• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Keterlambatan Pembuatan Peraturan Pemerintah

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 96-103)

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan UU. PP tidak bisa berdiri sendiri tanpa pendelegasian materiil dari UU. Secara hierarki perundang-undangan, PP berada berada satu level di bawah UU (Asshiddiqie, 2005, 10). Fungsi PP adalah mengoperasionalkan ketentuan yang terdapat dalam UU serta mengatur hal-hal yang bersifat teknis dan rinci. PP dibuat untuk menjadikan UU berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya merinci ketentuan-ketentuan UU, menentukan lebih lanjut ambang batas yang ditetapkan UU, menetapkan hal-hal lain yang berada dalam kerangka yang digariskan, dan mengatur teknik pelaksanaan UU (Asshiddiqie, 2005).

Pada prinsipnya, materi PP tidak menambah, tidak mengurangi, tidak menyisipi suatu ketentuan, dan juga tidak memodifikasi materi beserta pengertian yang telah ada dalam UU induk (Pasaribu dkk., 2006). Dengan demikian, keberadaan PP memiliki peran penting terhadap implementasi UU. Akan tetapi, pada kenyataannya, sering kali pembentukan PP mengabaikan ketentuan terkait batas waktu ataupun substansi yang menjadi materi muatan. (Pasaribu dkk., 2006).

Menurut Pasal 39 UU No. 10 Tahun 2004, “setiap UU wajib mencantumkan batas waktu penetapan PP dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan UU tersebut”.

Dengan kata lain, apabila UU ingin mengamanatkan adanya PP, harus ada penentuan batas waktu untuk membentuk PP. Ketentuan pembatasan waktu itu tidak diatur secara rinci; batas waktu yang sering digunakan adalah 6, 12, atau 24 bulan.

Meskipun batas waktu telah ditentukan dalam UU, pada praktiknya, keberadaan PP yang telah dibentuk tidak mengatur semua materi yang diamanatkan oleh UU. Selain itu, PP yang seharusnya dibentuk tidak kunjung dibentuk, walaupun batas waktu yang telah ditentukan sudah lewat.

Riset yang dilakukan oleh PSHK menemukan lima alasan terkait tidak adanya PP (Pasaribu dkk., 2006), yaitu:

1. materi muatan PP yang dibuat atas amanat UU justru lebih luas dibandingkan materi UU itu sendiri;

2. tim panitia antardepartemen tidak tahu materi yang harus diatur dalam PP karena UU tidak memberikan gambarannya;

3. materi muatan PP tidak valid lagi untuk dikeluarkan karena terlalu lama sudah tidak dibuat sehingga sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat;

4. tanpa adanya PP, UU masih tetap bisa diimplementasikan; dan

5. pemerintah tidak ada keinginan untuk melaksanakan UU yang bersangkutan.

Selain hambatan tersebut, terdapat hambatan lain dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Berdasarkan Pasal 60 UU No. 25 Tahun 2009, UU mengamanatkan lima materi yang akan diturunkan ke dalam PP. Kelima materi itu adalah ruang lingkup pelayanan publik, sistem pelayanan terpadu, pedoman penyusunan standar pelayanan, proporsi akses dan kategori kelompok masyarakat, serta tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pembentukan PP untuk setiap materi harus dilakukan paling lambat enam bulan sejak UU No. 25 Tahun 2009 diundangkan. Akan tetapi, sampai awal 2011, keberadaan PP belum juga ada.

Adi Candra Utama, Anggota Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3), mengungkapkan tidak adanya PP disebabkan rendahnya komitmen Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan). Hal itu ditandai oleh pergantian pejabat yang menangani masalah pelayanan publik di wilayah kementrian. Pejabat yang sebelumnya menangani pembentukan UU No. 25 Tahun 2009 sudah berada pada masa pensiun dan secara otomatis ada pejabat lain yang menggantikannya. Pergantian pejabat itu membuat kementerian harus mempelajari ulang pelayanan publik.

Penghambat lain adalah pihak kementerian lebih suka mengeluarkan peraturan di tingkat internal, yaitu Peraturan Menteri (Permen). Pembentukan Permen dirasa lebih mudah untuk dibuat karena hanya melibatkan unsur internal saja. Lain halnya dengan pembentukan PP yang harus melibatkan lebih dari satu kementerian.

Terkait jumlah materi yang diamanatkan oleh UU, saat ini, Kemenpan membentuk satu PP yang mencakup kelima materi. Namun, masih menurut Adi Candra Utama, PP menjadi tidak begitu rinci apabila dibuat satu bentuk untuk mengatur semua materi. Selain UU No. 25 Tahun 2009, terdapat beberapa UU yang telah disahkan pada 2009 mempunyai masalah serupa. Berdasarkan tabel UU yang disahkan pada 2009 beserta PP-nya, ada lima puluh UU yang disahkan pada 2009.

Dua puluh delapan di antaranya mengamanatkan pembentukan PP.

Berdasarkan 28 UU tersebut, tujuh UU telah diturunkan melalui PP, yaitu UU yang diklasifikasikan dalam bidang sumber Daya Alam (SDA), pangan dan pertanian, sosial, lembaga negara, bea dan pajak, serta kesehatan. Sementara itu, sebanyak 21 UU belum membentuk PP dengan klasifikasi bidang transportasi, pemerintahan, sosial, SDA, badan usaha dan perdagangan, kesehatan, serta hukum.

Sementara itu, rata–rata batas waktu pembentukan PP berkisar satu sampai dengan dua tahun. UU yang menetapkan batas waktu pembentukan selama dua tahun masih mempunyai sisa waktu untuk melakukannya hingga pertengahan 2011.

Keberadaan PP merupakan hal yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Apabila para pembuat UU terlambat membentuk atau tidak membentuk PP sama sekali, dapat dikatakan mereka telah melakukan pelanggaran

terhadap amanat yang telah disampaikan oleh UU. Selain itu, secara tidak langsung, pembuat UU juga tidak menganggap pentingnya kehadiran PP.

KUPAS UNDANG­UNDANG 2010 

Jumlah tidak menjadi satu-satunya tolok ukur dalam penilaian kinerja DPR.

Kualitas setiap produk akhir dalam proses legislasi pun perlu ditimbang sebagai parameter keberhasilan kerja parlemen. UU sebagai hasil proses legislasi memang lebih menonjol sebagai produk politik ketimbang sebagai produk hukum. Oleh karena itu, alat ukur yang paling umum untuk menilai suatu produk politik adalah pencapaian tujuan bersama (Susanti, dkk., 2006).

Ada dua kategori besar penilaian yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan bersama tersebut, yaitu substansi dan proses. Persoalan substansi terbagi menjadi dua bagian, yaitu materi muatan dan struktur pengaturan serta kalimat perundang-undangan. Sementara itu, ada dua bagian yang dinilai dalam hal proses, yaitu partisipasi publik dan perdebatan. Penilaian kualitas UU memperhatikan pula potensi dampak yang akan dirasakan masyarakat sebagai akibat pembentukan sebuah UU.

Dari 16 UU yang berhasil dicapai oleh DPR setahun ke belakang, sembilan di antaranya dibedah secara khusus. Sementara itu, lima UU lain yang terkait APBN tidak menjadi objek pembahasan karena secara substansial lebih erat kaitannya dengan fungsi anggaran daripada fungsi legislasi DPR. Ulasan mengenai proses pembentukan UU tentang pengesahan perjanjian internasional dan hal-hal penting seputarnya juga dibahas dengan menggunakan dua UU ratifikasi yang berhasil disahkan tahun lalu sebagai contoh kasus.

A. UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan 

Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU  No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi 

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Cicak  Lawan Buaya, Bukan Kegentingan yang 

Memaksa 

Fenomena corruptors fight back atau serangan balik koruptor bukan merupakan isapan jempol belaka. Gencarnya pemberantasan korupsi oleh KPK telah menuai badai perlawanan “gagah berani” para koruptor. Aksi KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi menuai perlawanan yang sebanding. Sejak berdirinya, KPK telah menunjukkan tajinya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pembongkaran kasus-kasus besar sampai dengan penggunaan metode sadap merupakan sebagian dari aksi KPK yang membuat merinding bulu kuduk para koruptor.

Ragam bentuk perlawanan telah dilakukan oleh para koruptor. Awalnya, mereka menguji UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dengan tujuan memandulkan kinerja KPK. Lalu, mereka mewacanakan posisi KPK secara negatif sebagai institusi superbody. Mereka juga melakukan usaha dalam bentuk yang paling kasar, seperti melakukan kriminalisasi orang-orang yang berada di KPK.

Kriminalisasi dan Penghancuran Reputasi KPK

Sejak berdirinya KPK pada 2002, perlawanan terhadap eksistensi lembaga itu beserta kewenangan-kewenangannya sangat gencar dilakukan. Salah satu indikasinya adalah jumlah pengujian UU KPK di MK yang cukup signifikan dibanding UU lain. Menariknya, pengujian UU tidak hanya dilakukan oleh kelompok antipemberantasan-korupsi. Namun, pengujian juga dilakukan oleh kelompok-kelompok antikorupsi yang melihat kelemahan desain kelembagaan KPK.

Dengan demikian, hal itu dapat digunakan oleh kelompok-kelompok antipemberantasan-korupsi untuk melawan KPK.

Dari semua bentuk perlawanan terhadap KPK, fenomena Cicak Lawan Buaya merupakan pertarungan paling dramatis antara kelompok antipemberantasan-korupsi dan kelompok antiantipemberantasan-korupsi. Hal itu berawal dari perkara pidana pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Kemudian, perkara itu berujung pada laporan Antasari tentang dugaan adanya suap kepada dua orang koleganya—sesama pimpinan KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah (tribunnews.com, diakses pada 20 Januari 2011). Menerima laporan itu, polisi melakukan aksi cepat dengan melakukan pemeriksaan dan menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka secara cepat pula.

Hal tersebut membawa akibat serius bagi efektivitas kinerja KPK karena telah kehilangan tiga dari lima komisioner yang seharusnya ada. Hal itu merupakan konsekuensi dari keberadaan Pasal 32 ayat (2) UU KPK, yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK yang menjadi tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya.

Berdasarkan hal itu, presiden mengeluarkan Keppres No. 74/p Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Proses hukum yang tidak transparan dan ketidakpercayaan luar biasa terhadap polisi membuat mayoritas rakyat Indonesia melakukan perlawanan terhadap penahanan dan penetapan Bibit-Chandra sebagai tersangka. Tingkat kebisingan politik yang tinggi dari riuhnya pembelaan terhadap Bibit-Chandra oleh masyarakat akhirnya membuat Presiden Yudhoyono mengambil langkah politik.

Langkah itu dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Isi dari Perppu tersebut pada intinya adalah pengaturan untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK jika terjadi kekosongan lebih dari tiga pimpinan KPK.

Rumusan pasalnya disisipkan dalam ketentuan pasal 33 yang dirumuskan sebagai pasal 33 A dan dilanjutkan dengan ketentuan dalam pasal 33 B yang mengatur masa jabatan pimpinan KPK penganti.

Adapun, persandingan antara Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009 dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 12 Perbandingan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 2002 dan Pasal 33 A Perppu No. 4 Tahun 2009

Materi Pengaturan UU No. 30 Tahun 2002 Perppu No. 4 Tahun 2009

Kondisi Kekosongan Pasal 33

Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi

Prosedur Pengajuan Pasal 33 ayat (2) Prosedur pengajuan calon dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31

Masa Jabatan Tidak diatur Pasal 33 B

Masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana di atur dalam Pasal 33 A berakhir pada saat:

a. anggota pimpinan Komisi

Pada tabel di atas, pendefinisian kekosongan menjadi kata kunci penting untuk dimulainya mekanisme pengisian jabatan pimpinan sementara KPK yang diatur dalam Pasal 33 A. Mekanisme pengisian kekosongan Pasal 33 A berjalan ketika terjadi kekosongan lebih dari tiga Pimpinan KPK. Kekosongan tiga Pimpinan KPK, menjadi titik pembeda antara Pasal 33 A dan Pasal 33. Pasal 33 tidak mendefinisikan mengenai jumlah kekosongan pimpinan.

Terjadinya kondisi yang didefinisikan pada Pasal 33 A memicu mekanisme pengisian jabatan yang diatur dalam Pasal 33 A ayat (4). Pasal 33 A ayat (4) yang memberikan kewenangan tunggal pada presiden untuk mengangkat Pejabat Sementara KPK. Hal itu berbeda dengan pengaturan yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan bahwa prosedur pengajuan menggunakan mekanisme normal yang diatur dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31. Dalam ketentuan pasal-pasal itu, kewenangan pemilihan menjadi kewenangan DPR atas usulan calon dari presiden.

Terkait dengan masa jabatan Pimpinan Sementara KPK, Pasal 33 B memberikan batasan yang tegas dengan mendefinisikan dua kondisi berakhirnya masa jabatan dari Pimpinan Sementara KPK. Kondisi-kondisi itu adalah aktifnya kembali Pimpinan KPK yang dinonaktifkan dan terpilihnya Anggota KPK baru berdasarkan mekanisme Pasal 33 ayat (2).

Sementara itu, jabatan Pimpinan Pengganti KPK tidak diatur dalam UU No.

30 Tahun 2002. Pada pemilihan Pimpinan KPK pengganti Antasari Azhar baru-baru ini—yang berakhir dengan terpilihnya Busyro Moqadass, terdapat perbedaan pemahaman antara kelompok Non-Governmental Organization (NGO) dan Komisi III DPR. Kelompok NGO, yang dimotori oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), menafsirkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti seharusnya mengikuti masa jabatan Pimpinan KPK dalam masa jabatan normal, yakni empat tahun.

Sementara itu, DPR dalam putusannya membatasi masa jabatan Pimpinan KPK pengganti, Busyro Moqadass, hanya 1 tahun, yakni meneruskan sisa masa jabatan Pimpinan KPK yang digantikan.

Bukan Kegentingan Memaksa

Pada awalnya, pembentukan Perppu tersebut disambut dengan skeptisme, bahkan cenderung disambut dengan kecurigaan yang luar biasa oleh masyarakat.

Banyak kalangan menilai Perppu itu merupakan akal-akalan presiden untuk meneruskan kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra. Dalam spektrum yang berbeda, penolakan terhadap kehadiran Perppu itu dianggap tidak tepat, mengingat bahwa Pasal 22 UUD 1945 mempersyaratkan keadaan yang genting dan memaksa sebagai dasar pembentukan Perppu.

Penolakan terhadap Perppu tersebut kemudian diresonansikan kembali pada pembahasan Perppu untuk menjadi UU. Mayoritas fraksi menolak pemberlakuan Perppu itu menjadi UU. Pembahasan dilakukan oleh Komisi III DPR bersama dengan pemerintah yang diwakili oleh Kemhukham. Pada pembahasan itu, dari sembilan fraksi, tujuh fraksi menolak pemberlakuan Perppu menjadi UU dan dua fraksi menerimanya menjadi UU (gatra.com, diakses pada 20 Januari 2011).Sembilan fraksi yang menolak memiliki alasan penolakan yang berbeda-beda, tetapi mayoritas fraksi menyatakan rasionalisasi dari pemberlakuan Perppu telah hilang mengingat Chandra-Bibit telah kembali menjadi pimpinan KPK dan menganggap Perppu itu telah memotong kewenangan DPR untuk melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan. Hanya PKS-lah yang menyoal rasionalisasi Perppu itu. Menurut fraksi PKS, Perppu itu tidak memiliki dasar konstitusionalitas yang kuat karena tidak terpenuhinya unsur kegentingan yang memaksa seperti dipersyaratkan oleh UUD 1945. Sementara itu, dua fraksi yang menerima, fraksi PKB dan Demokrat,

menyatakan dapat memahami dan menerima Perppu itu (vivanews.com, diakses pada 20 Januari 2011).

Penolakan terhadap Perppu tersebut diatur dalam UU No. 3 Tahun 2010. UU penolakan itu terdiri dari empat pasal. Secara substansi, pasal-pasal itu dirumuskan untuk mengamankan dan menjamin legalitas dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pimpinan sementara. Tampaknya, hal itu menjadi penting untuk dilakukan, mengingat pengalaman pada Perppu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) telah mengundang perdebatan mengenai keabsahan dari kebijakan bail out Bank Century yang mendasarkan diri pada Perppu JPSK. Hal itu ditambah dengan polemik keabsahan dari Jaksa Agung Hendarman Supandji karena administrasi hukum pengangkatan kembali dia sebagai Jaksa Agung.

Hal lain yang juga patut untuk dicatat ialah penolakan terhadap Perppu tersebut menimbulkan pertanyaan. Jika kriminalisasi Bibit-Chandra terulang lagi terhadap Pimpinan KPK selanjutnya, Perppu sejenis akan keluar atau tidakkah lebih baik untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik dengan melakukan desain ulang terhadap kelembagaan KPK secara keseluruhan. Apalagi, pertimbangan itu juga mengingat gerakan corruptors fight back masih akan terus berlanjut selama pemberantasan korupsi dilakukan secara gencar oleh KPK.

B. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas 

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 96-103)