pekerjaan dan persisten walaupun

menghadapi kesulitan. Aspek kedua yaitu dedication mengacu pada pelibatan diri

yang kuat terhadap pekerjaannya, merasakan keberartian, antusiasme, inspirasi,

kebanggaan dan tantangan. Aspek yang terakhir adalah absorption ditandai dengan

konsentrasi penuh dan keasyikan bekerja, sehingga merasa waktu cepat berlalu dan

sulit untuk berhenti bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB, sebanyak lima

orang (71.4%) mengatakan berusaha semaksimal mungkin dan tetap bersemangat

untuk mengajar walauupun mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya yang

memiliki kebutuhan serta kemampuan berbeda. Satu orang guru SLB (14.3%)

lainnya mengatakan bahwa ketika ia mengalami kesulitan dalam mengajar, ia hanya

berusaha seadanya saja, ia tidak berusaha mencari solusi atau alternatif lain dan satu

orang guru SLB (14.3%) lagi mengatakan menjadi kurang bersemangat dan malas

untuk mengajar ketika mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya dan ketika

anak didiknya tidak menunjukan adanya perubahan. Ia selalu berharap bahwa anak

didiknya dapat dengan cepat menunjukkan adanya perubahan. Hal ini

menggambarkan aspek pertama dari work engagement yaitu vigor.

Sebanyak enam orang guru SLB (85.7%) dari tujuh guru SLB merasa bangga

dan berarti dapat menjadi seorang guru SLB karena pekerjaannya adalah pekerjaan

yang mulia dan memberikan pelayanan atau jasa kepada orang lain. Para guru merasa

tertantang dengan keadaan dan kondisi anak didiknya yang setiap saat berubah dan

membuat para guru merasa antusias ketika mengajar anak didiknya. Satu orang guru

(19)

tuanya lah yang mengharapkan ia menjadi seorang guru SLB. Hal ini membuat guru

SLB tersebut kurang antusias dalam menjalani pekerjaannya sebagai guru SLB

ketika ia dihadapkan dengan kesulitan saat mengajar anak didiknya. Hal ini

menggambarkan aspek kedua dari work engagement yaitu dedication.

Lalu didapat informasi sebanyak dua orang (28.6%) dari tujuh orang guru

SLB mengatakan menjadi malas mengajar dan waktu mengajar pun terasa lama

ketika para guru mengalami kesulitan dalam mengajar dan ketika anak didiknya tidak

menunjukkan perubahan. Satu orang guru (14.3%) mengatakan menjadi jenuh dalam

mengajar ketika hanya mengajar satu anak saja di dalam kelasnya. Sedangkan empat

orang guru lainnya (57.1%) mengatakan menikmati ketika mengajar anak-anak yang

ada di SLB ini sehingga waktu berjalan begitu cepat. Hal ini menunjukkan aspek

ketiga dari work engagement yaitu absorption.

Dari wawancara yang dilakukan ternyata terdapat penghayatan yang

bervariasi pada guru SLB yang bekerja sebagai guru SLB serta terdapat pula variasi

pada aspek-aspek work engagement. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana derajat work

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah memperoleh data dan gambaran mengenai work

engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran mengenai derajat work

engagement pada guru SLB “X” di Bandung berdasarkan aspek-aspek dari work engagement serta faktor-faktor yang memengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Menjadikan masukan bagi ilmu Psikologi khususnya bidang Industri dan

Organisasi mengenai derajat work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

2. Memberikan informasi kepada peneliti lain untuk pengembangan

penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan topik work engagement.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada guru dan Kepala Sekolah SLB “X” di Bandung

mengenai gambaran work engagement yang dimiliki sehingga dapat dimanfaatkan

untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja para guru SLB dalam mengajar

(21)

1.5 Kerangka Pikir

Guru SLB merupakan pendidik profesional yang memiliki peran penting

dalam dunia pendidikan khususnya untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus

(ABK). Dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai guru SLB dibutuhkan

pengerahan energi, pelibatan diri, dan konsentrasi yang tinggi. Hal-hal tersebut

diperlukan baik dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM),

melaksanakan KBM, maupun dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Menurut

Schaufeli et. Al (dalam Bakker & Leiter, 2010), pengerahan energi, konsentrasi, serta

dedikasi dalam suatu pekerjaan disebut sebagai work engagement.

Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif dan rasa terpenuhi pada pekerjaan yang ditandai oleh adanya vigor, dedication, dan

absorption (Schaufeli et. Al, 2002:74). Menurut Smulder (dalam Schaufeli, 2011) pekerjaan-pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan

yaitu pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut work engagement yang tinggi.

Dalam merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), melaksanakan

KBM, maupun melakukan evaluasi pembelajaran tentunya guru SLB dihadapkan

dengan tuntutan-tuntutan dalam bekerja. Guru SLB ini diberikan berbagai macam

tugas untuk dapat mencapai target yang telah ditentukan ketika mengajar anak

berkebutuhan khusus. Tuntutan ini disebut sebagai job demands.

Job demands pada guru SLB adalah segala aspek fisik, sosial maupun organisasional dari pekerjaan tersebut yang dapat membuat guru SLB perlu

mengerahkan usaha secara fisik maupun psikologis. Job demands yang pertama

adalah work pressure. Guru SLB dituntut untuk dapat melakukan pengajaran

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha dengan yang lainnya. Dalam satu kelas bisa terdapat anak tunagrahita dan anak

dengan low vision dan dua kondisi tersebut pasti memiliki metode pengajaran yang

berbeda. Selain melakukan proses belajar mengajar, setiap hari guru SLB juga harus

membuat delapan item administrasi yang terkait dengan masing-masing anak didik

untuk melihat seberapa jauh perubahan yang sudah terjadi seperti membuat program,

melakukan perencanaan, melaksanakan program, melakukan penilaian,

mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan membimbing masing-masing

anak.

Hal ini tentu menjadi job demands bagi guru SLB dalam mengerjakan

tugasnya sebagai seorang guru SLB dan menuntut guru SLB tersebut untuk lebih

mengerahkan usahanya, meluangkan waktu serta meningkatkan produktivitasnya,

sehingga meskipun terdapat banyak tekanan yang harus dihadapi oleh guru SLB,

para guru tetap dapat memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya.

Job demands yang kedua adalah emotional demands. Di satu sisi para guru SLB yang mengajar di SLB ini harus dapat bersikap santai dan ramah serta perlu

menjalin kedekatan emosional dengan anak didiknya agar anak didiknya mau

memerhatikan dan dapat fokus pada guru SLB ketika mengajarkan materi. Tetapi di

sisi lain guru SLB juga harus dapat bersikap tegas bila anak didiknya memerlihatkan

sikap tidak mau diatur seperti anak yang sedang tantrum di kelas. Hal ini perlu

dilakukan oleh guru SLB karena para guru menghadapi anak didik yang memiliki

karakter, kemampuan, dan kebutuhan berbeda-beda. Tidak hanya dalam menghadapi

anak didiknya, ketika guru SLB sedang mengalami masalah di bidang kehidupan

lainnya seperti di keluarganya pun, guru SLB ini juga dituntut untuk tetap dapat

memberikan pengajaran yang optimal untuk anak didiknya sehingga para guru harus

(23)

Job demands yang ketiga adalah mental demands. Guru SLB ini harus mengetahui terlebih dahulu kebutuhan dan kesulitan yang ada pada diri anak

misalnya anak dengan low vision atau anak tunagrahita sehingga para guru

mengetahui metode yang tepat untuk mengajari anak. Begitu pula ketika para guru

sedang mengajari suatu materi kepada anak didiknya namun terdapat anak yang tidak

mengerti, guru SLB ini harus dapat mencari metode, ide atau alternatif cara mengajar

lain agar anak didiknya dapat mengerti dan memahami materi yang diajarkan.

Job demands yang keempat adalah physical demands. Dalam mengajar anak didik berkebutuhan khusus yang memiliki karakter, kemampuan, dan kebutuhan

berbeda-beda diperlukan fisik yang bugar karena guru SLB perlu memperhatikan

setiap perubahan yang terjadi pada anak didiknya. Guru SLB juga harus siap

mengejar anak didiknya yang bisa tiba-tiba berlarian keluar kelas, selain itu guru

SLB juga perlu memerhatikan dan menjaga gerak-gerik anak didiknya yang bisa saja

merusak barang yang ada di sekitarnya dan ketika anak didiknya tantrum, guru SLB

harus bisa mengendalikan hal tersebut.

Secara personal, guru SLB memiliki karateristik dan keterampilan tertentu

untuk melakukan pekerjaannya. Guru SLB dibekali dengan pengetahuan secara

kognitif dan keahlian yang didapat melalui perguruan tinggi penyelenggara program

pengadaan tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, setelah mengikuti

program tersebut guru SLB akan mendapatkan sertifikat pendidik untuk guru

pendidikan khusus, baru kemudian guru SLB diperbolehkan mengajar di SLB.

Pengalaman guru SLB yang berkaitan dengan ABK dapat membangun keyakinan

guru tersebut mengenai kemampuannya dan potensinya untuk bisa berhasil

merupakan self efficacy dan optimism pada diri guru SLB. Ketika guru SLB

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha guru SLB tetap berusaha menghadapi masalah tersebut dan selalu memiliki

perencanaan dalam bekerja agar dapat menyelesaikan semua tugas yang diberikan,

hal ini merupakan resilience dan hope yang dimiliki guru SLB. Kekuatan yang

menjadi sumber daya personal tersebut merupakan personal resources yang dimiliki

para guru SLB ketika melakukan pekerjaannya.

Personal resources merupakan aspek kognitif dan afektif dari kepribadian yang merupakan kepercayaan positif terhadap diri sendiri dan lingkungan serta

bersifat dapat dikembangkan. Hal ini dapat memotivasi pencapaian tujuan bahkan

memotivasi guru SLB untuk menghadapi kesulitan (Bakker, 2008: 8-13). Dalam

melakukan pekerjaannya sebagai guru SLB, salah satu tujuan personal yang ingin

dicapai adalah perasaan senang dan puas apabila anak didiknya menunjukan

perubahan ke arah yang lebih baik, misalnya dari yang tidak bisa menulis menjadi

bisa menulis, atau dari yang tidak bisa mengikat tali sepatu menjadi bisa mengikat

tali sepatu. Tujuan tersebut memotivasi guru SLB untuk dapat bekerja dengan baik,

namun pada pelaksanaannya bisa saja terdapat hambatan atau masalah.

Guru SLB yang bisa menunjukan sikap beradaptasi ketika berada di bawah

tekanan merupakan salah satu personal resources yang dimiliki oleh guru SLB yaitu

resilience. Ketika guru SLB sedang mengajari anak didiknya dan tidak semua anak didiknya memahami dengan cepat materi yang diberikan, guru SLB tersebut akan

bertahan pada kondisi tersebut dan mencoba mencari metode, cara, atau ide lain agar

materinya dapat diterima oleh anak didiknya. Guru SLB seperti ini merupakan guru

SLB yang menghayati memiliki resiliensi, sedangkan ketika guru SLB tersebut

mudah menyerah ketika anak didiknya sulit untuk menerima materi yang diberikan

dan memilih meninggalkan kelas atau meminta guru lain yang mengajar merupakan

(25)

Ketika guru SLB dapat beradaptasi, bertahan, dan berusaha bangkit dari

masalah, para guru akan terus membuat perencanaan yang dirancang agar tetap bisa

mencapai goal. Hal ini merupakan personal resources yang kedua yaitu hope. Hope

yaitu kondisi motivasional positif yang didasarkan pada adanya keinginan untuk

sukses secara interaktif, yang ditandai dengan adanya energi yang terarah untuk

mencapai goal, dan adanya langkah-langkah yang dirancang untuk mencapai goal.

Guru SLB yang menghayati memiliki hope akan membuat langkah-langkah terlebih

dahulu untuk dapat membuat perubahan yang lebih baik pada anak didiknya seperti

membuat anak didiknya menjadi lancar membaca dan berhitung, sedangkan guru

SLB yang menghayati kurang memiliki hope akan merasa bingung ketika anak

didiknya tidak memerlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik karena para guru

tidak membuat perencanaan terlebih dahulu.

Selain itu, kemampuan serta keterampilan yang dimiliki guru SLB dapat

meningkatkan keyakinan diri para guru untuk melaksanakan atau menyelesaikan

suatu tugas atau tuntutan yang diberikan kepada guru SLB tersebut. Hal ini disebut

sebagai self efficacy. Guru SLB yang menghayati memiliki self efficacy akan yakin

untuk dapat menghadapi tuntutan yang muncul di SLB seperti anak didiknya yang

mudah lupa dengan materi yang baru diajarkan sedangkan keesokan harinya ujian

akan dilaksanakan. Guru SLB juga akan semakin percaya terhadap kemampuannya

untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi-materi yang diajarkan

tersebut sehingga anak didiknya tidak mudah lupa, sedangkan guru SLB yang

menghayati kurang memiliki self efficacy menjadi kurang memiliki kepercayaan

terhadap kemampuannya untuk dapat membuat anak didiknya memahami materi

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha Guru yang memiliki self efficacy akan merasa yakin bahwa dirinya memiliki

potensi untuk bisa berhasil dan sukses. Hal ini merupakan personal resources yang

terakhir yaitu optimism. Guru SLB yang menghayati memiliki sikap optimis akan

memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa mendapatkan hasil yang baik seperti

membuat anak didiknya dapat membaca dan berhitung, dengan memiliki

kepercayaan ini para guru juga akan memerlihatkan sikap yang antusias ketika

mengajar karena para guru akan berusaha mencari berbagai macam cara untuk

membuat anak didiknya menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik seperti

lancar membaca dan berhitung. Guru SLB yang menghayati kurang optimis menjadi

kurang memiliki kepercayaan bahwa para guru bisa membuat anak didiknya dapat

membaca dan berhitung sehingga para guru juga kurang memerlihatkan

antusiasmenya ketika mengajar karena para guru kurang berusaha untuk mencari

berbagai macam metode dalam mengajar anak didiknya.

Dalam bekerja, individu tidak hanya memiliki tujuan yang ingin dicapai

secara personal, namun individu juga memiliki tujuan yang ingin dicapai dari sisi

pekerjaannya. Tujuan yang ingin dicapai dari sisi pekerjaan sebagai guru SLB

sekaligus bisa mencapai tujuan guru SLB secara personal. Tujuan yang ingin dicapai

oleh guru SLB dipengaruhi oleh bagaimana tuntutan dari pekerjaannya. Tuntutan

pekerjaan atau yang sering disebut sebagai job demands pada pekerjaan sebagai guru

SLB dapat menjadi tekanan dan menguras energi baik fisik maupun psikis guru SLB,

dan untuk mengurangi tekanan tersebut diperlukan sumber daya (resources) yang

berasal dari pekerjaan itu sendiri, atau yang disebut dengan job resources.

Job resources yaitu setiap aspek fisik, sosial, dan organisasional dari pekerjaan sebagai guru SLB yang memungkinkan mengurangi job demands dan

(27)

tujuan dalam mengajar, menstimulasi personal growth, pembelajaran, dan

pengembangan diri guru SLB tersebut. Job resources guru SLB ini terdiri dari

autonomy, performance feedback, dan social support.

Guru SLB yang mengajar di sekolah ini diberikan kebebasan dalam

melakukan proses belajar mengajar terhadap anak didik yang ada di kelasnya. Para

guru diberikan kebebasan untuk menggunakan metoda apapun dalam mengajar dan

dalam menyampaikan materi, misalnya belajar dengan menggunakan musik atau alat

peraga. Hal ini disebut sebagai autonomy. Guru SLB yang menghayati mendapatkan

autonomy ketika mengajar akan lebih tertantang ketika mengajar karena para guru harus menentukan sendiri metode yang tepat untuk masing-masing anak yang

memiliki kebutuhan berbeda-beda. Hal ini juga bisa meningkatkan antusiasme pada

diri guru SLB tersebut dalam mengajar, sedangkan guru SLB yang menghayati

kurang mendapat autonomy ketika mengajar akan merasa bosan dengan metode yang

digunakan secara monoton sehingga guru SLB ini menjadi kurang antusias dalam

mengajar.

Job resources yang kedua adalah performance feedback. Umpan balik ini dapat diberikan kepada guru SLB baik oleh kepala sekolah maupun sesama guru.

Guru SLB yang menghayati mendapatkan performance feedback yang sifatnya

membangun dari lingkungannya seperti kelebihan atau kekurangan guru SLB dalam

mengajar dapat membuat guru SLB merasa berarti karena dengan lingkungannya

memberi feedback berarti lingkungan tersebut memerhatikan guru SLB ketika

mengajar. Hal ini juga dapat meningkatkan keyakinannya dan kemampuan guru SLB

dalam mengajar karena guru SLB tersebut akan memertahankan kelebihannya dalam

mengajar dan merubah kekurangannya dalam mengajar. Untuk guru SLB yang

(28)

19

Universitas Kristen Maranatha merasa bingung dengan kinerjanya selama ini, karena tidak ada umpan balik

mengenai kinerjanya dalam mengajar misalnya sudah baik atau masih ada yang

kurang dan hal ini bisa mengurangi keyakinannya dalam mengajar.

Job resources yang ketiga adalah social support. Dukungan ini bisa berasal dari kepala sekolah, sesama guru, maupun kerabat dan keluarga masing-masing.

Guru SLB yang menghayati mendapatkan social support dari lingkungannya seperti

pujian, dukungan, dan perhatian dapat meningkatkan usaha dan daya juang pada diri

guru SLB tersebut dalam mengajar karena para guru akan merasa orang lain saja

yakin dengan kemampuan yang dimiliki guru SLB tersebut. Untuk guru SLB yang

menghayati kurang mendapat social support dari lingkungannya bisa saja memiliki

usaha dan daya juang yang terbatas atau malah menurunkan usaha dan daya

juangnya dalam mengajar karena para guru merasa tidak ada yang memerhatikan dan

menemani para guru ketika para guru sedang mengalami kesulitan saat mengajar.

Job resources dapat mengurangi tekanan dalam tuntutan pekerjaan (job demands) dan juga akan menstimulasi perkembangan pribadi (dalam hal ini personal resources). Personal resources dan job resources akan saling terkait dan saling mendukung dalam mengurangi job demands (Bakker & Demerouti, 2007, 2008) dan

dengan begitu maka individu akan merasa engaged terhadap pekerjaannya. Semakin

tinggi derajat personal resources yang ada pada diri individu dan adanya job

resources yang memadai maka akan semakin menunjang dalam mengubah job demands menjadi sesuatu yang tidak menekan bagi individu tersebut (Bakker & Demerouti, 2007). Menurut Bakker dan Leiter (2010) energi dan fokus yang terdapat

pada work engagement akan membuat individu bekerja maksimal saat bekerja.

(29)

resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan mengerahkan upaya dalam

bekerja dan persisten walaupun menghadapi kesulitan. Guru SLB yang memiliki

vigor yang tinggi akan merasa memiliki energi yang banyak saat melaksanakan tugasnya sebagai guru SLB, para guru akan berusaha untuk mengatasi anak yang

sedang tantrum saat berada di kelas sehingga guru SLB tersebut tetap bisa mengajar

seoptimal mungkin. Guru SLB tersebut akan berusaha memberikan materi sesuai

dengan kebutuhan anak didiknya misalnya anak dengan low vision mengharuskan

guru SLB untuk mengajar dengan menggunakan penerangan yang lebih banyak.

Guru SLB yang memiliki vigor yang rendah merasa energi yang dimilikinya sedikit

ketika sedang melaksanakan tugas sebagai guru SLB, tidak berusaha melanjutkan

proses belajar mengajar ketika kondisi kelas tidak kondusif karena terdapat anak

yang tantrum, malas mengatasi anak didiknya yang memerlihatkan sikap sulit diatur,

dan tidak berusaha memberikan pengajaran sebaik dan seoptimal mungkin sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan anak didiknya.

Aspek yang kedua adalah dedication yaitu pelibatan diri yang kuat terhadap

pekerjaan sebagai guru SLB dan guru SLB tersebut merasakan keberartian

(significance), antusiasme (enthusiasm), inspirasi (inspiration), kebanggaan (pride),

dan tantangan (challenge). Guru SLB yang memiliki dedication tinggi akan

memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar misalnya ketika anak tunagrahita

tidak mengerti dengan metode pengajaran yang diberikan maka guru SLB akan

mencoba mencari metode lain untuk mengajar, para guru akan terinspirasi ketika

mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus, bangga dapat bekerja sebagai guru

SLB dan merasa pekerjaan sebagai guru SLB adalah pekerjaan yang memiliki makna

dan tujuan, serta menjadikan tuntutan dan kesulitan yang ada saat bekerja sebagai

(30)

21

Universitas Kristen Maranatha yang rendah tidak merasa antusias ketika mengajar atau terlihat malas ketika

mengajar, tidak terinspirasi ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus

tersebut, tidak merasa bangga menjadi guru SLB, tidak merasa pekerjaan sebagai

guru SLB adalah pekerjaan yang berarti, dan merasa kesulitan serta tuntutan yang

ada selama bekerja sebagai guru SLB sebagai suatu beban.

Aspek ketiga adalah absorption. Guru SLB yang memiliki absorption tinggi

ditandai dengan guru SLB yang memiliki konsentrasi penuh saat mengajar misalnya

dalam menerapkan metode CTL di luar kelas selain guru SLB memberi pengajaran

bagi anak didiknya guru SLB juga tetap harus mengawasi pergerakan anak didiknya,

merasa menikmati ketika mengajar anak-anak dengan kebutuhan yang berbeda-beda

sehingga merasa waktu terasa cepat berlalu. Sebaliknya guru SLB yang memiliki

absorption rendah akan sulit berkonsentrasi ketika sedang mengajar misalnya ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya konsentrasi guru SLB ini langsung hanya

terfokus pada anak yang tantrum ini saja, para guru kurang mampu membagi

konsentrasinya untuk mengajar anak-anak didik lainnya yang ada di kelasnya. Guru

SLB ini akan mudah terdistraksi saat mengajar dan merasa jenuh ketika mengajar

anak didiknya yang memiliki kebutuhan khusus.

Vigor, dedication, dan absorption akan saling terkait dan menentukan tinggi atau rendahnya derajat work engagement yang dimiliki guru SLB. Guru SLB dengan

derajat work engagement tinggi akan berusaha mengerahkan energinya untuk

menyelesaikan tugasnya sebagai guru SLB dan mengatasi kesulitan yang muncul

ketika mengajar seperti keadaan anak didiknya yang tiba-tiba tantrum, bersemangat

dan antusias ketika mengajar anak didiknya yang memiliki kesulitan berbeda-beda

seperti anak tunarungu dengan anak yang tunagrahita atau anak yang low vision

(31)

para guru akan menikmati pekerjaannya, sehingga waktu mengajar terasa begitu

cepat, para guru juga menganggap tuntutan yang dihadapinya sebagai tantangan, dan

merasa engaged dengan pekerjaannya sebagai guru SLB.

Guru SLB dengan derajat work engagement yang tinggi juga akan terlihat

dari sikap para guru ketika dihadapkan dengan perubahan keputusan pemerintah

mengenai penghapusan labelling yaitu harus mengajar anak didik yang memiliki

kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita, guru SLB yang engaged akan

berusaha mencoba menambah wawasan dan pengetahuannya dengan berbagai cara

mengenai kondisi anak didiknya tersebut. Misalnya dengan membaca buku, jurnal,

penelitian-penelitian atau dengan mengikuti seminar-seminar atau training yang

terkait dengan anak didiknya. Para guru juga akan mempelajari kembali bagaimana

metode pengajaran yang tepat bagi anak didik tersebut tanpa diminta oleh pihak

sekolah. Ketika terdapat kegiatan di hari libur yang berkaitan dengan anak-anak

didiknya, para guru akan bersemangat dan merasa antusias untuk mengikuti kegiatan

tersebut dengan tujuan menemani dan membimbing anak didiknya dan selama

kegiatan tersebut berlangsung para guru pun akan menikmatinya.

Ketika derajat salah satu aspek dari work engagement rendah, maka derajat

work engagement guru SLB tersebut akan menjadi rendah. Misalnya guru SLB tersebut memiliki semangat yang tinggi ketika sedang mengerjakan tugasnya sebagai

guru SLB, guru SLB tersebut juga merasa pekerjaannya penuh dengan tantangan dan

merasa antusias ketika bekerja, tetapi tidak merasa menikmati saat bekerja.

Begitupula ketika guru SLB tersebut merasa pekerjaan sebagai guru SLB merupakan

pekerjaan yang memiliki makna dan tujuan, guru SLB tersebut merasa waktu begitu

cepat berlalu ketika bekerja, tetapi tidak menghayati memiliki energi dan resiliensi

(32)

23

Universitas Kristen Maranatha rendah. Derajat work engagement akan semakin rendah ketika semua aspek dari

work engagement juga memiliki derajat yang rendah. Hal ini terlihat dari sikap guru SLB yang akan mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, tidak bersemangat

dan tidak memerlihatkan sikap yang antusias ketika mengajar, para guru juga tidak

bangga dengan pekerjaannya sebagai guru SLB karena menganggap tuntutan atau

tantangan yang dihadapinya sebagai beban. Jika dilihat dari sikapnya dalam

menghadapi perubahan yang terjadi dan dalam menyelesaikan tugas-tugas tambahan

pun, guru SLB yang memiliki derajat work engagement rendah akan mengajar anak

didiknya sesuai dengan pengetahuan yang para guru miliki, para guru tidak merasa

antusias untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait dengan anak didiknya.

Ketika terdapat kegiatan di hari libur pun, para guru akan mencari-cari alasan agar

tidak perlu mengikuti kegiatan tersebut.

(33)

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir

Guru SLB “X” di

Bandung.

Personal Resources :

Self Efficacy

Optimism

Hope

Resiliency Job Resources :

Autonomy

Performance Feedback

Social Support

Job Demands :

Work Pressure

Emotional Demands

Mental Demands

Physical Demands

Aspek :

Vigor

Dedication

Absorption

Rendah Tinggi

(34)

25

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

1. Tugas guru SLB “X” dalam mengajar, mendidik, dan melatih ABK memiliki

work pressure, emotional demands, mental demands, dan physical demands yang merupakan job demands.

2. Dalam menghadapi kesulitan ketika bekerja sebagai guru SLB, guru SLB “X”

tetap harus bekerja sesuai dengan ketentuan. Artinya guru SLB tetap harus

memiliki work engagement.

3. Work engagement dibentuk oleh vigor, dedication, dan absorption.

4. Derajat work engagement tinggi ketika ketiga aspeknya memiliki derajat yang

tinggi juga dan derajat work engagement rendah ketika terdapat salah satu atau

ketiga aspeknya memiliki derajat yang rendah.

5. Derajat work engagement dipengaruhi oleh job demands, job resources dan

personal resources.

6. Derajat work engagement yang dimiliki oleh guru SLB “X” di Bandung berbeda

(35)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh suatu

gambaran mengenai work engagement pada guru SLB “X” Bandung dengan

simpulan sebagai berikut:

1. Dari seluruh guru SLB “X” Bandung yang berjumlah 32 orang, hampir

seluruhnya memiliki derajat work engagement yang tinggi (90.6%).

2. Guru SLB “X” Bandung yang memiliki derajat work engagement yang tergolong

tinggi memiliki derajat vigor, dedication dan absorption yang tinggi juga,

sedangkan guru SLB “X” yang memiliki derajat work engagement yang rendah

memiliki derajat vigor yang tinggi, namun derajat dedication atau absorptionnya

rendah.

3. Aspek work engagement yang memiliki derajat paling tinggi pada seluruh guru

SLB “X” Bandung adalah aspek vigor, sedangkan aspek work engagement yang memiliki derajat paling rendah pada seluruh guru SLB “X” Bandung adalah aspek

absorption.

4. Pada guru SLB “X” Bandung baik yang memiliki derajat work engagement tinggi maupun rendah, menghayati adanya resources yang lebih banyak dibandingkan

demands. Akan tetapi terdapat job demands yang paling menonjol yang dirasakan berat oleh sebagian guru SLB “X” yaitu emotional demands.

5. Job resources yang dihayati paling sering didapatkan oleh guru SLB “X” baik yang memiliki derajat work engagement tinggi maupun rendah adalah social

(36)

60

Universitas Kristen Maranatha guru SLB “X” adalah performance feedback. Untuk personal resources yang dihayati dimiliki oleh seluruh guru SLB “X” Bandung baik yang memiliki derajat

work engagement tinggi maupun rendah adalah optimism dan resiliency.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan eksplorasi lebih dalam mengenai

emotional demands dengan work engagement di SLB “X” Bandung.

2. Bagi peneliti selanjutnya, yang juga ingin melakukan penelitian mengenai work

engagement dapat melakukan penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhi derajat work engagement, yaitu job demands, job resources,

dan personal resources dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang lebih

mendalam sehingga diperoleh pembahasan yang lebih kaya mengenai pengaruh

faktor-faktor tersebut.

5.2.2 Saran Praktis

1. Sehubungan dengan sebagian besar guru SLB “X” Bandung merasa jarang

mendapatkan performance feedback, disarankan bagi kepala sekolah untuk

memberikan penilaian atau evaluasi kinerja bagi para guru secara personal dan

dilakukan secara berkala.

2. Sehubungan sebagian besar guru merasa bahwa emotional demands adalah

tuntutan yang berat, disarankan bagi pihak SLB “X” Bandung untuk mengadakan

(37)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT

PADA GURU SLB “X” DI BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

AMALIA SHOFIYANTI

NRP: 1230085

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(38)

vii PRAKATA

Puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penelitian skripsi ini disusun dalam rangka

mengikuti sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Bandung dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Work Engagement pada Guru SLB “X” di Bandung”.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penelitian

skripsi ini. Akan tetapi, peneliti berharap di dalam segala kekurangannya, penelitian

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi khususnya dan

mahasiswa lain yang ingin melanjutkan penelitian mengenai Work Engagement.

Untuk itu, peneliti terbuka atas segala kritik dan saran yang diberikan bagi penelitian

skripsi ini.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menerima banyak bantuan,

bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

perkenankan peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog sebagai Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

2. Ka Yan, M.Psi., Psikolog sebagai dosen pembimbing utama yang selalu

menyediakan waktu, memberikan saran, serta selalu memberikan motivasi bagi

peneliti agar dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.

3. Priska Analya, M.Psi., Psikolog sebagai dosen pembimbing pendamping yang

selalu menyediakan waktu, pikiran serta memberikan motivasi bagi peneliti

(39)

4. Tery Setiawan, BA., S.Psi., M.Si., dan Heliany Kiswantomo, M.Si., Psikolog

sebagai dosen pembahas seminar yang telah banyak memberikan masukan untuk

penelitian skripsi ini.

5. Seluruh jajaran Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha,

yang telah membuatkan surat permohonan pengambilan data dan mengurus

pengumpulan penelitian skripsi ini.

6. Trisa Genia Chrisantiana, M.Psi., Psikolog sebagai dosen wali yang senantiasa

memberikan semangat kepada peneliti agar segera menyelesaikan penelitian

skripsi ini.

7. Kepala Sekolah SLB B dan Kepala Sekolah SLB C “X” yang sudah

mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah yang bersangkutan

serta memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini.

8. Para guru yang mengajar di SLB B dan SLB C “X” atas waktu yang telah

diberikan dan kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian skripsi

ini.

9. Rahadjeng Indreswari S.Psi, Safari Diva S.Psi, Vionna Augrina S.Psi, sebagai

peneliti work engagement sebelumnya dan menjadi rekan diskusi peneliti dalam

menyelesaikan penelitian skripsi ini.

10. Dr. H. Amin Amsyari dan Drg. Arjana Purwaningtjas selaku orang tua, Amanda

Putri S.Psi dan Amirul Nur Agustian selaku kakak dan adik peneliti, serta

Berlina Dwi dan Diana Tjatur selaku tante peneliti yang selalu memberikan

dukungan moril, semangat, dan doa kepada peneliti agar dapat menyelesaikan

penelitian skripsi ini.

11. Swastika Tiara Pertiwi, S.Psi. yang membantu mengolah data, menyemangati

(40)

ix

12. Dwi Rendra, sebagai sahabat dan rekan peneliti yang telah membantu dalam

menerjemahkan abstrak penelitian ini.

13. Gratiani, Dian, Zelin, Putri, Avista, dan Faqih sebagai sahabat-sahabat yang

selalu menyemangati dan memberikan motivasi kepada peneliti agar segera

menyelesaikan penelitian ini.

14. Rosi, Syifa, Disha, Naris, Dila, Tiwi, Nonon, Ayu, Swastika, Kintan, Nadia,

Tika, Intan, Putri, Ryven dan Dio selaku sahabat dan teman seperjuangan meraih

gelar sarjana psikologi yang senantiasa mendukung peneliti dalam

menyelesaikan penelitian skripsi ini.

15. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2012, terimakasih atas bantuan,

saran, dan dorongannya kepada peneliti.

16. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu peneliti selama

penyelesaian penelitian ini tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan balasan atas segala

kebaikan dan bantuan yang Bapak, Ibu, serta rekan-rekan sekalian berikan. Akhir

kata, peneliti berharap penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandung, Oktober 2016

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, A.B.& Leiter, M.P. (2010). Work Engagement: A Handbook of Essential Theory and Research. New York: Psychology Press.

Bakker, A.B.& Demerouti, E. (2007). The Job Demands-Resources Model: State of The Art.Journal of Managerial Psychology, 22, 309-328.

Bakker, A.B., Hanaken, J.J., Demerouti, E., & Xanthopolou, D. (2007). Job Resources Book Work Engagement Particularly When Job Demands Are High.Journal of Educational Psychology, 99, 274-284.

Demerouti, Evangelia & Bakker, Alnold B. (1994). Towards a model of work engagement. p.209-223.

Hidayat, S., Prasetya, P.H., Handayani, V., Savitri, J., Azizah, E., Wardani, R., Rajagukguk, R.O. (2015). Panduan Penelitian Skripsi Sarjana Edisi Revisi – Juli 2015.Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Yrama Widya.

Kumar, R. (1999). Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginners. London: Sage Publication.

Schaufeli, W.& Salanova, M. (2007). Work Engagement: An Emerging Psychological Concept and Its Implication For Organization. Managing Social and Ethical Issues In Organization, 135-177.

(42)

64 Universitas Kristen Maranatha

Hariyanto. (2012). Pentingnya pendidikan bagi kehidupan. (Online). (http://belajarpsikologi.com/pentingnya-pendidikan-bagi-kehidupan/, diakses tanggal 20 Desember 2015).

Kidam, J. (2015). Pengaruh media animasi komputer terhadap hasil belajar sains

anak tunagrahita ringan. (Online).

(http://edhakidam.blogspot.co.id/2015/01/makalah-pengaruh-media-animasi-komputer.html, diakses tanggal 20 Desember 2015).

Kurniawati, D. (2013). Pentingnya pendidikan bagi semua orang. (Online). (http://www.bunghatta.ac.id/artikel-259-pentingnya-pendidikan-bagi-semua-orang.html, diakses tanggal 20 Desember 2015).

Setyawan, D. (2014). Pengertian guru menurut pakar pendidikan. (Online). (http://zonainfosemua.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html, diakses tanggal 22 Desember 2015).

Siahaan, R. (2011). Pengaruh Karateristik Individu dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Pada PT. Angkasa II Pura Bandar Udara Polonia Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Gambar

Tabel 3.1
Gambar 3.1
Gambar 1.1  Bagan Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa Kristen pada Universitas "X" di Bandung memiliki derajat dimensi ritualistik yang rendah walaupun perbedaan antara derajat tinggi dan dan

Tekanan fisik (physical demands) yaitu tekanan fisik yang dirasakan guru homeschooling “X” ketika sedang bekerja seperti guru ditutut untuk memiliki tubuh yang sehat

Bagi pihak SLB “X” Bandung disarankan untuk terus memberikan dukungan kepada ibu dengan anak cerebral palsy agar dapat meningkatkan resiliensi dan mempertahankan resiliensi

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran employee engagement pada karyawan bagian inspecting Pabrik “X” di Bandung.. Populasi penelitian ini adalah

Universitas Kristen Maranatha representative yang memiliki derajat resilience at work yang rendah memiliki salah satu atau kedua aspek antara attitudes dan skills yang

Hasil penelitian menunjukkan seluruh pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung memiliki work engagement pada tingkat sangat tinggi, tinggi

Guru SMP Yayasan ‘X’ di Bandung diharuskan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya, baik tugas utama sebagai guru dan tugas tambahan dari jabatan struktural maupun

Emotional engagement yang tinggi berarti siswa sering menghayati emosi positif berupa ketertarikan untuk berelasi dan berdiskusi bersama teman, tidak takut bertanya