• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

BERHARAP PADA 560

Catatan Kinerja DPR 2009—2010

   

Tim Penulis Rizky Argama Anfidja Mauli Pulungan

Eryanto Nugroho Fajri Nursyamsi

Farli Elnumeri Giri Ahmad Taufik Gita Putri Damayana Herni Sri Nurbayanti

Imam Nasima M. Nur Sholikin Ronald Rofiandri Siti Maryam Rodja

Editor

Amalia Puri Handayani

PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN INDONESIA

2011

(2)

KATA PENGANTAR 

Ungkapan “harap-harap cemas” mungkin tepat untuk menggambarkan perasaan banyak orang ketika menyaksikan 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru dilantik pada 1 Oktober 2009. Dengan usia rata-rata lebih muda daripada periode sebelumnya, harapan bisa saja terbersit ketika melihat fakta bahwa dari segi tingkat pendidikan, hampir seluruh anggota DPR baru adalah sarjana.

Namun, rasa cemas juga bisa hadir karena sebagian besar dari mereka ternyata minim berpengalaman politik. Profesi pengusaha, profesional, maupun figur penghibur yang cukup banyak mewarnai profil Anggota DPR sempat menimbulkan keraguan akan pelaksanaan tugas sebagai wakil rakyat.

Kita dapat berdiskusi sangat panjang soal harapan maupun kecemasan yang ada. Sampai pada satu titik, akhirnya, kita memang perlu merujuk pada aspek kinerja. Aspek itulah yang coba disajikan oleh catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini, khususnya kinerja di bidang legislasi.

Mencermati kinerja legislasi DPR pada 2010, ungkapan “harap-harap cemas”

dapat dengan mudah bergeser menjadi peringatan “harap cemas”. Sekadar dari aspek kuantitas, sudah banyak diketahui bahwa lagi-lagi DPR gagal mencapai target yang ditetapkan sendiri. DPR hanya berhasil menyelesaikan 16 RUU dari target sebanyak 70 RUU. Akan tetapi, tentunya, legislasi lebih dari sekadar soal jumlah.

PSHK juga melakukan analisis terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan, bahkan sudah dilakukan sejak 2006. Hal itu pun akan disajikan dalam catatan kinerja legislasi DPR selama 2009—2010.

Tentu saja, catatan ini tidak kami buat untuk menyebarkan kecemasan. Walau sedikit, masih ada harapan perbaikan terserak di sana-sini. Misalnya, ada beberapa upaya terobosan yang tercantum di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Adanya pengaturan tentang laporan kinerja beberapa alat kelengkapan, laporan kinerja anggota fraksi, ataupun pengaturan sifat keterbukaan rapat merupakan contoh beberapa peluang harapan perbaikan.

Inisiatif penulisan catatan atas kinerja legislasi DPR ini dimulai oleh PSHK sejak 2002. Seiring berjalannya waktu, ada banyak hal yang kami pelajari, baik dalam proses pemantauan maupun penulisan catatan. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan ucapan selamat dan terima kasih kepada Rizky Argama selaku koordinator penulisan catatan ini. Ucapan yang sama juga kami haturkan kepada Bivitri Susanti, Rival Gulam Ahmad, Erni Setyowati, Arif Zulkifli, Arianto Patunru, dan segenap Tim Penulis yang telah mendukung penulisan catatan ini. Kami juga sampaikan apresiasi kepada pihak Konrad Adenauer Stiftung yang telah bersedia ikut berkontribusi dalam mewujudkan kegiatan penulisan ini.

Bisa kami pastikan bahwa masih ada yang luput ataupun kurang dalam

catatan ini. Untuk itulah, setiap tahun, kami berupaya terus rutin luncurkan catatan

ini ke hadapan publik agar menjadi referensi yang dinamis dan terbuka terhadap

berbagai saran dan kritik.

(3)

Kami berharap penulisan catatan ini dapat menjadi salah satu kontribusi dalam upaya perbaikan parlemen di Indonesia.

Eryanto Nugroho Direktur Eksekutif

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

(4)

 

PENGANTAR TIM PENULIS 

Cerita soal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) barangkali menjadi salah satu tema cerita yang paling sering dipublikasikan di media massa, paling tidak dalam setahun terakhir. Itu pula yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang mencoba konsisten untuk menyajikan hasil evaluasi kerja para wakil rakyat setiap tahun kepada publik. Aktivitas mengkaji kinerja legislasi DPR telah dilakukan sejak 2002, sementara hasil kajian itu pertama kali diluncurkan pada 2003.

Pengalaman tujuh tahun mengawal proses legislasi di DPR, untuk kemudian menilai kualitas produknya, sedikit banyak berkontribusi pada beberapa perubahan yang terjadi di internal DPR. Dokumentasi proses yang semakin mudah diakses serta rapat panitia kerja yang tak lagi senantiasa tertutup adalah sebagian kecil perkembangan dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dapat dirasakan langsung masyarakat. Namun, perubahan-perubahan itu minor, belum mengubah perilaku DPR—baik institusi maupun mayoritas individu—menjadi seperti yang diharapkan masyarakat.

Genap sewindu semenjak riset pertama diterbitkan, PSHK menawarkan hasil kajian serupa dalam warna yang berbeda. Warna baru itu tidak hanya melalui kemasan yang lebih populer, tetapi juga perluasan lingkup analisis. Itu tak terlepas dari upaya PSHK mengajak semakin luas masyarakat untuk menolehkan kepalanya melihat apa yang telah dikerjakan wakil mereka di parlemen.

Minimnya capaian legislasi DPR selama Oktober 2009 hingga Desember 2010 terwarnai dengan aspek-aspek yang tak terkait langsung dengan pekaksanaan fungsi legislasi. Tanpa mengurangi porsi evaluasi terhadap kualitas produk legislasi itu, beberapa tema seputar kerja legislasi pun coba diangkat menjadi pokok bahasan tersendiri. Penggunaan anggaran legislasi yang menyimpang dan potensi pelanggaran hukum oleh legislator merupakan sekelumit ”isu sampingan” yang ternyata tak kalah penting untuk dibahas.

Rakyat, pemangku kepentingan dari proses pembentukan undang-undang (UU), semestinya mengetahui potensi dampak yang akan mereka rasakan apabila suatu produk legislasi lahir. Buku ini berusaha mengakomodasi kebutuhan itu melalui metode cost and benefit analysis, terutama ketika menilai kualitas produk legislasi. Indikator penilaian proses yang digunakan adalah dengan melihat apakah rangkaian tahapan pembentukan suatu UU dilakukan melalui proses yang bertanggung jawab sosial atau tidak. Secara sederhana, proses yang memenuhi tiga prinsip dasar (partisipatif, transparan, dan akuntabel) dapat dikatakan telah bertanggung jawab secara sosial. Sementara penilaian atas substansi dilakukan dengan melihat apakah suatu ketentuan berangkat dari masalah sosial dan secara logis merunut dari rangkaian fakta, penyebab masalah, hingga tawaran solusi.

Catatan PSHK terhadap kinerja legislasi kali ini diawali dengan gambaran

besar DPR setahun terakhir (2009—2010). Sebagian besar muka baru yang

menguasai keanggotaan parlemen periode empat tahun ke depan tentunya

(5)

berpengaruh pada kualitas performa lembaga. Komposisi fraksi yang mempengaruhi konstelasi politik hingga karakter keluaran legislasi pada tahun pertama pengabdian mereka menjadi pembuka catatan ini.

Dinamika relasi kekuasaan antarlembaga yang terjadi di dalam negara demokrasi menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk didiskusikan. Analisis tahunan PSHK pun tak pernah lepas membahasnya sebagai satu cerita tersendiri.

Bab kedua buku ini mengulas peristiwa-peristiwa menarik seputar hubungan DPR sebagai lembaga legislatif dengan institusi-institusi pemegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif.

Selanjutnya, bab ketiga mengupas sisi internal organisasi DPR dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi kelembagaan berdasarkan peraturan tentang lembaga-lembaga perwakilan. Realisasi pelaksanaan mekanisme pertanggungjawaban anggota, efektivitas peran Badan Kehormatan (BK), dan seberapa besar peluang Anggota DPR mengajukan RUU secara individu adalah sebagian cerita yang terhimpun dalam bagian ini.

Tim Penulis menyorot sebagian tingkah kontroversial wakil rakyat setahun ke belakang melalui perspektif analisis dalam dua bab berikutnya. Pada bab keempat, pembaca disuguhkan daftar lengkap aktivitas kunjungan Anggota DPR ke luar negeri (atau media memperkenalkannya dengan istilah ”studi banding”) yang sebagian di antaranya barangkali belum terpublikasi di media. Tak hanya menyajikan daftar, bab itu juga memperbandingkan praktik kunjungan ke luar negeri yang terjadi di lapangan dengan aturan normatif terkait anggaran legislasi.

Analisis yang sama juga dilakukan terhadap praktik ”buang-buang uang” lainnya, yakni usulan dana aspirasi, rumah aspirasi, dan pembangunan gedung baru yang diulas dalam bab kelima.

Pada bab keenam, topik tentang keterkaitan antara politik dan korupsi yang kian menguat dibagi menjadi dua pokok pembahasan. Pertama, hal itu terkait peluang praktik menyimpang dalam alur legislasi—yang dapat dilihat, antara lain dalam kasus penghilangan atau pemunculan ayat RUU secara ilegal. Kedua, banyaknya anggota atau mantan Anggota DPR dinyatakan terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi.

Masih terkait pelanggaran hukum, bab ketujuh membahas pelanggaran UU oleh pembentuk UU itu sendiri, yaitu DPR maupun presiden. Setidaknya, terdapat tiga hal yang dapat menjelaskan adanya fakta pelanggaran-pelanggaran itu, yaitu terkait ketentuan seleksi pejabat lembaga negara, terkait pembentukan lembaga negara baru, dan terkait pembentukan peraturan pelaksana atas amanat UU.

Bab kedelapan secara lengkap menyorot substansi maupun proses pembentukan setiap UU yang telah disahkan sepanjang tahun pertama DPR periode 2009—2014. Dari total 16 UU yang dihasilkan selama setahun, analisis terhadap 11 UU di antaranya disertakan dalam catatan ini, tidak termasuk 5 UU terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perspektif analisis yang digunakan berfokus pada dampak yang berpotensi dirasakan masyarakat sebagai akibat disahkannya sebuah UU. Di bagian akhir, terlampir pula secara lengkap tabel yang digunakan Tim Penulis dalam menganalisis kedua belas UU.

Terakhir, pada bab kesembilan, Tim Penulis menyimpulkan kondisi umum

kinerja DPR setahun terakhir, khususnya terkait pelaksanaan fungsi legislasi. Di

samping itu, seperti yang selalu dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, PSHK

juga menyertakan catatan perbaikan sebagai rekomendasi untuk kinerja DPR ke

(6)

depan. Sebagai akhir bab sekaligus penutup catatan, Tim Penulis mencoba memprediksi serta menyajikan hasil bacaan PSHK terhadap konteks legislasi yang mungkin terjadi pada 2011.

Kehadiran buku ini semoga turut mengubah perilaku kita, masyarakat.

Semoga perilaku ”tak mau tahu atau sekadar berharap” terhadap kinerja wakil kita di parlemen menjadi ”peduli dan kemudian berpartisipasi” dalam segala proses yang akan mempengaruhi kepentingan rakyat.

Kita harus terlibat karena kita akan terikat.

(7)

 

DAFTAR ISI 

KATA PENGANTAR... 1 

PENGANTAR TIM PENULIS ... 4 

DAFTAR TABEL... 9 

DAFTAR DIAGRAM... 10 

RUPA PARLEMEN KINI ... 11 

A. DPR Baru, Perilaku Lama...11  

B. Prolegnas dan Realisasinya ...14  

C. Karakter Legislasi 2010...26  

RELASI DPR DENGAN LEMBAGA LAIN... 28 

A. Relasi DPR‐Eksekutif: Pelaksanaan Fungsi Minim Substansi ...28  

B. Relasi DPR dan DPD: Periode Kisruh Prosedur...39  

C. Relasi DPR dan KPK: Tenang Menimbun Dendam...41  

D. Relasi MK dan DPR: Mengusung Pengawasan dan Perimbangan...44  

MENYELAMI DPR ... 52 

A. Menagih Akuntabilitas...52  

B. Independensi Anggota dan Keterwakilan Perempuan ...55  

C. Keterkaitan antara Kapasitas dan Kualitas ...59  

D. Efektivitas Peran Badan Kehormatan...61  

E. Amnesia DPR Soal Keterbukaan Informasi...64  

F. Kontribusi Melalui Inisiatif Individu...72  

STUDI BANDING MINIM MAKNA ... 74 

A. Studi Banding untuk Urusan Legislasi...75  

B. Pembelokan Tafsir Aturan...76  

C. Tak Menambah Kualitas...77  

D. Publikasi Minimal ...79  

UANG RAKYAT UNTUK WAKILNYA... 81 

A. Pembangunan Gedung DPR ...81  

B. Dana Aspirasi...82  

C. Rumah Aspirasi ...83  

KORUPSI BERPOLITIK ... 86 

A. Ruang Negosiasi Korupsi Politik ...86  

B. Celah Korupsi Legislasi ...88  

KERANCUAN PEMBUAT DAN PELANGGAR UNDANG‐UNDANG ... 91 

A. Pelanggaran UUD 1945 Melalui Proses Seleksi Anggota KY ...91  

B. Tersanderanya Wakil Rakyat oleh Birokrat...94  

C. Potensi Keterlambatan Pembuatan Peraturan Pemerintah ...96  

KUPAS UNDANG‐UNDANG 2010 ... 99 

(8)

A. UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU  No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Cicak Lawan Buaya, 

Bukan Kegentingan yang Memaksa...99  

B. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi:  Berangkat dari Kegagalan Negara ...103  

C. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian  Uang: dari Perlawanan Balik sampai Pembuktian Terbalik ...106  

D. UU NO. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan: Pemenuhan Hak Pejabat Tanpa Batasan Jelas ...109  

E. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya: Perubahan Penuh Tanda Tanya ...113  

F. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka: Kerancuan Konsep Kepanduan...115  

G. UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura: Dari Kekhasan Hingga Kebangsaan...120  

H. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Pertanyaan  Masyarakat Tidak Terjawab ...123  

I. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik:  Awal Pemenuhan Janji...127  

J. UU Pengesahan Perjanjian Internasional: DPR Bukan Tukang Stempel...131  

AKHIR DARI CATATAN... 139 

A. Berharap pada 560 Wakil Rakyat ...139  

B. Prediksi Legislasi 2011 ...144  

DAFTAR PUSTAKA... 145 

LAMPIRAN 1 ... 153 

LAMPIRAN 2 ... 190 

(9)

 

DAFTAR TABEL 

Tabel 1 Komposisi Fraksi dan Pilihan Sikap dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penetapan Kesimpulan Laporan Panitia Angket DPR dalam Kasus Bank

Century...13 

Tabel 2 Daftar Peraturan yang Bertumpang-tindih...15 

Tabel 3 Daftar Penambahan Prolegnas RUU Prioritas 2010* ...20 

Tabel 4 Daftar RUU yang Disahkan pada 2010 ...23 

Tabel 5 Perolehan Kursi pada Pemilu 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin ...57 

Tabel 6 Komposisi Keterwakilan Perempuan dalam Pemimpin Alat Kelengkapan..58 

Tabel 7 Latar Belakang Pekerjaan Anggota DPR Periode 2009—2014...60 

Tabel 8 Catatan Perbandingan Substansi UU KIP dan peraturan KIP DPR ...66 

Tabel 9 Daftar Informasi Publik yang Belum Terakomodasi dalam Peraturan KIP DPR Berdasarkan UU MD3 dan Tata Tertib DPR...71 

Tabel 10 Daftar Kunjungan ke Luar Negeri dalam Rangka Studi Banding Alat Kelengkapan DPR Periode 2009—2014 ...74 

Tabel 11 Status Daftar RUU dengan Studi Banding ...76 

Tabel 12 Perbandingan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009...101 

Tabel 13 Perbandingan UU No. 5 Tahun 2010 dan UU No. 22 Tahun 2001...105 

(10)

DAFTAR DIAGRAM 

Diagram 1 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2009—2014...12 

Diagram 2 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2004—2009...11 

Diagram 3 Deskripsi Pembidangan RUU...21 

Diagram 4 Komposisi RUU Perbuahan (Amandemen) dan RUU Bari ...22 

Diagram 5 Komposisi Pembagian Sumber Usulan RUU Prolegnas Prioritas 2010 ....22 

Diagram 6 Pembidangan Substansi Prolegnas RUU Prioritas 2010...22 

Diagram 7 Komposisi Keanggotaan Tim Pengawas...30 

Diagram 8 Putusan MK per 20 Januari 2011...45 

Diagram 9 Data Pelaku Korupsi 2004—2009 ...87 

Diagram 10 Alur Penghilangan Ayat Tembakau dalam UU Kesehatan ...89 

 

(11)

 

RUPA PARLEMEN KINI 

“…saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh- sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan…”

Bunyi sumpah tersebut bergema di gedung kura-kura pada 1 Oktober 2009.

Ada 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 132 Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengucapkan sumpah itu bersama-sama dalam proses pelantikan megah yang menghabiskan biaya Rp11 miliar.

1

Tidaklah mengherankan bila sebagian besar Anggota DPR yang baru dilantik tidak merasa asing hadir di Senayan. Sebanyak 63,7% anggota yang terpilih ternyata warga Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Bahkan, 45,5% tinggal di DKI Jakarta (kompas.com, diakses pada 19 Desember 2009). Namun, berdomisili di ibu kota tak serta-merta menjamin kemampuan politik yang mumpuni. Lebih dari 60% dari mereka ternyata minim pengalaman politik di tingkat politik maupun daerah. Ada banyak harapan terletak di pundak wakil rakyat terpilih. Dengan usia rata-rata 48 tahun—lebih muda dari periode sebelumnya yang 50 tahun (kompas.com, diakses pada 18 Desember 2009), para wakil rakyat terpilih periode ini sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai cerminan generasi peralihan.

2

A. DPR Baru, Perilaku Lama 

DPR periode baru (2009—2014) memiliki komposisi dan konstalasi politik baru. Fraksi Partai Demokrat (FPD)—yang pada periode DPR sebelumnya (2004—

2009) hanya menduduki 57 kursi)—pada priode ini (2009—2014) mampu memperoleh 148 kursi dari 560 yang ada. Disusul oleh Fraksi Partai Golkar (FPG) sebanyak 106; Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) sebanyak 94;

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) sebanyak 57; Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) sebanyak 46; Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) sebanyak 38;

1 Menurut Indonesia Budget Center (IBC), Komisi Pemilihan Umum menganggarkan Rp11 miliar, Sekretariat Jenderal DPR menganggarkan Rp28.504.619.000, dan Sekretariat Jenderal DPD menganggarkan Rp6.545.000.000 untuk pelantikan tersebut. Dengan demikian, total biaya pelantikan tersebut bisa mencapai Rp46 miliar lebih. Lihat “Biaya Pelantikan DPR-DPD Rp.46 Miliar”, Vivanews.com, 29 September 2009, http://politik.vivanews.com/news/read/93048- biaya_pelantikan_dpr_dpd_rp_46_miliar, diakses pada 29 Januari 2011.

2 Dari segi pendidikan, 91% adalah sarjana. Bahkan, hampir separuhnya sudah menyelesaikan pendidikan pascasarjana. Jumlah keterwakilan perempuan adalah 17,7%, sementara pada periode sebelumnya 11,8%.

(12)

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) sebanyak 28; Fraksi Partai Gerindra sebanyak 26; dan Fraksi Partai Hanura sebanyak 17.

Diagram 1 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2009—2014

Catatan: Pada periode 2004—2009, Fraksi

Partai Golkar (FPG) terdiri dari Partai Golkar dan Fraksi Partai Karya Peduli Bangsa.

Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Pelopor, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia Marhaenis

Komposisi baru tersebut tentu di atas kertas membuat Partai Demokrat—

yang merupakan partai pemerintah dengan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presidennya—seolah memiliki kekuatan politik yang sangat dominan.

Apalagi, dalam hal penyusunan kabinet, Presiden SBY mengakomodasi representasi dari enam partai politik (parpol) yang mendukung paket SBY-Boediono. Dalam kabinet bentukan SBY-Boediono, unsur parpol terbanyak terdiri dari Partai Demokrat sebanyak enam orang, disusul PKS empat orang, PAN tiga orang, Golkar tiga orang, PPP dua orang, dan PKB dua orang.

3

Ujian Pertama Koalisi 

Dukungan partai koalisi tersebut menghadapi ujian pertamanya dalam proses voting tahap kedua Rapat Paripurna DPR tentang kasus Bank Century pada 3 Maret 2010. Dari tiga opsi (opsi A, B dan C)

4

yang ada, akhirnya voting dimenangkan oleh pendukung opsi C yang berseberangan dengan sikap Partai Demokrat.

Secara sederhana, opsi C adalah sikap yang memandang bahwa ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam penetapan kebijakan bail out Bank Century. Pelanggaran itu juga melahirkan penyalahgunaan wewenang hingga terjadi dugaan tindak pidana, mulai dari tindak pidana umum, tindak pidana perbankan, tindak pidana pencucian uang, hingga tindak pidana korupsi.

Sementara itu, opsi A menilai bahwa kebijakan penyelamatan Bank Century

3 Dari 34 orang menteri, ada 20 orang berasal dari partai politik, 11 kalangan profesional, dan 3 orang merupakan anggota tim sukses SBY.

4 Opsi B telah dihapuskan pada Rapat Panitia Khusus sebelum pelaksanaan voting.

148 

106  94 

57  46 

38 28 26 17  Demokrat  Golkar  PDIP  PKS  PAN  PPP  PKB  Gerindra  Hanura 

560  560 

546

Diagram 2 Komposisi Fraksi di DPR Periode 2004—

2009

127

109 57 57

53 52

45 13 13 20

FPG FPDIP FPPP FPD FPAN FKB FPKS FBR FPDS

(13)

merupakan kebijakan yang tepat. Kemungkinan pelanggaran dilakukan oleh pemilik Bank Century, yaitu Robert Tantular, dan para kroninya.

Opsi C akhirnya dipilih oleh 325 anggota dari 537 anggota yang hadir.

Sementara itu, opsi A dipilih oleh 212 Anggota DPR (antaranews.com, diakses pada 3 Feruari 2011). Hasil itu tentunya menarik jika melihat komposisi kekuatan fraksi dari partai koalisi.

Tabel 1 Komposisi Fraksi dan Pilihan Sikap dalam Rapat Paripurna DPR tentang Penetapan Kesimpulan Laporan Panitia Angket DPR dalam Kasus Bank Century

Fraksi Jumlah Anggota Opsi A Opsi C

Demokrat * 148 148 -

Golkar* 106 - 104 (dua orang

anggota tidak hadir)

PDIP 94 - 90 (empat orang

tidak hadir)

PKS* 57 - 56 (satu orang

tidak hadir)

PAN* 46 39 (tujuh orang

tidak hadir)

PPP* 38 - 32

PKB* 28 25 1 (1 orang adalah

Lily Wahid, 2 orang tidak hadir)

Gerindra 26 25 (1 orang tidak

hadir)

Hanura 17 17

Total Suara 212 325

* Partai anggota koalisi pendukung paket SBY-Boediono

Jika hanya dilihat dari aspek pengaruh politik, hasil pemungutan suara tersebut tentunya menjadi kenyataan pahit bagi Partai Demokrat. Jumlah kursi yang meningkat drastis pada periode masa jabatan DPR 2009—2014 terbukti tidak serta- merta menimbulkan adanya dampak signifikan dalam pengaruh politik di DPR.

Partai Demokrat semakin jelas terlihat kalah mahir dalam politik ketika dua bulan pascapemungutan-suara terkait Bank Century, Presiden SBY membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian. Presiden SBY menegaskan bahwa Setgab hanya merupakan sarana komunikasi dan konsultasi antarparpol koalisi dan presiden selaku Ketua Setgab tidak mendelegasikan kewenangan pada Ketua Harian. Namun, tidak dapat dihindari kesan kompromi hasil negosiasi akibat kalah dalam pengaruh politik riil di DPR.

Situasi dan konstalasi tersebut pasti akan terus berubah. Pemungutan suara

penyikapan kasus Bank Century hanyalah satu tonggak awal dalam mengukur

(14)

tarik-menarik kepentingan politik antarpartai-politik di DPR periode 2009—2014.

Citra pada Awal Periode 

Intensitas dan ingar-bingar Panitia Angket kasus Bank Century mewarnai masa awal kerja Anggota DPR periode 2009—2014. Kehebohan tanpa manfaat yang jelas membuat kinerja DPR terlihat buruk.

Kinerja legislasi, sekadar dari aspek kuantitas, sangatlah jauh dari memuaskan. Saat ini, total RUU Prioritas 2010 bertambah sehingga menjadi 70 RUU.

Target itu dinilai tidak realistis jika melihat preseden capaian DPR periode 2004—

2009 yang hanya mampu menyelesaikan rata-rata 38,6 UU per tahun. Sampai akhir 2010, terbukti DPR hanya mampu menyelesaikan 17 UU dari 70 UU yang ditargetkan.

Di tengah kinerja rendah tersebut, DPR malah ramai dengan berbagai hal kontraproduktif. Sebut saja soal dana aspirasi

5

, rumah aspirasi

6

, pelesiran berbungkus studi banding

7

, ataupun rencana pembangunan gedung baru. Semua hal itu menambah buruk citra DPR di mata publik.

Khusus terkait kinerja legislasi, perlu diingat bahwa kini Pasal 141 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR membatasi durasi pembahasan RUU, yaitu dalam jangka waktu paling lama dua kali masa sidang dengan masa perpanjangan waktu satu kali masa sidang. Untuk memenuhinya, benar-benar dibutuhkan perencanaan, persiapan, dan proses pembahasan yang baik dengan tetap mengedepankan kualitas produk UU yang dihasilkan. DPR periode 2009—2014 benar-benar harus meningkatkan kinerjanya. Bukan soal memperbaiki citra, tapi mereka harus membangun keterwakilan yang sejati dalam negara demokrasi.

B. Prolegnas dan Realisasinya 

Sebanyak 560 orang Anggota DPR hasil Pemilihan Umum (pemilu) 2009 telah menjalani satu tahun sidang per 15 Agustus 2010. Artinya, sejak dilantik secara resmi pada 1 Oktober 2009, Anggota DPR periode 2009—2014 telah menempuh

5 Usulan dana aspirasi sebesar Rp15 miliar per Anggota DPR dimotori Fraksi Partai Golkar. Ide itu diadopsi dari berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Filipina, Afrika Selatan, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Dana semacam itu disebut pork barrel.

6 Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) mengusulkan pembangunan rumah aspirasi bagi setiap Anggota DPR. Setiap anggota diusulkan untuk diberikan dana sebesar Rp200 juta sehingga total untuk 560 anggota mencapai Rp112 miliar. Hal itu jelas menyimpang dari konsep awal, yaitu Rumah Aspirasi merupakan suatu mekanisme yang bersifat alternatif (pilihan) dan bentuknya adalah Kantor Bersama; bukan per anggota. Selama ini, DPR belum optimal dalam pelaksanaan Kunjungan Kerja yang telah dianggarkan sebesar Rp142 juta/tahun per-anggota. Sebelum melaksanakan opsi pembentukan Rumah Aspirasi, DPR perlu memperbaiki terlebih dahulu berbagai aspek dalam kunjungan kerja, seperti efektivitas kunjungan kerja dan akuntabilitas penggunaan dananya.

7 Biaya studi banding ke luar negeri bisa menghabiskan biaya hingga Rp1,7 miliar. DPR periode 2009—2014 telah melakukan kunjungan ke 14 negara dengan akuntabilitas publik yang minim.

Hanya Panja RUU Hortikultura di Komisi IV yang telah menyusun laporan hasil kunjungan kerja ke Selandia Baru pada 17—23 Agustus 2010 dan ke Belanda pada 14—19 September 2010. Laporan itu pun tidak komprehensif dan belum dimuat dalam situs resmi DPR.

(15)

waktu sekitar 9,5 bulan yang terdiri atas masa sidang dan masa reses. Dalam hitungan yang berbeda, mereka telah melewati 2010 dan tiga bulan pada 2009.

Selama kurun waktu tersebut, perjalanan DPR tidak lepas dari berbagai sorotan dan kritik publik yang ternyata belakangan makin deras. Penyebabnya beragam, mulai dari biaya pelantikan yang sangat mahal, usulan dana aspirasi yang disusul rumah aspirasi, rencana pembangunan gedung baru mencapai triliunan rupiah, hingga maraknya kunjungan ke luar negeri dalam rangka studi banding.

Sikap tidak puas masyarakat tertuju pula pada kinerja legislasi DPR. Target Prolegnas RUU Prioritas 2010 sebanyak 70 RUU ternyata tidak tercapai. Menurut sebagian kalangan, kenyataan itu kontras dengan fungsi pengawasan yang terlihat begitu masif. Tercatat, DPR sudah membentuk 32 Panitia Kerja (Panja) untuk melaksanakan fungsi pengawasan (republika.co.id, diakses pada 17 Januari 2011).

Pembentukan secara sembarangan tanpa memperhatikan kaidah dan proses harmonisasi juga memperburuk kualitas UU yang dihasilkan. Terbukti, ditemukan 70% UU di Indonesia tumpang-tindih dan saling bertabrakan, baik dengan UUD 1945 maupun UU lain. Akibatnya, UU itu menjadi sulit diterapkan (Suara Pembaruan, 24 Agustus 2010).

Tabel 2 Daftar Peraturan yang Bertumpang-tindih

Materi Undang-Undang

Ketentuan Sidang Bersama

DPR dan DPD Diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009, tetapi tidak ada di UUD 1945.

Pembayaran pensiun tenaga

kerja UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sama-sama mengatur sehingga dunia usaha mengeluarkan biaya dua kali untuk tenaga kerja

Komponen kesehatan dan

perumahan tenaga kerja UU Ketenagakerjaan tumpang tindih dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Investasi pertambangan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan UU Perpajakan dan Kontrak Bagi Hasil. Perlu Peraturan Pemerintah (PP) mengenai peralihan kontrak tambang berbentuk kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, atau surat izin pertambangan rakyat menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin

Pertambangan Rakyat (IPR.

Sistem perencanaan

pembangunan daerah UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan (di daerah) dengan Peraturan Daerah (Perda), sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyatakan cukup dengan Peraturan Gubernur.

Pembina kepegawaian UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok

(16)

Materi Undang-Undang

Kepegawaian menyebut Pembina kepegawaian (di daerah) adalah kepala daerah, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pembina kepegawaian adalah

Sekretaris Daerah (Sekda).

Kewenangan eksplorasi

sumber daya kelautan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Pemda berwenang

mengeksplorasi laut sepanjang 12 mil dari garis pantai termasuk pelabuhan di atasnya. Hal itu bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang menyebutkan

pendayagunaan pantai untuk pelabuhan menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan melalui PT Pelindo.

Pertanahan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tidak berfungsi atau bertentangan dengan peraturan perundang- undangan lain karena mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama.

Semua fungsi DPR sama penting. Namun, sebagai konsekuensi lembaga legislatif, tentunya penekanan ada pada fungsi pembentukan UU. Persoalannya adalah fungsi pengawasan cukup kencang, tetapi tidak diikuti capaian kinerja legislasi secara signifikan. Dengan kata lain, dinamika dan determinasi fungsi pengawasan DPR pada tahun pertama tidak berimbang. Bahkan, tidak terwujudkan pula pada pelaksanaan fungsi legislasi yang setidaknya bisa dilihat pada tingkat kedisiplinan dan kontribusi.

Upaya memperbaiki produk legislasi menjadi perhatian DPR pula agar tidak mudah masuk dalam daftar judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan, tidak tanggung-tanggung, seperti yang diberitakan hukumonline.com pada 15 Oktober 2009, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan bahwa DPR memperkenalkan sistem baru dalam rangkaian proses penyusunan legislasi. Sebelum sebuah UU disahkan, DPR berencana mengkonsultasikannya dengan dengan MK. Tujuannya adalah pekerjaan panjang Anggota DPR dalam menyusun UU tidak dibatalkan begitu saja oleh MK. Tentu saja, ide tersebut tidak bersambut baik. Kedudukan MK sebenarnya sudah jelas dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya ayat (1) huruf a, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945.

Apabila mekanisme konsultasi seperti yang disampaikan Marzuki Alie berjalan, tanpa disadari, telah terjadi pergerakan orbit yang pada akhirnya mengubah relasi antara DPR dan MK. Tentu saja, perubahan relasi itu berdampak tersendiri. Salah satu yang dikhawatirkan adalah Hakim Konstitusi yang dilibatkan dalam mekanisme konsultasi itu tersandera terhadap pendapatnya sendiri.

Dampak lain adalah keberadaan MK yang memasuki orbit DPR, khususnya

fungsi legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945, Pasal 32 ayat (1)

(17)

huruf a UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, dan Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, dan huruf g UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, ada pula potensi akan dampak yang lebih serius. Tindakan DPR menempatkan MK dalam orbit legislasi dapat menjadi legitimasi atau pembenaran apabila ada pihak yang mempersoalkan materi UU dan mengajukan permohonan judicial review. DPR dapat berkilah bahwa UU itu sebenarnya telah dikonsultasikan dengan MK. Dengan kata lain, “label” konstitusionalnya telah bersenyawa dan melekat pada UU yang dipersoalkan. Dengan demikian, DPR dapat saja berkesimpulan bahwa tidak ada substansi UU yang layak dipermasalahkan.

Sepanjang 2010, DPR telah menghasilkan 16 UU. Artinya, dari 70 RUU Prioritas 2010, tersisa 54 RUU yang statusnya tidak tuntas dibahas atau mungkin saja naskah akademik maupun naskah RUU belum disiapkan.

Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2010 yang ditetapkan melalui Keputusan DPR Nomor: 41B/DPR RI/I/2009-2010 disusun berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2010 dan kebutuhan hukum masyarakat. Kemudian, DPR dan pemerintah menyepakati sejumlah arah dan kebijakan yang mendasari penentuan RUU Prioritas 2010 sebagai berikut.

1. Menata sistem hukum nasional melalui penyempurnaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat tuntutan reformasi di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, serta pelaksanaan amanat UUD 1945.

2. Mengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman untuk mempercepat reformasi, mendukung pemilihan ekonomi, mendukung percepatan reformasi birokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan percepatan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kejahatan transnasional.

3. Menata sistem politik nasional dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi. Di dalamnya menyangkut penguatan kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan perangkat kelembagaan terkait, seperti partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, lembaga pengawas pemilu, serta pengaturan teknis pemilu.

4. Mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dengan memprioritaskan pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi.

Secara kuantitas, capaian 16 UU bukan saja tidak memenuhi target awal, tetapi jauh dari jumlah proporsional untuk menjawab dan menindaklanjuti empat arah kebijakan tersebut. Model evaluasi minimal yang bisa dilakukan, yaitu memeriksa:

1. sebaran UU (di luar UU kumulatif terbuka) dan paling banyak tertuju pada arah yang mana; dan

2. arah kebijakan mana yang belum terpenuhi.

(18)

Sebaran UU yang digunakan adalah UU nonkumulatif terbuka. Dari 16 UU, terdapat delapan UU kumulatif terbuka, antara lain:

1. UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010;

2. UU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008;  

3. UU tentang Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010;  

4. UU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;  

5. UU tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty Between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore Relating to The Delimitation of The Territorial Seas of The Two Countries in The Western Part of The Strait of Singapore, 2009);  

6. UU tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-pertuan Negara Brunei Darussalam tentang Kerjasama di Bidang Pertahanan (Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of His Majesty The Sultan and Yang Di-pertuan of Brunei Darussalam on Defence Cooperation);  

7. UU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009; dan  

8. UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.

Dengan demikian, sisanya merupakan UU kumulatif terbuka yang ditentukan relevansinya dengan empat arah kebijakan Prolegnas RUU Prioritas 2010. Adapun, delapan UU yang dimaksud, yaitu:

1. UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi;

2. UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

3. UU tentang Keprotokolan;

4. UU tentang Cagar Budaya;

5. UU tentang Gerakan Pramuka;

6. UU tentang Hortikultura;

7. UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; dan

8. UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.  

Terkait penataan sistem politik nasional, DPR dan pemerintah sebenarnya telah menempatkan perubahan paket UU politik dalam RUU Prioritas 2010.

Setidaknya ada empat RUU, yaitu:

1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;

2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD;

3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; serta

(19)

4. RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Dari empat RUU tersebut, hanya RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang tuntas dibahas dan disetujui bersama sebagai UU pada Rapat Paripurna DPR pada 16 Desember 2010. Dengan demikian, penyelesaian target legislasi di sektor politik hanya tertuju pada pengaturan partai politik. Artinya, pada 2010, DPR dan pemerintah gagal melengkapi dan melanjutkan desain sistem politik nasional secara keseluruhan mencakup pihak-pihak di luar partai politik, misalnya parlemen, lembaga penyelenggara, dan pengawas pemilu.

Terkait dengan pembangunan di sektor pertanian, infrastruktur, dan energi, pada 2010, DPR dan pemerintah menyelesaikan pembahasan RUU tentang Hortikultura dan RUU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Capaian dua RUU itu harus diakui masih sedikit dibandingkan RUU (pada arah dan kebijakan yang sama) yang turut diprogramkan pada prioritas 2010, yaitu:

1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;

dan

3. RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan.

Sementara itu, produk legislasi 2010 yang bisa ditempatkan dalam ruang lingkup penyempurnaan sistem hukum nasional, khususnya dalam rangka mempercepat tuntutan reformasi hukum, yaitu:

1. UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi; dan

2. UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Lantas, ketiga RUU lain, yaitu UU tentang Keprotokolan, UU tentang Cagar Budaya, dan UU tentang Gerakan Pramuka tidak terhubung dengan salah satu arah kebijakan. Hal itu menjadi persoalan tersendiri karena menjadi indikator yang mengkonfirmasi adanya sejumlah RUU yang diprioritaskan pada 2010, tetapi statusnya lepas dari arah dan kebijakan. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa penempatan tiga RUU itu pada Prioritas 2010 merupakan kecerobohan karena tidak ada landasan yang jelas dari aspek perencanaan legislasi.

Agenda mengganti peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman adalah arah dan kebijakan yang tidak terwujud sama sekali dari capaian Prolegnas RUU Prioritas 2010. Di satu sisi, RUU tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana dan RUU tentang Kitab UU Hukum Pidana adalah contoh tuntutan riil penyesuaian perangkat hukum pidana dengan konteks kekinian. Di sisi lain, persiapan merevisi kedua RUU itu sudah lama dilakukan. Hal itu mengkonfirmasi ulang bahwa prioritas tidak sepenuhnya dijadikan panduan.

Tiga Kali Penambahan  

Selain pembentukan dan pengisian pimpinan serta anggota alat kelengkapan, capaian DPR pada periode awal (2010) adalah menetapkan 247 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas 2010—2014. Kemudian, DPR menetapkan 70 RUU Prioritas 2010.

Jumlah RUU Prolegnas 2010—2014 lebih sedikit dibandingkan Prolegnas

2005—2009 yang menargetkan 284 RUU. Sementara itu, prioritas penyelesaian RUU

(20)

pada tahun pertama (2010) berjumlah 70 RUU. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan tahun 2005, yaitu 55 RUU.

Awalnya, penetapan target Prolegnas RUU Prioritas 2010 berjumlah 55 RUU.

Namun, terhitung sejak Masa Sidang I dan II, telah terjadi tiga kali perubahan, yaitu satu kali pada Desember 2009 (menjadi 58 RUU) dan dua kali pada Februari 2010 sehingga total bertambah menjadi 70 RUU.

Tabel 3 Daftar Penambahan Prolegnas RUU Prioritas 2010*

3 Desember 2009 (Masa Sidang I) Usulan DPR

No Nama RUU

1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

3. RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan

10 Februari 2010 (Masa Sidang II) Usulan DPR

No Nama RUU

1. RUU tentang Hortikultura

2. RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro

3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

4. RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 5. RUU tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi Usulan Pemerintah

No Nama RUU

1. RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

2. RUU tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal 3. RUU tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

4. RUU tentang Pengurusan Piutang Negara dan Daerah (sebagai pengganti RUU tentang Perubahan atas UU No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara

5. RUU tentang Akuntan Publik

23 Februari 2010 (Masa Sidang II) Usulan DPR

No Nama RUU

1. RUU tentang Desa Usulan Pemerintah

No Nama RUU

(21)

1. RUU tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

* Peresmian penambahan 12 RUU Prioritas 2010 dalam Rapat Paripurna DPR pada 23 Februari 2010

Tidak hanya menambah 15 RUU dalam daftar RUU Prioritas 2010, pemerintah dan DPR—melalui pertemuan konsultasi pada 15 Juli 2010—

menetapkan tiga RUU yang lebih diprioritaskan dan harus bisa dituntaskan selambat-lambatnya akhir 2010. Ketiga RUU itu, yakni:

- RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan;

- RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; dan

- RUU tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009.

Diagram 3 Deskripsi Pembidangan RUU

18%

13%

28%

6% 1%

6%

10%

8% 3% 3% 4%

Kluster Poli]k dan Hukum  Kluster Sosial dan Budaya  Kluster Ekonomi, Keuangan,  Industri, dan Perdagangan  Kluster Hankam 

Kluster Tata Kelola SDA  Kluster Otonomi Daerah   Kluster Kewarganegaraan dan  Perempuan 

Kategori Infrastruktur  Kluster An] Korupsi  Kluster Birokrasi  Kluster Dan Lain‐lain 

(22)

Diagram 4 Komposisi RUU Perbuahan (Amandemen) dan RUU Bari

Diagram 5 Komposisi Pembagian Sumber Usulan RUU Prolegnas Prioritas 2010

Diagram 6 Pembidangan Substansi Prolegnas RUU Prioritas 2010

Pengulangan Kesalahan 

Jika dibandingkan pada tahun pertama keanggotaan DPR periode 2004—

2009, capaian kinerja legislasi pada 2010 secara kuantitas meningkat sedikit sekali.

Pada 2010, DPR dan pemerintah berhasil menuntaskan 16 RUU, termasuk UU APBN, perubahan, dan pertanggungjawabannya, serta perjanjian bilateral.

Sementara itu, pada 2005, hanya 14 RUU yang berhasil diselesaikan.

54% 46%

RUU Perubahan  (amandemen)  RUU Baru 

54%

46%

RUU Usul Inisia]f DPR (38  RUU) 

RUU Usul Inisia]f Pemerintah  (32 RUU) 

17%

54% 29%

Sektor Poli]k, Hukum, dan HAM (12  RUU) 

Sektor Ekonomi, Keuangan, Industri  (20 RUU) 

Sektor Kesejahteraan Rakyat (38  RUU) 

(23)

Tabel 4 Daftar RUU yang Disahkan pada 2010

NO. NOMOR DAN

TAHUN TENTANG

1. 47 Tahun 2009 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010

2. 1 Tahun 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008

3. 2 Tahun 2010 Perubahan atas UU No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010

4. 3 Tahun 2010 Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5. 4 Tahun 2010 Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty Between The Republic of Indonesia and The Republic of Singapore Relating to The Delimitation of The Territorial Seas of The Two Countries in The Western Part of The Strait of Singapore, 2009) 6. 5 Tahun 2010 Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi 7. 6 Tahun 2010 Pengesahan Memorandum Saling Pengertian antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri

Baginda Sultan dan Yang Di-pertuan Negara Brunei Darussalam tentang Kerjasama di Bidang

Pertahanan (Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of His Majesty The Sultan and Yang Di- pertuan of Brunei Darussalam on Defence Cooperation) 8. 7 Tahun 2010 Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009

9. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

10. 9 Tahun 2010 Keprotokolan

11. 10 Tahun 2010 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011

12. 11 Tahun 2010 Cagar Budaya 13. 12 Tahun 2010 Gerakan Pramuka 14. 13 Tahun 2010 Hortikultura

15. 1 Tahun 2011 Perumahan dan Kawasan Permukiman

(24)

16. 2 Tahun 2011 Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Meskipun ada peningkatan, kinerja legislasi DPR pada tahun pertama periode 2009—2014 belum dapat dikatakan lebih baik. Kinerja legislasi yang buruk masih bersumber dari muara yang sama, yaitu aspek perencanaan. DPR dan pemerintah masih mengulangi kesalahan yang sama dalam perencanaan legislasi.

Keputusan DPR menetapkan target prioritas legislasi hingga 70 RUU untuk satu tahun semakin memperkuat penilaian Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR (yang termuat dalam laporan per Desember 2006).

Tim menilai, DPR masih ambisius dalam menetapkan jumlah RUU yang menjadi prioritas. Menurut tim, meskipun DPR telah menyusun kriteria atau standar prioritas untuk pembuatan suatu RUU, dalam pelaksanaan tidak dapat memenuhinya. Dari 15 RUU yang ditambahkan ke dalam daftar RUU Prioritas 2010, ternyata hanya dua yang mampu terselesaikan, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan RUU tentang Hortikultura.

Bahkan, tiga RUU yang diprioritaskan berdasarkan pertemuan konsultasi DPR dan presiden tak ada satu pun yang tuntas. Patut dipertanyakan tentang prioritas (legislasi) tahunan serta konsekuensi sesungguhnya serta perlakuan DPR dan pemerintah terhadapnya.

Sementara itu, ada kenaikan anggaran legislasi. Pada 2005, dialokasikan Rp560 juta, sedangkan pada 2009, dianggarkan Rp5,8 miliar. Namun, hal itu tidak membantu DPR dalam memenuhi target prioritas tahunan yang akhirnya mempengaruhi Prolegnas secara keseluruhan. Keberadaan staf ahli (yang telah direkrut sejak 2006) bagi Anggota DPR maupun alat kelengkapan belum sepenuhnya dapat diandalkan.

Solusi Sementara Perbaikan Konsep 

DPR bukan tidak berinisiatif sama sekali untuk mengatasi kinerja legislasi yang rendah. Prolegnas sebagai instrumen perencanaan legislasi didiagnosis, tapi jalan keluarnya justru mencampuradukkan konsep target (prioritas) penyiapan, pembahasan, dan penyelesaian. Kalau kemudian pencampuran konsep itu dipilih dan dilakukan, hal yang terjadi justru makin memperburuk DPR dalam bekerja, terutama dalam melaksanakan fungsi legislasi.

Harus ada pendefinisian ulang untuk pengkategorian lebih jelas akan penetapan prioritas tahunan. Bisa saja, prioritas tahunan yang dimaksud adalah prioritas penyiapan, pembahasan, atau penyelesaian. Ketiga konsep itu tidak bisa dicampuradukkan karena kepentingannya berbeda. Dalam konteks perencanaan legislasi dan capaian target, seharusnya prioritas tahunan di sini adalah penyelesaian suatu RUU menjadi UU atau terpenuhinya pembicaraan tingkat II seperti yang dimaksud Pasal 151 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Selain pencampuradukan konsep prioritas tahunan, ada faktor lain yang

menyebabkan DPR menetapkan target tinggi. Pertama, sensitivitas Anggota DPR

dalam menangkap aspirasi publik ternyata selalu diartikulasikan sebagai kerja

(25)

legislasi. Dengan kata lain, perspektif yang digunakan adalah “harus selalu diatur dengan UU”. Kedua, ketiadaan alat saring yang lebih operasional untuk memilih dan memilah urgensi suatu RUU. Akibatnya, usulan suatu RUU mudah masuk dalam usulan Prolegnas, khususnya prioritas tahunan. Ketiga, faktor penganggaran turut membuka peluang (peningkatan) alokasi anggaran legislasi.

Selain itu, minimnya capaian target legislasi hingga pertengahan 2010 mendorong Badan Legislasi (Baleg) mengambil langkah “pemangkasan” dari 70 RUU Prioritas 2010 menjadi 35 RUU. Langkah taktis lainnya adalah setiap komisi ditentukan menyelesaikan minimal dua RUU dan enam RUU di Panitia Khusus (Pansus). Penetapan tersebut harus diikuti keseriusan fraksi-fraksi di DPR menjalani tahapan sebelum atau saat pembahasan, seperti ketepatan waktu menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi, dan evaluasi kinerja anggota fraksi yang terlibat dalam pembahasan RUU. Jadi, penetapan itu tidak melebihi beban normal atau justru sering absen.

Berbagai usulan lain mengemuka guna membenahi kinerja legislasi DPR, antara lain:

a) penetapan Anggota DPR yang khusus membidangi penyusunan dan pembahasan RUU tanpa dibebani tugas di komisi maupun alat kelengkapan DPR lain;

b) mengalokasikan secara khusus dua hari dalam seminggu (tiap Rabu dan Kamis) bagi alat kelengkapan DPR untuk membahas RUU bersama pemerintah;

c) menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi untuk membantu penyusunan naskah akademik dan naskah RUU;

d) penambahan dua tenaga ahli bagi setiap Anggota DPR dan sepuluhtenaga ahli yang akan ditempatkan di Baleg;

e) klarifikasi indeks RUU berdasarkan bobot dan jenis, yaitu RUU Usul DPR, RUU Usul Pemerintah, RUU Pemekaran, RUU Ratifikasi, dan RUU Perubahan;

f) pembatasan waktu kunjungan kerja ke daerah; dan g) penggunaan waktu libur untuk kepentingan legislasi.

DPR dapat saja mengalokasikan sebagian masa reses untuk kepentingan pembahasan RUU. Penafsiran lebih jauh terhadap Pasal 139 jo Pasal 141 jo Pasal 254 Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib memungkinkan kebijakan itu dijalankan.

Kegagalan dalam mencapai target prioritas tahunan berawal dari ketidakmampuan manajemen legislasi mengatasi beban kerja Anggota DPR. Tidak menutup kemungkinan, faktor itu muncul kembali dan mengancam kinerja Anggota DPR periode 2009—2014. Perlu ada serangkaian strategi yang harus dijalankan oleh Baleg, Badan Musyawarah (Bamus), dan fraksi-fraksi.

1. Baleg melakukan monitoring pembahasan RUU; melihat kesesuaiannya dengan Pasal 141 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR yang membatasi durasi pembahasan paling lama dua kali masa sidang dan masa perpanjangan waktu satu kali masa sidang.

Terobosan tersebut dapat berjalan efektif apabila Bamus dan pimpinan fraksi

dapat berkolaborasi dengan baik. Pimpinan fraksi menentukan anggota yang

terlibat dalam suatu RUU untuk mewakili fraksi. Kemudian, hal itu

(26)

dikomunikasikan kepada Bamus. Selanjutnya, Bamus mengatur jadwal pembahasan dan mendistribusikannya pada masa sidang.

2. Beban kerja seorang Anggota DPR yang tidak proporsional juga harus dicegah.

Hal itu juga untuk mengurangi kemungkinan Anggota DPR tersandera dalam rangkap jabatan dan keanggotaan di berbagai alat kelengkapan, baik yang tetap maupun tidak tetap. Rangkap jabatan itulah yang cenderung membuat Anggota DPR tidak efektif dalam bekerja.

Implementasi beberapa ketentuan—guna mengefetifkan peran Anggota DPR—

sangat bergantung pada inisiatif dan kerja sama antara fraksi dan Bamus. Kedua belah pihak harus secara aktif dan rutin melakukan monitoring serta evaluasi terhadap kinerja Anggota DPR. Dengan cara itu, dapat diketahui sejak awal Anggota DPR yang bekerja secara efektif maupun yang tidak disiplin untuk menghadiri rapat pembahasan RUU.

3. Baleg seharusnya didorong bukan hanya sebagai alat kelengkapan yang melakukan pembahasan RUU, tetapi juga mengawasi proses legislasi dan dinamika yang menyertainya. Dengan demikian, dapat diketahui berbagai kelemahan dan potensi permasalahan yang menghambat kinerja legislasi DPR.

C. Karakter Legislasi 2010 

Dari segi durasi pembahasan, pembahasan delapan UU nonkumulatif terbuka rata-rata menghabiskan waktu di bawah enam bulan. Artinya, satu RUU berjalan dalam kerangka waktu dua masa sidang, mulai dari dibuat, dibahas, hingga disetujui secara bersama. Akan tetapi, RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memerlukan waktu kurang lebih sepuluh bulan.

Kebiasaan DPR dan pemerintah untuk menyelipkan pengaturan tentang pembentukan suatu lembaga baru tidak berlangsung masif. Kedelapan UU cenderung menempatkannya sebagai pilihan, misalnya badan pengelola kawasan cagar budaya yang dapat dibentuk pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Contoh lainnya adalah Pasal 114 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang menyatakan lembaga pengembangan hortikultura dapat dibentuk di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan/atau tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Namun, ada pula pembentukan lembaga yang merupakan perintah dan menjadi satu-satunya peraturan yang berlaku, yaitu UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 92 ayat (1), presiden membentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Karakter legislasi 2010 mengkonfirmasi pula bahwa capaian delapan UU nonkumulatif terbuka menunjukkan kepentingan memenuhi target minimal sektor yang diwakili oleh Komisi X, Komisi V, Komisi IV, Komisi III, Komisi II, dan Baleg.

Dalam artian, tiap komisi telah menentukan dua target RUU mulai dari pertengahan

2010 hingga akhir 2010 yang diperkirakan selesai dibahas dan disepakati bersama

menjadi UU. Bahkan, RUU tentang Cagar Budaya dan RUU tentang Gerakan

(27)

Pramuka yang menjadi target Komisi X berhasil dituntaskan. Sementara itu, Komisi V mampu menyelesaikan RUU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Komisi IV untuk RUU tentang Hortikultura. RUU Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi berhasil diselesaikan oleh Komisi III. RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dituntaskan oleh Komisi II yang menggeser RUU tentang Kepegawaian. Kemudianm Baleg selesai melakukan pembahasan RUU tentang Penyelenggara Pemilu serta RUU tentang Keprotokolan.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah delapan UU tersebut tanpa disadari telah melahirkan surplus aturan pendelegasian. Setidaknya, ditemukan ada 106 ketentuan yang memandatkan pengaturan lebih lanjut, tersebar mulai dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), hingga aturan unit pelaksana.

Dihadapkan pada delapan UU nonkumulatif terbuka yang dihasilkan di 2010, 106 aturan pendelegasian terbilang tinggi. Jumlah itu tentunya tidak bisa dibagi rata per UU. Namun, hal itu menunjukkan DPR mengakumulasi pengaturan ke dalam aturan pelaksana. Jika dicermati, fakta itu secara tidak langsung mempertanyakan kompetensi legislator dalam menguasai persoalan (substansi RUU) dan menentukan sifat pengaturan, antara UU dan PP. Hal itu berpotensi memperbesar intervensi pemerintah sehingga DPR semakin tidak berdaya karena kuasa legislasi yang terkikis.

Berdasarkan pendekatan teori konflik kepentingan dan pemberdayaan aktor politik, karakter legislasi 2010 menghadirkan serangkaian tesis yang memperlihatkan adanya benang merah antara satu RUU dan RUU lain. Bersumber dari analisis setiap UU, aktor politik formal mendapatkan penguatan eksistensi melalui UU Keprotokolan dan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sementara itu, kelompok sosial kemasyarakatan ada di RUU Gerakan Pramuka. Intinya, para pihak yang diatur dalam ketiga UU itu memperoleh pengukuhan identitas dan ruang pemberlakuan identitas itu.

Dilihat dari kutub negara dan kutub masyarakat yang sewaktu-sewaktu

dapat saling berhubungan, persinggungan kepentingan kedua belah pihak muncul

pada UU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU tentang

Hortikultura, UU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik, UU tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta UU tentang Cagar

Budaya. Ada kekuasaan yang ingin dipertahankan oleh negara yang dilihat dari

teori konflik kepentingan berkaitan dengan relasi politik dengan bisnis, baik di level

pusat maupun daerah. Keinginan untuk berkuasa itu berhadapan dengan

kebutuhan masyarakat yang ingin memperluas akses dan kompetensi

mengolah aset, seperti politik, sosial, dan budaya.

(28)

 

RELASI DPR DENGAN LEMBAGA LAIN 

A. Relasi DPR­Eksekutif: Pelaksanaan Fungsi  Minim Substansi 

Perubahan terhadap UUD 1945 yang terjadi pada 1999—2002 telah membawa banyak perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu aspek perubahan yang mendasar adalah pelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, pengaturan mengenai fungsi lembaga negara diatur lebih tegas dan menganut sistem check and balances dalam penyelenggaraannya.

Walaupun fungsi dari lembaga negara sudah diatur masing-masing dalam UUD 1945, dalam pelaksanaannya tidak berjalan sendiri-sendiri. Pelaksanaan dari fungsi setiap lembaga negara kemudian membentuk relasi antarlembaga-negara yang ada. Salah satu relasi yang tercipta adalah antara DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif dan pemerintah sebagai lembaga pemegang kekuasaan eksekutif. Relasi itu terjadi karena ada fungsi dari lembaga negara yang saling berkaitan satu sama lain.

Dari relasi yang ada, hal yang menarik adalah mengetahui realitas yang terjadi di lapangan, mengingat kerja sama antara dua lembaga negara atau lebih bukanlah hal yang mudah dilakukan. Hal itu penting diketahui, khususnya untuk menjawab pertanyaan “apakah relasi itu kemudian memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan fungsi dari lembaga negara masing-masing?”.

Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi itu memiliki keterkaitan dengan fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. Namun, pada 2010, DPR terkesan lebih fokus kepada pelaksanaan fungsi pengawasan. Banyak publikasi yang dilakukan DPR kepada masyarakat berada dalam ranah pelaksanaan fungsi pengasawan dibandingkan legislasi atau anggaran. Kondisi itu pun diakui oleh para Anggota DPR.

Dari kondisi di atas, perlu dilihat hasil dari pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut. Pelaksanaan fungsi pengawasan yang cenderung intensif menimbulkan harapan hasil yang baik dan tujuan fungsi yang tercapai. Namun, sampai akhir 2010, sangat sedikit hasil pelaksanaan fungsi pengawasan yang sesuai dengan harapan itu. Fungsi pengawasan DPR cenderung digunakan sebagai alat politik sekelompok golongan untuk menekan pemerintah. Selain itu, aspek penyelenggaraan wewenang yang sesuai dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai.

Selain dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, relasi antara DPR dan eksekutif atau pemerintah terjadi juga dalam proses pemilihan anggota atau pimpinan lembaga negara, baik yang dibentuk oleh UUD 1945 ataupun UU tertentu.

Dalam pemilihan anggota lembaga negara, proses yang mengusung akuntabilitas,

transparansi, dan partisipatif masih tidak tercermin, terutama seleksi yang tidak

banyak mendapat perhatian dari masyarakat.

(29)

Tim Pengawas Century: Badai Tiada Akhir

Proses politik kasus Bank Century ternyata belum berakhir ketika Panita Angket melaporkan hasilnya dalam Rapat Paripurna pada awal Maret 2010. DPR memutuskan membentuk Tim Pengawas guna mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset. Kala itu, Panitia Angket menghasilkan lima rekomendasi terkait kasus Bank Century.

Pertama, mendorong lembaga-lembaga penegak hukum untuk mengusut berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum. Kedua, Panitia Angket meminta DPR untuk—bersama dengan pemerintah—segera membentuk dan merevisi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor moneter dan fiskal untuk perbaikan kondisi perbankan nasional

Sebagai rekomendasi ketiga, Panitia Angket juga mendorong lembaga penegak hukum untuk melakukan pemulihan aset yang telah diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan bank/negara selambat- lambatnya pada Desember 2012. Keempat, Panitia Angket meminta DPR untuk membentuk Tim Pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi dan proses penelusuran aliran dana serta pemulihan aset dengan kewenangan sesuai dengan peraturan selambat-lambatnya pada masa persidangan berikutnya.

Terakhir, Panitia Angket meminta pemerintah dan/atau Bank Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan yang menimpa nasabah PT Antaboga Delta Sekuritas dengan mengajukan kepada DPR pola penyelesaian secara menyeluruh, baik dasar hukum maupun sumber pembiayaan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

DPR menganggap bahwa pembentukan Tim Pengawas tersebut sangat penting untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi, terutama dalam memproses hukum pihak-pihak yang terlibat. Pembentukan sebuah tim memang diatur dalam Tata Tertib DPR. Tim dibentuk oleh Pimpinan DPR untuk melaksanakan tugas tertentu yang bekerja untuk waktu tertentu. Pembentukan Tim Pengawas Century juga dilakukan melalui forum pimpinan. Kemudian, dilaporkan ke dalam Rapat Paripurna. Pembentukan Tim Pengawas Century dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 27 April 2010; hampir satu setengah bulan sejak rekomendasi pembentukan tim itu disepakati. Sebelumnya, beberapa Anggota DPR memprotes pimpinan DPR yang dianggap lambat dalam membentuk tim itu.

Tim Pengawas Century langsung diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergiliran. Pengaturan mengenai Pimpinan Tim Pengawas itu memang tidak biasa.

Lazimnya, tim diketuai oleh salah seorang pimpinan sejak pelaksanaan tugas pada awal pembentukannya sampai dengan akhir. Namun, Tim Pengawas Century diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergilir dengan alasan kasus Century memiliki dinamika politik yang besar (vivanews.com, diakses pada 10 Januari 2011).

Mekanisme bergilir itu pun tetap menuai protes. Sistem yang diterapkan dinilai

tidak memiliki dasar hukum karena Tata Tertib DPR tidak mengatur secara bergilir

(Politikindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2011). Namun, protes itu tidak

dihiraukan sehingga dalam pelaksanaan tugasnya, tim yang beranggotakan 30

orang itu tetap diketuai oleh Pimpinan DPR secara bergilir. Sementara itu,

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dari karangan ilmiah ini adalah untuk berperan serta dalam pelestarian budaya lokal guna meningkatkan pendidikan karakter generasi muda

Segala puji bagi Allah SWT berkat Rahmat dan Ridho-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat meyelesaikan dan menyusun Tugas Akhir ini dengan judul “SISTEM

pola-pola attachment, figur attachment pada remaja, pengertian kecerdasan emosi, aspek-aspek kecerdasan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi,

Kelompok produsen mengalokasikan premi UTZ untuk membayar: biaya manajemen kelompok (mis. audit-audit); berbagai produk dan jasa yang dimanfaatkan oleh kelompok (mis. pelatihan);

Brand/ merek dapat digunakan oleh suatu lokasi geografis (destinasi), dalam pemasaran pariwisata brand mencerminkan janji yang akan didapatkan ketika melakukan

Saya bersyukur bahwa selain Perjanjian Lama dan Baru, Tuhan, melalui para nabi Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, telah menambahkan tulisan suci lain

Klasifikasi dilakukan dengan algoritma KNN dengan fungsi jarak yang digunakan adalah Euclidean Distance, dimana nilai k yang digunakan adalah sebagaimana yang telah

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data profil pendidikan jenjang pendidikan dasar yaitu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah